Hidup menjadi bermakna karena pasti akan mati. Ketika manusia sadar, bahwa hidupnya terbatas pasti mati, bisa sewaktu-waktu, maka ia bisa mengisi waktunya dengan penuh makna. Heidegger, pemikir abad 20, menyatakan bahwa manusia bisa menjalani hidup seutuhnya secara otentik dengan cara menyadari bahwa dirinya akan mati sewaktu-waktu.
Dengan cara itu, kita bisa “mendengar” suara hati. Yang mengajak kita ke jalan otentik. Ke jalan manusia sejati. Masing-masing dari kita mempunyai “panggilan” hidup yang unik. Membentang dari lahir sampai kita mati. Apa yang akan kita beri? Untuk diri? Untuk negeri?
Sayangnya, kebanyakan manusia, hidup tenggelam dalam dunia. Sibuk dengan kegiatan harian. Lupa sebentar lagi bisa mati. Bahkan ada yang berani korupsi. Istilah mati sudah jauh pergi. Suara hati tiada arti. Meski di balik jeruji tahanan korupsi, masih bisa berangan-angan merebut jabatan nanti.
Tidak masalah bila cuma begitu. Kamu bertanggung jawab terhadap hidupmu. Tapi korupsi berdampak kepada seluruh negeri. Bertubi-tubi bikin rugi. Mengancam masa depan generasi.
Realitas Diri
Uang adalah nyata. Jabatan adalah nyata. Dunia adalah nyata. Semua itu adalah real. Berbeda dengan korupsi. Karena korupsi adalah kenyataan, realitas. Korupsi adalah real dan realitas. Nyata dan kenyataan. Jadi, korupsi itu lebih dahsyat dari uang itu sendiri.
Orang kecil, gaji kecil, uang sedikit, tidak masalah. Itu adalah real, nyata. Meski gaji kecil, uang pas-pasan tetapi membawa berkah. Kebutuhan serba cukup. Keluarga senantiasa sehat. Hidup terasa damai. Itulah realitas, kenyataan.
Pejabat gaji tinggi. Tunjangan berlimpah. Biaya penunjang operasional dahsyat besarnya. Itu adalah real, nyata. Mengapa hidupnya terasa kering? Uang masih saja perlu tambah. Kesehatan sering terganggu. Sulit tidur malam. Anak istri sering bertengkar. Perlu hiburan ekstra. Maka tergoda untuk korupsi. Itulah realitas, lebih dari sekedar real belaka. Realitas semacam itu adalah realitas yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Salah Siapa
Pinginnya, uang berlimpah, itu real. Hidup juga berkah, itu realitas. Bersyukurlah bila begitu. Jika tidak begitu maka tetaplah bersyukur. Karena kita selalu bisa hidup berkah, bila mau. Memang sesuatu yang real bukan kita yang menciptakan. Tetapi realitas adalah 100% bisa kita ciptakan.
Manusia punya kebebasan. Bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri, freedom. Demikian keyakinan Sartre, pemikir abad 20.
Bila Anda seorang pejabat, itu adalah real. Tugas Anda selanjutnya adalah menciptakan realitas yang baik bermodal jabatan itu. Menjalankan jabatan dengan adil. Membela hak-hak orang yang terpinggirkan. Mengayomi rumah tangga Anda. Itulah realitas yang indah bagi Anda yang pejabat.
Bila Anda orang kecil, penghasilan kecil, itu adalah real. Tugas Anda selanjutnya adalah menciptakan realitas yang baik berbekal yang ada. Anda bisa kerja keras ditambah dengan kerja cerdas. Anda bisa punya banyak waktu luang menikmati hidup bersama keluarga. Anda bisa ngobrol santai di warung kopi sebelah rumah kapan saja. Anda bisa membantu anak Anda mengajukan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya. Anda bisa berbahagia, kapan saja. Itulah realitas terbaik, yang selalu bisa Anda ciptakan.
Salah siapa jika hidup terasa menyiksa?
Bukan salah siapa-siapa. Hidup ini hanya menyodorkan sesuatu yang nyata kepada kita, sesuatu yang real. Selanjutnya pilihan kita untuk menciptakan realitas. Bebas saja.
Bagaimana menurut Anda?