Semiotika adalah ilmu dusta. Pengetahuan yang lengkap dengan filsafatnya untuk berdusta. Dusta ada di mana-mana. Dusta bisa dicopas. Copas dari copas dari copas… dan seterusnya. Dusta bertumpuk dusta jadilah hypersemiotika.
Filsuf posmodern gemar mengembangkan semiotika. Derrida dengan destruksi terhadap teks telah mematikan makna. Setiap orang bebas memproduksi makna termasuk dusta. Baudrillard dengan cengkeraman simulacra, simulasi dari simulasi dari sumulasi, dusta tidak bisa dibedakan dengan dusta lain mau pun aslinya. Semua hanya dusta.
Untung saja kita tidak selalu hidup bersama filsuf posmodern. Maka kita masih bisa hidup tanpa dusta – sesekali waktu. Tapi kita hidup di jaman posmodern. Terpaksa harus bergelut dengan dusta.
Sementara kita bisa menengok ke ilmu pasti fisika. Kepastian ilmu fisika sudah dipastikan oleh Isaac Newton sejak abad ke 17. Fondasi sudah kukuh oleh Galileo Galilei. Ilmu pasti fisika bersifat pasti, tanpa dusta. Pastinya fisika bersanding degan pastinya matematika.

Masuk abak ke 20 sifat pastinya dari ilmu fisika mulai digoyang. Fisikawan Jerman, Werner Heisenberg, menemukan prinsip “ketidakpastian”. Kelak kita mengenalnya sebagai “ketidakpastian heisenberg” dalam ilmu fisika kuantum.
Ketidakpastian heisenberg sudah teruji valid secara ilmiah. Meski Einstein tampak tidak suka dengan melontarkan ungkapan, “Tuhan tidak sedang bermain dadu.”
Tetap saja, “PASTI TIDAK PASTI.”
(Bersambung ya,,,)