Yth Mas Menteri Nadiem dan Bapak Presiden Jokowi,
Dengan hormat, saya yakin Mas Nadiem dan Pak Jokowi tahu hiruk-pikuk PPDB karena zonasi tahun 2019. Pak Jokowi sudah memerintahkan revisi tapi jawabannya hanya menambah rentang jadi 15% untuk jalur prestasi. Dan Mas Nadiem menambah lagi jadi 30%. Apakah itu revisi yang diharapkan oleh seorang presiden Pak Jokowi?
Perkenalkan saya adalah Paman APIQ, seorang youtuber edukasi spesialis matematika, pendukung utama konsep zonasi tetapi menolak permen zonasi 2018 yang berlaku 2019. Saya punya 5 orang anak yang semuanya saya sekolahkan berdasarkan konsep zonasi. Ketika SD, 5 anak saya sekolah di SD terdekat rumah. Ketika SMP, 4 anak saya sekolah di SMP terdekat. Meski orang mengatakan itu bukan SMP favorit tapi saya tetap pakai konsep zonasi dengan persetujuan anak saya tentunya. SMA juga anak-anak saya pakai konsep zonasi ke SMA terdekat.

Tetapi saya menolak permen zonasi. Mengapa? Saya kira Mas Menteri dan Pak Jokowi juga merasakan ada yang salah dengan permen zonasi. Salah dalam konsep dan salah dalam pelaksanaan. Saya kira tidak ada yang salah bagi panitia pelaksana yang diwajibkan menerapkan permen zonasi. Di sisi orang tua dan siswa bingung dengan semua salah dan ketidakpastian.
Mas Menteri dan Pak Jokowi yang saya hormati,
Saya mencatat ada minimal 3 poin kesalahan permen zonasi. Dan saya menyertakan beberapa ide solusinya.
Pertama, kesalahan fatal, menentukan seleksi berdasar jarak terdekat. Ini jelas tidak adil bagi siswa, tidak adil bagi orang tua. Bagaimana lokasi rumah menjadi diskriminan – pembeda – masa depan sekolah seorang bocah? Tidak adil bahkan bisa jadi tidak masuk akal. Ilustrasi dari teman saya ada yang rumahnya berjarak 500 meter diterima di sekolah tapi tetangga sebelahnya berjarak 520 meter tidak diterima di sekolah. Sulit memahaminya.
Dan banyak orang mengatakan siswa tidak perlu belajar apa pun. Asal rumah mepet rapat – dekat – sekolah pasti diterima masuk sekolah. Seburuk apa pun nilai siswa.
Ide solusi dari saya adalah menetapkan zona siswa hanya sebagai syarat untuk mendaftar. Bila siswa berada dalam zona maka bisa daftar ke sekolah terdekat – kemudian jarak tidak lagi diperhitungkan. Berikutnya akan diperhitungkan beragam kriteria yang adil terbuka misal: prestasi, nilai, karya, kondisi ekonomi, dan lain-lain.
Ide dasar zonasi adalah zonasi itu sendiri. Tetapi, di kita, zonasi berubah menjadi radiusisasi – ditentukan berdasar radius. Itu berbeda sekali dari konsep zonasi. Radius hanya valid ketika daya tampung sekolah mampu menampung semua calon siswa. Selain itu radius tidak valid.
Misal siswa A dan siswa B bisa diterima di SMA 1 atau SMA 2 di suatu kota – karena daya tampung yang masih longgar. Apakah SMA 1 akan memilih siswa A atau B? Maka radius bisa kita pakai di sini. Bila siswa A radius lebih dekat ke SMA 1 maka siswa A diterima di SMA 1 sedangkan siswa B diterima di SMA 2. Dan masih ada formula lebih detil untuk radiusisasi. Tetapi yang kita perlukan bukan radiusisasi. Kita perlu zonasi. Karena daya tampung terbatas.
Kedua, kesalahan sudut pandang, zonasi dengan fokus utama sekolah seharusnya fokus utama adalah siswa. Karena zona dilakukan kepada sekolah maka siswa, sebagiannya, diperlakukan tidak adil. Terdapat beberapa lokasi siswa yang tidak mungkin diterima di sekolah mana pun. Di mana letak adilnya?
Misalkan saya berada di kota Bandung di mana kira-kira berjarak 1,2 km ke SMA 1, SMA 2, dan SMA 15 Kota Bandung. Lokasi saya tidak jauh dari sekolah tersebut tapi juga tidak dekat. Anak-anak di lingkungan saya sulit diterima di SMA terdekat karena kalah bersaing dengan anak-anak lain yang berjarak kurang dari 1 km. Apakah ini adil? Tidak!
Masalah juga terjadi ketika di suatu kabupaten, SMA-SMA negeri dibangun di kawasan pendidikan tertentu. Misal kota Rembang, SMA-SMA di kisaran pantura. Maka anak-anak di sekitar pantura dapat memilih beragam sekolah tetapi anak-anak yang berada di Rembang bagian selatan tidak punya kesempatan untuk mendaftar ke wilayah pantura.
Ide solusi saya adalah dengan menetapkan zona siswa bukan zona sekolah. Setiap kelurahan/desa, sebagai zona siswa, mendapat hak untuk mendaftar ke 3 sekolah terdekat. Dengan demikian semua siswa terjamin haknya untuk memilih sekolah. Dalam istilah matematika, zona siswa misal kelurahan sebagai domain sedangkan kelompok sekolah sebagai kodomain.
Ketiga, kesalahan tak seimbang, di mana orang tua siswa diminta untuk memahami permen zonasi di sisi lain tidak tampak kementrian memahami dengan baik keberatan orang tua siswa. Orang tua dan siswa mengeluh karena tidak adil tapi kementrian menilai hanya karena kurang sosialisasi. Padahal memang ada masalah substansial. Orang tua dan siswa menilai ada sekolah favorit sementera kementrian menganggap semua sekolah adalah setara.
Ide solusi saya adalah meningkatkan kualitas sekolah dengan transparan. Sehingga orang tua dan siswa yakin bahwa semua sekolah kualitasnya sedang meningkat untuk sama-sama jadi favorit. Tugas mengajar guru dapat saja ditukar lokasinya tiap semester dari sekolah A ke sekolah B. Jadi semua sekolah memiliki guru yang hakikatnya sama. Tentu fasilitas sekolah perlu ditingkatkan.
Karena ini semua perlu proses maka penerapan zonasi juga perlu proses. Tidak serta merta dan tidak berubah tiap tahun tanpa konsistensi. Misalkan peraturan zonasi sudah diperbaiki dan asumsikan 90% siswa zonasi maka bisa ditetapkan bertahap tahun 2020 = 50%, tahun 2021 = 60%, dan 2024 = 90%. Seiring kementrian meningkatkan kualitas semua sekolah jadi setara, orang tua dan siswa juga siap menyesuaikan.
Mas Menteri dan Pak Jokowi yang saya hormati, demikianlah sedikit surat terbuka dari saya. Oh…ya… barangkali Pak Jokowi berkenan kapan-kapan kita bisa kolaborasi sebagai youtuber. Sedikit info, banyak penonton youtube yang mengatakan suara saya di youtube mirip dengan suara Pak Jokowi. Padahal saya asli dari Jatim sedangkan Pak Jokowi dari Jateng. Masih bertetanggalah…!
Berikut ini saya sertakan chanel edukasi saya http://www.youtube.com/pamanapiq
Saya tidak tahu apakah surat terbuka ini sampai dibaca oleh Mas Nadiem dan Pak Jokowi. Tapi saya berharap sistem pendidikan Indonesia makin maju.
Terima kasih.
Salam hormat
Paman APIQ / Agus Nggermanto