Kabar duka. Kematian orang yang dicinta selalu menghujam, terdalam, ke diri manusia. Baru-baru ini, kita mendapat kabar kecelakaan pesawat Sri Wijaya yang menewaskan puluhan orang. Duka untuk seluruh warga.
Salah satunya, seorang bapak, bernama Dedi sebutan, yang sudah siap menunggu di bandara pontianak sejak siang. Dari pagi, Pak Dedi bersiap menjemput kedatangan istri dan 3 anaknya dari Jakarta. Siang hari, Pak Dedi bersenda gurau, bahagia, melalui WA keluarga. Sore harinya, Pak Dedi menunggu dan hanya menunggu di bandara Pontianak. Istrinya dan 3 orang anaknya terbang bersama Sri Wijyaya dari Jakarta. Kecelakaan di udara. Meninggal semua. Hanya air mata yang tak reda, Pak Dedi di bandara. Tidak punya siapa-siapa. Seluruh keluarga telah tiada.
![70+ Kata Ucapan Belasungkawa | Sopan, Bijak, Singkat, Menyentuh Hati [Lengkap] | Kata-kata mutiara, Katolik, Bijak](https://i.pinimg.com/736x/40/a0/4a/40a04aafcda9660ef45e5710ef7e91e4.jpg)
Mati adalah misteri manusia sejati.
Mati dengan cara yang wajar, misal kerena sudah tua, tetap menembus ke hati. Apa lagi mati yang tidak diharapkan, misal karena kecelakaan atau wabah penyakit, tentu makin menusuk nurani.
Tetapi itu semua, kita melihat dari sisi orang yang hidup. Dari sisi orang yang ditinggal mati. Bagaimana mati jika dilihat dari sisi orang yang mengalami sendiri? Bagaimana jika diri kita yang mati?
Manusia sejati
Manusia sejati pasti mati. Mati adalah eksistensi sejati yang dimiliki manusia sejati. Begitu menurut pendapat Martin Heidegger, pemikir Jerman abad 20. Kita bisa pura-pura kaya, pura-pura bahagia, pura-pura terpesona. Kita juga bisa pura-pura menderita, pura-pura kecewa, dan pura-pura putus asa. Tetapi kita tidak bisa pura-pura mati. Pada waktunya pasti mati secara hakiki.
Data empiris menunjukkan bahwa setiap orang di masa lalu, akhirnya, mati. Orang-orang di jaman sekarang dan masa datang juga diperkirakan akan mati. Meski ini hanya perkiraan, dari berpikir induksi, tetapi kepastiannya hampir pasti benar. Kita akan mati. Tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa kita tidak akan mati.
Mati adalah sempurna sejati
Dari sisi orang yang ditinggalkan, mati adalah duka. Dari sisi orang yang mengalami, orang yang mati, kematian adalah kesempurnaan. Demikian menurut Sadra, pemikir Persia abad 17. Ketika kita mati bukan berarti kita hilang dari alam semesta. Mati justru mengantarkan kita ke alam yang lebih sempurna. Jiwa kita, ruh kita, bergerak lebih sempurna dengan mengalami kematian badan. Melepaskan badan di dunia ini untuk terus melanjutkan perjalanan diri yang masih panjang.
Orang yang bersiap menghadapi mati, menyiapkan amal terbaik dengan modal yang ada adalah manusia sejati menurut Heidegger. Sebaliknya, orang yang melupakan kematian, menyibukkan diri dengan dunia, memenuhi urusan ini itu dari pagi sampai malam, justru termasuk munafik – tidak otentik. Untuk jadi manusia sejati kita harus selalu sadar bahwa kita sedang menuju mati, memberikan yang terbaik untuk seluruh eksistensi kita.
Konsep husnul khotimah, akhir yang sempurna, adalah ajaran terbaik dari Nabi Muhammad, Nabi abad 7, yang mengajak umat manusia untuk secara sengaja menyiapkan diri meraih kematian yang sempurna. Demikian menurut Pak Muh Zuhri, pemikir Indonesia abad 21. Semua gerak kita, diam kita, tidur kita, kita arahkan untuk meraih husnul khotimah.
Mati lebih dari sekali
Bahkan kita, sejatinya, membutuhkan mati lebih dari sekali. Kita butuh mati berkali-kali. Menjadi manusia sejati berkali-kali. Demikian menurut Rumi, pemikir Timur abad 12. Matilah sebelum mati. Tentu saja bukan mati fisik. Tetapi matinya ego untuk hidup kembali menjadi manusia sejati.
Kita membutuhkan pemimpin yang telah “mati,” pemimpin yang telah selesai dengan dirinya. Pemimpin yang tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi. Tidak pernah ada korupsi. Pemimpin yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengabdi ke rakyat. Memberikan pemikiran dan kebijakan terbaik untuk seluruh rakyat.
Pemimpin idaman itu ada di sana, di kursi para pejabat dan penguasa dunia. Tetapi kita lebih dari itu. Kita butuh pemimpin itu ada di sini. Di dalam diri kita ini. Kita butuh pemimpin ini, di sini, di saat ini. Pemimpin itu adalah diri kita sendiri. Yang menuju mati. Yang diharapkan sudah mati sebelum mati.
Bagaimana menurut Anda?