Filsafat Telah Wafat

Hawking menyatakan, pada tahun 2010, bahwa filsafat telah wafat dalam bukunya “Grand Design.” Kemudian, Hawking mengulang lagi pada konferensi di tahun 2011.

“Traditionally these are questions for philosophy, but philosophy is dead.” (Hawking)

Stephen Hawking author of these Philosophy is Dead quotations

Ketika saya membaca pernyataan Hawking, waktu itu, saya merasa biasa-biasa saja. Saya berpikir bahwa Hawking adalah seorang saintis. Sehingga, wajar baginya berpandangan seperti itu. Saya tidak menemukan bukti-bukti bahwa Hawking serius menekuni filsafat. Tetapi, karena pernyataan Hawking itu dikutip di berbagai media maka saya tertarik sedikit banyak untuk membahasnya.

Sekalian, kita akan membahas kritik dari Ibnu Taimiyah (1263 – 1328) yang menyatakan bahwa “Filsafat adalah sesat.” Dan, bagian akhir, kita akan membahas kritik Heidegger (1889 – 1976) yang menyatakan filsafat sudah berakhir, “The end of Philosophy…”

Filsafat Sudah Mati

Masuk kategori apakah pernyataan Hawking bahwa filsafat telah mati?

Pertama, kita mempertimbangkan pernyataan itu sebagai pernyataan ilmiah. Sehingga, pernyataan ilmiah, bisa kita uji dengan metode induksi atau falsifikasi.

Barangkali, Hawking melakukan survey dari beberapa kasus. Kemudian dia melihat bahwa, dalam kasus-kasus itu, filsafat memang telah mati. Kesimpulan akhir, bagi Hawking, filsafat telah mati. Dengan metode induksi yang seperti itu, kita bisa melakukan survey tandingan ke beberapa fakultas filsafat. Kita menemukan, dalam survey kita, bahwa filsafat masih hidup, terus berkembang, dan tidak mati. Maka kesimpulan akhir adalah filsafat tidak mati.

Dengan metode ilmiah, metode induksi, kita bisa menolak pernyataan Hawking. Kita, bahkan selanjutnya, bisa lebih meyakinkan menolak Hawking dengan metode falsifikasi.

“Apakah ada pengamatan yang menunjukkan bahwa filsafat masih hidup?” “Apakah ada pengamatan yang menunjukkan bahwa filsafat terus berkembang?”

Dengan berkunjung ke salah satu fakultas filsafat di kampus dekat rumah Anda, maka Anda bisa melihat mahasiswa berdiskusi dengan dosen mereka tentang filsafat. Maka terbukti pernyataan Hawking adalah salah. Pernyataan Hawking bisa ditolak berdasarkan falsifikasi ilmiah.

Kedua, pernyataan Hawking bahwa filsafat telah wafat adalah pernyataan filosofis – terlepas dari posisi Hawking sebagai ilmuwan. Pada kesempatan itu, Hawking adalah seorang filsuf. Dengan pandangan ini, metode ilmiah, induksi dan falsifikasi, tidak berhak membantah pernyataan Hawking.

Secara filosofis, mari kita asumsikan bahwa Hawking benar, filsafat telah mati. Karena filsafat telah mati maka pernyataan Hawking juga mati. Dengan demikian, pernyataan Hawking dibatalkan, dan ditolak, oleh dirinya sendiri. Terbukti Hawking salah.

Alih-alih Hawking membunuh filsafat, dia malah menghidupkan filsafat.

Kita masih punya cara menyelamatkan Hawking secara filosofis. Kita bisa menganalisisnya seperti pada pernyataan paradox,

“Saya berkata bohong.”

Jika BENAR maka saya benar-benar berbohong. Akibatnya, sejatinya, saya TIDAK bohong. Maka saya SALAH. Terjadi paradox. Sebaliknya juga paradox.

Jika SALAH maka sejatinya saya jujur. Akibatnya, saya memang bohong. Maka saya BENAR. Paradox juga.

Solusi paradox ini adalah suatu pernyataan (domain) merujuk ke sesuatu yang berbeda dari pernyataan itu (kodomain). “Saya berbohong” adalah pernyataan masa kini (domain). Sedangkan, maknanya adalah perilaku saya di masa lalu (kodomain). Jika perilaku saya di masa lalu, yang dimaksud, memang “BOHONG” maka pernyataan saya BENAR. Sebaliknya juga bisa terjadi. Paradox selesai dengan baik.

Kembali kepada Hawking, kita bisa memahami bahwa filsafat telah mati, adalah jenis filsafat A telah mati (kodomain). Kita bisa menguji apakah benar filsafat A sudah mati. Jika benar maka Hawking memang benar. Sementara, pernyataan Hawking sendiri adalah filsafat jenis B (domain) yang masih terus hidup.

Dalam makna yang paling optimis, filsafat jenis A adalah filsafat yang hidup sejak masa lalu sampai masa 2010, sudah mati. Sementara, filsafat B justru mulai hidup dan bertumbuh kembang. Lalu, apa itu filsafat B? Apakah benar filsafat A memang sudah mati? Untuk menjawabnya, kita perlu lebih mendalam berdiskusi. Akibatnya, filsafat tidak jadi mati.

Apa itu Filsafat

Kita perlu menjawab pertanyaan apa itu filsafat sebelum membahas lebih jauh tentang hidup matinya filsafat. Seperti bisa Anda duga, definisi filsafat, tentu beragam.

Deleuze (1920 – 1995) mendefinisikan filsafat sebagai penciptaan konsep-konsep baru pada bidang imanensi. Selama masih bisa lahir konsep-konsep baru maka filsafat akan tetap hidup.

Russell (1874 – 1972) mendefinisikan filsafat sebagai kajian spekulatif yang mempertimbangkan segala sesuatunya. Konsekuensinya, filsafat, akan mengembangkan pemikiran spekulatif melebihi batas-batas yang ada dengan tetap mempertahankan logika pemikiran yang ilmiah. Sehingga, filsafat terletak di tengah-tengah antara teologi dan sains.

Saya mendefinisikan filsafat sebagai kajian atas pertanyaan fundamental yang menghasilkan solusi, di mana, solusi tersebut mendorong munculnya pertanyaan fundamental baru. Sehingga, selama umat manusia masih bertanya tentang misteri segala sesuatu maka filsafat akan tetap hidup.

“Mengapa jeruk jatuh menuju ke bumi?”

Karena ada gaya gravitasi. Kita bisa menghitung kecepatan jatuh, waktu, dan posisi dengan presisi. Jawaban ini jelas, pasti, dan meyakinkan. Maka itulah sains. Filsafat akan bertanya lagi mengapa ada gravitasi? Tersusun dari apakah gravitasi itu? Dari mana dan mau ke mana gravitasi itu pada akhir masa?

Alternatif jawaban bisa lebih meyakinkan: jeruk jatuh ke bumi karena sudah ditetapkan oleh Tuhan seperti itu. Jawaban ini begitu jelas. Itulah jawaban teologi. Filsafat masih boleh bertanya mengapa Tuhan menetapkan aturan seperti itu? Bagaimana ketetapan Tuhan itu bisa berlaku?

Ketika Anda melihat seorang anak kecil suka bertanya tentang ini dan itu maka anak kecil itu sedang berfilsafat. Setiap anak adalah filosof. Dan, kita pernah jadi filosof ketika anak-anak dulu. Apakah sekarang Anda juga filosof?

Filsafat Sesat

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa filsafat adalah sesat sekitar seribu tahun yang lalu. Tentu, kita bisa menganalisis pernyataan ini apakah pernyataan filosofis?

Pernyataan bahwa filsafat adalah sesat, memang, pernyataan filosofis. Jika benar maka pernyataan itu sendiri juga sesat. Jadi, pernyataan Ibnu Taimiyah ditolak, dan disesatkan, oleh dirinya sendiri. Mirip dengan pernyataan Hawking.

Dengan cara yang sama, kita bisa menyelamatkan paradox Ibnu Taimiyah itu dengan paradox pernyataan bohong.

Yang dimaksud filsafat sesat adalah filsafat F (kodomain). Sedangkan pernyataan Ibnu Taimiyah adalah filsafat G (domain), yang tidak sesat. Sehingga tidak ada paradoks dalam pernyataan Ibnu Taimiyah. Tentu saja, kita boleh bertanya apakah benar bahwa filsafat F sesat? Apa argumennya? Apakah benar filsafat G tidak sesat? Atau, apakah ada filsafat G?

Tampaknya, Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya tidak tertarik menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan itu. Saya juga tidak menemukan murid-murid Hawking membahas lebih lanjut secara serius.

Murid-murid Ibnu Taimiyah lebih beruntung dari murid Hawking. Ketika murid Hawking tidak mudah memanfaatkan argumen sains, di sisi lain, murid Taimiyah lebih leluasa menggunanakan argumen agama. Sehingga, pernyataan Taimiyah di atas bisa dianggap sebagai fatwa agama.

A Ibnu Taimiyah adalah pemberi fatwa
B Fatwa Ibnu Taimiyah selalu benar
C Fatwa berbunyi: filsafat sesat

Dengan dalil teologi, sebagai fatwa agama seperti di atas, maka pernyataan Ibnu Taimiyah dijamin bernilai benar bagi murid-muridnya. Bagaimana bagi orang yang bukan murid Taimiyah? Tentu saja mereka berhak menolak. Baik menolak pernyataan, mau pun, menolak argumen-argumennya.

Akhir Filsafat

Heidegger memulai proyek penghancuran filsafat sejak 1920an dengan bukunya “Being and Time.” Heidegger sendiri adalah seorang filsuf sejati. Sehingga, tidak masuk akal, jika dia benar-benar berniat menghancurkan filsafat. Dengan cerdik, Heidegger menyatakan bahwa destruksi filsafat maksudnya adalah destruksi metafisika.

Saya kira, Heidegger sebagian sukses, dan sebagian gagal. Sukses dalam arti berhasil menggeser metafisika dari singgasananya, untuk kemudian, bersanding dengan ontologi. Gagal dalam arti tidak tercapai untuk menghancurkan metafisika, apalagi menghancurkan filsafat.

Derrida mengganti destruksi-metafisika menjadi dekonstruksi. Gadamer melanjutkan destruksi-metafisika menjadi hermeneutik. Menurut Vattimo, kita memang tidak bisa menghancurkan metafisika. Kita hanya bisa membelokkan metafisika.

“Philosophy is ending in the present age. It has found its place in the scientific attitude of socially active humanity. But the fundamental characteristic of this scientific attitude is its cybernetic, that is, technological character.” (Heidegger)

Akhir dari filsafat terjadi saat ini, tahun 1964 waktu itu. Sains dan teknologi telah mengambil alih peran filsafat. Semua realitas kebenaran yang ditawarkan oleh filsafat bisa digantikan oleh sains. Bahkan, sains memberikan kebenaran dengan meyakinkan: jelas, pasti, dan terukur. Lebih dari itu, sains dan teknologi, memberikan hasil nyata. Berupa kinerja tinggi, efisiensi, menguntungkan banyak pihak tertentu.

Mengapa filsafat tidak berakhir saja dengan situasi seperti itu? Apakah kita masih membutuhkan filsafat? Apakah akhir filsafat, benar-benar, digusur oleh sains teknologi?

Pikiran Terbuka

Heidegger mengusulkan pikiran-terbuka sebagai ganti dari filsafat. Setelah filsafat berakhir, tugas manusia untuk berpikir tetap ada. Berpikir dengan metode baru, dengan konten baru, yaitu pikiran-terbuka.

“Wherever a present being encounters another present being or even only lingers near it — but also where, as with Hegel, one being mirrors itself in another speculatively — there openness already rules, the free region is in play. Only this openness grants to the movement of speculative thinking the passage through what it thinks.

We call this openness that grants a possible letting-appear and show “opening.” In the history of language the German word Lichtung is a translation derived from the French clairiere. It is formed in accordance with the older words Waldung [foresting] and Feldung [fielding].” (Heidegger)

Berpikir-terbuka mengijinkan “being” menampakkan dan membuka diri apa adanya. Berpikir-terbuka menerima apa adanya, mendengar apa adanya, merasa apa adanya, melihat apa adanya, dan berpikir apa adanya. Berpikir-terbuka, meski kita hanya memilih istilah berpikir, bermakna diri yang terbuka, daya-cipta yang terbuka, daya-rasa yang terbuka, daya-karsa yang terbuka, dan daya-karya yang terbuka.

Ibnu Arabi (1165 – 1240) memberi judul karya besarnya sebagai “Futuhat Al-Makkiya” yang bermakna Kota Makkah Terbuka. Sebuah simbol yang menyiratkan ide: terbukanya diri sejati manusia melalui pusat simbol kota suci. Berpikir-terbuka adalah diri yang terbuka terhadap alam raya dan diri yang terbuka terhadap kesucian tanpa batas.

Berpikir-terbuka berbeda dengan sains atau pun metafisika. Meski demikian, sains dan metafisika, bisa mengantarkan kita kepada berpikir-terbuka. Sains berpikir fokus kepada fenomena-fenomena yang menjadi kajiannya. Suatu fenomena di luar kajian akan disisihkan – minimal untuk sementara waktu. Sementara, berpikir terbuka, memang terbuka dengan beragam fenomena. Berpikir-terbuka mengijinkan fenomena membuka diri untuk mengenalkan diri sejati noumena.

Metafisika menetapkan struktur pasti dari suatu bangunan filsafat ideal. Bangunan metafisika itu benar secara pasti – apriori dan universal. Sesuatu yang di luar bangunan metafisika tidak dijamin benar. Bahkan bisa saja sesuatu “yang lain” itu disisihkan. Sementara, berpikir-terbuka, mengijinkan bangunan ideal untuk membuka diri apa adanya. Berpikir-terbuka mengijinkan perkembangan, perubahan, dan perbedaan apa adanya. Masa kini, masa depan, dan masa lalu terbuka apa adanya.

Berpikir-terbuka mengijinkan segala sesuatu membuka diri apa adanya.

Lalu, termasuk sebagai apakah berpikir-terbuka seperti itu? Bukankah itu pemikiran ilmiah? Atau pemikiran filosofis? Atau pemikiran mistis? Atau pemikiran relijius?

Heidegger, tampaknya, tidak mau menjawab pertanyaan itu. Dia menyebut berpikir-terbuka adalah tugas manusia untuk berpikir di jaman “berakhirnya filsafat.”

Saya menilai bahwa berpikir-terbuka ini bisa kita masukkan sebagai berpikir ilmiah, filosofis, mistis, atau relejius. Tapi, sejauh kita menerapkan pendekatan filosofis maka berpikir-terbuka tetap bisa kita masukkan sebagai berpikir-filosofis. Sehingga, mengakhiri filsafat sama artinya dengan memulai filsafat. Membunuh filsafat sama artinya dengan menghidupkan filsafat. Menutup filsafat sama artinya dengan membuka filsafat.

Mati Satu Tumbuh Seribu

Jean-Luc Nancy (1941 – 2021) mencermati ada yang menarik dari gelar PhD – Philosophiae Doctor atau Doctor of Philosophy atau Doktor Filsafat. Di berbagai macam kampus, di belahan dunia, setiap mahasiswa yang lulus program S 3 berhak mendapat gelar PhD – Doktor Filsafat. Dengan demikian, dunia bisa memiliki ribuan doktor filsafat baru tiap tahunnya. Maka, siapa bisa mengatakan filsafat telah mati? Mati satu tumbuh seribu, justru itu yang terjadi.

Yang menarik lagi, doktor filsafat ini bisa saja bidang kajiannya tidak berhubungan dengan filsafat. PhD bisa saja diraih para doktor bidang olahraga, seni, teknologi, tataboga, bisnis, pertanian dan lain-lain. Apakah mereka benar-benar doktor filsafat?

Barangkali, awalnya, para doktor filsafat itu tidak dengan sengaja bermaksud mengkaji filsafat. Karena, akhirnya, dia menyandang gelar doktor filsafat maka wajar bila kemudian dia menekuni filsafat dalam satu dan lain cara. Dengan demikian, potensi bekembangnya filsafat menjadi lebih besar lagi.

Perkembangan filsafat juga bisa kita cermati secara online. Saya sering mengetikkan kata “philosophy” ke google news. Hasilnya, banyak sekali news tentang filsafat. Tentu saja baru dan hangat. Yang paling banyak menggunakan istilah filsafat di antaranya: filsafat olahraga, filsafat agama, sejarah filsafat, filsafat politik, filsafat kehidupan, filsafat bisnis, dan, bahkan, filsafat bercinta.

Menjadi makin sulit, bagi kita, untuk membuktikan bahwa filsafat telah wafat. Lebih mudah, bagi kita, untuk menunjukkan filsafat bertumbuh pesat. Apakah pertumbuhan semacam itu memang sudah tepat?

Kesimpulan

Pernyataan “filsafat telah wafat” sulit dibuktikan kebenarannya. Kita, justru, bisa membuktikan sebaliknya.

Pertama, jika pernyataan “filsafat telah wafat” benar maka berakibat menolak diri sendiri karena pernyataan tersebut juga termasuk filsafat. Sehingga pernyataan “filsafat telah wafat” bisa ditolak.

Kedua, jika yang dimaksud telah wafat adalah filsafat jenis lama maka pernyataan “filsafat telah wafat” adalah filsafat jenis baru. Dengan demikian, ada filsafat yang masih hidup yaitu filsafat jenis baru.

Ketiga, filsafat telah berakhir untuk kemudian digantikan dengan tugas berpikir-terbuka yaitu berpikir yang mengijinkan segalanya untuk menampakkan diri, dan membuka diri apa adanya. Tugas berpikir-terbuka ini, pada gilirannya, adalah tugas filsafat lagi. Dengan demikian, filsafat menjadi paling utama lagi. Dan, tugas berpikir yang penting adalah mengambil keputusan, memberi suatu penilaian yang tepat, ketika tidak tersedia ukuran mau pun pembanding.

Saat ini, bumi sedang berada dalam ancaman kerusakan iklim, perang nuklir, dan bahaya pandemi. Dan, ancaman terbesar adalah kerusakan politik di berbagai tempat, di penjuru bumi. Bagaimana kita bisa menyelamatkan bumi? Bagaimana kita bisa menyelamatkan manusia? Bagaimana kita bisa menyelamatkan semesta? Bagaimana filsafat bisa tampil kembali memberi solusi?

Tantangan besar telah tiba. Saatnya untuk berkarya!

Bagaimana menurut Anda?


Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: