Waktu dan Ruang Hanya Angan

Tidak masalah jika waktu dan ruang itu hanya angan-angan. Yang jadi masalah adalah jika uang hanya ada di angan-angan. Uang harus nyata untuk membiayai kehidupan nyata. Bukankah begitu? Benar begitu dari sisi praktis. Dari sisi yang lebih mendalam, banyak hal yang kita pelajari dari ruang dan waktu, lebih-lebih, dari uang itu sendiri.

Image | Massive Bodies Warp Space-Time | LIGO Lab | Caltech

Masalah ruang dan waktu, space time, sudah menyusahkan para pemikir dari awal sejarah sampai jaman kontemporer, postmodern ini. Beberapa pemikir menyatakan bahwa ruang waktu ada secara obyektif. Umumnya saintis meyakini ini. Newton termasuk yang dengan canggih mengolah ruang dan waktu menjadi sains dan teknologi. Berikutnya, Einstein melakukan beragam inovasi tentang ruang dan waktu dengan teori relativitas yang memungkinan melengkungkan, membelokkan, ruang dan waktu. Waktu obyektif ini disebut sebagai waktu ilmiah oleh Bang Armahedi Mahzar.

Sementara beberapa tokoh menyebut waktu dan ruang hanya bersifat subyektif – atau intersubyektif. Bang Armahedi menyebutnya sebagai waktu sejarah. Perkembangan teknologi yang makin canggih serba cepat memungkinkan pemanfaatan waktu sampai mikro atau nano detik sehingga kita bisa menyebutnya sebagai waktu teknologis. Ketika semua hal, manusia dan teknologi, terhubung melalui dunia siber, dunia internet, dunia digital, maka makin lengkap membentuk waktu mayantara.

1. Waktu Benar Nyata
2. Waktu Hanya Ilusi
3. Waktu Ada Secara Derivatif

Kali ini kita akan lebih fokus kepada eksistensi ruang dan waktu: apakah benar-benar ada? Atau sekedar hanya di angan-angan belaka?

1. Waktu Benar Nyata

Waktu dan ruang benar-benar ada bagi para saintis, ilmuwan, seperti kita sebut di atas. Bahkan, menurut Russell, sains dan teknologi bisa menciptakan lebih banyak ruang dan waktu. Lebih dari sekedar ruang berdimensi 3 ditambah waktu berdimensi 1. Saya menduga bahwa Russell merujuk ke Hilbert Space yang mampu menciptakan ruang vektor berdimensi n, yang lebih besar dari 4.

Tetapi, keyakinan bahwa ruang dan waktu ada secara obyektif ini menghadapi pertanyaan berat yang sulit dijawab.

Jika waktu ada maka sejak kapan ada waktu?
Jika ruang ada maka berada di mana ruang itu?

Saintis. tampaknya, tidak berminat menjawab pertanyaan berat itu. Pun bukan tugas ilmuwan untuk menjawabnya. Barangkali tugas para filosof untuk menjawab dengan baik. Tugas ilmuwan adalah mengolah ruang dan waktu agar menjadi sesuatu yang bermanfaat optimal bagi kemanusiaan.

Kita, dalam kehidupan sehari-hari, dengan mudah meyakini adanya ruang dan waktu. Kita biasa membeli air 1 liter yang disimpan dalam botol di ruang depan. Kita biasa membuat janji bertemu 3 hari setelah hari ini dengan waktu yang sama.

2. Waktu Hanya Intuisi

Immanuel Kant, pemikir abad 18, menyatakan bahwa waktu adalah hanya intuisi manusia. Maka waktu tidak ada secara obyektif. Demikian juga dengan ruang juga hanya intuisi manusia. Kita bisa merujuk ke Parmenides, pemikir abad 6 sebelum masehi, yang menyatakan bahwa semua opini, termasuk ruang dan waktu, sejatinya tidak ada.

Kant menyatakan bahwa ruang adalah intuisi kita tentang geometri. Ketika kita memikirkan “persegi” maka intuisi kita menciptakan suatu ruang yang ditempati oleh “persegi.” Kita tidak bisa membayangkan “persegi” tanpa ruang. Sedangkan bila kita melihat “meja berbentuk persegi” maka “ruang” adalah dampak perluasan dari “meja” itu. Ruang sejatinya tidak ada, hanya dampak dalam intuisi kita.

Sedangkan, waktu adalah intuisi kita tentang aritmetika, masih menurut Kant. Ketika kita menghitung 1 + 2 = 3 maka kita menciptakan waktu dalam intuisi untuk memproses perhitungan. Waktu sejatinya tidak ada, hanya intuisi kita. Jadi waktu, dan ruang, hanya subyektif.

Meski ruang dan waktu hanya intuisi tetapi pengalaman sehari-hari kita tentang tempat dan jam tetap sah. Pengalaman sehari-hari itu adalah realitas intuisi kita. Barangkali, orang bisa mengatakan bahwa ruang dan waktu hanya ilusi.

3. Waktu Ada Secara Derivatif

Sadra, pemikir Persia abad 17, menyatakan bahwa ruang dan waktu tidak ada secara mandiri. Tetapi ruang dan waktu hanya turunan, derivatif, dari “gerak substansial.” Martin Heidegger, pemikir Jerman abad 20, menyatakan bahwa “waktu” dan “ada” saling memberi, appropriation.

Saya kira rumusan Sadra tentang ruang dan waktu sangat kreatif. Sadra memulai dengan formula “gerak substansial”. Segala sesuatu yang ada, suatu substansi, senantiasa bergerak dari suatu tingkat wujud menuju ke tingkat wujud yang lebih kuat. Sejatinya, yang ada adalah gerak itu sendiri. Maka gerak menciptakan efek waktu dan ruang dalam intuisi manusia.

Ketika suatu substansi, misal sepeda, bergerak maka intuisi kita menyatakan perlu “waktu” untuk proses gerak itu. Demikian juga, gerak, memerlukan ruang untuk perpindahan. Maka ruang dan waktu benar-benar ada. Tetapi tidak mandiri, hanya ada karena ada gerak substansial.

Contoh gerak sepeda di atas adalah gerak aksidental. Tetapi kita bisa menganalisis lebih dalam bahwa gerak aksidental ini juga berakar dari gerak substansial.

Bagaimana menurut Anda?

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: