Filsafat Islam mengalami lompatan paling kreatif sejak jaman Imam Al Ghazali. Wajar saja, bila beliau, Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam – Sang Pembela Islam, Bukti Kebenaran Islam.
1. Arah Inovasi Divergen
2. Ibnu Rusyd (Averroes)
2.1 Filsafat Rasional
2.2 Intelek Ruhani
3. Syihabuddin Suhrawardi
3.1 Definisi Esensial
3.2 Ontologi Cahaya
3.3 Huduri
4. Ibnu Arabi
5. Mulla Sadra
6. Filsafat Indonesia
7. Indonesia Posmodern
8. Tikungan Quantum
9. Model Epistemik Quantum
Meski banyak orang menilai bahwa filsafat Islam mati sejak serangan Ghazali dalam karyanya “Kesesatan Para Filsuf,” saya justru melihat sebaliknya. Filsafat Islam meraih kecemerlangan sejak serangan Ghazali itu.

Ghazali (1058 – 1111 M) mewarisi gaya berpikir filosofis Islam terkemuka dari karya besar Ibnu Sina (980 – 1037 M). Ibnu Sina mengembangkan filsafat Islam dengan kreasi unik memadukan filsafat Yunani (Aristoteles dan Neo Platonik) dan ajaran-ajaran Islam (Al Kindi dan Al Farabi). Sehingga, dengan mempelajari filsafat Ibnu Sina, Ghazali menguasai semua perdebatan aliran filsafat dengan fasih pada jamannya.
1. Arah Inovasi Divergen
Dengan modal karya besar Tahafut, Kesesatan Para Filsuf, Ghazali mengembangkan bangunan filsafat baru yang lebih kokoh: Ihya Ullumuddin – Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama. Sebagai kitab filsafat, Ihya merupakan inovasi yang jauh berbeda dengan kitab-kitab filsafat sebelumnya. Sehingga, kita bisa memaklumi bila para pemikir menggolongkan Ihya sebagai karya non-filosofis. Untuk bisa memahami Ihya sebagai karya filosofis, dunia perlu berkembang sampai era postmodern dan hermeneutika seperti abad 21 ini.
Inovasi filosofis berikutnya ada di tangan para filosof Islam kreatif pada generasi setelah Ghazali.
2. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd (Averroes, 1126 – 1198) mengembangkan kembali filsafat Islam dengan pendekatan rasional. Ibnu Rusyd menanggapi Ghazali dengan karya besarnya: Tahafut Altahafut. Filsafat Ibnu Rusyd tumbuh subur sampai ke dunia Barat. Pengaruh Ibnu Rusyd sampai ke Descartes dan Leibnitz. Filsafat rasional mencapai puncaknya di era Immanuel Kant (1724 – 1804). Kelak, Kant juga mendorong inovasi besar-besaran filsafat Barat.
2.1 Filsafat Rasional
Ibnu Rusyd mengembangkan sistem filsafat rasional dengan menyusun prioritas argumentasi: [1] demonstrasi; [2] dialektika; [3] retorika; [4] sastra; [5] falasi.
Demonstrasi logis adalah sistem argumentasi paling kuat. Silogisme adalah bentuk demonstrasi terbaik dengan menelusuri kausalitas. “Karena A = 2 + 1 maka A = 3.” Kajian matematika bertabur banyak demonstrasi logis yang sahih.
“Setiap manusia yang lahir sebelum Masehi, sesuai informasi yang tersedia, sudah mati saat ini. Maka, setiap orang yang hidup di tahun 2023 ini, akan mati pada waktunya.”
Silogisme di atas menjadi valid, karena kita bisa mengkaji kausalitas kematian manusia jaman ini. Mati bisa disebabkan oleh sakit, kecelakaan, penuaan atau lainnya. Tanpa menyingkap kausalitas, demonstrasi logis bernilai kurang kuat. Sehingga, kajian filosofis dan sains perlu mengungkap kausalitas dengan jelas.
Dialektika menjadi cara menguatkan argumentasi dengan mengkaji beragam ide yang saling bertentangan: tesis vs anti-tesis; pro vs kontra; induksi vs deduksi; teoritis vs praktis; dan lain-lain.
Retorika merupakan cara komunikasi untuk mendapat dukungan dari banyak pihak. Ide yang mendapat banyak dukungan, wajar diutamakan. Sementara, ide yang sedikit dukungan perlu dikaji ulang.
Sastra merupakan karya yang mampu memicu beragam ide lanjutan. Konsekuensinya, sastra memberi inspirasi untuk melahirkan beragam kreasi dan inovasi. Lebih dari itu, karya sastra memiliki jangkauan pengaruh sampai jauh secara ruang dan waktu.
Falasi adalah sesat logika yang perlu diwaspadai. Tetapi, falasi hanya tidak valid; bisa bernilai benar; bisa salah.
“Jika sapi maka berkaki 4.”
Binatang K berkaki 4; kesimpulan: K adalah sapi. Argumen ini falasi; sesat logika. Karena berkaki 4 bisa saja kuda. Tetapi, bisa juga K memang benar sapi. Falasi perlu diwaspadai sebagai memberi petunjuk bahwa kita perlu lebih jauh untuk mengkaji.
2.2 Intelek Ruhani
Forma adalah penentu realitas. Bukan materi sebagai penentu realitas. Meja kayu adalah ada kayu dengan forma meja. Kursi kayu adalah materi kayu dengan forma kursi. Forma adalah penentu utama. Bukan sebaliknya. Bukan ada forma meja universal yang kosong; kemudian, ada materi berupa kayu menjadi konten bagi forma meja.
Intelek bersifat ruhani, immaterial, forma bagi materi. Intelek adalah penentu utama.
Ibnu Rusyd meyakini bahwa intelek bersifat ruhani; immaterial. Konsekuensinya, kita bisa membedakan: [1] subyek-eksistensi dengan [2] subyek-kebenaran. Ketika Anda melihat pohon di depan rumah tercipta “citra pohon” dalam pikiran. Anda, jiwa dan indera, adalah subyek-eksistensi yang menyebabkan “citra pohon” hadir dalam pikiran. Sementara, pohon di depan rumah adalah subyek-kebenaran sebagai bukti apakah “citra pohon” itu hanya ilusi atau nyata di alam eksternal.
Masih banyak ide-ide menarik dari Averroes; kita akan membahas di tempat yang tepat.
3. Syihabuddin Suhrawardi
Suhrawardi (1154 – 1191) mengembangkan filsafat pencerahan – filsafat iluminasi. Suhrawardi, melalui visinya, berdiskusi dengan Aristoteles yang menyarankan untuk kembali ke dalam diri. Filsafat iluminasi ini sangat kreatif dan berbeda jauh dengan filsafat sebelumnya. Pengetahuan hanya bisa diyakini kebenarannya melalui kehadiran langsung, ilmu hudhuri, knowlegde by present. Kelak filsafat Suhrawardi ini mencapai puncaknya di tangan filsuf besar Mulla Sadra (1572 – 1635).
3.1 Definisi Esensial
Bagian pertama, dari buku Hikmah al Ishraq, memberi kritik tajam terhadap logika Ibnu Sina (dan Aristo). Definisi esensial dari Ibnu Sina tidak akan berhasil menjadi pengetahuan. [1] Bagi yang belum memahami pengetahuan, definisi esensial tidak berhasil menjadi pengetahuan; [2] bagi yang sudah memahami pengetahuan tersebut, mereka tidak membutuhkan definisi esensial. Lebih jauh lagi, setiap formula pengetahuan menghadapi kesulitan petitio-principii atau beg-question.
Bagian kedua, buku Hikmah al Isyraq, memberi solusi filosofis dari beragam masalah melalui ontologi-cahaya. Sebelum solusi, Suhrawardi menunjukkan solusi logika agar terhindar dari falasi; masih di bagian pertama. Suhrawardi menyederhanakan logika menjadi hanya satu bentuk silogisme: afirmasi, universal, dan niscaya.
3.2 Ontologi Cahaya
Cahaya ontologis adalah yang paling jelas dalam dirinya sendiri. Segala sesuatu membutuhkan cahaya agar jelas, agar nyata, agar eksis. Dengan cahaya ontologis, masalah petitio principii selesai. Masalah lebih serius muncul: bagaimana kita bisa mengenali cahaya ontologis? Sayangnya, definisi tidak bisa menjelaskan cahaya. Justru, definisi membutuhkan cahaya agar menjadi jelas. Cahaya bisa kita kenali melalui huduri: pengenalan langsung terhadap cahaya ontologis.
Setelah mengenali cahaya melalui huduri, kita bisa menyusun logika; secara rasional atau simbolis.
Ketika kita melihat suatu obyek, misal pohon di depan rumah, kita benar-benar melihat pohon itu; bukan bit-bit pohon; bukan data-data pohon; bukan gelombang elektromagnetik dari pohon yang kemudian diolah oleh sistem syaraf manusia. Kita benar-benar mengalami “melihat pohon.” Bahwa, kemudian, kita melakukan analisis saintifik terhadap proses terjadinya “melihat pohon” adalah tugas lanjutan yang berbeda level. Jadi, kita bisa membedakan dua level kajian: [1] kajian barza berupa kajian ilmiah dan [2] kajian cahaya ontologis berupa kajian filosofis.
Barza adalah batas, atau pertemuan, atau jembatan, atau modulasi antara cahaya dengan non-cahaya. Pohon di depan rumah saya adalah contoh barza. Saya bisa mengkaji bagaimana seseorang bisa melihat pohon di depan rumah saya. Karena orang tersebut, sebagai subyek pengamat, sedang mengarahkan pandangan mata kepada pohon; cuaca sedang cerah; tidak ada penghalang antara orang dan pohon; serta, subyek pengamat dalam kondisi sehat mata dan jiwa. Ketika semua persyaratan terpenuhi, subyek berhasil mengamati pohon.
Pada situasi tertentu, subyek gagal mengamati pohon. Misal ada penghalang antara mata dan pohon; atau suasana, tiba-tiba, gelap gulita tanpa cahaya; atau mata pengamat sedang sakit katarak rabun, misalnya. Kajian sains terhadap barza bisa mengambil dua mode. Mode positif adalah sains mengkaji berbagai macam syarat, kalkulasi dan rekayasa, agar seseorang berhasil “melihat pohon.” Dan, kedua, mode negatif adalah sains mengkaji apa saja yang memungkinkan menjadikan pengamat gagal “melihat pohon.” Kajian sains ini akan berkembang secara teoritis dan praktis.
3.3 Huduri
Kajian cahaya ontologis filosofis lebih fokus kepada sisi cahaya sejati. Dari obyek barza berupa pohon di depan rumah saya, filsafat mengkaji bagaimana cahaya-pohon bisa hadir dalam cahaya-diri sang subyek pengamat.
Pertama, subyek harus merupakan cahaya sejati yang sadar diri, misal, seorang manusia. Patung manusia tidak akan bisa melihat pohon di depan rumah saya itu; meski, patung mengarahkan mata ke pohon berhari-hari. Begitu juga, orang yang pingsan tidak akan berhasil melihat pohon itu.
Kedua, obyek harus berupa cahaya sejati. Pohon adalah barza yang sebenarnya adalah modulasi cahaya sejati. Jika obyek adalah bukan cahaya maka subyek hanya akan menatap hampa; subyek tidak melihat pohon itu. Karena pohon adalah modulasi-cahaya maka berpotensi menjadi obyek bagi pengamat.
Ketiga, tercipta relasi antara subyek dan obyek yang berupa relasi iluminasi. Subyek dan obyek menyatu oleh relasi. Tetapi, mereka semua adalah cahaya sejati; subyek, obyek, dan relasi adalah sama-sama cahaya. Satu kesatuan ini menjadi subyek cahaya yang baru pada level yang lebih tinggi. Subyek dan obyek saling hadir menjadi satu disebut sebagai huduri.
“Apakah Anda melihat bahwa ada dahan yang patah pada pohon di depan rumah saya?”
“Wah, saya tidak memperhatikannya. Tadi ada ayam di depan rumah. Saya memperhatikan perilaku ayam yang lucu itu. Sama sekali tidak melihat pohon,” jawab teman saya.
Teman saya gagal melihat pohon; meski ada subyek, ada obyek, dan mengarahkan mata kepada pohon. Tetapi, dia tidak menciptakan “relasi iluminasi” antara dirinya dan pohon. Sehingga, cahaya pohon tidak hadir dalam cahaya dirinya. Tentu saja, ada banyak hal yang berpotensi menjadikan gagal melihat pohon.
Mengapa bisa terjadi relasi iluminasi antara subyek dan obyek?
Pertama, karena subyek peduli terhadap masa depan diri dan dunia sekitar. Karena peduli, subyek memperhatikan pohon itu dan “mengikat” masa depan pohon. Bila di masa depan, saya ingin mengenang apa yang pernah saya lihat itu, saya ingin memastikan bahwa itu adalah pohon. Sebaliknya, bila saya tidak peduli terhadap masa depan saya atau masa depan pohon, maka saya tidak peduli apakah obyek itu pohon atau dinding, atau ilusi belaka. Ketika saya tidak peduli, saya tidak melihat apa-apa.
Kedua, apa itu obyek pohon? Pohon adalah penghijauan bagi saya. Pohon menjadikan lingkungan sekitar sejuk berlimpah udara segar; oksigen. Saya perlu merawat pohon itu dengan menyiram air dan memberi pupuk alami. Pada gilirannya, pohon tumbuh segar memberi banyak manfaat bagi manusia.
Pohon adalah penghasil kayu yang bisa dijual bagi seorang pebisnis. Dia menebang pohon itu. Membeli dengan harga murah atau merampas pohon, kemudian, menghasilkan keuntungan besar. Lebih dari itu, pebisnis tertentu bahkan menggunduli hutan hanya untuk memenuhi nafsu serakah menumpuk kekayaan. Sementara, hutan gundul berdampak terjadinya bencana alam yang membahayakan umat manusia. Bagi pebisnis, pohon adalah uang.
Mengapa seseorang melihat pohon sebagai penghijauan, sementara, orang lain melihat pohon sebagai uang? Kita perlu membahas pertanyaan ini secara filosofis di tempat yang tepat; saya sudah menguraikan solusi ini di beberapa tuisan saya yang lain; silakan merujuknya.
Tentu saja, Suhrawardi tidak hanya membahas pengalaman “melihat pohon” dalam kehidupan sehari-hari. Suhrawardi lebih dalam mengkaji pengalaman ruhani.
4. Ibnu Arabi
Ibnu Arabi (1165 – 1240) mengembangkan filsafat wujud dengan kreatif dan orisinal. Filsafat wujud Ibnu Arabi ini begitu canggih dan kompleks sehingga tidak mudah bagi para pemikir untuk memahaminya. Ibnu Arabi pernah bertemu langsung dengan Ibnu Rusyd. Sehingga bagi Ibnu Arabi, filsafat gaya Ibnu Rusyd dan Ghazali adalah bekal untuk proses dialektis. Ibnu Arabi mengkaji filsafat dengan sumber-sumber ajaran Islam dan pendekatan hermeneutika tingkat tinggi. Dengan berkembangnya filsafat hermeneutik di Barat, akhir-akhir ini, karya Ibnu Arabi makin digemari.
4.1 Wujud Tunggal
Semua realitas yang ada adalah wujud yang, pada hakikatnya, adalah tunggal. Orang-orang menyebut wujud yang tunggal sebagai konsep wahdatul wujud; Ibnu Arabi sendiri tidak menggunakan istilah itu. Segala realitas saling terhubung menjadi satu sebagai wujud. Meski demikian, kita bisa membedakan keragaman realitas melalui keragaman materi, bentuk, esensi, kuantitas, kualitas, intensitas, dan lain-lain.
Wujud adalah realitas mutlak yang tidak terbatas. Atau, batas wujud adalah tidak ada; bagaimana pun tidak ada adalah tidak ada; meski kita bisa memahami sebagai suatu konsep. Meski wujud tidak terbatas, wujud tetap bisa menjadi terbatas; wujud bisa memiliki batasan. Bahkan, wujud memiliki seluruh batasan tanpa batas; sehingga batasan wujud adalah tidak terbatas.
Wujud sejati adalah Tuhan Yang Maha Nyata. Sedangkan, wujud dari seluruh realitas adalah manifestasi dari Tuhan. Tuhan adalah Maha Esa, di saat yang sama, Tuhan memiliki Nama-Nama Indah yang jumlahnya 99 Nama atau lebih banyak lagi. Seluruh kajian wujud adalah pembahasan mengenai seluruh realitas dalam rangkulan Nama-Nama Tuhan. Jadi, mengkaji realitas adalah mengkaji Nama Tuhan.
Nama Tuhan, misal Maha Pengasih, adalah karakter Tuhan dalam satu perspektif; dari perspektif lain, Nama Tuhan adalah karakter dari manusia yang sempurna atau insan kamil. Lagi, Ibnu Arabi tidak menggunakan istilah insan kamil; tetapi murid-murid Ibnu Arabi menggunakan konsep insan kamil di banyak tempat. Tujuan utama manusia adalah menjadi insan kamil, yaitu, menjadi salah satu Nama Tuhan yang indah.
4.2 Imajinasi
Dunia imajinal atau imajinasi atau barza memiliki peran penting dalam ontologi Ibnu Arabi.
Realitas adalah wujud, di saat yang sama, memiliki karakter sebagai barza; batas atau penghubung atau jembatan antara dua mode realitas. Atau, realitas selalu memiliki karakter ganda sebagai barza. Realitas adalah manifestasi wujud yang menyingkap rahasia dan, sekaligus, menyembunyikan rahasia. Selalu ada gerak dinamis realitas: menyingkapkan realitas sejati dan selalu masih ada yang perlu disingkap lagi.
Akal adalah barza: jembatan antara diri kita dengan alam eksternal; jembatan antara diri kita dengan Tuhan; jembatan antara rasionalitas dan imajinasi.
Rasionalitas adalah sisi diferensiasi dari akal. Rasio membedakan antara yang baik dengan yang buruk; antara yang besar dengan yang kecil; antara suka dan benci; antara tinggi dan rendah; antara benar dan salah; antara yang jelas dan samar. Rasio membeda-bedakan segalanya dengan teliti. Rasio menganalisis segala sesuatu. Rasio melahirkan kajian sains.
Imajinasi adalah sisi integrasi dari akal. Imajinasi menyatukan antara yang baik dengan yang buruk; antara yang besar dengan yang kecil; antara suka dan benci; antara tinggi dan rendah; antara benar dan salah; antara yang jelas dan samar. Imajinasi merangkul seluruh realitas. Imajinasi merangkul segalanya. Imajinasi melahirkan petualangan seni.
Akal tidak bisa direduksi menjadi rasionalitas belaka atau imajinasi belaka. Akal adalah rasionalitas dan bukan rasionalitas. Akal adalah imajinasi dan bukan imajinasi. Realitas adalah ini dan bukan ini; realitas adalah itu dan bukan itu; realitas adalah aktual dan bukan aktual; realitas adalah stabil dan tidak stabil. Barza adalah jelas dan tersembunyi.
4.3 Nama
Ibnu Arabi meyakini bahwa mukjizat paling besar adalah Kitab Suci. Bahasa tulis dan bahasa lisan bersatu; bahasa rasional dan bahasa simbol; bahasa hukum dan bahasa hikmah; bahasa sejarah dan bahasa futuristik. Bahasa sudah berkembang ribuan tahun yang lalu dan bisa dipahami masyarakat masa kini. Serta, bahasa berpotensi berkembang sampai ribuan tahun ke masa depan.
Setiap nama adalah Nama Indah Tuhan.
Nama-nama adalah dasar dari setiap bahasa. Nama bersifat stabil dan tidak stabil. Bahasa bersifat dinamis dan tidak dinamis.
5. Mulla Sadra
Sadra (1572 – 1635) barangkali bisa kita sebut sebagai filsuf terbesar Islam sepanjang masa. Sadra mengembangkan filsafat teosofi transenden (hikmah mutaaliyah) yang merupakan sintesa terbesar dari semua aliran filsafat sampai pada masa itu. Bukan sekedar sintesa, teosofi transenden merupakan karya besar filsafat yang terpadu, canggih, dan kompleks. Sadra membuktikan keunggulan wujud sesuai dengan ajaran Ibnu Arabi. Melengkapinya dengan sifat wujud yang tasykik – kompleks, ambigu, dan dinamis. Dari Suhrawardi, Sadra menguatkan teori pengetahuan iluminasi (ilmu hudhuri) dan simbolisasi cahaya untuk menjelaskan intensitas wujud – tingkat kuat dan lemahnya. Dan, tentu saja, Sadra mendasarkan semua filsafat teosodi transenden kepada ajaran-ajaran Islam.
Karya Sadra yang begitu mengagumkan membuat saya sering tergoda untuk menilai karya filsuf lain berikutnya adalah catatan kaki dari karya Sadra. Ketika membaca karya Immanuel Kant, Hegel, Nietzsche, Heidegger, sampai Derrida terasa begitu selaras dengan karya-karya Sadra. Tetapi, saya ingat pesan Fazlur Rahman, kritikus Sadra pada abad 20, bahwa kita tidak bisa membandingkan karya-karya mereka. Masing-masing pemikir memiliki konteks tersendiri. Dan, memang benar, meski selaras mereka adalah unik.
Murid-murid Sadra terus mengembangkan filsafat transenden ini sampai sekarang. Kita mengenal Hadi Sabzivari sampai Alamah Tabathabai di abad ke 20. Muthahhari, salah satu murid Tabathabai, berhasil mengembangkan konsep Sadra menjadi pemikiran-pemikiran dinamis dan kontekstual di masa revolusi Iran menjelang akhir abad 20. Sampai sekarang, kampus-kampus di Iran terus mengajarkan filsafat Sadra.
Sekilas, dari uraian di atas, filsafat Islam tidak mati setelah serangan Ghazali. Sebaliknya justru tumbuh subur, bahkan melahirkan karya filsafat Islam yang orisinal. Madzhab filsafat yang divergen. Ghazali membangun filsafat sufistik yang kemudian dilanjutkan, dalam kadar tertentu, oleh Ibnu Arabi. Sementara Ibnu Rusyd melanjutkan filsafat rasional sebagaimana Ibnu Sina (Aristoteles – Neo Platonik). Suhrawardi menciptakan pendekatan baru filsafat dengan iluminasi. Semua gaya filsafat Islam itu, pada abad 17, menyatu dalam filsafat teosofi transenden Mulla Sadra (Hikmah Mutaaliyah).
6. Filsafat Islam Indonesia
Indonesia menjadi negara terbesar dalam jumlah penduduk yang beragama Islam. Tentu ada perkembangan filsafat Islam di Indonesia. Salah satu paling menarik adalah peran Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia melalui proses damai. Kalijaga (1460 – 1513), salah satu anggota Wali Songo termuda, mengajarkan filsafat Islam melalui budaya semisal sastra dan wayang. Di tangan Wali Songo, filsafat menjadi begitu dekat dengan kehidupan masyarakat.
Kisah Dewa Ruci, misalnya, mengajarkan konsep filsafat hubungan dekat antara manusia, Tuhan, dan seluruh alam semesta. Yang menakjubkan, kisah Dewa Ruci ini diterima oleh masyarakat luas, tidak terbatas hanya untuk kaum intelektual. Bila kita cermati filsafat Sunan Kalijaga ini lebih dekat dengan Ghazali dan Ibnu Arabi (dan Rumi). Filsafat Ghazali, sampai saat ini, terus diajarkan di berbagai pesantren. Filsafat wujud Ibn Arabi bisa kita temukan dalam berbagai naskah sejarah.
Barangkali kisah paling seru, kontroversial, adalah kisah Sheikh Siti Jenar berdialog dengan Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga. Siti Jenar berpendapat bahwa filsafat wujud perlu dibuka kepada masyarakat dengan ungkapan yang lebih jelas. Sementara, Kalijaga berpegang bahwa kita hanya bisa mengungkapkan ke masyarakat melalui simbol-simbol. Dan, akhirnya, kita hanya mengetahui kisah ini melalui simbol-simbol yang halus. Di mana, Siti Jenar tampak mengalah, menyetujui pendekatan Wali Songo.
Suatu ketika, Walo Songo mengirim utusan untuk mengundang Siti Jenar untuk hadir dalam dialog.
“Sheikh Siti Jenar, dengan hormat, diundang untuk hadir,” kata utusan.
“Siti Jenar tidak ada di sini. Yang ada hanya Allah,” jawab Siti Jenar.
Utusan kembali ke Wali Songo dengan tangan hampa. Wali Songo mengutus kembali utusan itu dengan redaksi berbeda.
“Dengan hormat, Allah diundang untuk hadir,” kata utusan ke Siti Jenar.
“Tidak ada di sini. Yang ada hanya Siti Jenar,” jawab Siti Jenar.
Utusan kembali ke Wali Songo tetap dengan tangan hampa. Wali Songo mengutus lagi dengan redaksi berbeda.
“Dengan hormat, baik Sheikh Siti Jenar mau pun Allah diundang untuk hadir,” kata utusan.
Utusan itu berhasil menghadirkan Siti Jenar untuk dialog bersama. Bila kita perhatikan, tampak, Siti Jenar begitu dekat dengan ajaran filsafat wujud dari Ibnu Arabi.
7. Indonesia Modern dan Postmodern
Sejenak mari melompat ke Indonesia di jaman modern atau post modern – saat ini. Banyak pemikiran filsafat Islam berkembang di Indonesia. Salah satunya adalah filsafat Islam sosial oleh Cak Nur, Nurcholis Madjid, (1939 – 2005). Filsafat Cak Nur lebih banyak fokus ke keislaman, keindonesiaan, kemodernan, kemanusiaan, dan peradaban.
Yang menarik dari Cak Nur adalah beliau sangat kuat mendukung demokrasi, keadilan, dan keragaman. Barangkali ada hubungannya dengan pemikir sosiolog Robert Bellah dan Max Weber yang sering dirujuk Cak Nur. Dukungan yang kuat kepada demokrasi ini, jelas tertuang, dalam ide sekularisasi dan jargon “Islam Yes, Partai Islam No.” Tentu saja, hal ini mengundang kontroversi besar.
Dari sisi keislaman, Cak Nur ini, bagi saya, lebih menarik lagi. Beliau lebih banyak merujuk ke Ibn Taymiyyah (1263 – 1328), yang begitu berlimpah menggunakan dalil langsung berupa kutipan AlQuran. Dengan tegas, Cak Nur mengutip AlQuran untuk mendukung ide-ide demokrasinya. Dari tahun 1960an sampai masuk abad 21, Cak Nur tetap konsisten mendukung demokrasi dan keislaman.
Menjelang akhir abad 20, Cak Nur melengkapi rujukan pemikiran Islam dengan lebih kuat ke filsafat Ibnu Arabi. Dengan demikian, lebih dekat juga dengan filsafat Ghazali. Pemikiran demokrasi keindonesiaan menjadi lebih kuat dengan nilai-nilai spirtualitas.
Di rentang waktu beriringan, saya, di tahun 2000, mengundang tiga orang pemikir unik di Bandung. Pertama, Armahedi Mahzar (lahir 1943) adalah filsuf yang menggagas Revolusi Integralisme Islam. Saya banyak belajar kepada Bang Armahedi di Masjid Salman ITB. Beliau juga dosen saya mata kuliah Fisika Dasar (TPB). Konsep integralisme, filsafat Armahedi, merupakan proyek besar bangunan filsafat. Sesuai namanya, integralisme, mengintegrasikan beragam aliran filsafat dunia. Termasuk filsafat kuno, filsafat Islam, filsafat analytic, mau pun filsafat kontinental. Masih banyak yang bisa kita kembangkan dari filsafat Integralisme Islam ini.
Kedua, Dimitri Mahayana (lahir 1967), waktu itu baru berusian 33 tahun, adalah pemikir besar dalam bidang filsafat dan teknologi. Pak Dim, sapaan Dimitri, adalah pakar teknologi informasi di ITB. Saya mengambil beberapa mata kuliah di bawah bimbingan Pak Dim, di Jurusan Teknik Elektro ITB. Sebagai pakar TI, Pak Dim mendalami teknologi secara teori dan praktis, penerapan di dunia nyata. Dimitri menulis beberapa buku tentang teknologi futuristik. Akrab dengan sains dan teknologi, memudahkannya untuk mengkaji filsafat sains, filsafat analytic. Barangkali, Dimitri adalah salah satu dari sedikit orang yang mengembangkan filsafat Sadra di Indonesia. Dimitri mengkaji, menerjemahkan, dan menerbitkan filsafat Sadra atau karya Sadra.
Ketiga, Muhammad Zuhri (1939 – 2011) adalah filsuf sufi tulen Indonesia. Pak Muh, sapaan Muhammad Zuhri, membimbing murid-murid di Bandung, Jakarta, Jateng, yang berasal dari seluruh penjuru negeri – dan manca negara. Yang unik dari Pak Muh, berbeda dengan umumnya pemikir lain, menjalani kehidupan sufi sehari-hari, di abad 21 ini. Pak Muh akrab dengan filsafat Ghazali dan Ibnu Arabi. Bukan hanya secara kajian teoritis tetapi, juga, secara realitas kehidupan nyata. Dan tentu saja, akrab dengan Rumi, Athar, Nifari, Rabiah, dan lain-lainnya.
Dalam membaca Ghazali, saya rasa, Pak Muh melampaui Ihya. Cara unik memposisikan seorang hamba di hadapan Tuhan, lebih selaras dengan kitab Raudhah Ghazali, pasca Ihya. Sufi yang mencapai puncak pertemuan dengan Tuhan menyapanya sebagai Aku, kemudian menyapanya sebagai Dia, dan, terakhir, menyapanya sebagai Engkau. Manusia adalah teman dialogis.
Pak Muh sering merujuk filsuf kontinental semisal Bergson, Heidegger, Sartre dan lain-lain. Tentu saja, Pak Muh akrab dengan karya filsuf sang penyair dari Pakistan: Muhammad Iqbal. Bahkan, beberapa buku karya Pak Muh berupa untaian syair puitis: Kasidah Cinta.
Saya senang sekali dapat mengikuti diskusi bersama tiga tokoh besar Indonesia itu – Armahedi Mahzar, Dimitri Mahayana, dan Muhammad Zuhri. Saya merasa optimis dunia intelektual Indonesia akan mengalami kemajuan besar dalam beberapa tahun ke depan. Apa lagi masih banyak pemikir-pemikir besar Indonesia yang lainnya. Di sini, saya hanya hendak menunjukkan bahwa pengaruh Filsafat Ghazali (dan Ibnu Arabi) exist di Indonesia bahkan sampai masa kini.
Filsafat Ghazali itu canggih, kompleks, dan sulit. Tetapi, uniknya, jika kita membaca secara sederhana, kita juga bisa memahami filsafat Ghazali – secara umum. Hal ini berbeda dengan karya Ibnu Arabi, misalnya. Membaca berulang-ulang karya Ibnu Arabi, sang pembaca, bisa saja tidak paham sama sekali. Diulangi lagi, tetap tidak paham. Umumnya karya filsafat memang begitu.
Kita bisa membaca Ghazali lebih dalam bila kita mempertimbangkan filsafat hermeneutik yang dikembangkan di Eropa pada abad 20 dan 21 ini. Dan lebih menarik lagi, dalam membaca Ghazali, bila kita mempertimbangkan mekanika quantum – fisika modern. Kita bisa menemukan ide paralel antara Ghazali dengan fisika quantum. Sementara itu, fisika quantum telah memusingkan para ahli fisika itu sendiri. “Barang siapa mengaku paham fisika quantum maka dia tidak paham quantum.”
8. Tikungan Quantum
Fisika quantum atau quantum mechanic, kita sebut saja sebagai quantum, menumbangkan gaya berpikir sains model Newton (Cartesian). Kebenaran sains yang bersifat pasti, berdasar Newton, menjadi goyah sejak landasan paling dasar. Bagaimana pun, quantum tetaplah sains itu sendiri. Namun, interpretasi terhadap quantum menjadi tanda tanya besar.
Berikut ini, kita akan membahas beberapa tikungan quantum dan mencoba membaca Ghazali melalui tikungan quantum itu.
Pertama, ketidakpastian Heisenberg. Kita tidak pernah mengetahui suatu obyek dengan pasti. Selalu ada ketidakpastian dalam setiap pengetahuan. Dalam quantum, misalnya, kita ingin mengukur keadaan suatu elektron yaitu berupa posisi dan momentum (kecepatan). Hasil pengukuran ini pasti mengandung ketidakpastian. Jika kita ingin mengukur posisi lebih presisi maka mengakibatkan momentumnya makin tidak pasti. Sebaliknya, jika ingin momentum lebih pasti maka posisi menjadi tidak pasti. Hasilnya, kedua-duanya, posisi dan momentum dari elektron, sama-sama tidak pasti.
Sementara, Ghazali berulang kali menyatakan bahwa pengetahuan itu terbatas, selalu ada ketidakpastian. Pengetahuan sejati selalu berupa “rahasia”. Jika kita mengungkap pengetahuan tentang “rahasia” ini dengan kata-kata maka kata-kata tidak mampu mewakilinya. Kata-kata, formula, angka-angka, simbol, dan lain-lain tidak pernah secara pasti mengungkapkan “rahasia.” Bahkan masih ada “rahasia” dari “rahasia.”
Kedua, tikungan quantum, adalah quantum state yang tidak bisa diprediksi arah robohnya. Dalam fisika klasik, kita bisa menduga arah robohnya suatu state. Misal, kita bisa memprediksi suatu mesin akan rusak dalam 1 bulan ke depan dengan mengetahui secara lengkap kondisi atau state mesin itu. Dalam quantum, kita tidak bisa memprediksi seperti itu.
Barangkali, kita mengenal eksperimen Kucing Schrodinger. Kucing itu berada dalam kotak bersama partikel quantum yang bisa meluruh. Jika partikel quantum meluruh maka mengaktifkan racun dalam kotak dan kucing jadi mati. Sementara, jika partikel tidak meluruh maka racun tidak aktif dan kucing tetap hidup. Pertanyaannya, apakah saat ini, sebelum kotak dibuka, kucing itu hidup atau mati?
Analisis fisika klasik gaya Newton mengatakan mungkin saja kucing itu sudah mati atau masih hidup. Keadaan itu sudah pasti. Hanya saja kita belum tahu karena belum membuka kotak tersebut. Sementara, analisis quantum menyatakan berbeda. Kucing tersebut berada dalam quantum state hidup dan mati secara bersamaan. Saat ini, sebelum kotak dibuka, kucing itu sekaligus hidup dan mati. Belum ada satu kepastian. Quantum state belum roboh ke arah mati atau ke arah hidup.
Quantum state memang aneh kan? Kucing tersebut dalam keadaan hidup dan mati bersamaan, selama kotak belum dibuka. Ketika kita membuka kotak maka quantum state baru akan roboh (kolaps) ke satu arah, misal kucing mati.
Keadaan kucing itu hidup atau mati seakan-akan “menunggu” kita. Bila kita tidak membuka kotak maka keadaan kucing tetap “menunggu” terus-menerus. Dan saat kita membuka maka quantum state roboh ke salah satu arah hidup atau mati – yang tidak bisa kita prediksi juga.
Membaca Ghazali dengan tikungan quantum itu makin menarik. Ghazali menggunakan kata atom sebagai penyusun – terkecil – materi seluruh alam semesta. State dari jutaan atom tidak bisa diprediksi. Karena Tuhan menciptakan state atom dari satu saat ke saat berikutnya secara langsung dan baru. Sehingga, menurut Ghazali, pengetahuan kita tentang state atom saat ini, hakikatnya, sama sekali tidak bisa untuk memprediksi state atom saat berikutnya. Kucing Schrodinger itu hidup atau mati tidak bisa kita prediksi dari informasi saat ini dan masa lalu. Pandangan Ghazali selaras dengan quantum state.
Keadaan kucing yang “menunggu” hidup atau mati, menurut Ghazali, memang menunggu keputusan Tuhan. Terserah Tuhan akan memutuskan kucing itu hidup atau lainnya, ketika kita membuka kotak itu. Tapi Ghazali melangkah lebih jauh. Ketika kita belum membuka kotak, bisa saja kucing itu hidup, mati, atau seimbang serentak hidup dan mati. Dalam hasl ini, Ghazali mengakomodasi quantum state – dan lebih radikal.
Ketiga, tikungan quantum adalah prinsip non-lokalitas. Secara umum, sains meyakini prinsip lokalitas – dan menolak non-lokalitas. Sementara, quantum justru menunjukkan fenomena non-lokalitas.
Saya merebus air di kota Bandung sampai berhasil mendidih atau tidak ditentukan oleh faktor-faktor lokal. Di antaranya, suhu udara, panas kompor, ukuran air, dan panci yang saya pakai. Semua faktor penentu itu ada di dekat saya, di Bandung. Maka keberhasilan saya merebus air sampai mendidih sesuai dengan prinsip lokalitas. Quantum menunjukkan ada kejadian sebaliknya.
Pertimbangkan situasi mirip dengan sedikit berbeda. Ketika saya merebus air di Bandung ada teman di saya di Surabaya sedang berniat menanam jagung. Jika teman saya, di Surabaya, jadi menanam jagung maka air saya, di Bandung, berhasil mendidih. Tapi, jika teman saya tidak jadi menanam jagung maka air saya di Bandung tidak jadi mendidih. Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Dalam quantum, hal tersebut sesuai dengan prinsip non-lokalitas.
Bahkan peristiwa non-lokalitas berlangsung dengan instan – tanpa waktu jeda. Tentu saja, eksperimen dilakukan terhadap partikel-partikel subatomik. Contoh saya tentang merebus air adalah sekedar ilustrasi untuk memudahkan memahami prinsip non-lokalitas.
Konsep sains fisika klasik sulit memahami prinsip non-lokalitas dari quantum. Sementara, kita bisa membaca konsep atom Ghazali mampu mengakomodasi prinsip non-lokalitas quantum. Konsep atom Ghazali seiring dengan konsep okasional bahwa jutaan atom selalu diciptakan baru setiap saat secara langsung.
9. Model Epistemik Quantum
Pada tahun 2012, teorema PBR berhasil menolak quantum sebagai model-ontic. Maka teori quantum hanya sebagai model-epistemik yang memberikan informasi tentang realitas ontic.
“In conclusion, we have presented a no-go theorem, which – modulo assumptions – shows that models in which the quantum state is interpreted as mere information about an objective physical state of a system cannot reproduce the predictions of quantum theory. The result is in the same spirit as Bell’s theorem, which states that no local theory can reproduce the predictions of quantum theory.— Matthew F. Pusey, Jonathan Barrett, and Terry Rudolph, “On the reality of the quantum state”, Nature Physics8, 475-478 (2012)”
Barangkali beberapa orang kecewa karena teori quantum hanya sebagai model-epistemik. Saya justru menilai hal tersebut sebagai kesimpulan yang menarik. Bahkan saya menduga: penelitian yang lebih canggih akan menemukan dirinya sebagai model-epistemik, tidak akan berhenti sebagai model-ontic.
Andai suatu saat nanti, teori quantum berhasil menjadi model-ontic maka kajian sains serupa akan menghasilkan model-epistemik baru yang lebih canggih. Model-epistemik ini mengantarkan kita untuk mempertimbangkan filsafat hermeneutik.
Lanjut ke: Hermeneutik

Tinggalkan komentar