AlQuran adalah kitab suci yang luar biasa. Menjadi sumber inspirasi yang tiada habis-habisnya. Menjadi petunjuk untuk hidup bahagia hakiki di dunia ini dan akhirat nanti.
Namun demikian, logika manusia, menemukan beragam paradox dalam logika kitab suci. Barangkali bahkan ada yang mengira ada kontradiksi-kontradiksi dalam sudut pandang tertentu. Maka manusia perlu terus meluaskan cakrawala berpikir sepanjang masa.
Menumbangkan Akal
Paradox pertama adalah ketika kita membaca kitab dengan urutan dari awal. Setelah pembukaan, pada ayat pertama, AlQuran menyatakan, “Alif Lam Mim” di mana tidak ada satu orang pun yang tahu pasti artinya. Disusul dengan klaim, “Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya.”

Pembaca “dipaksa” untuk meyakini Quran bahkan ketika baru saja ia menyatakan sesuatu yang tidak diketahui maknanya yaitu Alif Lam Mim. Orang yang mengandalkan analisis rasional bisa tumbang di sini. Bagaimana bisa tidak ada keraguan? Baru saja menyatakan sesuatu yang tidak diketahui artinya kan?
Paradox ini hanya terjadi bagi mereka yang terlalu mengandalkan analisis rasio. Dalam kehidupan ini kita butuh lebih dari sekedar akal rasio. Kita butuh tindakan moral, butuh keyakinan, butuh pengorbanan, dan lainnya.
Perhatikan, selanjutnya, ALQuran justru menumbangkan akal rasio yang berlebihan. AlQuran menyatakan diri sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Jika Anda bertakwa maka Anda akan mendapat petunjuk, hidayah, dari AlQuran. Sementara orang yang tidak bertakwa, bisa jadi, tidak mendapat petunjuk meski baca AlQuran. Tentu saja ini klaim yang serius.
Namun AlQuran, selanjutnya, merinci orang-orang yang termasuk bertakwa: orang yang beriman dengan yang ghaib, mendirikan sholat, menginfaqkan hartanya, beriman kepada apa saja yang diturunkan kepadamu (Muhammad SAW) dan apa saja yang sebelummu, dan yakin kepada akhirat. Mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Singkatnya, AlQuran, berhasil menumbangkan akal rasio sejak awal-awal. Menuntut sikap beriman dan bertindak sesuai nilai moral yang tinggi.
Bagi Anda yang masih penasaran dengan paradox ini dan ingin meneliti bagaimana AlQuran memposisikan akal bisa meneliti paradox kedua, membaca dari urutan waktu: ayat pertama yang turun.
Menantang Akal
Ayat pertama AlQuran yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah “Bacalah!”
Perintah untuk membaca adalah yang pertama dari AlQuran. Tentu saja ini paradox di masanya, di mana, kegiatan membaca dan menulis adalah minim sekali. Dan perintah ini cocok sekali bagi orang-orang yang mengandalkan kekuatan rasio. Sesuai untuk orang-orang yang berpikir ilmiah. Membaca adalah kegiatan mengenali sesuatu yang diikuti oleh penyelidikan akal. Beda dengan sekedar membaca tulisan.
AlQuran memilih kata “iqra” bukan “tilawah” yang akar katanya sama-sama membaca. Seperti kita tahu, tilawah adalah kegiatan membaca teks dengan melantunkannya. Di Indonesia juga diselenggarakan lomba tilawah nasional di mana yang dinilai adalah suara dan nada bacaan AlQuran.
Sementara iqra adalah perintah membaca alam semesta disertai penyelidikan akal sehat. Buru-buru AlQuran tidak membiarkan perintah membaca, dan menyelidiki, secara serampangan. AlQuran menegaskan, “Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang menciptakan!” Ketika kita membaca, dan meneliti, sambil diiringi rasa kagum akan Maha Bijaknya Sang Pencipta. Dengan demikian penelitian kita punya arah untuk mengabdi kepada Tuhan, dan pasti bernilai kemanusiaan.
Cara baca holistik, seperti di atas, menjamin proses dan hasil bacaan bernilai baik. Beda dengan cara baca materialis yang mungkin saja tersesat mengumpulkan harta, menindas wong cilik, melayani nafsu serakah, dan resiko lainnya.
Masih dalam rangkaian ayat yang pertama turun, “(Tuhan) Yang mengajar dengan penulisan (qolam).” Barangkali tokoh posmo semaca Derrida akan senang sekali membaca ayat ini. Derrida mengklaim bahwa tulisan lebih utama dari ucapan – atau setidaknya imbang. Orang-orang pada umumnya menilai bahwa bahasa manusia yang asli adalah ucapan. Sedangkan tulisan hanya turunan, hanya perkembangan, dari bahasa ucapan itu, logosentris. Derrida mendobrak pandangan itu dan ingin membalik logosentrisme itu.
Tampaknya, ide Derrida mengutamakan tulisan lebih dari ucapan ini sejalan dengan AlQuran. Dalam bahasa Arab, tulisan (pena) adalah qolam yang mirip dengan ucapan yaitu kalam. Seandainya AlQuran memilih kalam maka itu akan cukup konsisten tetapi AlQuran memilih qolam, tulisan, sebagai cara Tuhan mengajar. Nyatanya sejarah Islam justru memilih “Kalam” sebagai disiplin berpikir teologis. Mengapa tidak memilih “Qolam”?
Jadi perlu kita catat di sini bahwa susunan kitab AlQuran yang terdiri dari bagian 1 sampai bagian 30, Juz 1 sampai dengan Juz 30, berbeda dengan urutan turunnya wahyu AlQuran itu sendiri. Maka bagi yang berminat berpikir analytic bisa membaca sesuai urutan turun wahyu. Sedangkan yang berminat berpikir kreatif otak kanan dapat membaca dari bagian 1, Juz 1. Bagi yang lebih praktis dapat membaca dari Juz terakhir. Itulah paradox ketiga.
Memicu Akal Praktis
Dalam tataran praktis, masyarakat muslim justru sering membaca AlQuran dari bagian terakhir yaitu Juz 30, inilah paradox ketiga menurut saya. Khususnya ketika anak-anak muslim mulai belajar membaca maka mereka akan diarahkan mulai dari bagian terakhir, bagian 30, Juz 30.
Saya menduga ini adalah perkembangan akal praktis dari masyarakat muslim. Di mana membaca Juz 30 adalah lebih praktis dan efisien. Ayat-ayat pada Juz 30 pendek, rima-nya unik, dan mudah dipahami bahkan mudah dihafalkan. Urutan membacanya pun bisa dimulai dari surat pertama (Annaba) atau bisa dari surat terakhir (Annas). Sehingga cara berpikir otak kiri, yang analyitic, dan cara berpikir otak kanan, yang kreatif, berpadu pada tataran praktis.
Saya membayangkan betapa senangnya Derrida, tokoh posmo itu, seandainya mengetahui komunitas muslim menerapkan “language game”-nya Wittgenstein dengan kreatif. Bahkan teori strukturalisme bahasa Saussure pun berhasil memunculkan inovasi baru dengan munculnya wacana kitab “turutan” dan kitab “iqra” yang berguna bagi pemula untuk membaca AlQuran.
Diskusi
Memperhatikan tiga paradox di atas saya menyimpulkan bahwa AlQuran sangat kuat menekankan peran keyakinan dan moral sejak bagian pertama AlQuran, Juz 1. Tetapi sejarah turunnya AlQuran justru mengangkat pentingnya peran akal analytic dengan perintah tegas membaca, “iqra.” Bagaimana pun masyarakat muslim berhasil melahirkan inovasi dengan membaca AlQuran dimulai dari bagian terakhir, Juz 30, bagi pemula.
Bagaimana menurut Anda?