Tobat Positif

“Tiada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang dzalim.” (QS 21:87)

Manusia pasti pernah berdosa. Anda punya dosa. Saya juga punya dosa. Siapa pun orangnya, apalagi di jaman digital, pasti punya dosa. Bisa saja dosa itu disengaja. Bisa juga tanpa sengaja. Maka taubat adalah jalan terbaik. Taubat, tobat, adalah proses kembali kepada yang benar, kembali menuju Allah.

Renungan Tobat Ramadhan

1. Menghindari Halal
2. Tobat Digital
3. Drama Kosmis
4. Tobat Positif

Bulan Ramadhan adalah bulan suci, penuh ampunan. Saat yang tepat bagi kita untuk bertobat. Dan, setiap bulan adalah bulan suci, yang mengajak kita, untuk bertaubat.

1. Menghindari Halal

Puasa adalah menahan diri, dari hal-hal yang halal. Apalagi hal-hal haram, jauh-jauh buang saja mulai Ramadhan ini. Makan, minum, dan hubungan badan adalah perkara halal. Tetapi dilarang dilakukan selama puasa Ramadhan, dan puasa pada umumnya. Apalagi korupsi!? Haram dilakukan kapan pun. Maka benar-benar terlarang di bulan suci dan semoga terus bisa dijauhi selamanya.

Makan siang, di hari-hari biasa, adalah halal. Kita perlu membatasinya. Selama bulan puasa kita hanya makan sekedarnya di waktu berbuka, senja. Dan kemudian makan sekedarnya lagi di waktu sahur, jelang subuh. Perbedaan kuantitas makan jauh timpang, di antara hari-hari biasa, yang tiga kali dengan masing-masing porsi penuh. Sedangkan, ketika puasa, menjadi hanya dua kali dengan porsi sekedarnya saja.

Ibadah puasa ini, tampak sudah, mengantisipasi bahwa umat manusia pada suatu saat akan mengkonsumsi makanan – dan lain-lainnya – secara berlebihan. Saat ini, kita menghadapi lebih besar resiko penyakit gula, diabetes, dibanding masa beberapa abad lalu. Salah satu penyebabnya adalah pola makan yang lebih besar porsinya. Dengan berpuasa, kita diajak untuk kembali ke pola konsumsi yang seimbang.

Pola hidup seimbang, dan sederhana, menjaga hidup kita lebih sehat, jasmani dan ruhani. Di saat yang sama, kita menyiapkan sumber energi untuk generasi masa depan. Tidak semua energi habis dikonsumsi di masa kini. Yang lebih parah justru terjadinya perusakan lingkungan yang membahayakan generasi masa depan. Puasa mengajak kita membatasi diri demi diri sendiri, orang lain, dan generasi nanti.

Konsumsi digital sudah menjadi kepastian jaman ini. Apakah orang-orang melahap konsumsi digital dengan seimbang? Tampaknya sulit sekali mengatakan bahwa saat ini kita berada dalam ekosistem digital yang positif.

2. Tobat Digital

Puasa di era digital ini, selayaknya, juga perlu dimaknai sebagai puasa digital. Membatasi konsumsi digital yang tidak berguna. Menghindari share informasi yang hoax, fitnah, atau hasutan semata. Mulai memproduksi informasi-informasi yang bermanfaat penuh makna, hanya informasi yang bermanfaat saja.

Bisa kita ringkas, dosa digital yang sering terjadi dan perlu kita tobat di antaranya adalah:

1. Membaca atau melihat konten digital yang tidak layak.

2. Share atau ikut menyebarkan, bahkan membuat, konten negatif misal hoax atau fitnah.

3. Tidak memproduksi konten positif.

Bentuk tobat kita di antaranya:

1. Menghindari konten yang tidak layak.

2. Tidak share atau tidak berbagi konten sembarangan.

3. Membuat, atau memproduksi, konten positif.

Media digital bisa lebih berbahaya dari teknologi-teknologi lain karena kekuatan “enframing” yang dahsyat. Jika teknologi lain, umumnya, kita yang mengendalikan teknologi tersebut. Tetapi media digital, manusia yang dikendalikan oleh teknologi digital. Lebih parah lagi, teknologi digital mengendalikan manusia tidak hanya atas kekuatan teknologi itu sendiri. Tetapi di ujung sana, ada manusia lain yang mengendalikan teknologi digital untuk kemudian mengendalikan rakyat jelata. Manusia di ujung sana pun, pada akhirnya, juga dikendalikan oleh teknologi digital. Kekuatan “enframing” dari media digital memang mengerikan.

Dengan berpuasa, kita bisa tobat digital. Kembali menggunakan media digital dengan seimbang demi kebaikan bersama.

3. Drama Kosmis

Masalah dosa dan tobat, bisa kita baca, sudah terjadi sejak awal penciptaan manusia. Kitab suci menceritakan bahwa iblis berbuat dosa. Lalu Allah menegur. Bukannya iblis bertobat, justru membela diri dengan sombong, “Engkau ciptakan dia dari tanah, sedangkan aku dari api.” Iblis berbuat salah dilanjutkan dengan kesalahan berikutnya.

Sementara Nabi Adam dan Siti Hawa, kakek dan nenek moyang manusia, juga melakukan kesalahan. Namun segera bertobat. Bahkan sebelum ada teguran sama sekali. Kanjeng Nabi dan Bunda Hawa bertobat, “Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami. Dan seandainya Engkau tidak mengampuni kami dan mengasihi kami, sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi.” Tuhan menerima tobat Nabi Adam dan Siti Hawa. Kemudian mengutus beliau berdua untuk menjadi pemimpin di bumi ini.

Drama kosmis yang diabadikan dalam kitab suci ini bisa kita baca dengan beragam prespektif. Iblis salah karena menilai seseorang dari asal muasalnya. Dia merasa sombong, lebih tinggi, lantaran tercipta dari api. Tentu saja itu pandangan yang salah. Karena, dalam kondisi saat itu, sedang membahas keilmuan, sains, dengan menyebutkan “semua nama.”

Di sisi lain, Nabi Adam, manusia, mendapat banyak karunia bebas menikmati apa pun kecuali satu hal: dilarang mendekati pohon buah khuldi. Nyatanya, manusia tergelincir. Melanggar larangan yang hanya satu-satunya. Tetapi kita, saat ini, menghadapi banyak larangan: dilarang mencuri, dilarang korupsi, dilarang membunuh, dilarang berkerumun, dilarang hoax digital, dilarang menyebarkan kebencian, dan lain-lain. Sanggupkan manusia untuk tidak tergelincir?

Tobat adalah suatu keniscayaan, keharusan, kepastian.

4. Tobat Positif

Semua orang harus bertobat. Tobat adalah tindakan yang baik. Tobat adalah tindakan positif. Tobat sama sekali tidak bermakna negatif. Justru tidak mau bertobat adalah perilaku yang negatif.

Memang, tobat sering diasosiasikan dengan dosa. Sementara, dosa itu bermacam-macam: dosa yang disengaja dan tak disengaja. Dosa yang disengaja jelas harus bertobat. Apalagi pelaku sadar, dengan sengaja, berbuat dosa. Sedangkan dosa yang tak disengaja juga harus tobat. Hanya saja, karena tak sengaja, barangkali, pelaku tidak sadar bahwa ia sudah berbuat dosa.

Saya mencoba merumuskan dosa jenis ketiga: dosa potensial. Secara aktual tidak berdosa, tidak melanggar apa pun. Tetapi secara potensial dapat merugikan, pasti merugikan pihak lain. Maka dosa ini juga perlu tobat.

Misal Andi ikut lomba catur menang dan mendapat hadiah 200 juta rupiah. Bagi Andi, ini adalah suatu prestasi – dan memang prestasi. Tetapi Andi sudah melakukan dosa potensial. Meski Andi tidak melakukan kesalahan, tidak curang, dan tidak licik.

Lawan Andi di final adalah Budi. Karena Budi kalah maka Budi tidak mendapat hadiah 200 juta. Padahal Budi membutuhkan uang 200 juta itu untuk menebus rumah orang tuanya yang terbelit hutang. Akibat tidak tersedia uang hadiah 200 juta itu, orang tua Budi terusir dari rumahnya dan hidup terlunta-lunta tanpa kepastian tempat tinggal. Andi tidak melakukan dosa secara aktual, baik sengaja atau tidak. Tapi Andi sudah berdosa secara potensial. Seandainya Andi kalah, Budi menang, maka bisa menyelamatkan rumah orang tua Budi.

Dengan sudut pandang itu, maka setiap manusia pasti punya dosa. Tapi dosa potensial itu tidak bersifat negatif. Justru bersifat positif ketika seseorang meraih prestasi tertentu. Seorang pemuda yang memenangkan pilkada walikota maka ia berprestasi terpilih sebagai walikota. Di saat yang sama, ia menanggung beban dosa potensial lantaran sudah menyingkirkan calon walikota lainnya, yang mungkin sangat membutuhkan kursi walikota. Demikian juga seorang bapak yang terpilih sebagai presiden adalah suatu prestasi. Di saat yang sama, tentu banyak dosa potensial yang menyertai proses pemilihan presiden. Sekali lagi, prestasi itu sendiri adalah positif. Maka tobat atasnya, kembali kepada Tuhan karenanya, adalah positif.

Sehingga kita perlu sampai kepada tahap tobat positif. Tobat setiap saat.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: