“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan.” (QS 55 : 60)
Guru ngaji saya menceritakan, “Itu adalah ayat yang paling indah.” Setiap ayat suci memang indah. Kita, sebagai manusia, mempunyai pengalaman masing-masing yang unik. Ada kalanya, ayat-ayat tertentu begitu mengena ke dalam hati seseorang. Ayat suci itu begitu istimewa menyentuh jiwa kita. Sehingga, saya setuju dengan guru saya. Ayat suci paling indah adalah, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan.”
Setiap kita berbuat kebaikan maka, pasti, mendapat kebaikan. Bahkan balasan kebaikan itu lebih besar dari kebaikan pertama yang kita perbuat. Karena kita mendapat balasan kebaikan, maka kita melakukan kebaikan lagi. Dan, pasti, kita mendapat balasan kebaikan lagi yang lebih besar. Dengan demikian, alam semesta ini bertabur, dipenuhi, kebaikan demi kebaikan.

Hidup yang bertabur kebaikan, tentu, menjadi indah. Bila demikian, mengapa ada orang yang berbuat jahat? Mengapa ada orang yang menderita? Mengapa ada orang yang tidak bahagia?
1. Prestasi Kebaikan
2. Memaknai Kebaikan
3. Pengorbanan Sedekah
4. Sedekah Kaya Miskin
5. Godaan Nafsu
6. Kebaikan Abadi
1. Prestasi Kebaikan
Tujuan kita berpuasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa, orang yang berprestasi. Salah satu wujud nyata dari takwa adalah amal kebaikan. Yang dijamin langsung oleh Allah dibalas dengan kebaikan lagi, yang lebih besar. Balasan ini langsung terjadi di dunia dan berlanjut di akhirat. Semoga kita termasuk orang-orang yang berbuat kebaikan.
“Barang siapa berbuat kebaikan maka untuk dirinya.”
Kebaikan, amal sholeh, bisa berupa kebaikan personal atau sosial. Kebaikan personal, jelas, untuk diri kita sendiri. Bahkan kebaikan sosial juga untuk diri kita sendiri, yang berdampak luas, menjadi kebaikan untuk orang lain.
Di bulan suci, misalnya, kita memperbanyak mengkaji kitab suci. Ini sejenis kebaikan personal. Berdampak baik kepada diri kita sendiri yang membaca AlQuran. Menariknya, membaca AlQuran, meski tidak paham bahasa Arab, tetap merupakan suatu kebaikan. Bahkan lantunan ayat suci ini membawa kebaikan kepada alam sekitarnya. Memperoleh percikan berkah kitab suci. Apalagi bila kita membaca kitab suci sambil mendalami maknanya, dalam bahasa Arab dan terjemahnya, maka itu menjadi kebaikan yang berlipat ganda.
Membayar zakat dan berbagi sedekah adalah kebaikan sosial. Kita perlu meningkatkan kepedulian sosial di bulan suci untuk dilanjutkan di bulan-bulan berikutnya. Berbagi sedekah, tampaknya, membuat harta kita berkurang. Berpindah menjadi milik orang lain, penerima sedekah. Sehingga, kebajikan sosial ini berdampak positif bagi orang lain dan menuntut pengorbanan dari diri kita.
Apa nilai kebaikan dari suatu pengorbanan?
Dari sudut pandang materi, tampaknya, pengorbanan itu merugikan diri kita sendiri. Bila kita kaji lebih jauh, kita akan memperoleh pemahaman lebih mendalam.
2. Memaknai Kebaikan
Kebaikan adalah bergerak menjadi lebih sempurna, menjadi lebih baik. Kita bisa memasangkan kebaikan dengan keadilan agar lebih terasa maknanya.
Keadilan: memberikan sesuai haknya.
Kebaikan: memberikan lebih dari haknya.
Contoh keadilan adalah Anda membeli minuman seharga 5 ribu rupiah, kemudian, Anda membayar sejumlah 5 ribu rupiah. Sesuai ukuran, sesuai kesepakatan, sesuai hak adalah keadilan. Tetapi, jika dengan ikhlas Anda membayar 7 ribu rupiah, lebih besar 2 ribu sebagai sedekah, maka Anda berbuat baik. Kebaikan adalah melanjutkan keadilan.
Lebih utama mana antara kebaikan dan keadilan?
Kebaikan, benar, kebaikan adalah lebih utama dalam kehidupan personal. Menariknya, dalam kehidupan sosial, justru, keadilan harus menjadi utama.
Kita mengenal BOS: bantuan operasional sekolah dan BLT: bantuan langsung tunai. Makna bantuan adalah kebaikan. Karena sekolah perlu dana operasional maka pemerintah berbuat baik dengan cara membantu sekolah. Bentuk bantuan itu adalah BOS: bantuan operasional sekolah.
Pihak sekolah, tenaga pendidik dan siswa, perlu berterima kasih atas bantuan BOS. Wajar, pihak sekolah berterima kasih kepada pihak yang telah berbuat baik.
BOS, dan BLT, adalah kebaikan. Apakah mereka, BOS dan BLT, juga adil? Apakah itu juga merupakan keadilan? Dalam kehidupan sosial, misal pemerintahan, aspek keadilan harus menjadi paling utama.
Apakah sekolah perlu bantuan BOS? Ataukah sekolah hanya butuh keadilan? Anggaran pendidikan yang adil maka, pasti, mencukupi untuk menyelenggarakan pendidikan yang merata berkualitas di seluruh Indonesia. Dengan demikian, sekolah tidak memerlukan bantuan. Sekolah berhak mendapatkan pendanaan. Dan, negara bertanggung jawab menyediakan dana tersebut.
Demikian juga BLT, bantuan langsung tunai, bisa kita analisis dari sisi kebaikan dan keadilan. BLT jelas merupakan kebaikan berupa bantuan. Apakah BLT juga adil? Apakah orang miskin perlu bantuan? Ataukah orang miskin, sejatinya, berhak mendapat pendanaan? Sementara, negara berkewajiban menjamin kehidupan yang layak bagi setiap warga?
Dengan semangat kebersamaan, pemerintah dan rakyat, menegakkan keadilan maka akan tercipta negara yang adil dan makmur. Keberhasilan menjadi negara adil makmur merupakan suatu bentuk kebaikan tertinggi.
Ketika fokus kepada kehidupan personal maka kita lebih mengutamakan kebaikan, dengan tetap menjalankan keadilan. Membantu tetangga yang membutuhkan uang untuk membeli makanan mereka, dengan cara memberi mereka uang misalnya, adalah contoh kebaikan personal Anda. Di saat yang sama, kebaikan personal, berdampak baik kepada tetangga Anda.
Secara personal matematis, ada dua dampak bagi Anda. Pertama, barangkali terjadi “pengurangan” terhadap uang milik Anda. Kedua, barangkali terjadi proses “pengorbanan” terhadap uang milik Anda. Secara hakikat, keduanya, sama-sama baik bagi Anda.
3. Pengorbanan Sedekah
Misalnya, Anda bersedekah uang 20 ribu rupiah kepada tetangga Anda sehingga mereka bisa membeli makanan. Sedekah adalah tindakan kebaikan.
Pertama, sering terjadi, adalah terjadinya “pengurangan” pada uang Anda. Semula ada uang 100 ribu di saku Anda. Kemudian, yang 20 ribu Anda berikan ke tetangga maka uang di saku berkurang, sisa 80 ribu. Dampak “pengurangan” ini membuat Anda hanya bisa membeli sesuatu seharga 80 ribu saja.
“Pengurangan” uang seperti itu hanya terjadi pada dunia fenomena, dunia penampakan, belaka. Sedangkan di dunia sejati, dunia noumena, yang terjadi adalah penambahan bagi diri Anda. Uang Anda, yang mula-mula, 100 ribu itu adalah modal seperti biasa saja, di dunia noumena. Sedangkan, uang 20 ribu yang Anda sedekahkan itu langsung dibalas kebaikan oleh Allah dengan kebaikan yang berlimpah.
“Tiada balasan kebaikan, kecuali kebaikan.”
Bukankah balasan itu menunggu waktu misal pekan depan? Hari ini, saya sedekah 20 ribu lalu, pekan depan, saya mendapat rejeki 500 ribu. Balasan itu berlipat puluhan kali lebih besar. Sehingga, orang-orang menjadi lebih semangat sedekah dengan jaminan balasan seperti itu.
Benar saja, balasan dapat uang 500 ribu adalah balasan yang berlipat. Perlu kita catat, balasan 500 ribu ini terjadi di dunia fenomena, dunia penampakan. Dunia fenomena bisa saja berbelok ke sana ke mari tanpa ada kepastian. Maksudnya, bisa saja balasan itu 500 ribu, bisa 700 ribu, atau bahkan 0 rupiah.
Tetapi, balasan kebaikan sejati, di dunia noumena, benar-benar terjadi ketika Anda berbuat kebaikan. Balasan ini berlipat kebaikan. Bila kita ikhlas maka makin besar berlipatnya kebaikan itu di dunia noumena. Yang menjadikan kebaikan itu berlipat bukan amal kita, bukan ikhlas kita, tetapi Allah yang berkehendak melipatgandakan kebaikan kemudian melimpahkan kepada orang-orang pilihan.
Kedua, terjadi “pengorbanan” terhadap uang Anda. Semula, memang Anda hanya punya uang 20 ribu rupiah untuk membeli buku tulis anak Anda. Karena tetangga membutuhkan maka Anda “mengorbankan” uang 20 ribu itu untuk sedekah ke tetangga. Anda berpikir bahwa masih ada waktu beberapa jam, Anda bisa berdagang atau bekerja sehingga menghasilkan uang 20 ribu guna membeli buku tulis untuk anak Anda.
“Pengorbanan” mempunyai nilai kebaikan lebih tinggi dari “pengurangan.” Pun, butuh perjuangan lebih berat bagi kita untuk “pengorbanan”.
Kebaikan “pengorbanan” Anda langsung mendapat balasan kebaikan yang berlipat di dunia sejati, dunia noumena. Sementara, di dunia fenomena bisa terjadi pembelokan dan bisa juga mendapat balasan berlipat dalam satu dan lain cara.
4. Sedekah Kaya Miskin
Orang miskin bisa berbuat kebaikan dengan banyak momen “pengorbanan”. Sementara, orang kaya bisa berbuat banyak kebaikan dengan hartanya kapan saja, tidak ada habis-habisnya, dengan banyak momen “pengurangan.”
Ketika orang miskin hanya punya uang 20 ribu rupiah lalu dia bersedakah 20 ribu rupiah maka terjadi kebaikan dengan momen “pengorbanan”. Sementara, orang yang lebih kaya misal punya uang 100 ribu, maka perlu sedekah 100 ribu untuk mendapatkan momen “pengorbanan.” Dan, lebih menantang bila ada orang super kaya dengan kekayaan 100 M maka perlu sedekah 100 M agar mendapat kebaikan dengan momen “pengorbanan.”
Baik orang miskin atau pun orang kaya, sama-sama, memiliki kesempatan untuk berbuat kebaikan. “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan…”
5. Godaan Nafsu
Jika setiap kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan berlimpah maka mengapa orang-orang tidak berbuat kebaikan saja?
Ya, seharusnya setiap orang yang berakal memilih berbuat kebaikan. Nyatanya, banyak orang yang tidak berbuat kebaikan. Sebagian di antaranya, ditangkap KPK, dijebloskan ke penjara. Apakah mereka tidak berakal? Tentu saja mereka berakal. Hanya saja, akalnya kalah oleh hawa nafsu mereka.
Ketika nafsu berkuasa maka dosa bergema di dunia fenomena. Kita bisa membedakan menjadi 3 jenis pembelokan nafsu. Pertama nafsu hitam adalah kekuatan manusia untuk menaklukkan dunia. Kita punya kekuatan untuk mencangkul, bertani, memotong pohon, dan lain-lain untuk menjaga kehidupan umat manusia. Kekuatan itu bisa dibelokkan manusia untuk merampok, membunuh, melukai orang, dan lain-lain menjadi nafsu hitam yang kejam.
Kedua, nafsu merah. Kita, umat manusia, mempunyai hasrat untuk menikmati makanan, menikmati hiburan, menikmati petualangan, dan lain-lain untuk menjalani hidup dengan bahagia. Ketika dibelokkan maka makanan berlebihan, hiburan melampaui batas, petualangan merusak lingkungan, dan lain-lain menjadi nafsu merah. Serakah, si nafsu merah, berlumur amarah yang tak ramah.
Ketiga, nafsu kuning. Kita punya akal. Bisa menyusun strategi, mengatasi beragam kesulitan, untuk mencapai tujuan kebaikan bersama. Nafsu kuning bisa membelokkan akal sedemikian hingga bisa untuk “mengakali” orang lain dan diri sendiri. Berdalih membantu rakyat kecil, ternyata hanya untuk meraup suara pemilu. Beramal ke rumah yatim piatu ternyata pencitraan untuk kampanye pilkada. Sadar bahwa diri sendiri sudah berdosa, malah berdalih, sewaktu-waktu bisa tobat. Uang korupsi bisa untuk sedekah sehingga suci.
Perpaduan nafsu hitam, merah, dan kuning mencengkeram umat manusia dalam gelimang dosa. Saatnya, kita untuk kembali bertobat. Tobat dengan sebenar-benarnya tobat. Berhenti dan menyesali kesalahan yang terjadi. Komitmen tidak mengulangi. Menebus dengan amal kebaikan di sana-sini. Mumpung masih ada waktu, mari kembali, meniti jalan ilahi.
6. Kebaikan Abadi
Kebaikan itu yang abadi. Sedangkan, nafsu serakah hanya bersifat sementara. Hancur berkeping-keping di dunia fenomena ketika tiba waktunya. Tetapi, kebaikan ada di sini, di dunia ini dan dunia nanti. Kebaikan yang abadi.
Tinggalkan godaan nafsu. Mari meniti jalan kebaikan abadi. Di dunia ini dan dunia nanti, di sini dan di mana-mana, di dunia virtual dan dunia aktual.
Kejahatan sirna, sejatinya, memang tiada. Hanya kebaikan yang ada untuk kita dan semesta.
Bagaimana menurut Anda?
Tinggalkan komentar