Kita bisa membedakan filsafat menjadi dua: mengutamakan metafisika atau mengutamakan moral. Filsafat Barat, misal Yunani Kuno – Aristoteles, Plato, dan Socrates – tampak lebih mengutamakan metafisika. Sementara filsafat Timur lebih dominan mengutamakan moral semisal Gautama, Konghucu, Empu Gandring, dan para Nabi.

Moral dan metafisika, pada akhirnya, bertemu juga. Timur dan Barat sama-sama alam semesta. Mereka adalah kita juga. Mereka saling berjumpa. Di Barat, filsafat moral menjadi utama. Di Timur, filsafat metafisika menjadi dominan juga.
1. Paradigma Etika Kosmos
1.1 Etika Makrokosmos
1.2 Etika Mikrokosmos
1.3 Etika Antrokosmos
2. Ukuran Moral
2.1 Suara Hati
2.2 Kewajiban
2.3 Manfaat
2.4 Tertawa Mati
2.5 Profit
3. Prioritas Etika
3.1 Kebebasan
3.2 Kebenaran
3.3 Keadilan
3.4 Kemakmuran
3.5 Keagungan
1. Paradigma Etika Kosmos
Kali ini, saya akan mencatat filsafat moral dalam istilah anthrocosmos, macrocosmos, dan microcosmos. Di jaman sekarang yang tengah dihantam pandemi, kita benar-benar membutuhkan filsafat moral atau etik. Di berbagai negara terjadi korupsi dana bantuan untuk korban dampak covid. Sementara, distribusi vaksin di dunia sulit untuk dikatakan adil merata.
1.1 Etika Makrokosmos – Macrocosmos Ethics
Mudah bagi kita untuk melihat bahwa di luar sana ada roti, ada daging, ada anggur, ada uang, ada sapi, dan ada orang lain. Kebiasaan kita melihat ada sesuatu di luar sana adalah hasil bentukan etika makrokosmos. Kita meyakini ada obyek yang obyektif di luar sana.
1.2 Etika Mikrokosmos – Microcosmos Ethics
Etika mikrokosmos mengajarkan ke kita bahwa semua yang ada di luar sana, sejatinya, ada dalam diri kita sendiri. Pisang yang ada di kebun itu, sejatinya, pisang yang ada dalam diri kita. Orang miskin yang ada di pinggir jalan itu, sejatinya, adalah orang miskin yang ada dalam diri kita. Pencuri yang membobol bank itu, sejatinya, pencuri yang ada dalam diri kita. Semua yang terjadi di luar sana, sejatinya, terjadi dalam diri kita sendiri.
1.3 Etika Antrokosmos – Anthrocosmos Ethics
Etika antrokosmos merupakan perpaduan. Sepiring nasi yang ada di luar sana, benar-benar nyata, ada di luar sana. Di saat yang sama, sepiring nasi itu memang ada di dalam diri kita. Seorang pahlawan yang harum namanya itu, benar-benar, ada di luar sana. Di saat yang sama, pahlawan yang harum namanya itu memang ada dalam diri kita. Koruptor yang merusak negeri ini ada di luar sana. Di saat yang sama, koruptor yang merusak negeri ini memang ada dalam diri kita. Mereka ada dalam diri kita. Dan diri kita ada dalam diri mereka.
2. Ukuran Moral
Apa ukuran sesuatu disebut sebagai bermoral atau tidak? Siapa yang berhak menentukan? Bagaimana jika ada perbedaan penilaian?
Berikut ini ringkasan beragam sudut pandang tentang ukuran atau rujukan moral.
2.1 Suara Hati
Para pemikir besar sepanjang jaman tampak memberi porsi besar kepada suara hati untuk menentukan moral. Kita, umat manusia, sejatinya sudah mengetahui suatu tindakan itu bermoral atau tidak. Suara hati kecil kita, dengan jelas, memberi tahu kebenaran moral itu. Sebagian orang mendengarkan suara hati dan mematuhinya. Mereka adalah orang yang bermoral.
Sebagian orang yang lain, justru, menolak suara hati. Mereka menolak suara hati. Atau, mereka membelokkan suara hati dan lebih mengutamakan nafsunya. Mereka adalah orang-orang tidak bermoral.
Bagaimana cara mendengarkan suara hati? Berpikir-terbuka adalah salah satu cara kita untuk mendengarkan suara hati. Buka mata hati, buka telinga hati, dan buka hati diri sendiri. Kemudian, ikuti petunjuk suara hati. Melakukan tindakan moral sesuai suara hati akan membentuk karakter seseorang: menjadi orang baik hati, orang adil, orang bijak, orang dermawan, dan lain-lain.
Karakter orang-orang bermoral, selanjutnya, membisikkan suara hati dengan lebih jernih.
Dari mana sumber suara hati? Ada yang bersumber dari bumi. Ada pula yang bersumber dari langit. Sehingga, kita mengenal ada kearifan manusiawi dan ada pula wahyu ilahi.
2.2 Kewajiban
Ukuran moral adalah kewajiban. Suatu tindakan menjadi bermoral karena tindakan itu wajib untuk kita lakukan.
Orang bermoral wajib memenuhi janji. Orang bermoral wajib menghormati ibunya – dan seluruh umat manusia. Orang bermoral wajib menjaga perdamaian. Orang bermoral wajib berbuat adil.
Bagaiamana kita bisa mengetahui suatu kewajiban? Berpikir-terbuka adalah salah satu caranya. Mengetahui suatu kewajiban, tampak, menuntut pemikiran lebih panjang dari mendengarkan suara hati – yang sering terdengar jelas seketika.
Sesuatu menjadi wajib, sehingga bermoral, jika setiap orang akan menyetujui perilaku itu. Atau, tidak ada orang yang keberatan dengan perilaku itu. Semua orang akan setuju untuk bersikap adil. Sementara, semua orang, yang waras, akan menolak tindakan korupsi. Korupsi adalah tidak bermoral. Sedangkan adil adalah bermoral.
Tentu saja ada, bahkan banyak, tindakan yang ada di antara persetujuan dan penolakan banyak orang. Tugas kita, sebagai manusia, untuk memutuskannya.
2.3 Manfaat
Barangkali, asas manfaat adalah ukuran moral paling jelas. Tindakan yang bermanfaat adalah tindakan yang bermoral. Sementara, tindakan yang tidak bermanfaat, atau merugikan pihak tertentu, adalah tidak bermoral.
Manfaat itu jelas, bisa dilihat dengan mata kepala, bahkan bisa kita ukur. Dengan demikian, ukuran moral berupa manfaat adalah yang paling kuat. Benarkah begitu?
Pertanyaan masih bisa berlanjut. Manfaat untuk siapa? Manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat, bagi seluruh alam semesta. Manfaat bagi pejabat, bisa saja merugikan rakyat. Manfaat bagi bos, bisa saja merugikan bagi pekerja. Manfaat bagi industri, bisa saja merugikan lingkungan sampai krisis iklim. Atau sebaliknya: manfaat bagi rakyat tapi merugikan bagi pejabat.
Menentukan moral berdasar manfaat, ternyata, adalah tugas berat. Kita perlu memikirkan lebih dalam. Bahkan, perlu lebih cermat dibanding dengan ukuran kewajiban mau pun suara hati.
2.4 Tertawa Mati
Memang absurd. Bermoral adalah ketika kamu bisa tertawa sampai mati. Begitulah pandangan absurdisme.
Tidak ada nilai moral. Tidak ada pula tindakan tidak bermoral. Moral adalah nilai yang diciptakan oleh manusia. Manusia bebas melakukan apa saja. Tetapi, tentu saja, alam semesta akan memberikan konsekuensi bagi pelakunya.
Abusrdisme memang absurd, tetapi, tidak absurd-absurd banget. Mereka masih masuk akal. Bahkan bisa saja masuk ke hati. Meski pun mereka menganggap nilai moral adalah ciptaan manusia sendiri, tetapi, konsekuensi dari perilaku manusia adalah fakta yang harus dihadapi. Karena itu, menurut mereka, apa pun yang terjadi mari terus tertawa. Tertawa sampai mati.
2.5 Profit
Apa saja yang menghasilkan uang maka itu bermoral. Apa saja yang memberikan cuan, profit, maka layak dikejar.
Dalam teori, mengejar profit, tampak, seperti tidak bermoral. Kenyataannya, bukankah hampir setiap manusia mengejar uang? Mengejar profit? Mengejar cuan?
Sejatinya, mengejar profit bisa dibenarkan sejauh tidak melanggar aturan lainnya. Dan, hal ini banyak terjadi. Bahkan, sebagian besar orang sudah menyadari ini. Sehingga, manusia mengejar profit adalah manusiawi – bahkan bisa tetap bermoral.
Masalah menjadi muncul, ketika, profit menjadi satu-satunya ukuran moral. Akibatnya, manusia berubah menjadi manusia satu dimensi: manusia ekonomi. Dalam jangka pendek, seperti menguntungkan. Dalam jangka panjang, bisa sangat merugikan misal perusakan alam dan krisis iklim.
Menjadi sangat penting bahwa profit harus bersanding dengan ukuran moral lain, jika hendak dijadikan acuan. Dalam banyak hal, bahkan profit bisa menjadi indikator keseriusan suatu tindakan. Jika tidak profit maka perlu diwaspadai apakah ada yang salah. Jika profit masih tetap perlu dipertimbangkan aspek lainnya.
3. Prioritas Etika
3.1 Kebebasan
3.2 Kebenaran
3.3 Keadilan
3.4 Kemakmuran
3.5 Keagungan
(Bersambung)