Bagian 2 ini hanya terdiri dari 3 bab. Namun, tiap-tiap bab secara lebih mendalam membahas masing-masing tema dengan tajam. Bab “14. Batas-batas” merupakan batas sekaligus penghubung antara epistemologi cinta dengan ontologi cinta. Kita bertanya di manakah batas-batas dari kajian filsafat.
Russell berargumen bahwa batas dari filsafat adalah sains. Maksudnya, ketika sains membahas suatu masalah secara ilmiah maka filsafat berhenti membahasnya. Kajian kita menunjukkan bahwa sains itu sendiri tanpa batas. Setiap kajian sains yang mendalam, misal teori quantum, membutuhkan filsafat. Dengan demikian, pada akhirnya, filsafat jadi tidak punya batas – dengan menyandarkan batas kepada sains.

14. Batas-Batas
15. Manfaat Filsafat Cinta
16. Materialisasi Cinta dan Kecantikan
Selanjutnya, kita mempertimbangkan ide destruksi metafisika dari Heidegger. Sekilas, destruksi ini tampak meruntuhkan bangunan filsafat. Nyatanya, keping-keping reruntuhan filsafat menjadi bertebaran di mana-mana. Masing-masing kepingan itu, sewaktu-waktu, bisa runtuh lagi dan lagi. Sehingga, filsafat makin tidak punya batas. Batas-batas dari filsafat adalah tidak ada batas.
Bab “15. Manfaat Filsafat Cinta” sesuai judulnya membahas manfaat filsafat. Salah satunya, manfaat filsafat, adalah akrab dengan ketidakpastian. Ketika banyak orang mencari kepastian yang makin sulit ditemukan, di sisi berbeda, para pengkaji filsafat justru mencari ketidakpastian. Ketidakpastian adalah yang membuat alam raya menjadi penuh warna. Ketidakpastian – dan ketidakterbatasan – adalah yang membuat hidup dan mati lebih bermakna.
Manfaat filsafat, berikutnya, adalah dengan tidak memberi jawaban. Filsafat menjadi lebih bermanfaat karena memberikan pertanyaan kepada kita – dan tanpa jawaban. Bukan pertanyaan yang biasa-biasa. Pertanyaan filsafat adalah pertanyaan besar – dan biasanya sulit dijawab. Umat manusia menjadi besar, jiwa dan spiritualnya, dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan besar itu.
Masih di bab yang sama, Manfaat Filsafat Cinta, kita mengkaji secara mendalam ontologi cinta. Kita bisa memandang bahwa semua kajian kita sebelum ini adalah pengantar untuk membahas ontologi cinta. Sehingga, ontologi cinta adalah inti dari buku ini.
Kita meminjam analisis rasional dari Immanuel Kant untuk membahas ontologi cinta. Kemudian, kita melangkah dengan konsep keyakinan dari Kierkegaard. Dan puncaknya, kita membahas cinta suci dari Ibnu Arabi.
Cinta adalah realitas paling fundamental. Akibatnya, kita tidak bisa menjawab pertanyaan apa itu cinta. Karena semua jawaban justru membutuhkan sinar cinta. Meski demikian, kita bisa mengungkapkan cinta, merasakan cinta, memaknai cinta, dan berpartisipasi menjadi sinar cinta.
Bab “16. Materialisasi Cinta dan Kecantikan” merupakan bab terakhir dari bagian 2 ini. Sesuai judulnya, bab ini membahas pembelokan cinta dari jalur sucinya. Akibatnya, cinta suci berbelok menjadi nafsu hitam yang kejam. Di saat yang sama, cinta mendominasi dunia dengan kekuatannya yang luar biasa: bit-power.
Bagaimana pun, kita optimis bisa kembali meluruskan cinta ke jalan suci. Saya mengusulkan solusinya secara sirkular yaitu pendekatan personal dan pendekatan sosial. Di mana, solusi personal membutuhkan solusi sosial, dan sebaliknya. Sehingga membentuk lingkaran masalah yang, diharapkan, berubah menjadi lingkaran solusi.
Di bab ini juga kita masuk ke ontologi kecantikan. Wajah cantik, yang sejatinya, adalah anugerah bisa berubah menjadi sumber masalah penggugah hasrat serakah. Tidak ada yang salah dengan menjadi cantik. Maka, di bagian ini, kita membahas secara mendalam ontologi cantik. Pembahasan ini mengantar kita kepada pembuktian eksistensi Tuhan yang Maha Cantik.
Cantik adalah manifestasi dari Sang Maha Cinta. Cantik adalah realitas paling nyata. Kita, umat manusia, perlu menjadi cantik. Baik cantik jasmani mau pun cantik ruhani, sampai, cantik dalam hidup dan mati.
Lanjut ke Dinamika Cinta
Kembali ke Philosophy of Love
Tinggalkan komentar