Nihilisme mewabah dunia. Nietzsche memprediksi bahwa abad 20 dan abad 21 akan penuh nihilisme. Sedangkan Heidegger menilai nihilisme sebagai puncak pemahaman kemanusiaan. Lyotard menolak total meta-narasi. Lyotard dianggap, oleh banyak orang, sebagai pelopor nihilisme era postmodern.

Nihilisme sendiri beragam, tidak tunggal. Ada nihilisme pesimis ekstrim yang menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini tidak ada makna. Bahkan, sebenarnya, justru hanya ada kehampaan. Sementara, di sisi lain, ada ninilisme optimis yang menyatakan bahwa hampanya alam semesta memberi kebebasan penuh kepada manusia. Manusia bebas menentukan aturan sendiri. Manusia bebas menetapkan standar moral sendiri. Manusia bebas menentukan sistem politik sendiri. Manusia adalah kebebasan itu sendiri, kata Sartre.
Pengaruh nihilisme merambah ke berbagai bidang. Nihilisme moral mengatakan bahwa tidak adanya nilai moral. Nihilisme eksistensial mengatakan hampanya eksistensi – tidak adanya realitas. Nihilisme politik menyatakan tidak adanya politik – hanya anarkis. Nihilisme postmodern menyatakan penolakan total terhadap meta-narasi, hanya ada mikrologi.
Kita bisa memandang nihilisme sebagai proses penyempurnaan kemanusiaan. Catatan sejarah mengajarkan kita bahwa ketika manusia berproses menuju kesempurnaan maka, suatu saat, manusia akan berada dalam kondisi fana – kondisi hilang – kondisi hampa – kondisi nihil. Kondisi fana ini, atau nihil, bukanlah akhir perjalanan. Masih terbentang luas perjalanan manusia ke depan, ke atas, ke kiri, ke kanan, ke segala arah. Maka pembahasan nihilisme, seharusnya, tidak berhenti di nihilisme. Kita perlu pembahasan postnihilisme. Ada apa setelah nihilisme?
Ada kehampaan? Ada pencerahan? Ada spiritualitas?
Berikut beberapa tulisan saya tentang nihilisme dan postnihilisme. Kata ganti diri Aku, Kau, dan Dia, menjadi penting dalam postnihilisme.