Estimasi saya menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan dana 8000 trilyun rupiah untuk menangani wabah corona.
Kita bisa berusaha untuk lebih hemat. Tapi bisa saja usaha berhemat malah berakibat makin boros. Kita perlu mencermati total biaya.
Ketika anak saya masih kecil saya sering perjalanan dari Bandung menuju Jateng dengan naik bus malam. Saya dan istri beli 2 tiket masing-masing 100 ribu. Total jadi 200 ribu. Satu anak bayi tidak perlu tiket, gratis.
Sebelum beli tiket, mertua saya menawarkan untuk dijemput pakai mobil dari Jateng. Gratis! Dengan sopan saya selalu menolak.
Istri saya protes. “Bukankah lebih hemat bila dijemput mobil dari Jateng?” Gratis. Saya dan istri tidak mengeluarkan uang sepeser pun.
Saya katakan,”Seperti lebih hemat tapi boros.”
Berapa biaya mobil dari Jateng, bbm, dan sopir. Lalu mobil balik lagi dari Bandung ke Jateng. Total sekitar 500 ribu.
Dari sudut pandang saya, dijemput mobil mertua, seperti lebih hemat karena tidak ada pengeluaran tiket bus yang 200 ribu itu. Tapi dari sudut pandang sistem lebih boros karena harus bolak-balik dengan biaya 500 ribu.
Menangani wabah corona bisa saja tampak lebih hemat dengan tanpa mengeluarkan anggaran. Angka 8000 trilyun terlalu besar. Kita bisa saja gratis tidak mengeluarkan 8000 trilyun tapi ada pihak lain yang terpaksa menanggung beban lebih besar dari 8000 trilyun itu.
Kemarin saya kontak sebuah fasilitas kesehatan yang biasa saya pakai jasanya. Mereka menjawab bahwa tidak beroperasi dalam 2 bulan ke depan. Karena corona. Asumsikan per bulan pendapatan fasilitas kesehatan itu adalah 10 milyard. Maka dua bulan kehilangan 20 milyard.
Siapa yang menanggung beban 20 milyard itu? Bila dibiarkan saja maka seperti tidak ada yang menanggung. Tidak ada yang rugi. Tidak ada yang menderita. Tapi sebenarnya rakyat menanggung beban itu.
Bagaimana menurut Anda?
