“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (QS 25 : 1)
Keunggulan manusia adalah bisa memaknai berbagai macam fenomena dengan bebas. Dulu, orang mengira bahwa gerhana bulan adalah sedang terjadi proses penghancuran bulan oleh raksasa. Maka mereka memainkan beragam musik agar raksasa membatalkan menghancurkan bulan tersebut. Kemudian, sains mengungkap bahwa gerhana bulan adalah fenomena khusus di mana bayangan bumi sedang menutupi bulan.

1. Pembeda
2. Dunia Digital
3. Hakekat Teknologi
4. Manusia Teknologi
Seorang ilmuwan memaknai gerhana bulan sebagai bukti kebenaran hukum gerak gravitasi alam semesta. Seorang seniman memaknai gerhana bulan sebagai peristiwa menyentuh hati, mengingatkan nostalgia dengan kekasih yang telah lama pergi. Seorang agamawan memaknai bulan sebagai peristiwa yang mengingatkan hamba untuk lebih mendekat kepada tuhan. Berbagai macam makna, dari satu obyek yang sama, bisa saja sama-sama sah.
Dalam beberapa situasi, bisa jadi makna tidak sah. Makna bisa dibelokkan oleh orang-orang tertentu demi kepentingan mereka. Di era digital, pembelokan makna bisa kita anggap sebagai framing. Proses ini kian mudah karena makin canggihnya teknologi digital, murah, dan bisa diakses di mana-mana. Informasi hoax mudah berkembang biak.
1. Pembeda
AlQuran adalah kitab suci yang membedakan berbagai macam hal yang benar dengan hal yang salah. Maka AlQuran disebut juga sebagai AlFurqan, Sang Pembeda. Dengan mengkaji AlQuran kita akan mendapat petunjuk yang jelas tentang jalan lurus yang harus diikuti, dan jalan salah yang harus dihindari.
Ayat AlQuran yang jumlahnya lebih dari 6 ribu ayat cukup besar sebagai penuntun hidup umat manusia. Beberapa ulama mengelompokkan ayat-ayat AlQuran agar lebih jelas perbedaan-perbedaanya. Menurut al-Bantani, bilangan ayat Al-Qur’an itu 6666 ayat, yaitu 1000 ayat di dalamnya tentang perintah, 1000 ayat tentang larangan, 1000 ayat tentang janji, 1000 tentang ancaman, 1000 ayat tentang kisah-kisah dan kabar-kabar, 1000 ayat tentang ‘ibrah dan tamsil, 500 ayat tentang halal dan haram, 100 tentang nasikh dan mansukh, dan 66 ayat tentang du’a, istighfar dan dzikir. Sedangkan bila kita memperhatikan beberapa (himpunan) irisan ayat AlQuran maka kita akan memperoleh angka 6236 – salah satu versi.
Di bagian awal surat AlBaqoroh ditegaskan bahwa “(AlQuran) ini adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk untuk orang-orang yang bertakwa.”
Keunggulan AlQuran juga terletak dalam bahasa Arab yang dipilih Allah agar kalian memikirkannya. Bahasa Arab diakui oleh para ahli memiliki keunikan, struktur bahasa yang jelas, pembentukan istilah yang dinamis, dan kaya dengan makna. Berbeda dengan bahasa Indonesia, misalnya, yang tampak lebih sederhana. Misal dalam bahasa Arab dikenal istilah fiil mudhorik yaitu kata kerja yang menunjukkan sedang terjadi dan akan terjadi.
Ketika Tuhan menghendaki sesuatu maka berfirman, “Kun fa yakun.” Artinya, “Jadilah maka terjadilah.”
Dalam bahasa Indonesia ungkapan “terjadi” tidak menunjukkan waktu sama sekali. Sehingga, dalam bahasa Indonesia, makna “terjadi” seakan-akan terjadi dengan spontan, seketika. Sedangkan dalam bahasa Arab, ungkapan “yakun” berbentuk fiil mudhorik yang bermakna sedang terjadi dan akan terus terjadi. Sehingga bahasa Arab menunjukkan proses yang lebih dinamis dalam contoh di atas.
Meski AlQuran demikian hebatnya, tetap saja manusia punya pilihan bebasnya. Salah satu pilihan manusia adalah membuat framing tentang ayat-ayat suci. Dari jaman awal-awal pun sudah ada orang yang membuat framing bahwa ayat-ayat suci adalah sihir belaka. Bahkan ada yang menyerang Nabi sebagai orang gila. Di jaman sekarang, tentu saja framing kepada ayat suci makin banyak variasi.
Di jaman para sahabat pun pernah terjadi framing untuk memecah belah umat. Mereka menggunakan dalil ayat untuk menyatakan pihak lain sebagai sesat. Kemudian menyerang pihak lain dengan memicu perang.
2. Dunia Digital
Tidak bisa menghindar. Kita berada di era digital yang dipenuhi oleh framing. Apa pun informasi yang kita terima dipastikan itu adalah informasi yang sudah dalam framing. Tidak ada informasi yang benar-benar murni. Dengan demikian, ayat-ayat suci yang kita baca di media tentu juga berada dalam suatu framing. Maka kita perlu lebih hati-hati. Untungnya, Tuhan sudah menganugerahi kita hati nurani. Cahaya dalam setiap diri.
Pertama, kita harus berusaha menjadi orang-orang yang bertakwa. Dengan cara ini, framing yang mengurung setiap informasi kita kaji, lalu kita letakkan kembali dengan framing takwa. Kita ingat kembali bahwa perintah puasa adalah bertujuan untuk menjadikan kita sebagai orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang berprestasi di jalan ilahi, sebagai wakil Tuhan.
AlQuran sendiri adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa. Sementara orang yang tidak bertakwa tidak terjamin akan bisa memperoleh petunjuk. Maka strategi kita adalah menjadikan diri sebagai orang yang bertakwa itu. Yaitu orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat, berinfak dengan hartanya, beriman kepada wahyu Nabi dan yang sebelumnya, dan yakin kepada hari akhirat.
Kedua, kita mempelajari lebih dalam tentang dunia digital. Yang perlu kita cermati: bagaimana cara kita verifikasi suatu informasi? Yang paling dasar adalah kita perlu membedakan antara fakta dan opini. Misal cerita tentang babi ngepet. Jelas itu cerita tentang fakta babi dan opini tentang ngepet.
Fakta tentang babi bisa diverifikasi dengan melihat langsung ke lokasi. Benar saja, ditemukan adanya babi di sana sebagai fakta. Tetapi jangan buru-buru itu dianggap sebagai bukti ngepet. Masih perlu verifikasi apakah itu benar-benar ngepet. Kriteria dasar dari babi ngepet adalah babi tersebut sebenarnya berasal dari manusia, yang berubah jadi babi. Penyelidikan polisi menunjukkan tidak adanya perubahan dari manusia menjadi babi. Yang ada hanya babi didatangkan dari kota lain, yang benar-benar babi saja.
Terbukti cerita babi ngepet adalah hoax belaka.
Ketiga, gunakan hati nurani untuk mengambil kesimpulan. Hati adalah tempat bersinarnya cahaya Tuhan. Setelah kita berusaha dengan segala kemampuan kita untuk memperoleh kebenaran, diiringi doa mohon bimbingan dari Allah, maka selanjutnya giliran diri kita mengambil tanggung jawab. Semua keputusan kita, pilihan kita, adalah tanggung jawab kita. Semoga kita selalu dalam bimbingan Allah, Tuhan semesta alam.
3. Hakekat Teknologi
Heidegger menyatakan bahwa hakekat teknologi adalah enframing, framing itu sendiri dengan kemampuan kendali yang makin besar. Sementara Deleuze mengakui bahwa karakter sains memang reduktif dengan mengubah realita yang bersifat chaos menjadi fungtif yang lebih terkendali berdasar berbagai fungsi sains.
Tantangan manusia makin berat. Kita membutuhkan sains dan teknologi. Sedangkan hakikat teknologi dan sains itu memang framing dan reduktif. Lebih dari itu, sifat enframing dari teknologi cenderung untuk mengendalikan kehidupan manusia. Manusia, dipaksa oleh teknologi, agar menjadi robot-robot hidup saja. Teknologi tidak bekerja sendirian untuk itu. Teknologi bekerja sama dengan orang-orang yang mencoba mengeksploitasi alam semesta. Kerja sama ini menghasilkan kekuatan super dahsyat. Siapa yang mampu menghadapinya?
Secara sosial, umat manusia perlu menyusun suatu aturan untuk membatasi teknologi agar tidak disalah-gunakan untuk membahayakan kehidupan manusia dan alam semesta. Tentu saja ini tugas yang sulit. Karena semua pihak bisa menyusun framing agar terkesan menyelamatkan umat manusia, padahal menghancurkan alam semesta.
Secara personal, kita perlu memperkuat diri kita dengan karakter takwa. Sebuah karakter, yang konsisten mendengarkan suara nurani, untuk mengukir prestasi sebagai wakil Tuhan di bumi.
4. Manusia Teknologi
Manusia dengan teknologi kian menyatu. Hanya saja, teknologi digital lebih kompleks dibanding teknologi sebelumnya. Dulu, manusia yang me-framing teknologi, manusia yang mengendalikan teknologi. Era digital, bisa terbalik, teknologi yang me-framing manusia, teknologi mengendalikan manusia.
Banyak hal yang menyebabkan teknologi digital mampu me-framing manusia. Pertama, makin murah. Sehingga, emak-emak dan anak-anak, juga bapak-bapak, bisa mengakses media digital dengan mudah. Akibatnya, mereka ketagihan. Mereka justru ketagihan di-framing oleh media sosial. Kalau tidak kena framing, tidak seru kata mereka.
Kedua, media sosial adalah obat pusing kepala. Tugas mendidik anak adalah tugas berat yang memusingkan kepala. Tugas berinteraksi dengan anak, yang kadang rewel, menuntut kesabaran tinggi. Beri mereka media digital, hp dan game lainnya, maka anak-anak beres. Anak-anak sibuk dengan hp-nya. Tidak perlu perhatian orang tua lagi. Sementara, orang tuanya bisa bebas main medsos pula.
Ketiga, makin canggihnya teknologi digital sehingga bisa memberikan semua yang dibutuhkan oleh pengguna. AI, artificial intelligent, tahu dengan pasti apa yang dibutuhkan pengguna, untuk kemudian AI mengendalikan manusia. Orang yang suka olah raga, akan diberi konten olah raga oleh AI. Orang yang gemar politik, akan diberi konten politik. Bahkan kontennya, benar-benar, sesuai selera.
Dan masih banyak lagi, faktor yang menguatkan teknologi digital mampu me-framing manusia. Apakah Anda tenang-tenang saja jika di-framing oleh media sosial? Tidak inginkah Anda, kembali, me-framing media digital? Mampukah manusia bangkit dari jebakan teknologi yang dibuatnya sendiri?
Untungnya, kita masih punya hati nurani. Ditambah bimbingan kitab suci. Serta, adanya sahabat-sahabat meniti jalan ilahi. Sudah siapkah, Anda hari ini?
Bagaimana menurut Anda?
Tinggalkan komentar