Sungguh memilukan. Palestina menjalani ibadah Ramadhan dalam situasi mencekam. Bahkan sampai lebaran telah ratusan atau ribuan jiwa, warga Palestina, menjadi korban perang 2021. Di sisi Israel, juga sama memilukannya. Saat warga Israel merayakan hari kepahlawanan nasional, mereka dihujani roket bom. Puluhan jiwa meninggal dan sampai ratusan luka-luka. Kabar baiknya, saat ini sudah berhenti. Gencatan senjata terjadi dengan peran Mesir sebagai penengah. Kita perlu solusi. Untuk dengan pasti, mengakhiri.

Saya mencoba menuliskan beberapa ide solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang di bagian bawah ini. Tidak ada solusi mudah. Pun tidak ada solusi yang bersifat pasti. Karena konflik ini melibatkan perilaku manusia secara luas maka perlu komitmen yang kuat dari semua pihak. Termasuk masyarakat internasional juga perlu mendukung perdamaian secara aktif.
Beberapa konsep berpikir yang perlu kita kembangkan, untuk solusi konflik Palestina Israel, adalah “matinya sejarah,” penolakan metanarasi tunggal, dan dinamika manusia.
Solusi Jangka Pendek
Menjaga perdamaian kawasan adalah solusi jangka pendek. Sambil menemukan akar masalah sebenarnya untuk kemudian diselesaikan dengan baik. Beberapa ahli mengidentifikasi beberapa akar masalahnya adalah: pendudukan, pengusiran, dan ketimpangan.
Baik Palestina mau pun Israel sama-sama menjadi bagian dari masalah ini. Sehingga mereka perlu sama-sama terbuka untuk mendengar suara-suara dari jagat raya.
Menjaga perdamaian adalah mutlak diperlukan. Kemanusiaan bisa berkembang dalam masyarakat yang damai. Tidak ada arti pembangunan bila perang meletus sewaktu-waktu. Berpikir sebaliknya juga perlu dipertimbangkan, “tidak ada perdamaian tanpa keadilan.” Masalah muncul, keadilan seperti apa yang dimaksud? Keadilan versi siapa? Keadilan berdasar aturan apa?
Maka solusi jangka pendek, kita perlukan: menjaga perdamaian. Sambil mencari solusi yang adil, dari beragam sudut pandang, kita konsisten menjaga perdamaian. Bila perlu, melibatkan pasukan perdamaian dari PBB.
Bagi pemimpin politik masing-masing kubu, barangkali perdamaian tidak jadi masalah. Karena ketika pecah perang, korbannya adalah rakyat atau serdadu garis depan. Sehingga perang atau damai tidak secara langsung berdampak ke pemimpin politik – Palestina mau pun Israel. Sebaliknya, perdamaian benar-benar dibutuhkan bagi rakyat pada umumnya.
Pendudukan, dengan dibangunnya pemukiman Yahudi, bisa dilihat jelas dari beragam sudut pandang. Dari sudut pandang Israel, pembangunan pemukiman Yahudi adalah sah dan adil. Daerah pemukiman tersebut adalah wilayah sah dari negara Israel. Sementara, dari sudut pandang Palestina, pembangunan tersebut tidak sah karena di atas wilayah milik warga Palestina yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Pengusiran warga Palestina dari rumahnya adalah menjadi dampak dari beberapa pendudukan. Misalnya, yang terbaru, adalah rencana eksekusi perumahan di Syaikh Jarrah, Jerussalem. Mahkamah Agung Israel sudah memutuskan bahwa Syaikh Jarrah adalah milik Israel sehingga warga Palestina yang tinggal di Syaikh Jarrah harus pergi. Tentu saja rencana eksekusi ini ditentang keras oleh warga Palestina. Warga Palestina telah tinggal di Syaikh Jarrah ratusan tahun secara sah, bahkan sebelum ada negara Israel itu sendiri.
Ketimpangan hak juga menjadi dampak – dan sebab konflik. Warga Palestina yang hendak beribadah di kawasan AlAqsa perlu lolos penggeledahan oleh polisi Israel. Sementara, warga Israel yang hendak beribadah di kawasan AlAqsa tidak perlu digeledah oleh polisi Palestina. Hak politik juga timpang. Untuk melaksanakan pemilu, warga Palestina perlu mendapat ijin dari penguasa Israel. Sementara, warga Israel, untuk menyelenggarakan pemilu tidak perlu ijin dari penguasa Palestina. Sekali lagi, kondisi timpang seperti ini tetap ada pembenaran dari beragam sudut pandang. Kita perlu respek, bagaimana pun, terhadap argumen-argumen tersebut.
Saya mengajukan solusi untuk akar masalah di atas adalah konsep berpikir “matinya sejarah,” menolak metanarasi tunggal, dan dinamika manusia.
Matinya sejarah menyatakan tidak adanya sejarah tunggal yang paling benar. Sejarah selalu bisa dibaca ulang dengan sudut pandang yang beragam. Bahkan sejarah selalu berubah lantaran diri kita, dan masyarakat, selalu berubah ketika membaca sejarah – seiring perubahan waktu. Sehingga kita perlu mengembangkan sikap saling hormat kepada pihak lain yang, barangkali, mempunyai sejarah berbeda dengan sejarah kita.
Konsep matinya sejarah bisa kita terapkan untuk Palestina Israel. Semua klaim sejarah yang menyatakan bahwa Israel adalah orang pendosa bisa diragukan. Klaim seperti itu bisa kita pandang dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga kita bisa, dan harus, lebih respek kepada Israel. Demikian juga klaim sejarah terhadap Palestina, yang menyatakan bahwa Palestina adalah orang yang tidak punya hak secara de jure dan de facto, bisa kita ragukan. Dari sudut pandang yang lain, Palestina benar-benar punya hak. Maka kita perlu, dan harus, lebih respek ke Palestina. Denga respek kepada kedua belah pihak maka kita kuatkan perdamaian – sambil menuju keadilan.
Metanarasi tunggal perlu kita singkirkan. Kita perlu membuka lebih banyak narasi yang bisa kita sebut sebagai mikrologi-mikrologi dalam kasus Palestina Israel.