Gini Ratio Indonesia 2021

Rasio Gini atau indeks Gini merupakan satu angka yang menggambarkan ketimpangan dalam suatu masyarakat. Makin besar angka rasio Gini G maka makin timpang, makin terjadi kesenjangan di masyarakat tersebut, makin buruk. Publikasi terbaru BPS, pada bulan Juli 2021, menyatakan rasio Gini Indonesia adalah G = 0,384.

Angka G = 0,384 itu baik atau buruk?

Angka 0,384 ini adalah lebih buruk dari Maret 2020, dan lebih buruk lagi dari tahun 2019. Angka tersebut sama persis dengan September 2018, dan lebih baik dari September 2020 yang G = 0,385.

Batas Baik Buruk Rasio Gini

Wajar bagi kita bertanya, “Berapa batas rasio Gini bisa dikatakan baik atau buruk?”

Ada macam-macam jawaban untuk pertanyaan itu. Namun, semua jawaban itu didasarkan pada argumen yang tidak langsung. Maksudnya, baik dan buruknya nilai rasio Gini didasarkan pada interpretasi masing-masing pengamat. Bukan berdasar nilai Gini itu sendiri.

Misalnya, SDG Report memberi batas bahwa nilai G di bawah 0,27 adalah bagus. Maka nilai G di atas 0.27 bisa dikatakan buruk. Sedangkan Indonesia G = 0.384 adalah di atas 0,270. Tentu, kita tidak bisa mengatakan bahwa Indonesia baik-baik saja.

Baik Secara Langsung

Saya merumuskan nilai ketimpangan yang bisa kita interpretasikan secara langsung: apakah suatu ketimpangan itu baik atau buruk. Nilai ketimpangan n merupakan pangkat (power) dari polinom yang merupakan estimasi dari kurva Lorenz.

Buruk adalah n di atas 2,2 yang bermakna 25% penduduk termiskin berpendapatan kurang dari 19% rata-rata pendapatan penduduk (pendapatan perkapita). Misal, pada waktu tertentu, pendapatan perkapita Indonesia adalah 4,5 juta rupiah per bulan. Maka orang miskin di Indonesia berpenghasilan kurang dari 19% x 4,5 juta = 855 ribu rupiah per bulan. Atau per hari 28 ribu rupiah. Memang buruk kan?

Baik adalah n di bawah 1,8 yang bermakna 25% penduduk termiskin berpenghasilan lebih dari 33% pendapatan perkapita. Untuk contoh, pendapatan perkapita 4,5 juta, maka pendapatan orang miskin adalah 33% x 4,5 juta = 1,5 juta rupiah per bulan. Atau setara dengan 50 ribu rupiah per hari. Masih belum bagus? Tapi tidak terlalu buruk kan?

Jika suatu keluarga terdiri dari 4 orang maka penghasilan mereka 1,5 juta x 4 = 6 juta rupiah per bulan. Patut untuk kita kejar.

Menghapus Ketimpangan

Ada banyak cara menghapus ketimpangan. Saya mengusulkan tiga paling utama: pemerataan pendidikan berkualitas tinggi ke seluruh penjuru, dukungan kuat subtansial ke pengusaha kecil, dan penciptaan struktur yang adil secara politik dan ekonomi.

Sementara, argumen untuk menghapus ketimpangan adalah beragam. Karena penyebab ketimpangan juga beragam dan berbeda-beda. Maka kita perlu mengkaji masing-masing kasus dengan teliti dan merumuskan solusi. Saya rasa John Rawls sudah merumuskan prinsip dan praktek sistem yang adil melalui bukunya “A Theory of Justice.” Sementara, T M Scanlon melanjutkan kajian untuk menghapus ketimpangan.

Setidaknya, ada 6 alasan mengapa ketimpangan perlu dihapus.

  1. Melanggar Kesetaraan

Daerah sekitar rumah saya berhak mendapat lampu penerangan jalan raya dari pemerintah. Sementara, daerah sebelah desa saya juga berhak. Namun, hanya daerah sekitar rumah saya saja yang mendapat lampu penerangan jalan raya. Sementara, daerah sebelah desa tidak mendapatkan penerangan. Tentu saja, ketimpangan dan pembedaan semacam itu tidak bisa diterima – dan harus ditolak.

Mengapa daerah dekat rumah saya mendapat lampu penerangan jalan? Karena di daerah saya ada yang tinggal seorang pejabat tinggi. Tentu, hal tersebut tidak bisa dibenarkan sebagai dalih pembedaan.

Pemerintah berkewajiban memberikan penerangan jalan raya secara merata kepada seluruh wilayah tanpa pembedaan. Seandainya kemampuan melaksanakan itu terbatas maka perlu disusun strategi bertahap yang berlaku adil bagi seluruh warga. Bukan mempertimbangkan karena lokasi tertentu adalah tempat tinggal seorang pejabat.

Kewajiban yang sama, bagi pemerintah misalnya, memberikan layanan pendidikan dan kesehatan ke seluruh warga.

2. Merendahkan Status

Ketimpangan atau pembedaan bisa merendahkan status tertentu. Misalkan tindakan rasis harus dihapus, harus ditolak. Rasis, membedakan seseorang berdasar ras. Jabatan tertentu hanya bisa diisi oleh orang dari suku tertentu. Sementara warga dari suku lain tidak boleh menduduki jabatan tersebut.

Di luar negeri, barangkali masih banyak perlakuan rasis. Kulit putih mendapat gaji lebih tinggi dari mereka yang berkulit berwarna. Tentu tidak bisa diterima.

Di Indonesia, barangkali ada juga yang mengalami bahwa gajinya lebih rendah dari orang bule. Padahal mereka menyelesaikan pekerjaan yang sama. Bahkan yang warga Indonesia lulusan dari universitas manca yang sama persis dari orang bule itu. Ironisnya, warga Indonesia lulusan S 3 sementara yang bule hanya lulusan S 1. Bagaimana hanya karena mereka bule mendapat gaji lebih tinggi?

Ketimpangan status semacam ini bisa terjadi secara tidak langsung. Tetap saja, harus ditolak. Misalnya merekrut pegawai negeri atau mahasiswa baru berdasar prestasi “ritual ibadah agama A.” Orang yang beragama A punya peluang untuk mendaftar sebagai calon pegawai atau calon mahasiswa. Sementara, orang yang tidak beragama A, tentu saja, tidak layak berprestasi dalam ritual agama A, sehingga tidak layak mendaftar sebagai calon pegawai atau mahasiswa.

3. Orang Kaya Mengendalikan

Orang kaya, dengan kekayaannya, bisa mengendalikan hidup orang miskin. Menjadi lebih parah bila kejadian ini sudah berlangsung turun-temurun. Sehingga bagi orang kaya mau pun orang miskin menganggap dominasi tersebut sebagai hal yang wajar. Padahal, mengendalikan kehidupan orang lain, tentu saja, tidak bisa diterima.

Misal orang super kaya yang mempekerjakan banyak pekerja untuk menjaga rumah orang super kaya tersebut. Orang kaya itu adalah keturunan dari orang tua yang kaya. Sedangkan pekerja itu adalah keturunan dari orang miskin yang dulunya juga pekerja di rumah yang sama. Orang miskin itu mengira bahwa mendapat pekerjaan menjaga rumah orang kaya adalah keberuntungan. Apa lagi orang kaya itu kadang memberi tips dan kebaikan kepada si miskin.

Bahkan si kaya bersedia menyekolahkan anak si miskin dengan syarat mengambil jurusan sesuai arahan si kaya. Si kaya akan membiayai kuliah dari anak si miskin bila mengambil jurusan manajemen. Padahal anak si miskin tidak berminat ke manajemen, dia berminat kuliah di bidang seni. Karena tidak ada biaya kuliah dengan uang sendiri maka si miskin, terpaksa, menerima kuliah di jurusan manajemen.

Tampaknya, perbuatan si kaya adalah baik dengan membiayai kuliah di jurusan manajemen. Benar, itu memang baik. Hanya saja, dari sisi anak miskin, sebagian hidupnya dikendalikan oleh orang lain. Dia berminat seni tapi tidak bisa dilakukan.

Tentu saja, contoh saya di atas adalah contoh yang bernuansa positif – membiayai sekolah anak miskin. Contoh nuansa negatif barangkali bisa kita baca di berita-berita berbagai media. Orang kaya menyuruh orang miskin melakukan pekerjaan yang tidak layak. Si miskin, terpaksa, harus melakukan pekerjaan tidak layak itu. Jika si miskin menolak maka ia akan dipecat. Sementara, sulit sekali mencari kerja di tempat lain.

Ketimpangan perlu ditolak, dihapus, dengan beragam cara.

4. Kompetisi Ekonomi tidak Imbang

Ketimpangan menyebabkan kompetisi di bidang ekonomi menjadi tidak berimbang, menjadi tidak adil. Padahal, kita memerlukan kompetisi yang adil untuk semua warga. Mereka yang bersungguh-sungguh, punya bakat terbaik, dan berjuang keras adalah yang paling berpeluang besar memenangkan kompetisi di bidang ekonomi.

Ilustrasi sederhana dapat memudahkan kita. Mas Adi adalah pemuda kreatif yang berjuang sebagai wirausaha di bidang catering. Menerima pesanan beragam bentuk makanan. Termasuk menerima layanan catering untuk pernikahan dan berbagai macam bentuk pesta. Sedangkan, Mas Catur adalah orang yang sama mirip dengan Mas Adi. Mereka bersaing ketat dalam bisnis catering.

Kadang, Mas Adi menang dalam kompetisi bisnis itu. Tidak jarang, yang menang justru Mas Catur. Mereka bersaing dan tetap berteman.

Peta persaingan berubah ketika bapaknya Mas Catur, yaitu Pak Toni, terpilih menjadi walikota di sana. Orang-orang yang dulu berlangganan ke Mas Adi mulai pindah jadi berlangganan ke Mas Catur. Lebih drastis lagi, beberapa tahun kemudian, Pak Toni terpilih jadi gubernur. Mas Catur memenangkan kompetisi bisnis catering sejak bapaknya terpilih menjadi walikota dan, kemudian, gubernur.

Bagi pelanggan, wajar saja berlangganan ke anak gubernur. Di satu sisi, layanan cateringya memang besaing, dan di sisi lain, jadi lebih dekat dengan pejabat.

Berbagai macam strategi perlu kita kembangkan untuk mengatasi kompetisi ekonomi yang tidak berimbang semacam itu.

5. Kompetisi Politik tidak Imbang

Kompetisi politik, juga, menjadi tidak berimbang disebabkan oleh ketimpangan. Orang super jaya dapat dengan mudah mengendalikan suara politik. Mereka mempengaruhi masyarakat luas untuk memilih sikap politik tertentu. Bahkan, pengaruh orang kaya ini, bisa saja, berupa pengaruh positif. Orang kaya yang sering berbagi kebutuhan pokok kepada orang miskin, pilihan politiknya, lebih mudah mendapat dukungan. Sementara pilihan politik orang miskin nyaris tidak terdengar.

Lebih-lebih, bila orang kaya itu menguasai media sosial dan media konvensional. Mereka bahkan bisa mengendalikan, atau setidaknya mempengaruhi, opini publik. Cara menguasai media sosial mudah saja. Media sosial menerima iklan. Maka dengan uang, orang kaya, bisa membanjiri media sosial dengan iklan politiknya. Tentu saja, iklan politik bisa bersifat jelas, berupa ajakan politik secara langsung. Bisa juga, iklan politik bersifat halus. Seperti bukan iklan politik tetapi mempengaruhi sikap politik. Karena halus, dan lembut, iklan politik ini bisa tayang di media sosial kapan saja meski bukan musim kampanye.

Barangkali kita bisa mencermati salah satu contoh kasus Cambridge Analytic yang menimpa pemlihan presiden US 2016.

Kemampuan teknologi canggih, data sains atau artificial intelligence, memudahkan iklan politik masuk ke dalam hati netizen. Lalu mengendalikan sikap politik netizen. Semua berlangsung seperti wajar-wajar saja. Netizen merasa dirinya punya pilihan bebas dalam politik. Padahal ada kekuatan besar yang mengendalikan sistem politik di dunia digital.

Ketika orang kaya, atau yang didukung oleh orang kaya, memenangkan kursi jabatan politik maka berikutnya, wajar saja, mereka mencari cara untuk mengembalikan biaya politiknya. Akibatnya, kebijakan oleh para pejabat itu akan cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu – melanggar prinsip keadilan.

Kita perlu menemukan strategi untuk mengatasi ketimpangan politik ini.

6. Akibat dari Sistem yang tidak Adil

Dalam banyak argumen, kita bisa menolak ketimpangan karena ketimpangan menyebabkan keburukan – dampak yang tidak adil bagi masyarakat. Sementara itu, argumen kali ini, kita tidak menolak ketimpangan berdasar akibatnya. Kita menolak ketimpangan berdasar pada sebabnya. Kita menolak ketimpangan karena ketimpangan disebabkan oleh sistem yang tidak adil.

Barangkali dengan ilustrasi akan memudahkan kita. Seorang calo menawarkan pekerjaan kepada tukang bangunan dengan gaji harian 100 ribu rupiah per hari. Sementara, calo itu mengambil untung 50 ribu rupiah per hari untuk setiap tukang. Sejatinya, calo itu menerima uang 150 ribu dari kontraktor. Yang 100 ribu dibayarkan untuk tukang dan yang 50 ribu masuk kantong calo itu.

Ada 100 orang tukang yang bekerja di proyek bangunan itu. Tentu saja, ini adalah ilustrasi ketimpangan yang tidak adil. Calo mendapat penghasilan 50 ribu x 100 tukang = 5 juta rupiah per hari. Dalam sebulan, calo memperoleh penghasilan 150 juta rupiah. Sangat timpang dengan penghasilan tukang, 100 ribu x 30 hari, yang hanya 3 juta per bulan.

Kita perhatikan di sini ada penyebab ketimpangan yang harus ditolak. Atas dasar apa calo mengambil uang 50 ribu rupiah kepada setiap orang dari 100 orang tukang? Barangkali, seharusnya, tukang menolak pekerjaan itu. Bisa saja tukang menolak pekerjaan itu. Nyatanya, masih banyak tukang lainnya yang mau menerima pekerjaan dengan gaji 100 ribu itu. Sementara, tukang yang menolak justru sulit mencari pekerjaan di tempat lain.

Mengapa kontraktor harus membayar tukang melalui calo, bukankah, seharusnya, kontraktor bisa membayar langsung kepada tukang? Ada “aturan tidak tertulis” yang tidak bisa dilanggar. Di tempat itu, setiap pekerjaan harus melalui calo. Mereka yang tidak melalui calo akan menanggung akibat buruk tak terhindari. Hal ini, justru menunjukkan adanya sistem yang tidak adil. Maka ketimpangan harus ditolak.

Banyak contoh atau ilustrasi di dunia nyata. Ada seorang hakim senior sebagai pejabat berprestasi. Dia meninggal dunia, pada usia tua, dengan mewariskan hanya sepetak rumah luasnya 60 meter persegi. Dia memang hidup sederhana bersama istrinya. Sementara di tempar lain, di ibu kota, ada banyak hakim muda yang prestasinya masih di bawah hakim senior itu. Hakim muda itu memiliki banyak rumah dengan luas puluhan hektar. Ditambah dengan memiliki banyak mobil mewah. Jelas terjadi ketimpangan, yang harus ditolak. Ketimpangan ini disebabkan oleh sistem yang tidak adil.

Bagaimana pun, menolak ketimpangan harus disertai dengan solusi menawarkan sistem yang adil. Tugas besar, bagi kita semua, untuk merancang sistem yang adil.

Sistem Adil: Kesetaraan dan Perbedaan

Membangun sistem yang adil secara praktis menjadi tugas utama setiap komunitas atau masyarakat. Dalam banyak hal, negara mempunyai tanggung jawab paling besar. Tentu saja, masing-masing warga perlu berpartisipasi aktif sesuai kapasitas masing-masing.

Prinsip kesetaraan: setiap warga negara memiliki kebebasan yang sama. Negara menjamin kebebasan warga untuk berpikir, berpendapat, dan berkumpul. Sementara, setiap warga, ikut aktif menjaga kebebasan warga lainnya. Kebebasan ini bisa saja terus berkembang meliputi bebas memilih pekerjaan, bebas memilih sekolah, bebas beragama, dan lain-lain.

Prinsip perbedaan: perbedaan diijinkan sejauh memberi dampak terbaik bagi pihak yang lemah. Atau perbedaan diijinkan sejauh sebagai konsekuensi kebebasan dalam memilih.

Orang kaya boleh menjadi lebih kaya dengan catatan bertambahnya kekayaan ini mengakibatkan pihak lemah menjadi lebih baik. Misalnya, bos perusahaan aplikasi boleh saja makin kaya dengan kemajuan perusahaannya. Di saat yang sama, kemajuan perusahaan ini, menyebabkan seluruh karyawan kecil naik pernghasilannya, dan masyarakat kecil makin diuntungkan dengannya. Sebaliknya, kenaikan kekayaan bos tidak bisa diterima bila mengakibatkan karyawan kecil makin sulit, dan merugikan masyarakat bawah.

Masalah abadi akan selalu ada untuk menerapkan prinsip kesetaraan dan prinsip perbedaan di atas. Warga dan negara perlu untuk terus bersikap dinamis mewujudkan masyarakat yang adil makmur.

Ukuran Adil

Kita bisa memulai dengan menetapkan ukuran adil makmur, misalnya, mengacu kepada SDG Report. Secara bertahap, negara menuju pencapaian ukuran itu dan kemudian melampauinya.

Pertama, garis kemiskinan adalah $ 3,2 (PPP) per hari atau setara 15 ribu rupiah per orang. Dengan asumsi ada 4 anggota keluarga maka setara 4 orang x 15 ribu x 30 hari = 1,8 juta rupiah per bulan. Estimasi SDG Report masih ada sekitar 50 juta orang Indonesia di bawah garis kemiskinan itu. Benar-benar, menjadi tugas besar bagi kita untuk mengentaskan kemiskinan itu.

Kedua, nilai ketimpangan n ada di bawah n = 1,7 (atau G = 0,27). Saat ini, Indonesia, nilai ketimpangan n = 2,25. Kita masih perlu usaha serius, strategi substantif, untuk menurunkan nilai ketimpangan ini.

Ketiga, indeks demokrasi. Indonesia masih masuk dalam kelompok “demokrasi cacat”. Salah satunya, kebebasan berpendapat di Indonesia beresiko ditekan dengan adanya pasal elastis tentang pencemaran nama baik. Padahal kebebasan berpendapat menjadi pilar utama kehidupan demokratis. Kita perlu memberi jaminan lebih luas dalam kebebasan berpendapat.

Dengan kajian mendalam, strategi cerdik, dan komitmen tinggi dalam penerapan maka kita berharap Indonesia menjadi negara adil makmur.

Bagaimana menurut Anda?

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: