Setelah Dunia Dilipat, Revolusi Madi – Review Buku

Mengagumkan! Satu kata paling tepat untuk buku “Setelah Dunia Dilipat.” Memang setelah itu apa? Setelah dunia dilipat maka lahir revolusi Madi. Revolusi yang penuh harapan. Di saat yang saya, revolusi Madi, juga penuh ancaman.

Pustaka – Masjid Salman ITB

Buku “Setelah Dunia Dilipat” karya Prof Yasraf, terdiri sekitar 450 halaman, mengajak kita tamasya di dunia paling kontemporer saat ini – modern, posmodern, dan plastisis – dengan berkaca dari jaman kuno sejak Plato, Aristoteles, Ibnu Khaldun, Sadra, Descartes, Hegel, Heidegger, Derrida, Deleuze, dan Malabou. Dan masih banyak tokoh-tokoh dunia lainnya yang kita ajak dialog dalam buku ini. Kita memulai tamasya dari realitas kehidupan sehari-hari dalam “dunia yang dilipat” menuju dunia politik, dunia ekonomi, sampai dunia metafisika.

Konsep plastisitas merupakan konsep paling optimis dalam buku ini. Dilanjutkan dengan sisi parasit manusia yang lebih kelam. Dan sisi animalitas manusia yang menjadikan kita lebih waspada, atau pesimis. Dari sisi volume, buku ini lebih banyak menggambarkan sisi hitam manusia – parasit dan animalitas. Yang menarik, buku ini mengusulkan beberapa ide solusi – yang kadang melampaui filsafat itu sendiri. Seni dan agama perlu kita pertimbangkan sebagai bagian dari solusi.

Optimisme Filsafat

Bagian pertama, setelah prolog tentang dunia yang dilipat, kita membahas plastisitas filosofis. Istilah plastisitas, pada akhir abad 19, digunakan oleh William James untuk menjelaskan sifat otak manusia yang bisa berkembang dengan luwes – super fleksibel. Di awal abad 21, Malabou meluaskan makna plastisitas ke kancah filosofis – yang diawali dengan kajian neurosains. Plastisitas adalah kemampuan otak – atau realitas lebih umum – untuk menerima bentuk, memberi bentuk, dan bahkan menghilangkan bentuk.

Dengan demikian, plastisitas, lebih fleksibel dari fleksibilitas. Dan tentu saja, melampaui rigiditas – kekakuan.

Malabao mengembangkan plastisitas dengan menyempurnakan dekonstruksi Derrida – guru dari Malabao. Dekonstruksi Derrida menjadi lebih lentur dengan karakter plastis ini. Lebih dari itu, konsep “trace” dari Derrida mendapat kritik tajam dari Malabao. Konsep plastis melangkah lebih jauh dengan merujuk ke dialektika Hegel. Seperti kita tahu, dialektika Hegel merupakan gerak menyempurna menuju sintesis sampai ke Spirit Absolut. Pada masa Hegel, bahkan sampai Nietzsche, metafisika berdiri kokoh di jantung kajian filsafat. Gerak dialektika Hegel adalah gerak optimisme filsafat. Dan kita bisa merasakan optimisme filsafat ini pada pembahasan plastisitas buku ini.

Filsafat mendapat serangan besar dari Heidegger, khususnya bagian metafisika. Proyek destruksi terhadap metafisika ini bergulir efektif sejak 1930-an. Dari Heidegger mendapat sambutan hangat bersama Sartre, Ponty, Strukturalis, Post-strukturalis, dan lebih umum kita mengenal sebagai Postmodernis. Derrida, sebagai pelopor Postmodernis, melanjutkan proyek destruksi menjadi dekonstruksi yang sedikit lebih optimis – meski pun masih tetap pesimis.

Sampai akhir abad 20 dan awal abad 21, nyaris, metafisika menyingkir dari pembahasan filsafat digantikan dengan ontologi yang memang makin produktif, termasuk dengan berkembangnya hermeneutika.

Pak Yasraf, melalui buku “Setelah Dunia Dilipat,” kembali meniupkan angin segar optimisme filsafat, khususnya metafisika, dengan mengedepankan plastisitas. Bahkan, Pak Yasraf mengusulkan era setelah Postmodern kita sebut sebagai Plastisisme.

Untuk menguatkan plastisitas, Pak Yasraf, menyapa konsep different dari Deleuze (dan Guatari). Deleuze, pada paruh akhir abad 20, adalah pemikir Postmodern yang produktif. Dia mengejutkan khalayak dengan pernyataannya, “Saya adalah metafisikawan murni.” Apa serunya filsafat tanpa metafisika? Justru, filsafat menjadi indah dengan metafisika. Deleuze mengembangkan konsep intensitas dari intensitas waktunya Bergson. Dengan paduan tepat konsep repetisi abadi dari Nietzsche. Berbeda dengan Nietzsche yang menganggap repetisi adalah repeitisi yang sama, Deleuze, menyatakan repetisi abadi adalah repetisi dari different.

Deleuze, bahkan, mundur lebih jauh ke era sebelum Immanuel Kant. Deleuze merujuk ke monisme Spinoza dan monad Leibniz. Spinoza menyatakan realitas hanya terdiri dari satu substansi sejati dan lautan bayangan substansi yang ada di alam raya ini. Deleuze mengambil konsep monisme ini dengan menghilangkan substansi tunggalnya. Sehingga realitas adalah lautan bayang-bayang dari substansi. Sementara, Leibniz menyatakan bahwa realitas ini adalah lautan monad – atau lautan subtansi. Deleuze mengambil lautan monad ini dengan membuang subtansi pada monad. Lengkap sudah filsafat different dari Deleuze yang benar-benar merupakan metafisika – bukan sekedar ontologi.

Seharusnya, Derrida menolak metafisika Deleuze – mereka berteman, sama-sama pemikir Prancis. Tetapi, saya duga, Derrida tidak bisa menolak metafisika different dari Deleuze itu. Yang bisa dilakukan Derrida, hanya menyandingkan proyek ontologi different-nya dengan metafisika different Deleuze. Kita masih perlu menunggu sampai era Gianni Vattimo dengan konsep “weak thought” nya untuk bisa menyandingkan metafisika dan ontologi dengan harmonis. Dengan ungkapan Umberto Eco, rekan Vattimo, “Realitas bagaikan ensiklopedi, yang menerima segala, bukan seperti kamus, yang menentukan kebenaran berdasar sudut pandangnya saja.”

Pak Yasraf mundur lebih jauh dari yang dilakukan Deleuze. Dia bertamasya ke masa sebelum Spinoza atau Leibniz. Pak Yasraf menyapa pemikir besar Timur Tengah Sadra, beberapa puluh tahun sebelum era Descartes. Sadra merumuskan “gerak substansial” (harakah al jauhariyah). Realitas terus-menerus bergerak menuju kesempurnaan. Sebuah tujuan yang pasti. Dan sebuah asal yang pasti. Realitas sempurna – Wujud Sejati.

Dengan tamasya sejauh itu, plastisitas mendapat pijakan yang kokoh dari filsafat sepanjang sejarah. Pak Yasraf menilai, plastisitas lebih cocok dengan filsafat Sadra yang optimis bergerak menuju kesempurnaan dengan gerak substansialnya. Dibanding dengan filsafat different Deleuze yang melakukan gerak repetisi abadi dari different tanpa tahu arah tujuan dengan pasti.

Perkembangan filsafat yang dinamis itu memicu saya untuk merumuskan filsafat dinamis dengan pendekatan manusia dinamis. Ada apa setelah dunia dilipat? Ada revolusi Madi: manusia dinamis. Ada revolusi Madi: manusia digital.

Masa Suram Manusia

Tamasya kita ke dunia filsafat yang indah hanya mendapat 100 sampai 150 halaman buku “Setelah Duniia Dilipat.” Sisanya, lebih dari 300 halaman, kita akan tamasya ke dunia suram peradaban manusia, seiring dengan masa kelam filsafat. Manusia parasit dan animalitas adalah sisi kelam manusia. Gelap dan menggelapkan peradaban.

Berawal dari pemikiran anthroposentris dan dualisme Cartesian, berbagai ancaman kemanusiaan terus berkembang. Ditambah plastisitas, lebih-lebih dengan ledakan dunia digital, manusia benar-benar bisa menghancurkan diri sendiri dan alam raya. Anthroposentris menilai segala sesuatu berdasar sudut pandang manusia. Baik-buruk atau benar-salah adalah manusia yang menentukan. Sementara dualisme, pemisahan materi dan jiwa, menjustifikasi eksplorasi alam raya tanpa batas, tidak perlu tanggung jawab moral lagi.

Parasit adalah hubungan dua pihak, atau beberapa pihak, di mana ada pihak yang mengeruk keuntungan. Sementara pihak lain hanya dirugikan. Seharusnya, manusia, malu jadi benalu. Sementara, benalu, tidak perlu malu jadi benalu. Tugas dia memang jadi benalu.

Kuman, bakteri, virus covid, kecoak, dan tikus adalah beberapa contoh parasit di sekitar manusia. Covid, misalnya, hanya mengeruk keuntungan dari sistem pernafasan manusia. Covid me-replikasi diri, berkembang biak, dalam badan manusia. Covid mengeruk keuntungan dari manusia. Tanpa memberi keuntungan apa pun bagi manusia. Covid hanya merugikan manusia. Covid adalah parasit. Covid menyebabkan pandemi global. Hampir 200 juta orang terserang sakit karena covid. Lebih dari 3 juta orang meninggal dunia, di seluruh penjuru dunia, karena virus covid sang parasit.

Lebih jauh, kita bisa berpikir, manusia adalah parasit bagi alam semesta. Manusia mengeruk keuntungan dari alam raya. Manusia merusak alam raya. Dengan dalih mengembangkan kemajuan, manusia makin pongah menjajah seluruh penjuru alam. Manusia tidak memberi keuntungan bagi alam. Manusia adalah parasit sejati. Bahkan manusia adalah parasit bagi alam sekaligus parasit sesama manusia.

Sang parasit adalah tamu yang cerdas mengelabui tuan rumah. Sang parasit memanfaatkan kegaduhan – noise – untuk melancarkan aksi parasit dengan leluasa.

Tikus, salah satu contoh parasit, memanfaatkan kegaduhan hujan deras untuk melancarkan operasi parasit. Ketika hujan deras, tuan rumah sibuk menangani kebocoran rumah di sana-sini. Tikus menggerogoti makanan di gudang tuan rumah, aman, tidak ada yang memperhatikan. Politikus tentu lebih cerdas dari tikus. Masyarakat sibuk dengan kegaduhan politik di suatu negara maka politikus bebas melancarkan aksi parasitnya. Beberapa politikus bahkan tega memanfaatkan kegaduhan pandemi covid untuk melancarkan aksi korupsi. Sungguh mengerikan. Korupsi dana sosial, yang peruntukannya untuk menanggulangi dampak pandemi covid, apakah masuk akal?

Parasit bisa juga berupa parasit psikologi menurut Mihaly Csikszentmihalyi. Mereka menguras sumber daya psikologi Anda. Merusak psikologi Anda. Demi keuntungan para parasit itu. Dunia digital, dunia yang dilipat, lebih memudahkan praktek parasit psikologi ini. Berapa juta orang tersedot perhatiannya untuk menonton media sosial? Berapa juta jam, tiap hari, rakyat Indonesia menghabiskan waktu bermain media sosial? Berapa juta gigabyte kuota internet dihabiskan, tiap hari, untuk kegaduhan politik di media sosial? Sementara itu, sang parasit mengeruk keuntungan dari rakyat jelata di Indonesia – dan seluruh dunia.

Parasit ekonomi dan parasit politik berbeda dengan tikus parasit. Tikus, sebagai parasit, hanya mengambil makanan sesuai yang dia butuhkan. Tikus berhenti makan ketika kenyang. Sementara parasit politik dan parasit ekonomi tidak pernah kenyang. Mereka terus menyerang tanpa bisa dihadang.

Animalitas Manusia

Dalam dunia digital, dunia yang dilipat, unsur-unsur jiwa kebinatangan manusia berkembang. Binatang memangsa binatang lainnya sebagai makanan. Memang demikianlah siklus kehidupan. Tidak ada masalah, dan tidak ada yang salah, ketika binatang menjalani daur kehidupan. Sementara, manusia, tega memangsa sesama manusia. Dan, tentu saja, manusia doyan memangsa binatang dan alam semesta. Itulah animalitas manusia: kebinatangan manusia.

Heidegger menyadari resiko perilaku manusia. Ketika Heidegger menyerang metafisika, dia juga mengusulkan solusinya: ontologi eksistensialis. Dia menamai manusia eksistensial sebagai dasein dengan karakter eksistensial yang non-Cartesian. Dasein selalu hidup di dalam dunia (being-in-the-world) dan hidup bersama yang lain (being-with-other). Manusia bukan subyek yang bisa dipisahkan dari alam semesta. Sebaliknya, manusia, adalah subyek yang selalu menyatu dengan alam semesta. Sehingga, dengan pandangan eksistensialis ini, manusia perlu menjaga kelestarian alam semesta, yang merupakan rumah dirinya. Di mana pun manusia berada, di situlah rumahnya, yang selalu perlu dijaga. Manusia menjaga rumah dan rumah menjaga manusia.

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: