Cinta ideal menjadi idaman setiap manusia. Keluarga ideal tampak begitu bahagia. Negara ideal sempurna tiada tara.
Sementara, di tempat lain, mahasiswa idealis adalah mahasiswa yang menuntut kebenaran. Mahasiswa idealis kadang tidak peduli dengan nilai kuliahnya, yang penting ia idealis, selalu membela kebenaran. Cowok idealis adalah mereka yang pilih-pilih calon istri dengan kriteria super ketat. Akibatnya, cowok idealis tidak menemukan istri. Bahkan pacar pun dia tidak punya. Cewek idealis bisa bernasib sama.

1. Doktrin Idealisme
2. Bantahan Argumen Idealisme
3. Rancunya Istilah Ide
4. Ketelitian
5. Diskusi
5.1 Berkeley
5.2 Kant
5.3 Hegel
5.4 Zizek
5.5 Chalmers
Tetapi ide idealisme adalah sesuatu yang jauh berbeda dari ideal mau pun idealis di atas. Bertrand Russell mencatat begitu beragamnya penggunaan istilah idealisme. Satu sama lain bisa saja saling bertentangan. Maka, di bagian ini, saya akan mengacu definisi idealisme dari Russell.

1. Doktrin Idealisme
Russell memahami idealisme sebagai suatu doktrin yang menyatakan bahwa apa pun yang eksis, atau yang bisa diketahui akan eksis, pasti dalam pengertian tertentu adalah bersifat mental. Dengan bahasa yang lebih sederhana, idealisme menyatakan bahwa dunia luar, alam eksternal, sejatinya tidak ada. Apa yang kita ketahui tentang meja, pohon, Rara yang cantik, dan lain-lain sejatinya adalah hanya pikiran kita – bersifat mental belaka.
Pandangan idealisme itu tampak absurd bagi kita orang awam. Seperti tidak masuk akal. Tetapi secara filosofis, idealisme, dianut secara luas dan punya pengaruh besar. Maka sebelum melangkah lebih lanjut kita, di bagian ini, perlu membahas dengan tuntas idealisme ini.
Pada bagian awal bukunya, Russell menyatakan bahwa idealisme, bagaimana pun, bisa menjadi sebuah sistem filsafat yang koheren. Di bagian selanjutnya, Russell menunjukkan sesatnya idealisme. Argumen Russell, menurut saya, sah di berbagai bagian tetapi perlu hati-hati di bagian lainnya.
2. Bantahan Argumen Idealisme
Idealisme, umumnya, bersandar kepada epistemologi. Di mana, menurut mereka, manusia diragukan mampu mengetahui dunia alam eksternal. Akibat keraguan ini maka mereka melangkah lebih jauh dengan menyatakan dunia alam eksternal, sejatinya, tidak ada. Yang ada hanya pikiran kita yang bersifat mental. Russell berhasil menunjukkan cara berpikir idealisme ini adalah sesat.
Berkeley, filsuf pendukung idealisme, menyatakan bahwa data-indera (atau impresi-indera) kita tidak akan bisa memiliki esksistensi yang mandiri. Artinya data-indera pasti akan hancur jika kita tidak sedang berpikir, melihat, mendengar, merasa, atau menginderanya. Maka data-indera bersifat mental – sebagian atau seluruhnya. Dan tidak ada yang bisa kita ketahui tentang dunia luar kecuali hanya data-indera yang bersifat mental, yang berupa ide kita sendiri. Jika ada sesuatu yang tidak kita pikirkan, misal sebatang pohon, itu pasti karena sedang dipikirkan oleh orang lain, itu adalah ide orang lain. Dalam versi yang lain, benda yang tidak sedang saya pikirkan tapi realitasnya ada dunia luar misal sebatang pohon, itu karena dipikirkan oleh Tuhan – idenya Tuhan.
Argumen Berkeley di atas ada bagian yang valid dan ada yang sesat. Berkeley benar ketika mengatakan bahwa apa yang kita lihat adalah data-indera belaka bukan benda apa adanya, bukan pohon sejati misalnya. Tetapi Berkeley tersesat ketika menyimpulkan tidak pernah ada pohon sejati di alam luar. Dan Berkeley sendiri ragu ketika mengatakan ada pohon lain di luar sana, meskipun buru-buru dia tambahkan itu pasti ada dalam pikiran orang lain.
Keraguan Berkeley dapat kita perluas. Misalnya perhatikan bagian belakang rembulan, yang tidak pernah terlihat dari bumi, karena yang kita lihat selalu bagian depan rembulan. Tetapi bagian belakang rembulan pasti ada meski kita tidak melihatnya dan kita tidak memikirkannya. Berkeley buru-buru menambahkan bahwa bagian belakang rembulan ada karena dipikirkan oleh Tuhan. Sudah cukup kiranya, kita bisa menolak argumen idealisme Berkeley.
Untuk membuktikan bahwa eksistensi pohon benar-benar ada di alam eksternal bisa kita lakukan dengan beragam cara seperti yang sudah kita bahas di bagian sebelumnya. Misal kita mengajak orang lain mengamati pohon bergantian. Pohon tetap ada ketika kita tidak memikirkannya. Jadi pohon tidak berada dalam pikiran kita. Bisa juga kita memasang kamera yang merekam pohon itu lalu kita tinggalkan. Kemudian kita cek kamera, rekamannya, menunjukkan pohon benar-benar ada. Baik ketika kita sedang memikirkannya atau tidak.
3. Rancunya Istilah Ide
Russell mencatat ada kerancuan ketika Berkeley menggunakan istilah “ide”. Sehingga Berkeley jadi ragu-ragu.
Pertama, ketika kita melihat pohon di depan rumah maka akan muncul “gambaran” pohon dalam pikiran kita. Berkeley menggunakan istilah “ide” untuk “gambaran” pohon dalam pikiran manusia.
Kedua, ketika kita mengatakan dua pohon ditambah tiga pohon sama dengan lima pohon maka kita memikirkan konsep umum tentang pohon. Bukan pohon tertentu yang ada dalam realitas dunia eksternal. Konsep umum ini juga disebut “ide” oleh Berkeley. Dan benar adanya bahwa ide pohon untuk kasus ini hanya ada dalam pikiran manusia.
Ketiga, karena terbukti pada kasus kedua bahwa ide pohon hanya ada di pikiran manusia maka pada kasus pertama ide pohon juga ada di pikiran manusia. Kesimpulan ini juga valid. Selanjutnya, kesimpulan yang salah, Berkeley meyakini ide pohon hanya ada dalam pikiran dan tidak ada pohon sejati di alam eksternal.
Berkeley boleh menggunakan ide pohon pada kasus kedua dan hanya ada dalam pikiran. Seharusnya, untuk kasus pertama, Berkeley menggunakan istilah lain misal data-indera (atau impresi-indera). Di sini kita sepakat data-indera (impresi-indera)memang ada dalam pikiran manusia. Tetapi di saat yang sama, data-indera (impresi-indera) membuktikan, bersesuaian, adanya realitas pohon sejati di alam eksternal – seperti sudah kita tunjukkan di atas.
4. Ketelitian
Tampaknya Russell begitu bersemangat menolak idealisme, semisal pandangan Berkeley. Menurut saya, Russell melangkah terlalu optimis menyatakan bahwa manusia benar-benar bisa melihat pohon di alam eksternal. Sejatinya, kita hanya bisa melihat pohon di alam eksternal hanya dengan estimasi saja. Jadi, kita hanya bisa ada di posisi tengah antara dua ekstrem.
Ekstrem satu adalah pandangan idealisme yang menyatakan tidak ada realitas pohon sejati di alam eksternal karena kita sama sekali tidak bisa melihat alam eksternal. Dan ekstrem kedua adalah pandangan yang menyatakan bahwa kita benar-benar bisa melihat pohon yang ada di alam eksternal. Posisi di tengah, lebih hati-hati dan teliti, adalah kita bisa melihat alam eksternal hanya sebagai pendekatan atau estimasi belaka.
Saya kira, Immanuel Kant, filsuf abad 18-19, yang berhasil meyakinkan bahwa yang kita lihat adalah sekedar penampakan atau fenomena dari hakikat alam. Filsuf selanjutnya menguatkan pandangan Kant tersebut semisal Schopenhauer, Husserl, sampai Sartre. Bahkan sebelum Kant, Sadra filsuf abad 17, lebih tegas dengan menegaskan identitas “yang melihat” dengan “yang dilihat”.
Semua filsuf yang kita sebut di atas menolak idealisme, semisal idealisme Barkeley. Meski pengetahuan manusia memiliki batasan tertentu untuk mengenali alam eksternal, mereka dan kita, yakin bahwa alam eksternal eksis secara obyektif. Sifat-sifat lebih detil dari pengetahuan manusia ini akan menjadi bahasan kita di bagian selanjutnya. Di antaranya pengetahuan melalui pengenalan dan pengetahuan melalui deskripsi.
5. Diskusi
Kita perlu bersikap adil terhadap idealisme. Di bagian ini, kita akan mendiskusikan tema idealisme dari sudut pandang pendukung idealisme itu sendiri. Sehingga, kita bisa memahami idealisme dengan lebih baik dan bersikap tidak melampaui batas.
5.1 Berkeley
Berkeley (1685 – 1753) adalah pemikir besar pertama yang mengembangkan idealisme. Berkeley sangat cerdik merumuskan idealisme. Berbeda dengan kritik Russell, yang kita bahas di atas, argumen Berkeley sangat kuat.
(A) Idealisme epistemologi: semua pengetahuan kita adalah ide kita atau bersifat mental.
(B) Idealisme ontologi: semua realitas adalah ide kita atau bersifat mental.
Berkeley meyakini (A) idealisme epistemologi dan menolak (B) idealisme ontologi. Tetapi, para kritikus menimpakan (B) idealisme ontologi kepada Berkeley. Kritik semacam itu tidak layak. Saya bisa memahami Kant mengkritik keras Berkeley lantaran Kant tidak membaca buku Berkeley yang dalam bahasa Inggris. Sementara, Kant fasih dalam bahasa Jerman. Yang mengherankan, bagaimana Russell yang sejak lahir berbahasa Inggris juga melakukan kritik sama kerasnya kepada Berkeley.
Argumen Berkeley bisa kita ringkas sebagai berikut.
(K): Pengetahuan-baru manusia terhadap obyek luar adalah bersifat mental.
(L): Agar pengetahuan-baru ini tidak hanya bersifat mental maka kita bisa membandingkan dengan pengetahuan-lama yang sudah teruji.
(M): Tetapi, pengetahuan-lama itu sendiri, minimal pada mulanya, adalah bersifat mental.
(N) Seluruh pengetahuan kita, lama atau baru, adalah bersifat mental.
Argumen di atas menunjukkan komitmen idealisme epistemologi. Selanjutnya, Berkeley justru ingin menunjukkan eksistensi obyek luar, realisme ontologi. Obyek luar ada secara obyektif karena ada orang-orang tertentu yang sedang memikirkannya. Jika tidak ada orang yang sedang memikirkannya, tetapi obyek luar tetap ada, maka hal itu disebabkan oleh pikiran Tuhan.
Apakah kita bisa mengetahui obyek luar seperti mereka apa adanya? Bukan sekedar mental kita, bukan sekedar ide kita, bukan sekedar imajinasi kita? Pertanyaan ini adalah pertanyaan besar filosofis sepanjang masa.
5.2 Kant
Kant (1720 – 1804) secara tegas menolak idealisme tetapi banyak pemikir mencurigai Kant sebagai idealis. Di masa hidupnya, Kant sudah membantah kecurigaan semacam itu. Bantahan dari Kant ini, tidak serta-merta menyelamatkannya dari tuduhan idealisme.
Pertama, Kant membagi dunia menjadi fenomena dan noumena. Semua penampakan dunia yang kita lihat adalah sekedar fenomena, sekedar penampakan. Sementara, realitas sejati tetap tersembunyi di dunia noumena. Dengan demikian, Kant termasuk dalam idealisme epistemologi.
Kedua, pengetahuan kita terbentuk oleh sintesa antara data empiris dari luar dengan kategori skemata – deduksi transendental. Data empiris ini tidak bermakna apa-apa tanpa deduksi transendental. Sehingga, penentu akhir dari pengetahuan kita adalah deduksi transendental. Pandangan ini cukup memadai untuk menganggap Kant sebagai idealis.
Bagaimana pun, Kant sudah membela diri di masa hidupnya. Dunia noumena, hakikat, bisa kita buktikan dengan pemikiran mendalam. Memang, pengamatan empiris belaka tidak memadai. Dalam deduksi transendental, skemata menyediakan kerangka berpikir yang masih kosong dari konten apa pun. Skemata ini menjadi bermakna ketika ada konten berupa data empiris sehingga terbentuk sintesa. Dengan demikian, data empiris punya peran penting dalam sintesa pengetahuan.
Dalam kesempatan ini, kita tidak perlu membela Kant. Karena, Kant sudah bisa membela diri. Dan sampai sekarang, perdebatan idealisme Kant ini masih tetap hangat.
5.3 Hegel
Hegel (1770 – 1831) memproklamirkan diri sebagai idealis absolut. Menariknya, tidak banyak kritikus yang menyerang sikap idealis Hegel ini. Lebih banyak kritikus, menyerang konsep dialektika kontradiksi dari Hegel. Barangkali, tema dialektika ini dianggap jauh lebih penting dari idealisme itu sendiri.
Hegel menggunakan kata spirit (geist) dengan cara kreatif. Pengetahuan kita, pikiran kita, dan kondisi mental kita, semua adalah spirit. Lebih dari itu, dunia eksternal misal pohon, meja, kursi, dan lain-lain juga termasuk sebagai spirit. Dunia materi adalah spirit yang menampakkan diri. Karena segala sesuatu adalah spirit maka pandangan ini disebut sebagai idealisme (spirit).
Awalnya, ketika bayi, spirit masih kecil. Kemudian, spirit ini berhadapan dengan dunia nyata, non-spirit. Terjadi proses dialektika antara spirit dengan non-spirit dan terbentuklah spirit-baru yang lebih besar, dengan cara, merangkul spirit dan non-spirit. Tetapi, spirit-baru itu sendiri, sejatinya, spirit juga. Maka, dia akan berdialektika dengan non-spirit lagi. Begitu seterusnya sampai meraih spirit absolut.
Memperhatikan konsep di atas, kita mendapati bahwa Hegel menggunakan kata “idealisme” berbeda dengan penggunaan pada umumnya. Idealisme (spirit) ini tetap mengakui eksistensi dunia luar bahkan mengklaim mampu “mengetahui” dunia luar dengan sempurna, ideal, ketika berhasil meraih spirit absolut. Dari sini, kita menyadari keragaman makna dari idealisme itu sendiri.
5.4 Zizek
Zizek (lahir 1949) bertekad menghidupkan kembali pandangan Hegel dengan “dialektika materialisme.” Padahal Hegel, lebih tepat, kita gambarkan sebagai “dialektika spiritual.” Pergeseran dari spirit menjadi materi, tentu saja, berdampak besar. Karena, dengan cara yang sama, kita bisa menggeser idealisme-spirit menjadi idealisme-materi. Dan, itu yang terjadi.
(A): Segala sesuatu adalah materi
(B): Subyek saya adalah kulo adalah void
(C): The Real adalah Nothing
Segala sesuatu yang ada (A) berdialektika dengan the Real (C) maka terbentuklah (A) yang baru, kemudian, berdialektika terus tanpa henti karena (A) memang berhadapan dengan Nothing – tanpa henti, tanpa batas, ketiadaan segalanya.
Lalu, bagaimana bisa muncul pengetahuan, kesadaran, atau subyek kulo?
Awalnya, justru hanya ada void yaitu subyek kulo. Tapi, void itu adalah kehampaan, yaitu, kehampaan yang mengandung segalanya. Void adalah kehampaan yang sedang hamil besar. Void tidak punya basis karena void sendiri memang hampa. Kemudian terjadi big bang ontologis lahirlah the Real dan being. The Real adalah sumber eksistensi dari being. The Real selalu memberi keberlimpahan kepada seluruh being.
Tetapi, being itu sendiri tidak punya ilmu, tidak punya kesadaran, tidak punya indera. Void merobek being. Luka sayatan oleh void terhadap being itulah yang menghasilkan pengetahuan. Being membuka mata, melihat dunia melalui lubang void. Karena void memang hampa, transparant, maka being hanya melihat being. Dan perlu diingat, proses dialektika terus berlangsung.
Mari kita ringkas posisi idealisme versi Zizek sejauh ini. (A) Segala sesuatu yang ada adalah materi. (B) Subyek kulo meski tampak ada, sejatinya, adalah void yaitu kehampaan. Seluruh subyek kulo, pada analisis akhir, adalah void. (C) The Real, jelas-jelas, punya peran besar. The Real adalah sumber-tanpa-batas bagi being dan tujuan-tanpa-batas dari gerak being. Sesuatu yang tanpa-batas seperti itu adalah nothing. Sehingga, pada analisis akhir, the Real adalah Nothing. Jadi, yang benar-benar ada adalah (A) Segala sesuatu yang ada adalah materi. Terbentuklah idealisme-materi.
Tentu saja, banyak pemikir yang tidak setuju dengan Zizek. Saat ini, masih terus berlangsung perdebatan hangat tentang ide-ide Zizek. Saya sendiri mengamati titik kesulitannya ada pada konsep void sebagai kehampaan yang mengandung keragaman. Bagaimana keragaman bisa tetap hampa?
5.5 Chalmers
Chalmers (lahir 1966) adalah pemikir tentang filsafat pikiran. Chalmers terkenal dengan formulasi “The Hard Problem of Consciousness”: bagaimana kesadaran sebagai subyek kulo bisa muncul dari otak manusia? Sampai sekarang, 20 tahun lebih telah berlalu, belum ada solusi memuaskan terhadap problem kesadaran itu.
Kali ini, kita akan fokus kepada perspektif idealisme dari Chalmers. Sejatinya, Chalmers adalah pemikir analytic, empiris, rasional, dan mengandalkan sains. Dengan situasi seperti itu, yang menarik, Chalmers tetap bersikap terbuka terhadap prospek idealisme. Chalmers sering merujuk kembali ke Descartes.
Descartes berhasil membuktikan eksistensi dirinya dengan dalil cogito. Kemudian, membuktikan eksistensi dunia eksternal. Tetapi pertanyaan tentang apa sejatinya dunia eksternal, Descartes tidak berhasil menjawab dengan meyakinkan. Dunia luar semisal pohon, meja, kursi, dan lain-lain, bisa saja, hanya ilusi.
Bisa saja, ada setan-super-cerdas yang menciptakan ilusi tentang dunia luar. Setan itu menipu seluruh umat manusia dengan ilusinya yang canggih. Setiap usaha manusia untuk keluar dari dunia ilusi, hanya akan, mengantarkan manusia masuk ke dunia ilusi yang satunya.
Atau, bisa saja, saat ini, sebenarnya, kita hanya hidup di dunia mimpi. Apa pun usaha kita untuk terjaga dari mimpi, hanya akan, mengantarkan kita hidup di dunia mimpi berikutnya.
Di era digital saat ini, kita mudah membayangkan bahwa realitas seluruh alam raya hanyalah simulasi digital. Bahkan diri kita, kesadaran diri kita, adalah simulasi. Kita seperti sedang berada dalam game-simulasi yang tampak nyata. Kehendak bebas kita hanyalah kode-kode program tingkat tinggi. Indahnya ketika Anda jatuh cinta juga merupakan bit-bit simulasi.
Kita tidak bisa keluar dari simulasi ini. Karena, setiap kita berhasil keluar dari simulasi hanya mengantar kita masuk ke simulasi yang lebih besar lagi. Kita berada dalam idealisme-simulasi. Segala sesuatu adalah simulasi.
Chalmers menyadari bahwa tidak ada cara valid untuk membantah klaim idealisme-simulasi. Karena, setiap argumen kita masuk dalam kategori simulasi itu sendiri. Russell sudah menyadari kesulitan semacam ini dalam membantah idealisme satu abad yang lalu. Apa alternatif yang kita miliki?
Chalmers melangkah lebih jauh. Seandainya realitas semesta ini adalah simulasi maka simulasi tersebut tetap jadi realitas semesta, tidak kurang, tidak lebih. Maksudnya, asumsikan dunia adalah simulasi, ketika “Anda menghormati ibu” di dunia simulasi sekarang ini, maka, sama nilainya dengan “Anda menghormati ibu” di dunia nyata. Ketika “Anda kenyang makan sepiring nasi” di dunia simulasi ini, maka, sama nilainya dengan “Anda kenyang makan sepiring nasi” di dunia nyata. Begitu juga ketika “Penjahat dihukum akibat kriminal” di dunia simulasi ini, maka, sama nilainya dengan “Penjahat dihukum akibat kriminal” di dunia nyata.
Pandangan idealisme-simulasi tidak mengubah apa pun, yang bernilai, dari pandangan realisme.
Tetapi, bukankah “memiliki kebun anggur” di simulasi komputer berbeda dengan “memiliki kebun anggur” di dunia nyata? Begitu juga, bukankah “memiliki kekasih” di simulasi komputer berbeda dengan “memiliki kekasih” di dunia nyata? Benar. Mereka memang berbeda. Tidak ada masalah dalam perbedaan itu. Status ontologi mereka memang beda.
“Memiliki kekasih” di simulasi komputer sama nilainya dengan “Memiliki kekasih” di simulasi komputer itu sendiri. Tetapi memang berbeda dengan “Memiliki kekasih” di dunia nyata. Meski berbeda, tidak berimplikasi bahwa “Memiliki kekasih” di dunia komputer menjadi tidak bernilai. Semua realitas virtual, simulasi komputer, tetap memiliki nilainya sendiri. Tugas kita, selanjutnya, adalah memberi nilai yang tepat terhadap realtias virtual. Atau menguatkan nilai dari realitas virtual digital.
Di era pandemi covid, kita memberi nilai tinggi terhadap realitas virtual digital. Sebagian besar orang bekerja secara virtual, sekolah secara virtual, dan melakukan pertemuan secara virtual. Semua realitas virtual seperti itu bernilai tinggi – meski tetap beda dengan realitas nyata. Sebaliknya, realitas virtual juga bisa berbahaya. Terjadi penipuan di media sosial, pencurian uang digital, dan beragam kejahatan dunia digital. Sama juga, di dunia nyata juga bisa terjadi kejahatan.
Sehingga, masalahnya bukan karena ada perbedaan antara realitas dunia nyata dengan dunia virtual, tetapi, bagaimana kita memberi nilai yang tepat dan bersikap terhadap dua dunia itu. Dan, trend sekarang makin menunjukkan bahwa peran dunia virtual makin besar. Kita perlu menyambut, dengan gembira dan waspada, akan kedatangan gelombang dunia virtual di seluruh penjuru dunia.
Dari beberapa diskusi kita di atas, kita tidak menemukan pemikir serius yang berkomitmen terhadap idealisme-ontologi. Komitmen idealisme hanya terjadi pada wilayah epistemologi. Pandangan dan istilah idealisme itu sendiri beragam. Beberapa di antara pandangan idealisme itu, justru membuka wawasan lebih luas bagi umat manusia.
Saya memandang perlu untuk mendiskusikan tema idealisme di sini secara lebih mendalam karena pembahasan kita selanjutnya, tema-tema selanjutnya, cenderung memilih latar realisme dari idealisme. Dengan diskusi ini, saya berharap, kita bisa memberi apresiasi yang layak kepada idealisme.
Lanjut ke Pengetahuan Pengenalan dan Deskripsi
Kembali ke Philosophy of Love
Tinggalkan komentar