Posmodern sudah berhasil. Berhasil meruntuhkan bangunan filsafat barat. Berkeping-keping. Dalam kebingungan.
Saatnya untuk kembali membangun. Yang lebih baik. Yang lebih kokoh.
1)Makna telah mati
Lyotard, tokoh Posmo, dengan meruntuhkan metanarasi dan permainan bahasa tanpa batas, sudah berhasil menjadikan segalanya relatif tanpa arti. Makna sudah mati.

Ketika presiden Jokowi menyatakan bahwa penanganan covid 19 di Indonesia tidak buruk, bahkan cukup baik itu adalah benar. Benar dalam arti language game beliau.
Ketika para peneliti menyatakan bahwa penanganan covid 19 di Indonesia buruk maka itu juga benar. Lagi-lagi benar dalam language game mereka. Misalkan organisasi endcorona memasukkan Indonesia pada negara kategori merah, atau buruk, bersanding dengan India, Israel, US, dll. Beda dengan negara hijau, penanganan yang bagus, misal Brunei, Thailand, Vietnam dan lain-lain.
Ketika saya menduga bahwa penanganan corona di Indonesia cukup buruk maka itu benar dalam konteks language game saya juga. Saya berdasarkan pada analisis nilai R nasional Indonesia masih konsisten di atas 1 maka wabah masih terus membara.
Language game, permainan bahasa, dari Wittgenstein yang harusnya berguna untuk membantu kita memahami dengan baik justru berubah menjadi memusingkan makna.
2)Jebakan Simulacra Copas tanpa Batas
Baudrillard, tokoh Posmo, adalah yang paling tegas mengingatkan jebakan simulacra. Reproduksi tanpa henti. Satu berita dicopas lau copas, lalu copas, lalu copas tanpa batas. Orang tidak tahu mana yang asli mana yang copas. Semua hidup dalam kepalsuan.
Yang lebih parah lagi adalah apa yang lebih banyak dicopas, lebih banyak ditonton, lebih banyak share itulah yang lebih sah. Maka jasa buzzer menjadi pilihan.
Kembali contoh kasus bahwa penanganan covid 19 di Indonesia cukup baik. Karena berita Pak Jokowi lebih banyak dicopas dan ditonton maka dialah yang lebih benar.
Masuk akal? Memang begitulah jebakan simulacra posmo.
Kita perlu kembali kepada kearifan dasar. Klarifikasi. Gunakan akal dengan baik. Dengar suara hati.
3)Lepaskan Masa Lalu
Derrida, tokoh Posmo, tampak bersemangat untuk lepas dari logika kuno Aristoteles. Kita dari kecil sudah tahu bahwa yang benar adalah benar. Begitu juga logika Aristoteles.
Tetapi logika posmo bisa beda dengan itu. Yang benar itu juga salah. Yang salah juga benar. Apa artinya? Jangan bertanya arti! Makna sudah mati.
Kembali contoh bahwa penanganan covid Indonesia itu cukup baik. Maka pernyataan itu bisa benar sekaligus juga salah. Parah?
Menurut saya, kaum posmo telah melangkah cukup jauh dari kaum modernis. Descartes yang idealis mencari kebenaran sejati berhasil merumuskan dualisme materi dan jiwa. Disusul Immanuel Kant berhasil merumuskan perpaduan pengetahuan empiris dengan pengetahuan apriori jiwa maka menghasilkan pengetahuan baru.
Dan puncaknya adalah rumusan dialektika Hegel. Setiap ide, tesis, perlu bertemu dengan anti tesis sehingga menghasilkan sintesis. Itulah bentuk pertumbuhan ilmu pengetahuan baru, sintesis baru. Benar saja sain terus berkembang bersama teknologi membentuk masyarakat modern.
Dialektika Hegel ini sering dipahami bahwa dua ide yang saling berkontradiksi akan menghasilkan ilmu baru berupa sintesis. Kontradiksi dalam pengertian ini justru bagus.
Ketika posmo melangkah lebih jauh dengan menerapkan kontrakdiksi Aristotelian ke sebarang proposisi. Maka kekacauan yang terjadi. Yang benar sekaligus salah. Yang salah sekaligus benar.
Penutup
Berhasilnya posmo meruntuhkan modernitas perlu kita lanjutkan dengan membangun peradaban baru, sistem filsafat baru. Belajar dari pengalaman filsafat kuno, filsafat timur, pencerahan, modernitas, dan terakhir posmodernitas maka kita punya bekal yang cukup untuk bangkit kembali.
Sejak tahun 1980-an (atau lebih awal), filsafat telah terkubur dalam reruntuhan modernitas oleh palu posmodernitas. Lebih dari 40 tahun berlalu. Saatnya melaju.
Bagaimana menurut Anda?