Filsafat Islam mengalami lompatan paling kreatif sejak jaman Imam Al Ghazali. Wajar saja, bila beliau, Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam – Sang Pembela Islam, Bukti Kebenaran Islam.
Meski banyak orang menilai bahwa filsafat Islam mati sejak serangan Ghazali dalam karyanya “Kesesatan Para Filsuf,” saya justru melihat sebaliknya. Filsafat Islam meraih kecemerlangan sejak serangan Ghazali itu.

Ghazali (1058 – 1111 M) mewarisi gaya berpikir filosofis Islam terkemuka dari karya besar Ibnu Sina (980 – 1037 M). Ibnu Sina mengembangkan filsafat Islam dengan kreasi unik memadukan filsafat Yunani (Aristoteles dan Neo Platonik) dan ajaran-ajaran Islam (Al Kindi dan Al Farabi). Sehingga, dengan mempelajari filsafat Ibnu Sina, Ghazali menguasai semua perdebatan aliran filsafat dengan fasih pada jamannya.
Arah Inovasi Divergen
Dengan modal karya besar Tahafut, Kesesatan Para Filsuf, Ghazali mengembangkan bangunan filsafat baru yang lebih kokoh: Ihya Ullumuddin – Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama. Sebagai kitab filsafat, Ihya merupakan inovasi yang jauh berbeda dengan kitab-kitab filsafat sebelumnya. Sehingga, kita bisa memaklumi bila para pemikir menggolongkan Ihya sebagai karya non-filosofis. Untuk bisa memahami Ihya sebagai karya filosofis, dunia perlu berkembang sampai era postmodern dan hermeneutika seperti abad 21 ini.
Inovasi filosofis berikutnya ada di tangan para filosof Islam kreatif pada generasi setelah Ghazali.
Ibnu Rusyd (Averrous, 1126 – 1198) mengembangkan kembali filsafat Islam dengan pendekatan rasional. Ibnu Rusyd menanggapi Ghazali dengan karya besarnya: Tahafut Altahafut. Filsafat Ibnu Rusyd tumbuh subur sampai ke dunia Barat. Pengaruh Ibnu Rusyd sampai ke Descartes dan Leibnitz. Filsafat rasional mencapai puncaknya di era Immanuel Kant (1724 – 1804). Kelak, Kant juga mendorong inovasi besar-besaran filsafat Barat.
Syihabuddin Suhrawardi (1154 – 1191) mengembangkan filsafat pencerahan – filsafat iluminasi. Suhrawardi, melalui visinya, berdiskusi dengan Aristoteles yang menyarankan untuk kembali ke dalam diri. Filsafat iluminasi ini sangat kreatif dan berbeda jauh dengan filsafat sebelumnya. Pengetahuan hanya bisa diyakini kebenarannya melalui kehadiran langsung, ilmu hudhuri, knowlegde by present. Kelak filsafat Suhrawardi ini mencapai puncaknya di tangan filsuf besar Mulla Sadra (1572 – 1635).
Ibnu Arabi (1165 – 1240) mengembangkan filsafat wujud dengan kreatif dan orisinal. Filsafat wujud Ibnu Arabi ini begitu canggih dan kompleks sehingga tidak mudah bagi para pemikir untuk memahaminya. Ibnu Arabi pernah bertemu langsung dengan Ibnu Rusyd. Sehingga bagi Ibnu Arabi, filsafat gaya Ibnu Rusyd dan Ghazali adalah bekal untuk proses dialektis. Ibnu Arabi mengkaji filsafat dengan sumber-sumber ajaran Islam dan pendekatan hermeneutika tingkat tinggi. Dengan berkembangnya filsafat hermeneutik di Barat, akhir-akhir ini, karya Ibnu Arabi makin digemari.
Mulla Sadra (1572 – 1635) barangkali bisa kita sebut sebagai filsuf terbesar Islam sepanjang masa. Sadra mengembangkan filsafat teosofi transenden (hikmah mutaaliyah) yang merupakan sintesa terbesar dari semua aliran filsafat sampai pada masa itu. Bukan sekedar sintesa, teosofi transenden merupakan karya besar filsafat yang terpadu, canggih, dan kompleks. Sadra membuktikan keunggulan wujud sesuai dengan ajaran Ibnu Arabi. Melengkapinya dengan sifat wujud yang tasykik – kompleks, ambigu, dan dinamis. Dari Suhrawardi, Sadra menguatkan teori pengetahuan iluminasi (ilmu hudhuri) dan simbolisasi cahaya untuk menjelaskan intensitas wujud – tingkat kuat dan lemahnya. Dan, tentu saja, Sadra mendasarkan semua filsafat teosodi transenden kepada ajaran-ajaran Islam.
Karya Sadra yang begitu mengagumkan membuat saya sering tergoda untuk menilai karya filsuf lain berikutnya adalah catatan kaki dari karya Sadra. Ketika membaca karya Immanuel Kant, Hegel, Nietzsche, Heidegger, sampai Derrida terasa begitu selaras dengan karya-karya Sadra. Tetapi, saya ingat pesan Fazlur Rahman, kritikus Sadra pada abad 20, bahwa kita tidak bisa membandingkan karya-karya mereka. Masing-masing pemikir memiliki konteks tersendiri. Dan, memang benar, meski selaras mereka adalah unik.
Murid-murid Sadra terus mengembangkan filsafat transenden ini sampai sekarang. Kita mengenal Hadi Sabzivari sampai Alamah Tabathabai di abad ke 20. Muthahhari, salah satu murid Tabathabai, berhasil mengembangkan konsep Sadra menjadi pemikiran-pemikiran dinamis dan kontekstual di masa revolusi Iran menjelang akhir abad 20. Sampai sekarang, kampus-kampus di Iran terus mengajarkan filsafat Sadra.
Sekilas, dari uraian di atas, filsafat Islam tidak mati setelah serangan Ghazali. Sebaliknya justru tumbuh subur, bahkan melahirkan karya filsafat Islam yang orisinal. Madzhab filsafat yang divergen. Ghazali membangun filsafat sufistik yang kemudian dilanjutkan, dalam kadar tertentu, oleh Ibnu Arabi. Sementara Ibnu Rusyd melanjutkan filsafat rasional sebagaimana Ibnu Sina (Aristoteles – Neo Platonik). Suhrawardi menciptakan pendekatan baru filsafat dengan iluminasi. Semua gaya filsafat Islam itu, pada abad 17, menyatu dalam filsafat teosofi transenden Mulla Sadra (Hikmah Mutaaliyah).
Filsafat Islam Indonesia
Indonesia menjadi negara terbesar dalam jumlah penduduk yang beragama Islam. Tentu ada perkembangan filsafat Islam di Indonesia. Salah satu paling menarik adalah peran Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia melalui proses damai. Kalijaga (1460 – 1513), salah satu anggota Wali Songo termuda, mengajarkan filsafat Islam melalui budaya semisal sastra dan wayang. Di tangan Wali Songo, filsafat menjadi begitu dekat dengan kehidupan masyarakat.
Kisah Dewa Ruci, misalnya, mengajarkan konsep filsafat hubungan dekat antara manusia, Tuhan, dan seluruh alam semesta. Yang menakjubkan, kisah Dewa Ruci ini diterima oleh masyarakat luas, tidak terbatas hanya untuk kaum intelektual. Bila kita cermati filsafat Sunan Kalijaga ini lebih dekat dengan Ghazali dan Ibnu Arabi (dan Rumi). Filsafat Ghazali, sampai saat ini, terus diajarkan di berbagai pesantren. Filsafat wujud Ibn Arabi bisa kita temukan dalam berbagai naskah sejarah.
Barangkali kisah paling seru, kontroversial, adalah kisah Sheikh Siti Jenar berdialog dengan Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga. Siti Jenar berpendapat bahwa filsafat wujud perlu dibuka kepada masyarakat dengan ungkapan yang lebih jelas. Sementara, Kalijaga berpegang bahwa kita hanya bisa mengungkapkan ke masyarakat melalui simbol-simbol. Dan, akhirnya, kita hanya mengetahui kisah ini melalui simbol-simbol yang halus. Di mana, Siti Jenar tampak mengalah, menyetujui pendekatan Wali Songo.
Suatu ketika, Walo Songo mengirim utusan untuk mengundang Siti Jenar untuk hadir dalam dialog.
“Sheikh Siti Jenar, dengan hormat, diundang untuk hadir,” kata utusan.
“Siti Jenar tidak ada di sini. Yang ada hanya Allah,” jawab Siti Jenar.
Utusan kembali ke Wali Songo dengan tangan hampa. Wali Songo mengutus kembali utusan itu dengan redaksi berbeda.
“Dengan hormat, Allah diundang untuk hadir,” kata utusan ke Siti Jenar.
“Tidak ada di sini. Yang ada hanya Siti Jenar,” jawab Siti Jenar.
Utusan kembali ke Wali Songo tetap dengan tangan hampa. Wali Songo mengutus lagi dengan redaksi berbeda.
“Dengan hormat, baik Sheikh Siti Jenar mau pun Allah diundang untuk hadir,” kata utusan.
Utusan itu berhasil menghadirkan Siti Jenar untuk dialog bersama. Bila kita perhatikan, tampak, Siti Jenar begitu dekat dengan ajaran filsafat wujud dari Ibnu Arabi.
Indonesia Modern dan Postmodern
Sejenak mari melompat ke Indonesia di jaman modern atau post modern – saat ini. Banyak pemikiran filsafat Islam berkembang di Indonesia. Salah satunya adalah filsafat Islam sosial oleh Cak Nur, Nurcholis Madjid, (1939 – 2005). Filsafat Cak Nur lebih banyak fokus ke keislaman, keindonesiaan, kemodernan, kemanusiaan, dan peradaban.
Yang menarik dari Cak Nur adalah beliau sangat kuat mendukung demokrasi, keadilan, dan keragaman. Barangkali ada hubungannya dengan pemikir sosiolog Robert Bellah dan Max Weber yang sering dirujuk Cak Nur. Dukungan yang kuat kepada demokrasi ini, jelas tertuang, dalam ide sekularisasi dan jargon “Islam Yes, Partai Islam No.” Tentu saja, hal ini mengundang kontroversi besar.
Dari sisi keislaman, Cak Nur ini, bagi saya, lebih menarik lagi. Beliau lebih banyak merujuk ke Ibn Taymiyyah (1263 – 1328), yang begitu berlimpah menggunakan dalil langsung berupa kutipan AlQuran. Dengan tegas, Cak Nur mengutip AlQuran untuk mendukung ide-ide demokrasinya. Dari tahun 1960an sampai masuk abad 21, Cak Nur tetap konsisten mendukung demokrasi dan keislaman.
Menjelang akhir abad 20, Cak Nur melengkapi rujukan pemikiran Islam dengan lebih kuat ke filsafat Ibnu Arabi. Dengan demikian, lebih dekat juga dengan filsafat Ghazali. Pemikiran demokrasi keindonesiaan menjadi lebih kuat dengan nilai-nilai spirtualitas.
Di rentang waktu beriringan, saya, di tahun 2000, mengundang tiga orang pemikir unik di Bandung. Pertama, Armahedi Mahzar (lahir 1943) adalah filsuf yang menggagas Revolusi Integralisme Islam. Saya banyak belajar kepada Bang Armahedi di Masjid Salman ITB. Beliau juga dosen saya mata kuliah Fisika Dasar (TPB). Konsep integralisme, filsafat Armahedi, merupakan proyek besar bangunan filsafat. Sesuai namanya, integralisme, mengintegrasikan beragam aliran filsafat dunia. Termasuk filsafat kuno, filsafat Islam, filsafat analytic, mau pun filsafat kontinental. Masih banyak yang bisa kita kembangkan dari filsafat Integralisme Islam ini.
Kedua, Dimitri Mahayana (lahir 1967), waktu itu baru berusian 33 tahun, adalah pemikir besar dalam bidang filsafat dan teknologi. Pak Dim, sapaan Dimitri, adalah pakar teknologi informasi di ITB. Saya mengambil beberapa mata kuliah di bawah bimbingan Pak Dim, di Jurusan Teknik Elektro ITB. Sebagai pakar TI, Pak Dim mendalami teknologi secara teori dan praktis, penerapan di dunia nyata. Dimitri menulis beberapa buku tentang teknologi futuristik. Akrab dengan sains dan teknologi, memudahkannya untuk mengkaji filsafat sains, filsafat analytic. Barangkali, Dimitri adalah salah satu dari sedikit orang yang mengembangkan filsafat Sadra di Indonesia. Dimitri mengkaji, menerjemahkan, dan menerbitkan filsafat Sadra atau karya Sadra.
Ketiga, Muhammad Zuhri (1939 – 2011) adalah filsuf sufi tulen Indonesia. Pak Muh, sapaan Muhammad Zuhri, membimbing murid-murid di Bandung, Jakarta, Jateng, yang berasal dari seluruh penjuru negeri – dan manca negara. Yang unik dari Pak Muh, berbeda dengan umumnya pemikir lain, menjalani kehidupan sufi sehari-hari, di abad 21 ini. Pak Muh akrab dengan filsafat Ghazali dan Ibnu Arabi. Bukan hanya secara kajian teoritis tetapi, juga, secara realitas kehidupan nyata. Dan tentu saja, akrab dengan Rumi, Athar, Nifari, Rabiah, dan lain-lainnya.
Dalam membaca Ghazali, saya rasa, Pak Muh melampaui Ihya. Cara unik memposisikan seorang hamba di hadapan Tuhan, lebih selaras dengan kitab Raudhah Ghazali, pasca Ihya. Sufi yang mencapai puncak pertemuan dengan Tuhan menyapanya sebagai Aku, kemudian menyapanya sebagai Dia, dan, terakhir, menyapanya sebagai Engkau. Manusia adalah teman dialogis.
Pak Muh sering merujuk filsuf kontinental semisal Bergson, Heidegger, Sartre dan lain-lain. Tentu saja, Pak Muh akrab dengan karya filsuf sang penyair dari Pakistan: Muhammad Iqbal. Bahkan, beberapa buku karya Pak Muh berupa untaian syair puitis: Kasidah Cinta.
Saya senang sekali dapat mengikuti diskusi bersama tiga tokoh besar Indonesia itu – Armahedi Mahzar, Dimitri Mahayana, dan Muhammad Zuhri. Saya merasa optimis dunia intelektual Indonesia akan mengalami kemajuan besar dalam beberapa tahun ke depan. Apa lagi masih banyak pemikir-pemikir besar Indonesia yang lainnya. Di sini, saya hanya hendak menunjukkan bahwa pengaruh Filsafat Ghazali (dan Ibnu Arabi) exist di Indonesia bahkan sampai masa kini.
Filsafat Ghazali itu canggih, kompleks, dan sulit. Tetapi, uniknya, jika kita membaca secara sederhana, kita juga bisa memahami filsafat Ghazali – secara umum. Hal ini berbeda dengan karya Ibnu Arabi, misalnya. Membaca berulang-ulang karya Ibnu Arabi, sang pembaca, bisa saja tidak paham sama sekali. Diulangi lagi, tetap tidak paham. Umumnya karya filsafat memang begitu.
Kita bisa membaca Ghazali lebih dalam bila kita mempertimbangkan filsafat hermeneutik yang dikembangkan di Eropa pada abad 20 dan 21 ini. Dan lebih menarik lagi, dalam membaca Ghazali, bila kita mempertimbangkan mekanika quantum – fisika modern. Kita bisa menemukan ide paralel antara Ghazali dengan fisika quantum. Sementara itu, fisika quantum telah memusingkan para ahli fisika itu sendiri. “Barang siapa mengaku paham fisika quantum maka dia tidak paham quantum.”
Tikungan Quantum
Fisika quantum atau quantum mechanic, kita sebut saja sebagai quantum, menumbangkan gaya berpikir sains model Newton (Cartesian). Kebenaran sains yang bersifat pasti, berdasar Newton, menjadi goyah sejak landasan paling dasar. Bagaimana pun, quantum tetaplah sains itu sendiri. Namun, interpretasi terhadap quantum menjadi tanda tanya besar.
Berikut ini, kita akan membahas beberapa tikungan quantum dan mencoba membaca Ghazali melalui tikungan quantum itu.
Pertama, ketidakpastian Heisenberg. Kita tidak pernah mengetahui suatu obyek dengan pasti. Selalu ada ketidakpastian dalam setiap pengetahuan. Dalam quantum, misalnya, kita ingin mengukur keadaan suatu elektron yaitu berupa posisi dan momentum (kecepatan). Hasil pengukuran ini pasti mengandung ketidakpastian. Jika kita ingin mengukur posisi lebih presisi maka mengakibatkan momentumnya makin tidak pasti. Sebaliknya, jika ingin momentum lebih pasti maka posisi menjadi tidak pasti. Hasilnya, kedua-duanya, posisi dan momentum dari elektron, sama-sama tidak pasti.
Sementara, Ghazali berulang kali menyatakan bahwa pengetahuan itu terbatas, selalu ada ketidakpastian. Pengetahuan sejati selalu berupa “rahasia”. Jika kita mengungkap pengetahuan tentang “rahasia” ini dengan kata-kata maka kata-kata tidak mampu mewakilinya. Kata-kata, formula, angka-angka, simbol, dan lain-lain tidak pernah secara pasti mengungkapkan “rahasia.” Bahkan masih ada “rahasia” dari “rahasia.”
Kedua, tikungan quantum, adalah quantum state yang tidak bisa diprediksi arah robohnya. Dalam fisika klasik, kita bisa menduga arah robohnya suatu state. Misal, kita bisa memprediksi suatu mesin akan rusak dalam 1 bulan ke depan dengan mengetahui secara lengkap kondisi atau state mesin itu. Dalam quantum, kita tidak bisa memprediksi seperti itu.
Barangkali, kita mengenal eksperimen Kucing Schrodinger. Kucing itu berada dalam kotak bersama partikel quantum yang bisa meluruh. Jika partikel quantum meluruh maka mengaktifkan racun dalam kotak dan kucing jadi mati. Sementara, jika partikel tidak meluruh maka racun tidak aktif dan kucing tetap hidup. Pertanyaannya, apakah saat ini, sebelum kotak dibuka, kucing itu hidup atau mati?
Analisis fisika klasik gaya Newton mengatakan mungkin saja kucing itu sudah mati atau masih hidup. Keadaan itu sudah pasti. Hanya saja kita belum tahu karena belum membuka kotak tersebut. Sementara, analisis quantum menyatakan berbeda. Kucing tersebut berada dalam quantun state hidup dan mati secara bersamaan. Saat ini, sebelum kotak dibuka, kucing itu sekaligus hidup dan mati. Belum ada satu kepastian. Quantum state belum roboh ke arah mati atau ke arah hidup.
Quantum state memang aneh kan? Kucing tersebut dalam keadaan hidup dan mati bersamaan, selama kotak belum dibuka. Ketika kita membuka kotak maka quantum state baru akan roboh (kolaps) ke satu arah, misal kucing mati.
Keadaan kucing itu hidup atau mati seakan-akan “menunggu” kita. Bila kita tidak membuka kotak maka keadaan kucing tetap “menunggu” terus-menerus. Dan saat kita membuka maka quantum state roboh ke salah satu arah hidup atau mati – yang tidak bisa kita prediksi juga.
Membaca Ghazali dengan tikungan quantum itu makin menarik. Ghazali menggunakan kata atom sebagai penyusun – terkecil – materi seluruh alam semesta. State dari jutaan atom tidak bisa diprediksi. Karena Tuhan menciptakan state atom dari satu saat ke saat berikutnya secara langsung dan baru. Sehingga, menurut Ghazali, pengetahuan kita tentang state atom saat ini, hakikatnya, sama sekali tidak bisa untuk memprediksi state atom saat berikutnya. Kucing Schrodinger itu hidup atau mati tidak bisa kita prediksi dari informasi saat ini dan masa lalu. Pandangan Ghazali selaras dengan quantum state.
Keadaan kucing yang “menunggu” hidup atau mati, menurut Ghazali, memang menunggu keputusan Tuhan. Terserah Tuhan akan memutuskan kucing itu hidup atau lainnya, ketika kita membuka kotak itu. Tapi Ghazali melangkah lebih jauh. Ketika kita belum membuka kotak, bisa saja kucing itu hidup, mati, atau seimbang serentak hidup dan mati. Dalam hasl ini, Ghazali mengakomodasi quantum state – dan lebih radikal.
Ketiga, tikungan quantum adalah prinsip non-lokalitas. Secara umum, sains meyakini prinsip lokalitas – dan menolak non-lokalitas. Sementara, quantum justru menunjukkan fenomena non-lokalitas.
Saya merebus air di kota Bandung sampai berhasil mendidih atau tidak ditentukan oleh faktor-faktor lokal. Di antaranya, suhu udara, panas kompor, ukuran air, dan panci yang saya pakai. Semua faktor penentu itu ada di dekat saya, di Bandung. Maka keberhasilan saya merebus air sampai mendidih sesuai dengan prinsip lokalitas. Quantum menunjukkan ada kejadian sebaliknya.
Pertimbangkan situasi mirip dengan sedikit berbeda. Ketika saya merebus air di Bandung ada teman di saya di Surabaya sedang berniat menanam jagung. Jika teman saya, di Surabaya, jadi menanam jagung maka air saya, di Bandung, berhasil mendidih. Tapi, jika teman saya tidak jadi menanam jagung maka air saya di Bandung tidak jadi mendidih. Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Dalam quantum, hal tersebut sesuai dengan prinsip non-lokalitas.
Bahkan peristiwa non-lokalitas berlangsung dengan instan – tanpa waktu jeda. Tentu saja, eksperimen dilakukan terhadap partikel-partikel subatomik. Contoh saya tentang merebus air adalah sekedar ilustrasi untuk memudahkan memahami prinsip non-lokalitas.
Konsep sains fisika klasik sulit memahami prinsip non-lokalitas dari quantum. Sementara, kita bisa membaca konsep atom Ghazali mampu mengakomodasi prinsip non-lokalitas quantum. Konsep atom Ghazali seiring dengan konsep okasional bahwa jutaan atom selalu diciptakan baru setiap saat secara langsung.
Model Epistemik Quantum
Pada tahun 2012, teorema PBR berhasil menolak quantum sebagai model-ontic. Maka teori quantum hanya sebagai model-epistemik yang memberikan informasi tentang realitas ontic.
“In conclusion, we have presented a no-go theorem, which – modulo assumptions – shows that models in which the quantum state is interpreted as mere information about an objective physical state of a system cannot reproduce the predictions of quantum theory. The result is in the same spirit as Bell’s theorem, which states that no local theory can reproduce the predictions of quantum theory.— Matthew F. Pusey, Jonathan Barrett, and Terry Rudolph, “On the reality of the quantum state”, Nature Physics8, 475-478 (2012)”
Barangkali beberapa orang kecewa karena teori quantum hanya sebagai model-epistemik. Saya justru menilai hal tersebut sebagai kesimpulan yang menarik. Bahkan saya menduga: penelitian yang lebih canggih akan menemukan dirinya sebagai model-epistemik, tidak akan berhenti sebagai model-ontic.
Andai suatu saat nanti, teori quantum berhasil menjadi model-ontic maka kajian sains serupa akan menghasilkan model-epistemik baru yang lebih canggih. Model-epistemik ini mengantarkan kita untuk mempertimbangkan filsafat hermeneutik.
Lanjut ke: Hermeneutik
Tinggalkan komentar