Akhirnya UU Ciptaker jadi apa?
Jadi bencana. Maka harus dicegah dengan demo besar-besaran. Itu adalah pandangan yang kontra terhadap omnibus law.
Bagi yang pro, UU Ciptaker adalah sarana untuk menyejahterakan rakyat. Tiap tahun membuka 4,5 juta lapangan kerja baru. Pengusaha lebih mudah mengembangkan usaha.
Baik yang pro atau pun yang kontra sama-sama belum punya bukti. Kata filosof analytic, semisal Bertrand Russel, tidak bisa dibuktikan keduanya. Tetapi kata Jean Paul Sartre, sang eksistensialis, justru kedua-duanya bisa benar-benar terjadi.

Kata Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Terbalik dengan barang misalnya cangkir. Untuk cangkir justru esensi mendahului eksistensi. Maksudnya, ketika cangkir akan dibuat maka esensi cangkir dibuat dulu. Cangkir bisa menampung air 200 ml, tahan panas, berwarna hitam, dan lain-lain. Setelah esensi terdefinisi maka selanjutkan dibuat cangkirnya, jadilah cangkir punya eksistensi.
Manusia berbeda dengan cangkir. Manusia berbeda dengan yang bukan manusia. Manusia eksis dulu lalu esensi bebas menyusul kemudian.
Pertama, seorang manusia ada – tanpa ada esensinya apa, hanya eksistensi saja. Kemudian, kedua, manusia bisa jadi dokter, sebagai esensinya. Manusia bisa jadi presiden, esensinya. Bisa juga jadi wakil rakyat. Boleh juga jadi pendemo. Semua bebas. Itulah manusia.
Maka benar saja UU Ciptaker bisa jadi apa saja. Maksudnya UU Ciptaker bisa jadi instrumen manusia untuk hidup sejahtera. Dan bisa juga UU Ciptaker jadi instrumen untuk merugikan manusia tertentu. Instrumen tetap instrumen. Tujuan pragmatis menjadi lebih penting, meminjam pandangan tokoh pragmatisme semisal Bernstein.
Ayo kawal UU Ciptaker agar menjadikan manusia Indonesia lebih sejahtera!
Bagaimana menurut Anda?