Einstein merumuskan teori relativitas, sukses luar biasa. Bahkan ada dua teori ralativitas: khusus dan umum. Relativitas ini sudah menghancurkan teori Newton yang sudah menguasai jagad raya sekitar 200 tahun. Fisika Newton terasa kuno, hanya cocok bagi pemula. Bagi yang mahir harus ke fisika Einstein: relativitas.

Jika segala sesuatu relatif maka apa yang bisa kita sepakati? Apa yang bisa jadi pegangan? Apa yang bisa jadi ukuran?
Tidak perlu khawatir. Karena relativitas Einstein itu tidak relatif tetapi mutlak. Nilainya pasti. Bisa diukur. Jadi aman-aman saja. Jadi relativitas Einstein itu tidak mendukung relativisme. Justru menolak relativisme tapi memang mendukung pluralisme. Wah, apa pula itu?
Pluralisme adalah mengakui adanya keragaman yang hidup saling respek, koeksistensi. Kita perlu saling hormat. Ini adalah realitas kehidupan. Maka kita perlu menerima pluralisme. Dalam contoh yang sederhana, ada manusia, ada hewan, ada tumbuhan, ada batu, dan lain-lain.
Relativisme, dalam sebuah pandangan, adalah menganggap tidak adanya ukuran pasti. Semua serba relatif. Semua serba boleh. Maka ini perlu kita tolak. (Sementara paham relativisme yang lain bisa kita terima, semisal relativitas dalam sains fisika).
Relativitas Sains
Seperti saya sebut di atas, relativitas sains itu tidak relatif. Istilah relativitas digunakan untuk menyatakan kecepatan relatif. Karena konsep kecepatan memang harus diukur kepada suatu acuan tertentu. Hubungan suatu benda dengan benda lain yang bergerak disebut sebagai “relasi” maka bersifat “relatif”.
Contoh, mobil Joko bergerak dengan kecepatan 60 km/jam. Mobil Bowo, 40 km/jam. Maka kecepatan relatif Joko terhadap Bowo adalah 60 – 40 = 20 km/jam. Tetapi hal itu tidak relatif, namun mutlak. Jika Joko diganti Agus, dan Bowo diganti Budi maka kecepatan relatif mereka tetap 20 km/jam.
Joko diganti siapa pun, Bowo diganti siapa pun, maka hasilnya tetap pasti 20 km/jam. Tidak ada yang relatif. Hasilnya eksak.
Relativitas tidak mengajarkan relativisme tapi menunjukkan pluralisme.
Pluralisme Selalu
Plural, beragam, jamak, berbeda-beda, tidak seragam, tidak sama, dan lain-lain adalah realitas alam. Sains, filsafat, dan agama mengakui adanya keragaman. Maka kita perlu respek terhadap pluralisme ini.
Kembali kepada contoh Joko kecepatan 60 km/jam, Bowo 40 km/jam, dan tambahkan Citra kecepatan 30 km/jam. Sudah jelas mereka berbeda dalam hal kecepatan mengemudi mobil. Lagi-lagi menunjukkan realitas pluralisme. Dan bila kita mencoba menerapkan teori relativitas Einstein, Newton, mau pun Galileo maka kita hanya mendapat pluralisme bukan relativisme.
Kecepatan Joko terhadap Bowo = 60 – 40 = 20 km/jam
Kecepatan Joko terhadap Citra = 60 – 30 = 30 km/jam
Kecepatan Bowo terhadap Citra = 40 – 30 = 10 km/jam
Perhitungan sains di atas tidak menunjukkan relativisme sama sekali. Tetapi menunjukkan pluralisme belaka. Nama-nama mereka bisa kita ganti dengan Agus, Budi, dan Cinta. Hasilnya akan tetap eksak sama.
Politik Relatif atau Plural
Dalam realitas yang lebih luas, misal politik, bisnis, agama, olah raga, dan lain-lain hanya akan menunjukkan pluralisme tapi bukan relativisme.
Misal partai republik setuju untuk menambah anggaran, di sisi lain, partai demokrat tidak setuju untuk menambah anggaran. Perbedaan kedua partai tersebut adalah pluralisme. Masing-masing punya cara analisis, ukuran, dan pertimbangan tersendiri.
Memang bila kita memperhatikan tokoh posmo misal Lyotard, apa lagi Derrida, tampak memanfaatkan language game tanpa batas. Akibatnya segala sesuatu seperti relatif padahal sekedar plural. Karena masing-masing language game punya rule berbeda yang tidak bisa saling dipertukarkan. Justru, rule ini, menurut Wittgenstein sang penemu language game, untuk memudahkan memahami bahasa yang beragam itu.
Mari kita coba ambil contoh game dalam olah raga: sepak bola versus basket (bola). Di mana sepak bola, aturan utamanya, memainkan bola dengan kaki. Mereka yang menggunakan tangan dianggap melanggar rule. Sementara basket, aturan utamanya, justru memainkan bola dengan tangan. Mereka yang menggiring bola pakai kaki dianggap melanggar rule.
Sepak bola menjadi seru, berjalan dengan baik, meriah karena menerapkan aturan main pakai kaki. Bayangkan apa yang terjadi jika wasit menghakimi sepat bola pakai aturan basket. Ketika pemain menendang bola maka ditegur oleh wasit, dikenai sanksi kartu kuning. Sepak bola tidak bisa jalan dengan aturan basket. Begitu juga basket tidak bisa jalan dengan aturan sepak bola. Masing-masing hanya valid dengan aturan mereka sendiri.
Pertanyaan selanjutnya, apakah aturan sepak bola tidak pernah berubah? Tentu saja peraturan sepak bola terus-menerus direvisi, berubah agar permainan sepak boleh lebih seru, fair, dan berkembang.
Kembali ke dunia politik, apakah aturan politik perlu direvisi? Tentu saja perlu terus direvisi demi kebaikan bersama.
Tolak relativisme, terima pluralisme.
Bagaimana menurut Anda?