Hermeneutika adalah disiplin filsafat paling canggih di abad 21 ini. Ketika beriring dengan filsafat analitik maka dunia filsafat nyaris meraih titik puncak kematangan. Harapan seperti itu bisa musnah karena yang terjadi bisa sebaliknya. Hermeneutik, yang seharusnya, bisa menyatukan beragam perbedaan justru, bisa ironis, memecah-belah segala yang sudah bersatu.
Bagaimana pun, hermeneutika adalah madzhab filsafat yang luar biasa. Gadamer (1900 – 2002) adalah tokoh paling berpengaruh dalam mengembangkan hermeneutika. Dia belajar langsung dari gurunya, Heidegger (1889 – 1976), yang merupakan tokoh utama membangun fondasi hermeneutik ontologis.

Saat ini, abad 21, hermeneutics masih terus berkembang di berbagai belahan dunia. Sebut saja di Kanada ada Charles Taylor, di Itali ada Vattimo, dan di Spanyol ada Zabala. Di Indonesia pun berkembang beragam hermeneutika. Saya sendiri mengembangkan konsep pancajati untuk merespon dinamika kebenaran hermeneutik di era digital.
Tulisan ini akan membahas hermeneutika sebagai “seni interpretasi” berdasar pandangan beberapa tokoh. Kita akan berkenalan dengan konsep hermeneutik dari Heidegger, yang awalnya, adalah untuk “membahas” being sebagai realitas sejati. Heidegger meng-kritik filsafat Barat yang mengaku membahas “being” tetapi justru melupakan “Being” sejak masa Plato sampai Nietzsche. Seni interpretasi dari Heiddegger, yang berkembang jadi hermeneutik, adalah solusi untuk kembali membahas being.
Kemudian, kita akan berkenalan dengan konsep hermeneutik yang matang dari Gadamer, yang menekankan pentingnya bahasa dan proses dialog gaya Socrates. Pemikiran Vattimo, murid dari Gadamer, bisa kita pandang sebagai post-nihilisme. Yaitu langkah afirmasi manusia setelah klaim kebenaran mutlak runtuh oleh nihilisme Nietzsche.
Bagaimana pun, menurut Heidegger, hermeneutik adalah keniscayaan being, khususnya manusia. Manusia selalu melakukan interpretasi. Dan setiap pengetahuan manusia selalu melibatkan aspek interpretasi. Sehingga, kita bisa menelusuri proses hermeneutika sampai jauh ribuan tahun ke masa lalu. Karena itu, kita akan mencoba membahas hermeneutika masa lalu, di antaranya, hermeneutika Ghazali (1058 – 1111), Ibnu Arabi (1165 – 1240), dan Sunan Kalijaga (1460 – 1513).
A Kelemahan Hermeneutika
B Hermeneutika Mengacaukan Tatanan
C Realitas Sejati: Hermeneutika Heidegger
D Dinamika Bersejarah: Hermeneutika Gadamer
E Post-Nihilism: Hermeneutika Vattimo
F Al Ghazali: Hermeneutika Manusia Seimbang
G Ibnu Arabi: Hermeneutika Manusia Sempurna
H Sunan Kalijaga: Hermeneutika Seni Beragama
I Hermeneutika Kitab Suci: Vattimo, Abu Zaid, Shahrur
J Persatuan Hermeneutika: Rorty dan Bernstein
A Kelemahan Hermeneutika
Sebagai perkembangan filsafat paling canggih, hermeneutika memiliki kelemahan yang begitu mengerikan. Kelemahan ini berakar, secara tidak adil, kepada konsep pengetahuan dari Heidegger. Setiap pengetahuan manusia melibatkan interpretasi. Ini benar adanya. Maka setiap klaim kebenaran juga, tentu, melibatkan suatu interpretasi. Hal ini juga benar.
Penerapannya bisa salah!
“Covid tidak bahaya karena 99,9% warga aman dari Covid.” Presiden Trump dan pendukungnya dari dulu menyatakan bahwa covid tidak bahaya. Warga aman-aman saja. Trump mengatakan itu berdasarkan data, kurang dari 1% warga US yang terinfeksi covid. Maka Trump menginterpretasikan 99,9% warga US aman terhadap covid. Tentu saja, itu interpretasi yang salah. Dan, banyak bukti menunjukkan klaim Trump memang salah. Sampai September 2021 ini lebih dari 40 juta penduduk US terinfeksi covid – lebih dari 12% penduduk US telah terinfeksi covid. Sedangkan yang meninggal lebih dari 650 ribu orang. Bayangkan ada berapa ratus ribu anak yatim akibat covid di US?
Berikutnya, mari kita cermati kasus isu jabatan presiden 3 periode di Indonesia.
“Saya tidak berminat menjabat 3 periode. Konstitusi mengamanatkan masa jabatan presiden adalah 2 periode, itu yang harus dijaga.” Begitu kira-kira ungkapan Presiden Jokowi.
Kita bisa menginterpretasikan bahwa Jokowi menolak untuk dicalonkan jabatan presiden 3 periode. Sementara, orang lain bisa memilih interpretasi berbeda. Jika konstitusi diamandemen sehingga dibolehkan jabatan presiden 3 periode maka Jokowi akan bersedia.
Interpretasi mana yang benar? Saat ini, kita belum bisa memastikan kebenarannya karena kejadian 3 periode adalah nanti di tahun 2024 – saat ini belum terjadi.
Contoh-contoh di atas, sejatinya, bukanlah hermeneutik. Melainkan, penyalahgunaan dari hermeneutik. Sebagaimana pisau, hermeneutik bisa berguna, di saat yang sama, bisa merugikan. Pisau bisa memudahkan kita memotong sayuran, di saat yang sama, pisau bisa melukai jari kita.
Di bagian bawah akan tampak jelas kesalahan-kesalahan mereka. Dan, kita bisa memanfaatkan hermeneutika dengan baik. Gadamer sendiri mengatakan bahwa hermeneutik bukanlah metode filsafat tetapi kesadaran filsafat itu sendiri. Derrida (1930 – 2004) juga menyatakan hermeneutik-dekonstruksi bukan suatu metode, melainkan suatu kritik.
Mengubah filsafat hermeneutik menjadi suatu metode adalah kesalahan sangat mendasar.
B Hermeneutika Mengacaukan Tatanan
Dampak susulan dari penyalahgunaan hermeneutika adalah mengacaukan tantanan. Anarki bisa terjadi di mana-mana. Karena setiap klaim adalah interpretasi dan manusia memiliki kebebasan ber-interpretasi maka manusia bisa melakukan klaim kebenaran apa saja.
Lagi-lagi, itu bukan hermeneutika.
Hermeneutika mengakui klaim kebenaran dengan jelas sesuai horison, atau cakrawala, masing-masing. Dan, kita bisa memastikan kesalahan dari suatu pernyataan.
“Pandemi covid telah menginfeksi lebih dari 40 juta penduduk US” adalah pernyataan benar berdasarkan laporan badan kesehatan yang berwenang – cakrawala praktis.
“Penduduk US 99,9% aman terhadap serangan covid” adalah pernyataan yang salah berdasar laporan resmi badan kesehatan.
“Setiap elektron bermuatan listrik negatif” adalah pernyataan benar berdasar cakrawala sains.
“Soekarno adalah presiden ketiga RI” adalah pernyataan salah berdasar cakrawala sejarah.
Dengan cakrawala yang konsisten kita bisa mempertahankan, atau menciptakan, tatanan yang konsisten. Hermeneutika tidak merusak tatanan. Tetapi penyalah-gunaan hermeneutika, memang, bisa merusak tatanan.
Berikutnya, kita akan membahas hermeneutika secara positif. Dengan pembahasan positif ini, kita berharap mampu memahami hermeneutik dengan baik. Serta, kita bisa terhindar dari penyalah-gunaan hermeneutika.
C Realitas Sejati: Hermeneutika Heidegger
Memahami filsafat Heidegger, terutama buku Being and Time, adalah dasar utama dari hermeneutika. Barang siapa memahami filsafat Heidegger maka akan menghargai pentingnya hermeneutika. Masalahnya adalah sulit sekali untuk memahami filsafat Heidegger. Jangankan orang biasa, orang sekaliber Bertrand Russell (1872 – 1970) saja sulit memahami filsafat Heidegger. Padahal mereka, Russell dan Heidegger, sama-sama mendalami filsafat di rentang waktu bersamaan. Russell hanya berkomentar bahwa filsafat Heidegger adalah filsafat yang aneh.
Di bagian ini, kita akan membahas filsafat Heidegger secara ringkas, khususnya yang berhubungan dengan hermeneutika.
Destruksi Metafisika
Sesuai judulnya, Being and Time, memang fokus kepada being dan time itu sendiri. Dalam membahas “being,” Heidegger menyerang dengan keras tradisi filsafat Barat, yang justru, melupakan “Being.” Proyek filsafat Heidegger adalah mengembalikan filsafat untuk membahas “Being” dengan benar. Tetapi ini adalah proyek yang besar dan sulit. Maka Heidegger mengusulkan proyek yang lebih spesifik, yaitu, destruksi metafisika.
Nyatanya, kita tidak bisa meninggalkan metafisika. Kita akan berhadapan dengan metafisika di mana-mana. Yang bisa kita lakukan hanyalah “membelokkan” metafisika menjadi lebih fokus kepada ontologi saja.
Barangkali, kita akan lebih mudah membandingkan metafisika dengan ontologi melalui contoh klaim kebenaran.
Contoh klaim metafisika;
“Atom adalah partikel terkecil penyusun materi.” Dari mana kita tahu? Kita tahu dari eksperimen dan perhitungan matematika yang teliti. Lengkap dengan metode ilmiah yang terpercaya. Dari mana kita tahu metode ilmiah adalah terpercaya? Karena metode ilmiah adalah metode yang paling terpercaya.
Contoh di atas adalah klaim metafisika di mana, pada akhirnya, kita meyakini kebenaran dengan keyakinan yang pasti. Bandingkan dengan klaim ontologi berikut.
Contoh klaim ontologi;
“Atom adalah partikel terkecil penyusun materi.” Dari mana kita tahu? Kita tahu dari eksperimen dan perhitungan matematika yang teliti. Lengkap dengan metode ilmiah yang terpercaya. Dari mana kita tahu metode ilmiah adalah terpercaya? Sejauh ini, dengan beragam keterbatasan manusia, metode ilmiah adalah metode yang paling kita percaya. Barangkali besok atau tahun depan akan ada metode yang lebih baik atau hasil penelitian yang lebih baik.
Contoh yang terakhir adalah contoh klaim ontologi. Di mana, pada akhirnya, kita masih membuka peluang adanya hasil penelitian yang lebih bagus dan berbeda dari klaim ontologi kita yang semula.
Klaim metafisika yakin kepada kebenaran akhir. Sementara, klaim ontologi yakin adanya pertumbuhan kebenaran.
Para ilmuwan, nyatanya, tidak pernah melakukan klaim metafisika. Mereka, para ilmuwan, justru melakukan klaim ontologi. Mereka yakin kebenaran sains adalah kebenaran yang bersifat sementara. Ada peluang pertumbuhan sains yang makin lama makin bagus, sebagai revisi, berbeda dengan sains yang sudah ada.
Tetapi para ahli metafisika bisa saja melakukan klaim metafisika. Mereka meyakini klaim kebenaran yang bersifat sempurna dan abadi.
Sementara, Heidegger mengajak kita melakukan klaim ontologi. Membelokkan fokus kita dari metafisika menuju ontologi. Dan, ini adalah dasar dari hermeneutika.
Kemampuan Interpretasi
Mengapa kita hanya bisa klaim ontologi? Karena, itu adalah karakter dari being, realitas sejati. Kita hadir dalam dunia sebagai being-in-the-world. Kita tidak hadir dalam kehampaan. Maka tugas kita, dan kemampuan kita sebagai being-in-the-world, adalah menginterpretasikan dunia ini. Sehingga, kita tidak punya keyakinan penuh untuk klaim metafisika. Kita hanya bisa melakukan klaim ontologis, melalui interpretasi itu.
Mari kita bandingkan dengan cogito dari Descartes (1596 – 1650): Aku berpikir maka aku ada. Pada masanya, formula cogito ini menyelesaikan banyak masalah. Memberikan pencerahan kemajuan pemikiran. Pada masa sekarang, kita perlu bersikap kritis terhadap cogito itu.
“Aku berpikir maka aku ada” adalah klaim metafisika yang diyakini kebenarannya secara pasti, waktu itu. Saat ini, kita hanya bisa klaim ontologis. Subyek “aku” yang berpikir itu apakah statis atau dinamis, bisa berubah dengan satu dan lain cara? Kita, barangkali, bisa refleksi diri kita masing-masing. Tentu, kita saat ini berbeda dengan diri kita 10 tahun yang lalu. Beda dari sisi pengalaman, wawasan, dan usia tentunya. Meski, tetap ada beberapa hal yang tetap sama dari yang dulu dan sekarang. Maka secara totalitas, subyek “aku” yang berpikir, mengalami perubahan secara dinamis.
Demikian juga aktivitas “berpikir” apakah tetap sama dari jaman dulu sampai sekarang? Tentu saja ada perbedaan. Selanjutnya, subyek “aku” mengarahkan perhatian ke alam sekitar. “Aku” melihat ada pohon, batu, meja, kursi, dan lain-lain. Maka “aku” berhasil membuktikan ada eksistensi di dunia luar, ada suatu dunia fisik. Dengan demikian subyek “aku” berhasil membuktikan ada dua macam substansi yang berbeda. Pertama, substansi jiwa, atau substansi mental, yaitu sang subyek “aku.” Dan, kedua, substansi materi yang mandiri dari subyek, yaitu substansi dunia luar. (Selanjutnya, Descartes membuktikan eksistensi substansi ketiga yaitu substansi Tuhan yang mandiri dari jiwa dan materi ).
Dengan analisis yang sama, seperti sebelumnya, kita bisa mengklaim formula cogito di atas adalah sebentuk interpretasi oleh subyek “aku” terhadap fenomena yang ada. Heidegger, tampak, tidak setuju dengan alur cogito seperti itu. Heidegger lebih memilih konsep being-in-the-world. Subyek “aku” selalu berada dalam dunia, sejak lahir sampai mati. Sehingga, subyek “aku” tidak harus membuktikan eksistensi dirinya mau pun eksistensi dunia luar. Tugas subyek “aku” adalah melakukan interpretasi terhadap seluruh dunia, yang memang sudah ada.
Pengetahuan Ontic dan Ontologi
Wajar bila kita, sampai di sini, bertanya-tanya tentang status pengetahuan. Jika pengetahuan manusia “hanya” sebentuk interpretasi maka pengetahuan semacam itu, rasanya, tidak meyakinkan. Kita memerlukan pengetahuan dengan status yang lebih meyakinkan.
Hermeneutik akan memberikan jawaban yang meyakinkan tentang status pengetahuan yang sepenuhnya meyakinkan.
Immanuel Kant (1724 – 1804) membedakan antara fenomena dan noumena. Semua pengetahuan kita adalah pengetahuan tentang fenomena. Ketika kita melihat meja, misalnya, maka yang kita lihat adalah fenomena meja. Kita melihat warna meja, bentuk meja, ukuran meja, bahan meja, atau kita bisa menimbang berat (massa) dari meja. Semua pengetahuan kita tentang meja adalah sekedar fenomena dari meja, penampakan dari meja. Tetapi, apa sejatinya meja, noumena dari meja masih tersembunyi dari pengetahuan kita.
Apakah kita bisa mengetahui noumena meja? Apakah kita bisa mengetahui meja sejati? Tidak bisa.
Barangkali kita bisa meneliti meja itu dengan ketelitian yang lebih canggih dengan melibatkan ahli fisika, ahli kimia, dan ahli meja – tentunya. Analisis ilmiah paling detil, saat ini, menunjukkan bahwa meja terdiri dari partikel-partikel atom dan sub-atomik. Apakah partikel sub-atomik itu adalah noumena dari meja? Apakah itu meja sejati? Bukan. Partikel-partikel itu, masih tetap, merupakan penampakan dari meja. Jadi, hakikat dari meja sejati itu masih tetap tersembunyi.
Kali ini, mari kita berandai-andai bahwa suatu saat kita bisa mengetahui meja sejati, kita berhasil mengetahui noumena dari meja. Pengetahuan kita tentang noumena meja itu bisa kita sebut sebagai pengetahuan-ontic. Jadi, pengetahuan-ontic ini adalah jawaban dari pertanyaan “apa” hakikat dari meja sejati.
Kita masih bisa bertanya, apakah pengetahuan-ontic seperti itu merupakan pengetahuan tentang realitas meja itu?
Ya, dalam arti realitas esensial meja. Tetapi pengetahuan-ontic tetap tidak berhasil memotret realitas meja sepenuhnya. Pengetahuan-ontic hanya mampu menjawab pertanyaan “apa” sejatinya meja. Sementara, pertanyaan “mengapa” ada meja masih tidak bisa dijawab oleh pengetahuan-ontic. Dan, beberapa pertanyaan ontologis lainnya juga tidak bisa dijawab oleh pengetahuan-ontic: “untuk apa” ada meja? “bagaimana” ada meja? “siapakah” meja itu?
Sampai di sini, kita bisa membedakan lebih jauh lagi antara realitas-ontic dan realitas-ontologis. Realitas-ontic adalah realitas meja sejati. Sementara realitas-ontologis adalah realitas meja sebagai being-in-the-world, sebagai being-with-other. Realitas-ontic barangkali bisa dinyatakan dalam rumusan atau definisi tertentu – meski pun memunculkan beragam paradox. Sementara, realitas-ontologis tidak bisa dibatasi dengan suatu definisi. Kita hanya bisa melakukan interpretasi kepada realitas-ontologis dan merevisi terus-menerus interpretasi itu untuk lebih mendekati kebenaran.
Hermeneutik membuka peluang bagi kita mengelompokkan beberapa jenis pengetahuan dengan lebih meyakinkan. Pertama, pengetahuan-fenomena yaitu pengetahuan tentang penampakan-penampakan. Pengetahuan-fenomena ini penting bagi kita untuk merespon beragam fenomena yang terjadi di masyarakat. Misal, kita jadi mengetahui bagaimana fenomena perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemi covid.
Kedua, pengetahuan-ontic yaitu pengetahuan esensial terhadap hakikat segala sesuatu. Untuk mendapatkan pengetahuan-ontic kita perlu kajian dan penelitian yang mendalam terhadap suatu fenomena sampai menembus ke noumena. Misalnya, kita perlu mempelajari strutur sel virus covid di laboratorium dengan peralatan yang canggih. Pengetahuan-ontic tentang virus ini membantu para peneliti untuk mendesain vaksin, misalnya. Makin kita mendalami pengetauan-ontic maka makin berkembang pengetahuan manusia. Pengetahuan-ontic umat manusia, meski tampaknya bisa dibatasi, nyatanya terus bertumbuh tanpa batas. Kajian sains menunjukkan pertumbuhan pengetahuan-ontic yang dinamis.
Ketiga, pengetahuan-ontologis yaitu pengetahuan tentang realitas. Di mana, kita bisa mengembangkan pengetahuan-ontologis dengan terus-menerus merevisi interpretasi demi interpretasi. Kemajuan pengetahuan-ontologis mengantarkan kita lebih dekat ke realitas kebenaran ontologis. Sementara, kebenaran ontologis itu sendiri terus bergerak dinamis. Dengan demikian, kita perlu secara terus-menerus memperbaiki, menyempurnakan, pengetahuan kita tanpa pernah berhenti.
Selalu ada perbedaan antara realitas-ontic dan realitas-ontologis. Perbedaan tersebut adalah perbedaan ontologis – ontological difference.
Kontribusi Heidegger
Mari kita ringkas kontribusi Heidegger terhadap “fondasi” hermeneutik. Sampai di sini, kita merasakan bahwa istilah “fondasi” tidak begitu tepat disematkan kepada hermeneutik dengan cara seperti biasanya. Hermeneutik justru menggali fondasi demi fondasi tanpa henti. Dengan demikian, tampak jelas, Heidegger memberikan pijakan awal bagi hermeneutik untuk lebih berkembang.
Pertama, destruksi metafisika. Kita perlu “membelokkan” fokus dari metafisika ke arah ontologi. Kita perlu menghindari klaim metafisika yang memandang klaim tersebut sebagai kebenaran sempurna dan abadi. Sebaliknya, kita perlu menyadari bahwa klaim kita adalah klaim ontologis yang perlu secara terus-menerus diuji dan direvisi.
Kedua, interpretasi. Segala pengetahuan kita selalu melibatkan interpretasi dengan satu dan lain cara. Karena keterbatasan interpretasi maka, lagi-lagi, kita perlu terus menguji dan merevisi interpretasi kita. Bahkan pengetahuan tentang fakta, yang diklaim obyektif pun, perlu untuk terus kita cermati.
Ketiga, ontological difference. Selalu ada perbedaan antara realitas-ontologis dengan realitas-ontic. Hal ini menjamin dinamika di seluruh semesta. Jika alam semesta, senantiasa, bersifat dinamis maka wajar saja bila kita juga bersikap dinamis. Hermeneutika memang dinamis.
Dengan memahami kontribusi Heidegger terhadap hermeneutika, seharusnya, orang-orang tidak menyalah-gunakan hermeneutika sebagai sembarangan melakukan interpretasi. Hermeneutika adalah, memang, seni berinterpretasi. Hermeneutika bukan metode. Hermeneutika adalah kesadaran berfilsafat. Hermeneutika adalah kritik berfilsafat.
D Dinamika Bersejarah: Hermeneutika Gadamer
Gadamer, sebagai murid dari Heidegger, melanjutkan proyek pengembangan hermeneutika hingga mencapai puncak kematangan. Di satu sisi, bersama Gadamer, kita lebih mudah memahami hermeneutik. Di sisi lain, hermeneutik menjadi lebih mudah disalahpahami, disalahgunakan, dan disalah-salahkan. Untuk memahami Heidegger, kita perlu kecakapan berpikir yang luar biasa. Sementara, untuk memahami Gadamer, kita perlu menambah kadar kedewasaan yang, juga, luar biasa.
Sesuai judul buku Gadamer yaitu Truth and Method, kita mudah memahami hermenetika sebagai suatu kebenaran dan suatu metode. Sementara, Gadamer sendiri menyatakan bahwa kebenaran dan metode itu saling berlawanan. Ketika kita mengutamakan kebenaran maka kita akan kehilangan metode. Sebaliknya, ketika kita mengutamakan metode maka kita akan makin berjarak dengan kebenaran. Dan, pertanyaannya, lebih utama mana antara kebenaran dengan metode? Jawabannya: lebih mudah metode! Selanjutnya, kensekuensi-konsekuensi logis terjadi sebagaimana harusnya.
Gadamer berhasil memperluas dan memperdalam konsep hermeneutika. Lebih hebat lagi, di tangan Gadamer, hermeneutika memiliki konsekuensi praktis. Sehingga, hermeneutika bisa langsung membahas ekonomi, etika, politik, dan – tentu saja – agama. Serta, lengkap dengan penyalahgunaannya.
Prasangka Sejarah Bahasa
Kita tidak bisa melepaskan diri dari prasangka atau praduga. Selalu ada prasangka dalam setiap pengetahuan manusia. Prasangka tidak selalu bersifat negatif. Justru, prasangka bersifat positif sebagai titik awal mengembangkan pengetahuan. Kita hanya perlu menempatkan prasangka sebagai hipotesis, yang perlu diuji dan disempurnakan.
Sikap yang wajar bagi kita: ketika hipotesis terbukti salah maka kita tolak atau kita revisi, sedangkan ketika hipotesis terbukti benar, maka kita terima sebagai pengetahuan. Hanya saja, hermeneutika tidak berhenti kepada pengetahuan yang terbukti benar itu. Hermeneutika menyarankan kita untuk memandang pengetahuan itu sebagai hipotesis yang baru, yang perlu diuji lagi. Dengan demikian, tidak ada titik henti bagi pegetahuan manusia. Kita perlu terus menguji pengetahuan kita untuk mendapat pengetahuan yang lebih baik lagi.
Kita juga bisa bergerak ke arah sebaliknya terhadap prasangka. Dari mana datangnya prasangka itu? Mengapa kita punya prasangka tertentu? Ada faktor apa saja yang mendorong kita berprasangka seperti itu?
Kita bisa melihat bahwa prasangka kita dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan kita. Pengalaman itu dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan seterusnya. Singkatnya, kita dipengaruhi oleh sejarah budaya kita. Pengetahuan kita terikat oleh sejarah dan budaya kita. Sekali lagi, itu bukan suatu kesalahan. Itu adalah situasi yang melingkupi kita. Siatuasi yang harus kita terima. Untuk kemudian kita menyikapi dengan lebih bijak.
Dari beragam budaya dan sejarah, faktor bahasa adalah yang paling besar mempengaruhi kita. Kita berpartisipasi dalam bahasa, yang sejatinya bahasa itu sudah terbentuk ratusan tahun yang lalu. Kita dibentuk oleh bahasa dalam satu dan lain cara. Meski kita merasa bisa membentuk bahasa, yang lebih banyak terjadi adalah sebaliknya, kita yang dibentuk oleh bahasa.
Sedikit ilustrasi barangkali lebih menarik. Teman-teman kita yang tinggal di Madura, umumnya, tidak membedakan secara bahasa antara warna biru dan hijau. Mereka menyebut dua warna itu sebagai sama yaitu biru. Lalu, kita bisa eksperimen. Di balik kartu yang berwarna biru kita beri tanda B. Sedangkan di balik kartu hijau kita beri tanda H. Kemudian kita menunjukkan kartu itu kepada teman kita yang dari kecil tinggal di Madura. Setelah melihatnya, kita minta teman kita menebak huruf di balik kartu sesuai warnanya. Kita menunjukkan kartu secara terpisah. Apa yang hasilnya?
Bagi kita mudah saja. Warna biru maka huruf B dan warna hijau maka huruf H. Bagi teman kita, ternyata tidak mudah menebaknya. Mereka menganggap semua kartu berwarna biru. Jadi tebakan mereka kadang benar, kadang salah. Bukankah warna biru berbeda dengan hijau? Benar, bagi kita yang terbiasa dengan bahasa biru dan bahasa hijau. Sementara, bagi teman kita yang tidak membedakan secara bahasa antara biru dan hijau, nyatanya, dua warna itu dianggap sama. Tentu saja, setelah latihan beberapa kali, teman kita akan mampu membedakan warna biru dan hijau. Itulah peran bahasa.
Barangkali ilustrasi yang berhubungan dengan kendaraan paling populer di Indonesia adalah mobil Kijang. Orang tua kita, orang yang lahir sebelum 1960, cenderung menganggap sama antara mobil Kijang dan Panther. Semua mobil seperti itu mereka sebut sebagai mobil Kijang – secara bahasa. Lalu kita bisa eksperimen dengan meminta orang tua kita untuk menentukan satu mobil apakah Kijang atau Panther? Mereka akan menjawab mobil Kijang sebagai Kijang dan mobil Panther sebagai Kijang juga. Lagi-lagi ada peran penting bahasa dalam kasus ini.
Hermeneutika menempatkan bahasa pada peran utama dalam membentuk pengetahuan manusia. Pengetahuan kita mengandung unsur prasangka – yang dipengaruhi oleh bahasa, sejarah, dan budaya. Tugas kita adalah meng-interpretasikan dengan sebaik-baiknya segala pengetahuan – dan realitas. Hermeneutika adalah tugas kemanusiaan.
Gadamer memperluas konsep manusia dari Heidegger, being-in-the-world, menjadi manusia dalam bahasa, budaya, dan sejarah. Meski seorang manusia bisa membentuk bahasa, budaya, dan sejarah, proses sebaliknya lebih mudah terjadi.
Pengetahuan Paling Utama
Kemajuan sains dan teknologi begitu mempesona akhir-akhir ini. Makin mengagumkan dengan teknologi digital, lengkap dengan media sosial, yang membentuk budaya manusia kontemporer. Bila, dulu, manusia adalah binatang yang berpikir maka, sekarang, manusia adalah binatang digital. Khususnya di kota besar, dan negara maju, kehidupan manusia makin banyak di dunia digital.
Dunia digital menjadikan manusia lebih mudah mengakses informasi sampai pengetahuan, bisa kapan saja dan di mana saja. Ironisnya, makin banyak informasi tidak menjamin makin banyak pengetahuan manusia. Karena di antara informasi itu, atau sebagian besarnya, berupa hoax. Informasi palsu. Bagaimana kita bisa memperoleh pengetahuan di era digital seperti sekarang ini?
Hermeneutika dan ilmuwan sepakat dalam hal kita memperoleh pengetahuan melalu hipotesa yang kemudian diuji dan direvisi untuk mendapatkan pengetahuan yang berkualitas lebih baik. Hoax pasti lenyap dalam proses pengujian dan revisi itu. Tetapi mereka, ilmuwan dan hermeneutik, berbeda dalam hal bagaimana cara kita mengetahui. Ilmuwan, saintis, meneliti suatu obyek dengan fokus, terbatas, dan obyektif. Sementara, hermeneutika mengatakan cara ilmuwan seperti itu tidak pernah memadai.
Metode ilmiah yang dikembangkan ilmuwan itu akan menghasilkan pengetahuan obyektif yang merupakan pengetahuan-ontik. Hermeneutik menerima pengetahuan-ontik ini dengan baik. Hermeneutik menuntut pengetahuan lebih luas lagi yaitu pengetahuan-ontologis. Di mana pengetahuan-ontologis ini kita peroleh dengan melakukan interpretasi terhadap pengetahuan-ontik dengan mempertimbangkan subyek, budaya, sejarah, dan bahasa.
Gadamer meyakini, pada analisis akhir, pengetahuan tidak bisa direduksi menjadi suatu kriteria obyektif tertentu.
Seperti kita bahas di bagian sebelumnya, hermeneutik mengakui beragam bentuk pengetahuan: pengetahuan-fenomena, pengetahuan-ontik, dan pengetahuan-ontologis. Mereduksi pengetahuan menjadi hanya pengetahuan-ontik yang obyektif adalah kesalahan fatal beberapa pihak.
Kita mengakui pengetahuan matematika merupakan pengetahuan ideal yang nilai kebenarannya terjamin valid. Matematikawan, baik realisme atau anti-realisme, mampu membuat formula matematika untuk kemudian menarik kesimpulan yang valid. Hermeneutik mengakui pengetahuan-ontik dari matematika seperti itu. Hanya saja, kita perlu lebih dari sekedar pengetahuan-ontik seperti itu.
Fisika modern, barangkali, bidang kajian paling ideal. Di satu sisi, fisika menerapkan teori matematika paling canggih. Di sisi lain, fisika mempertimbangkan eksperimen fisik. Saat ini, ada dua cabang fisika paling maju: quantum dan relativitas. Fisika quantum mengkaji fenomena sub-atomik dan menghasilkan teori quantum yang kokoh. Sementara, relativitas mengkaji fenomena alam semesta dan menghasilkan teori relativitas – khusus dan umum – yang teruji sepanjang waktu. Anehnya, teori quantum dan relativitas tidak bisa disatukan. Mereka berlaku, sejauh ini, pada bidang masing-masing, meski pun sama-sama bidang fisika.
Para fisikawan, masa kini, sedang berusaha menyatukan quantum dan relativitas menjadi teori gravitasi quantum. Salah satu kandidat teori gravitasi quantum adalah teori string – yang bersaing dengan teori loop (Loop Quantum Gravity). Mari kita sedikit mendiskusikan teori string – yang masih terus dikembangkan sampai kini.
Segala sesuatu yang ada di alam ini, baik partikel atau gelombang, tersusun oleh string. Dengan demikian, string menyelesaikan masalah dualisme partikel dengan gelombang. Karena keduanya, partikel dan gelobang itu, sama-sama tersusun oleh string. Lalu string itu sendiri apa? String adalah mirip-titik berdimensi satu yang memiliki tegangan. Sehingga string bisa berosilasi – bergetar. String dalam jumlah tertentu, dengan cara tertentu, menyatu membentuk partikel elementer semisal elektron atau foton. Pada gilirannya, partikel elementer ini membentuk proton, neutron, atom, molekul, dan seluruh materi alam semesta – dan gelombang elektromagnetik serta gravitasi. Dengan demikian, seluruh misteri alam semesta dapat kita jelaskan dengan teori string. Teori string berhasil menjadi theory-of-everything.
Dengan teori string yang sempurna seperti itu apakah kita jadi bisa mengetahui semua realitas? Tidak. Sekali lagi tidak bisa. Karena, sehebat apa pun teori string maka pengetahuan kita akan tetap terbatas kepada pengetahuan-ontic. Teori string tetap tidak bisa menjawab beragam pertanyaan: Apa tujuan ada string? Dari mana munculnya string? Mengapa ada manusia? Bagaimana manusia bisa punya imajinasi? Dan lain-lain.
Lebih mendasar lagi, teori string dikembangkan dengan asumsi adanya latar berupa ruang-waktu. Sehingga, teori string tidak akan mampu menjawab pertanyaan: apa itu ruang dan waktu?
Kita perlu tegaskan bahwa teori string, dan sains pada umumnya, adalah pengetahuan-ontic yang bermanfaat dan diperlukan oleh manusia. Lebih dari itu, kita tetap memerlukan pengetahuan-ontologis dengan cara interpretasi yang terus-menerus direvisi. Kita, sebagai manusia memang, membutuhkan hermeneutika.
Dialektika Dialog
Sejak jaman Plato (Sokrates), pengetahuan manusia berkembang melalui dialektika, proses dialog. Hermeneutika memandang penting proses dialektika ini. Proses dialog bisa terjadi antara satu orang dengan orang lain. Bisa juga, proses dialog terjadi antara pembaca dengan suatu tulisan. Proses dialog ini tentu mengandung resiko: hasil dialog tidak seperti harapan awal.
Melalui dialog, hermeneutika menuntut kita menjalankan filsafat politik dan filsafat moral dengan adab yang luhur. Masyarakat yang berdialog terbuka untuk memajukan kehidupan bersama akan mampu membangun kehidupan yang demokratis. Masyarakat jadi menghargai perbedaan pendapat, dan perbedaan dalam banyak hal, untuk kemudian duduk bersama lalu berdialog.
Dialog dengan semangat hermeneutika meyakini bahwa pengetahuan kita, dan pengetahuan setiap orang, adalah pengetahuan yang bisa direvisi terus-menerus. Dengan demikian, dialog adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih valid, dan sekaligus, menjadi cara mengembangkan pengetahuan.
Dialog bukan sekedar saling bicara, bukan pula hanya saling mendengar. Dialog menuntut keyakinan bahwa pihak lain mungkin saja lebih benar dari kita. Gadamer bukan hanya mengajarkan dialog seperti itu. Gadamer, benar-benar, menjalankan dialog hermeneutik dengan baik.
Dialektika melalui dialog meski tampak mudah dilakukan, nyatanya, itu adalah tugas besar manusia. Berikut ini beberapa poin yant perlu kita pertimbangkan dalam dialog.
Pertama, berusahalah untuk mengerti pihak lain. Kita berusaha untuk mendapatkan kebenaran dari teman dialog. Tentu dengan mendengarkan penuh rasa hormat. Selanjutnya, ungkapkan kebenaran yang kita yakini dengan jelas. Dari dua sudut pandang ini, atau lebih banyak sudut pandang, kita bangun dialog untuk menemukan solusi yang lebih baik.
Dialog, barangkali menghasilkan kesepakatan atau konsensus bersama. Dengan hasil ini, para pihak meyakini dan menyetujui kebenaran bersama. Tampaknya, konsensus adalah hasil yang paling diharapkan banyak orang. Ada kalanya, dialog tidak menghasilkan konsensus. Yang terjadi justru dissensus – tidak ada kesepakatan. Meski kedua pihak sama-sama saling memahami, tetap saja, mereka bisa tidak sepakat. Maka sikap saling hormat dari semua pihak perlu dikembangkan. Mengingat hermeneutik meyakini keragaman budaya, bahasa, dan subyektivitas maka hasil dialog bisa saja juga beragam.
Kedua, dialog bisa terjadi antara seseorang dengan suatu teks. Ketika kita membaca suatu buku, sebenarnya, kita sedang berdialog dengan teks atau tulisan. Seorang penulis, barangkali, menulis buku dalam rentang waktu sepuluh tahun yang lalu. Sementara, kita membaca buku tersebut saat ini. Terbayang perbedaan waktu, situasi, latar budaya, bahasa, dan lain-lain antara penulis asli dengan diri kita. Maka, kita perlu mempertimbangkan sudut pandang penulis, cakrawala penulis. Di saat yang sama, kita pasti membawa sudut pandang kita, cakrawala pembaca. Dengan demikian terjadi penggabungan antara cakrawala penulis dan pembaca. Terjadi dialog pembaca dan penulis. Dialog semacam ini bersifat kritis, menurut Gadamer, bisa menghasilkan ide-ide baru di luar dugaan.
Pertimbangkan ketika kita membaca kitab suci. Di mana kitab suci, barangkali, dituliskan sudah 1000 tahun yang lalu atau lebih. Sedangkan kita membaca saat ini. Tentu terdapat perbedaan budaya yang jauh. Paling menonjol adalah perbedaan teknologi jaman digital ini dengan jaman 1000 tahun yang lalu. Begitu juga perbedaan budaya masyarakat dunia, yang saat ini, sudah bersifat global. Maka dalam membaca kitab suci akan terjadi dialog-dialog yang bersifat kritis. Perlu sikap arif, dari seluruh pihak, dalam hal ini.
Ketiga, dialog dengan alam raya. Dialog hermeneutika adalah dialog “being”. Dialog ini tidak terbatas hanya dengan kata-kata. Kita bisa berdialog dengan alam semesta. Bagi umat beragama, bahkan bisa berdialog dengan Tuhan. Seseorang bisa berdoa kepada Tuhan. Kita bisa berdialog dengan realitas sistem ekonomi, sistem politik, bahkan dengan tokoh imajiner. Singkatnya, kita bisa berdialog dengan siapa saja, dengan apa saja.
Dalam dialog dengan alam raya, kita melibatkan penilaian pribadi. Kita, dalam dialog dengan alam raya, dituntut untuk mengambil kesimpulan. Tentu saja, perlu kita sadari bahwa kesimpulan kita adalah hasil interpretasi hermeneutik. Sehingga kesimpulan kita bisa saja salah. Dengan demikian, kita perlu melanjutkan dengan proses refleksi agar kesimpulan – interpretasi – kita lebih mendekati kebenaran.
Kritik Debat Gadamer
Sebagai seorang filsul, Gadamer menjalankan prinsip-prinsip filosofisnya dalam kehidupan nyata. Meski demikian, kritik terhadap Gadamer bertebaran di mana-mana. Dalam beberapa kesempatan, bahkan Gadamer sempat melakukan debat filosofis. Seperti kita sebut, dalam proses debat itu, Gadamer menjalankan prinsip-prinsip hermeneutika dengan baik. Berikut ini, kita akan membahas beberapa kritik terhadap Gadamer.
Pertama, menyebabkan hermeneutik mudah disalahgunakan. Berbeda dengan Heidegger yang menulis filsafat dengan bahasa sulit dipahami, Gadamer menulis filsafat dengan bahasa yang mudah dipahami oleh banyak kalangan. Bahkan, karya Gadamer bisa dianggap sebagai “metode praktis” hermeneutik. Sebuah interpretasi yang sering ditolak oleh Gadamer. Akibat interpretasi mereka itu, hermeneutik sering disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengelabui pihak lain. Dan, sampai kadar tertentu, hermeneutik direndahkan sebagai metode sembarangan yang terjebak dalam relativisme.
Tentu saja, penyalahgunaan hermeneutik bukan tanggung jawab Gadamer. Mereka bertanggung jawab atas perilaku mereka sendiri. Gadamer telah menulis buku dengan baik. Gadamer telah merumuskan filsafat hermeneutik dengan baik. Tidak ada masalah dengan Gadamer.
Kedua, hermeneutik mengubah sains menjadi pengetahuan subyektif. Khususnya ilmu sosial, menjadi teori yang bersifat subyektif. Karena semua teori sosial dipengaruhi oleh subyek pengamat, latar budaya, bahasa, dan interpretasi dari masing-masing ilmuwan. Gadamer menolak penilaian semacam itu. Konsep hermeneutik Gadamer, sekali lagi, bukanlah metode. Konsep hermeneutik Gadamer bersifat deskripsi, menggambarkan apa sejatinya yang terjadi ketika seorang ilmuwan merumuskan suatu teori sosial, misalnya. Bahwa dalam proses tersebut dipengaruhi oleh interpretasi subyektif ilmuwan, memang, seperti itu yang terjadi. Namun demikian, proses interpretasi semacam itu tidak serta-merta menjadi subyektif. Dalam cakrawala tertentu, horison tertentu, teori sosial tetap bisa bersifat obyektif.
Ketika ahli ekonomi menyusun teori ekonomi, tentu saja, dia dipengaruhi pengalaman pribadi, budaya, dan bahasanya. Sejauh ahli ekonomi itu menerapkan kaidah-kaidah ilmiah sesuai cakrawalanya maka teori ekonominya tetap bisa bersifat obyektif. Apa lagi, jika ahli ekonomi itu kemudian dialog dengan komunitasnya untuk merevisi teori ekonomi tersebut maka karakter obyektif makin kuat. Dengan demikian, hermeneutik tetap menjaga pengetahuan bisa bersifat obyektif sesuai cakrawala masing-masing.
Ketiga, hermeneutik tidak mampu mendeteksi ideologi yang mengendalikan masyarakat. Habermas (1929 – ) melontarkan kritik tersebut di tahun 1970an. Sejatinya, Habermas dan Gadamer lebih banyak titik temunya dan hanya ada sedikit beda pandangan – seperti masalah ideologi di atas. Habermas sendiri, tampaknya, sengaja memancing debat dengan para filsuf lain untuk mengangkat isu filosofis penting tertentu. Terbukti, debat Habermas dengan Gadamer ini, mengantar konsep hermeneutik lebih dikenal di seluruh dunia.
Karena hermeneutik, menurut Habermas, berpegang kepada tradisi, budaya, dan sejarah maka hermeneutik tidak mampu membebaskan diri dari jeratan ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Hermeneutik perlu bersikap kritis dan membebaskan diri dari itu semua agar mampu melepaskan diri dari kungkungan ideologi. Tentu saja, kita tahu, Gadamer mengijinkan hermeneutik untuk bersikap kritis terhadap semua ideologi. Namun melepaskan diri dari sejarah, untuk kemudian meng-klaim diri sebagai obyektif, justru merupakan dogma yang kaku – yang perlu kita hindari. Dengan demikian, hermeneutik tetap mampu mengenali konsep ideologi.
Keempat, kritik terhadap kebenaran absolut hermeneutik. Derrida (1930 – 2004) melontarkan kritik ini tepat pada jantung hermeneutik. Sejatinya, Derrida dan Gadamer, keduanya adalah sama-sama penerus dari Heidegger. Derrida mengembangkan proyek destruksi metafisika, dari Heidegger, menjadi dekonstruksi filosofis. Sementara, Gadamer mengembangkan karakter pengetahuan interpretatif, dari Heidegger, menjadi hermeneutika filosofis.
Derrida menolak ide Gadamer yang menyatakan bahwa proses revisi interpretasi terus-menerus dari hermeneutik akan mengantarkan kita kepada kebenaran sejati. Menurut Derrida, kebenaran sejati seperti itu tidak pernah diraih, dengan cara apa pun. Baik, hermeneutik mau pun dekonstruksi, sama-sama tidak akan berhasil meraih kebenaran sejati. Derrida berpegang pada konsep differance yang bermakna ganda: makna berbeda dengan tanda dan makna selalu tertunda.
Bagian pertama yang menyatakan bahwa makna berbeda dengan tanda bisa kita pahami dengan mudah. Sementara, bagian kedua, menyatakan bahwa makna selalu tertunda, bisa kita bahas lebih detil. Suatu tanda akan menunjuk ke suatu makna. Nyatanya, makna itu sendiri merupakan suatu tanda pula, tanda yang baru. Pada gilirannya, tanda ini akan menunjuk ke makna lagi, makna yang baru. Dan begitu seterusnya tidak pernah berhenti. Sehingga makna akhir tidak pernah kita raih. Makna selalu tertunda. Demikian juga, kebenaran sejati selalu tertunda.
Kritik dari Derrida ini, tampaknya, memang harus diterima. Gadamer sendiri bersikap terbuka terhadap kritik ini dan kritik-kritik lainnya. Kita bisa memahami maksud Gadamer dengan kebenaran sejati adalah kebenaran maksimal yang bisa kita raih dengan hermeneutik, dengan revisi terus-menerus. Kebenaran ini bersifat temporal dan dinamis. Sehingga, klaim kebenaran ini adalah kebenaran-ontologis bukan kebenaran-metafisis. Dengan demikian, hermeneutik seiring sejalan dengan konsep differance dari Derrida.
Kelima, penyebaran framing informasi digital. Di akhir abad 20, ketika Gadamer mengembangkan hermeneutik, barangkali orang-orang tidak berpikir akan datangnya suatu era digital, di mana informasi bisa menyebar begitu cepatnya dalam hitungan detik. Hermeneutik, disalahgunakan, untuk me-framing informasi sesuatu kepentingan pihak tertentu. Informasi palsu, informasi hoax, bertebaran di dunia digital, di abad 21 ini.
Lebih parah lagi, framing dunia digital tidak hanya melibatkan kemampuan pikiran manusia. Framing digital juga memanfaatkan kekuatan jaringan komputer raksasa di seluruh dunia dengan kecerdasan buatan, artificial intelligence. Kombinasi otak manusia yang serakah dan kecerdasan buatan sangat ampuh untuk mencuci otak umat manusia di seluruh dunia.
Memang benar, hermeneutika bisa disalahgunakan untuk memproduksi framing informasi hoax. Namun kita tahu, itu bukan salah hermeneutika, bukan pula salah Gadamer. Justru, dengan kesadaran hermeneutika, kita mampu merevisi berita-berita hoax itu melalui pengujian-pengujian dan revisi. Sehingga, di era digital, kita makin membutuhkan masyarakat yang berkesadaran hermeneutik.
Kontribusi Gadamer
Banyak sekali kontribusi Gadamer dalam mengembangkan hermeneutika filosofis. Barangkali kita akan menekankan kembali tiga kontribusi utama Gadamer. Pertama, Gadamer memperluas faktor-faktor yang mempengaruhi interpretasi seseorang sampai ke sejarah, budaya, dan bahasa. Sehingga kita perlu melakukan beragam pengujian ulang terhadap setiap interpretasi kita.
Kedua, pengetahuan manusia melebihi dari sekedar pengetahuan-ontic. Dengan tegas, Gadamer menerima keabsahan pengetahuan-ontic yang bersifat obyektif. Di saat yang sama, kita perlu terus mengkaji ulang pengetahuan obyektif itu. Karena, pada analisis akhir, pengetahuan tidak bisa dibatasi hanya dengan suatu kriteria tertentu.
Ketiga, manusia berkembang dialektis melalui proses dialog. Perbedaan dari banyak pihak adalah modal utama untuk melakukan dialog demi kemajuan bersama. Hermeneutik menilai penting proses dialog secara luas. Baik dialog antar manusia, dialog bersama teks, dan dialog bersama alam raya. Tentu saja, dialog bersama Tuhan.
E Post-Nihilism: Hermeneutika Vattimo
Vattimo (1936 – ) mengantarkan hermeneutika ke babak baru. Saat ini, Vattimo berusia 86 tahun. Karena itu, Vattimo mengembangkan hermeneutika di era digital yang serba global ini. Kita berharap mendapatkan ide-ide hermeneutik yang kekinian dari Vattimo. Dan, memang begitulah adanya. Vattimo belajar hermeneutika langsung dari Gadamer.
Akhir Sejarah
F Al Ghazali: Hermeneutika Manusia Seimbang
G Ibnu Arabi: Hermeneutika Manusia Sempurna
H Sunan Kalijaga: Hermeneutika Seni Beragama
I Hermeneutika Kitab Suci: Vattimo, Abu Zaid, Shahrur
J Persatuan Hermeneutika: Rorty dan Bernstein
Tinggalkan komentar