Apa realitas kebenaran sejati? Tuhan adalah kebenaran sejati. Begitu, kira-kira, jawaban dari perspektif agama. Sementara, orang-orang yang materialis, orang yang memandang realitas adalah materi, maka realitas kebenaran sejati adalah partikel-partikel fundamental pembentuk materi alam raya. Benarkah begitu? Masih ada banyak alternatif jawaban.

Realitas sejati hanyalah ilusi. Di dunia ini tidak ada apa-apa. Yang tampak di luar seperti meja, pohon, mobil, dan lain-lain adalah ilusi dari pikiran kita. Realitas adalah ilusi pikiran manusia. Dan, manusia, kita sendiri, juga merupakan ilusi. Demikian, kira-kira, pandangan skeptis-idealis.
Realitas sejati di alam raya adalah simulasi komputer super canggih. Kita adalah karakter-karakter pelaku dalam game simulasi kehidupan. Karakter dalam game berjuang untuk memenangkan petualangan. Demikian juga, kita, merasa berjuang untuk meraih mimpi, cita-cita tertinggi. Kita tidak sadar bahwa, sebenarnya, kita hanya ada dalam simulasi game belaka. Begitu, kira-kira, pandangan skeptis-simulasi.
Dunia adalah cinta. Dunia hanya milik kita berdua. Begitu kata mereka yang sedang jatuh cinta. Realitas sejati adalah cinta. Cinta yang menerangi seluruh semesta. Cinta yang membahagiakan, menarik, dan mendorong setiap gerak dunia. Begitu, kira-kira, pandangan romantis.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas satu demi satu pandangan di atas. Saya, justru, akan fokus dengan satu solusi untuk menjawab pertanyaan realitas fundamental sejati. Realitas sejati adalah dinamis.
1. Karakter Dinamis
1.1 Pancajati
1.2 Hana Maga Bataga
2. Realitas Cinta
2.1 Konten Cinta
2.2 Bentuk Cinta Tridaya
3. Daya Manusia
3.1 Daya Imajinasi
3.2 Daya Faham
3.3 Daya Akal
3.4 Daya Rasa
4. Bukti Kebenaran
4.1 Bukti Imajinasi
4.1.1 Imajinasi Obyektif
4.1.2 Imajinasi Subyektif
4.1.3 Imajinasi Intuitif
4.2 Bukti Pemahaman Konsep
4.2.1 Bukti Aposteriori Empiris
4.2.2 Bukti Apriori Rasionalis
4.2.3 Bukti Enframing Engineering
4.3 Bukti Idea Akal
4.3.1 Bukti Contoh
4.3.2 Bukti Ilustrasi
4.3.3 Bukti Realisasi
4.4 Bukti Rasa
4.4.1 Bukti Konsensus
4.4.2 Bukti Eksperimen
4.4.3 Bukti Sublim
5. Bukti Diri
5.1 Bukti Obyektif Positivis
5.2 Bukti Subyektif Eksistensialis
5.3 Bukti Cukup Diri
1. Karakter Dinamis
Karakter realitas sejati adalah dinamis. Setiap kita membuat konsep tentang realitas kebenaran maka realitas itu sendiri sudah bergerak dengan dinamis. Umumnya, kita memandang gerak dinamis sebagai perpindahan suatu substansi dalam ruang dan waktu. Gerak semacam itu adalah gerak aksidental, gerak permukaan belaka. Sejatinya, kita bisa lebih dalam melacak gerak sampai kepada gerak substansial dan gerak eksistensial.
1.1 Pancajati
Kita bisa menggunakan rumusan “pancajati” untuk mempelajari realitas yang dinamis ini. 1) realitas kebenaran selalu dinamis, 2&3) kebenaran adalah hasil verifikasi berdasar cakrawala tertentu, 4&5) kebenaran cakrawala dipengaruhi oleh pengalaman dan interpretasi. Lebih lengkap tentang formula pancajati silakan merujuk ke tulisan saya terdahulu. (Kebenaran Sejati Ada Di Sini)
1.2 Hana Maga Bataga
Realitas fundamental kebenaran sejati adalah hana. Karakter kebenaran yang terus-menerus dinamis adalah: maga. Dan, gerak dinamis dari hana ini menghasilkan kebenaran akhir: bataga.
Karena hana adalah realitas paling fundamental maka kita tidak bisa mendefinisikan hana. Justru setiap definisi membutuhkan dukungan dari hana. Maka kita akan memaknai hana – menginterpretasikan hana. Agar hana menjadi lebih nyata, bagi kita, maka kita bisa memandang hana sebagai manusia sejati. Hana adalah manusia sejati yang senantiasa bergerak dinamis.
Kita tahu bahwa manusia sejati, sebagai hana, selalu bergerak maju. Manusia selalu punya cita-cita. Setelah, satu cita-cita berhasil diraih, maka hana menetapkan cita-cita baru. Bahkan, sebelum cita-cita diraih, hana bisa saja menciptakan cita-cita yang lebih banyak. Manusia sejati tidak pernah berhenti. Mengejar cita-cita yang makin tinggi.
Gerak manusia sejati itu adalah maga. Maga adalah gerak sejati, gerak eksistensial, gerak substansial. Maga menggerakkan, mengubah, manusia kanak-kanak menjadi manusia remaja lalu dewasa. Maga mengubah manusia cengeng menjadi manusia gagah perkasa. Maga mengantarkan anak kecil yang tidak mengerti apa-apa menjadi sarjana bijaksana. Maga bergerak dalam jangka waktu bertahun-tahun. Maga juga bergerak tiap detik, tiap saat. Maga menciptakan ruang untuk bergerak. Maga menciptakan waktu untuk bergerak.
Bataga adalah hasil akhir dari hana yang bergerak sebagai maga. Bataga menampung hana dan seluruh hasil gerak maga. Seorang sarjana bijaksana menampung seluruh memori perjalanan dia dari kanak-kanak, remaja, sampai dewasa saat ini. Bataga ini unik. Setiap orang memiliki bataga yang berbeda-beda. Karena masing-masing orang memiliki kisah hidup yang beragam maka totalitas kisah hidupnya itu berkumpul menjadi bataga yang beragam, unik bagi masing-masing individu.
Apa sejatinya bataga itu? Bataga adalah hana yang baru. Yaitu, hana yang sudah melakukan gerak maga maka menjadi bataga. Karena bataga, sejatinya adalah hana, maka bataga itu juga selalu dinamis tidak pernah berhenti. Bataga memiliki karakter yang sama dengan hana. Sehingga, ketika kita membahas hana, sejatinya, kita juga sedang membahas bataga.
2. Realitas Cinta
Hana adalah cinta. Realitas adalah cinta. Realitas dibentuk oleh string-string cinta yang memenuhi jagat raya. Hanya ada hana. Hanya ada cinta.
2.1 Konten Cinta
Terdiri dari apakah realitas fundamental hana itu?
Kita bisa menginterpretasikan pertanyaan ini seperti seorang ilmuwan hendak menjawab pertanyaan terdiri dari apakah benda-benda, materi, di dunia ini. Dalton menjawab setiap materi terdiri dari bagian terkecil berupa atom. Kelak, ilmuwan menemukan bahwa atom bukanlah partikel terkecil. Atom tersusun oleh proton, neutron, dan elektron yang lebih sederhana. Selanjutnya, fisika quantum menemukan bahwa proton itu juga tersusun oleh partikel elementer seperti quark, boson, lepton, dan lain-lain. Apakah partikel elementer ini akan terus bisa digali, dianalisis, menghasilkan partikel yang lebih elementer lagi?
Teori string, lanjutan dari fisika quantum, menetapkan titik henti. Semua partikel elementer tersusun oleh string – partikel yang paling elementer, mirip-titik. Quark dan kawan-kawan itu, pada analisis akhir, tersusun oleh string. Tersusun oleh apakah string itu? String adalah tersusun oleh string itu sendiri. String adalah titik henti. Dalam dirinya sendiri, string tidak punya kekuatan apa-apa. Tetapi ketika beberapa string berkumpul, berinteraksi, maka akan menghasilkan beragam partikel fundamental elementer.
Jadi, tersusun oleh apakah hana itu? Hana tersusun oleh string. Tentu saja, string yang berbeda dengan fisika elementer. String dari hana adalah string cinta.
Hana adalah cinta. Hana selalu jatuh cinta. Hana bergerak karena cinta menuju cinta. Hana memang cinta. Manusia sejati, hana, adalah cinta.
Ketika Anda jatuh cinta, Anda sedang jadi hana, manusia sejati. Memang, Anda adalah hana. Jatuh cinta kepada kekasih adalah manifestasi hana. Cinta kepada anak adalah hana. Cinta kepada tumbuhan adalah hana. Cinta kepada karya sastra adalah hana. Alam raya adalah hana.
Bagaimana dengan orang yang tidak pernah jatuh cinta? Mereka sedang tidak beruntung. Mereka sedang berhenti menjadi hana. Mereka sedang berhenti jadi diri sejati. Maka kita perlu terus untuk jatuh cinta, merawat cinta. Cinta kepada sesama dan cinta kepada seluruh yang ada.
Bagaimana dengan orang yang mengumbar cinta di mana-mana? Apakah mereka adalah hana yang lebih jaya? Cinta sejati adalah suci. Tetapi, manusia bisa membelokkan cinta menjadi nafsu semata. Mengumbar nafsu adalah membelokkan cinta menjadi derita. Kita perlu kembali meluruskan cinta. Meniti jalannya yang suci.
Kita bisa berimajinasi, membayangkan, bahwa hana terdiri dari titik-titik kecil. Di mana, titik-titik kecil itu adalah string cinta. String cinta dalam jumlah yang banyak membentuk kekuatan-kekuatan cinta pada diri manusia. Masing-masing orang, meski terdiri dari string cinta yang sama, berbeda dalam jumlah dan susunan string cinta. Sehingga, kekuatan cinta bisa berbeda-beda. Bagaimana pun, meski berbeda, tetap sama-sama cinta yang mempesona.
Apa saja bentuk kekuatan cinta?
2.2 Bentuk Cinta Tridaya
Ada dua bentuk cinta sejati dan satu bentuk yang tidak imbang. Total menjadi tiga bentuk maka kita sebut sebagai tridaya: tiga kekuatan cinta.
Kita, juga, bisa kembali ke konsep hana. Manusia sejati, hana, terdiri dari string-string cinta dalam jumlah yang sangat besar dan terus bertambah, terus bergerak, maga. String-string cinta ini membentuk 3 kekuatan utama: 1)adil, 2)baik/apik, dan 3)derita.
Sesuai namanya, bentuk cinta sejati hanya dua: adil dan baik/apik. Sedangkan derita adalah pembelokan dari cinta, pembelokan dari hana.
Hana, dengan cinta, bebas bergerak. Hanya ada dua pilihan bentuk gerak cinta. Pertama, adil adalah manifestasi cinta yang sesuai dengan ukuran. Anda memberikan cinta kepada anak pertama sesuai dengan haknya adalah adil. Anda memberikan cinta kepada anak kedua sesuai haknya adalah adil. Begitu juga, Anda membantu tetangga sesuai haknya maka itu adalah adil.
Kedua, apik adalah manifestasi cinta yang lebih dari ukurannya. Apik adalah lanjutan dari adil. Jika adil adalah memberi sesuai haknya maka apik adalah memberi lebih dari haknya. Memberikan pendidikan kepada anak pertama adalah manifestasi cinta sesuai haknya, itu adalah adil. Memberikan pendidikan dengan kualitas tinggi, penuh perhatian, kepada anak pertama adalah lebih tinggi dari hak, itu adalah apik. Manifestasi cinta dari hana.
Menyelesaikan tugas sebagai kepala negara selama lima tahun sesuai tugas dan kewajiban adalah adil, manifestasi cinta dari seorang kepala negara. Membangun negeri selama 5 tahun, kebijakan-kebijakan strategis yang menyejahterakan rakyat kecil, menetapkan undang-undang yang memajukan seluruh masyarakat adalah lebih tinggi dari hak rakyat. Kepala negara seperti itu sudah berbuat baik, sebagai manifestasi cinta.
Ketiga, derita adalah bukan bentuk pilihan cinta. Derita terjadi ketika cinta berbelok arah, atau berbelok ukuran. Manusia bisa salah mengambil langkah sehingga mengakibatkan derita bagi dirinya atau pun orang lain.
Sejatinya, bentuk dari hana, bentuk dari string-string cinta hanya ada dua: adil dan baik/apik. Mari kita terus merawat cinta, hidup bahagia, dengan manifestasi nyata adil dan baik/apik.
3. Daya Manusia
Hana, yang terdiri dari string-string cinta itu, bisa membentuk kekuatan dalam jumlah tak terbatas. Sebagai manusia sejati, kita memiliki daya intelektual utama: imajinasi, daya pemahaman, dan akal. Ki Hajar Dewantara menyebut dengan istilah daya cipta, daya rasa, dan daya karsa. Semua daya kekuatan itu adalah bentukan dari string-string cinta, secara langsung atau tidak.
3.1 Daya imajinasi, daya citra, adalah kemampuan manusia untuk menciptakan citra dalam pikirannya. Citra inilah yang kita lihat, dalam kasus penglihatan. Ketika kita melihat pohon di samping rumah maka cahaya-cahaya dari pohon mengenai mata kita. Kemudian, imajinasi menciptakan citra-pohon dalam pikiran kita, yang bisa kita lihat.
Imajinasi juga bisa menciptakan citra tanpa melihat obyek pohon. Imajinasi bisa saja menciptakan citra dengan mengacu memori atau daya kreativitasnya.
3.2 Daya pemahaman, faham, adalah kemampuan manusia memahami suatu konsep. Ketika, imajinasi menciptakan citra-pohon dalam pikiran, imajinasi tidak paham bahwa itu pohon. Imajinasi hanya menciptakan citra. Kemudian tugas daya-pemahaman untuk memahami bahwa citra itu adalah pohon. Daya-pemahaman pula yang memutuskan sesuatu sebagai benar atau salah berdasar konsep pemahaman.
Imajinasi menciptakan citra berdasarkan pengalaman data-data indera dan kombinasi-kombinasi darinya. Sementara, daya-pemahaman mampu menciptakan konsep-konsep melampaui pengalaman indera. Misal, imajinasi dapat menciptakan citra-citra gambar kreatif sejauh dalam ruang dimensi 3. Tetapi, daya pemahaman bisa menciptakan konsep gambar dalam ruang dimensi 5. Tak bisa dibayangkan oleh imajinasi, bisa dibuatkan konsep oleh daya-faham.
Dalam fisika quantum, misalnya, ada konsep multiverse yang menyatakan bahwa ada banyak alam paralel. Ada Indonesia di alam kita, di sini. Dan, ada Indonesia di alam paralel yang lain. Ada Anda di alam ini, dan ada Anda versi lain di alam paralel yang lain. Daya-faham bisa memahami konsep multiverse. Tapi, imajinasi kita tidak bisa membayangkannya. Jika ada alam paralel lain, kata imajinasi, pasti alam paralel itu ada di ruang sekitar sini juga, hanya saja, bisa jauh atau dekat.
Daya-faham mampu memahami konsep lebih luas dari imajinasi. Sementara, imajinasi bisa menggambarkan citra lebih jelas dari daya-faham. Imajinasi bekerja sama dengan daya-faham dalam diri manusia.
3.3 Daya-nalar, akal, adalah kemampuan kita menciptakan idea-idea baru. Akal mengolah citra dari imajinasi dan konsep dari daya-faham untuk kemudian menghasilkan gagasan-gagasan segar. Apa yang tak terbayangkan oleh imajinasi, dan apa yang tak terpikirkan oleh daya-faham, bisa menjadi ide segar bagi akal.
Akal bisa meng-akali setiap kesulitan untuk kemudian menemukan inovasi baru. Akal, juga, bisa meng-akali pihak lain sampai rugi, demi kepentingan pribadi. Akal memang banyak akal. Akal adalah daya aktif manusia yang bernilai tinggi. Manusia wajib menjaga akalnya demi kebaikan bersama.
Uniknya dari akal adalah kemampuannya bernalar secara asosiasi bebas. Akal mampu membaca suatu obyek sebagai simbol untuk kemudian menciptakan idea segar dari obyek, yang tidak nyambung dengan obyek itu sendiri. Misal, ketika saya melihat anak kecil senang bermain dengan kubus-kubus kecil maka akal saya memunculkan idea bagaimana menciptakan media permainan untuk belajar matematika. Dan, kemudian, akal bekerja sama dengan daya-faham menciptakan konsep, meminta bantuan imajinasi untuk membuat gambaran jelas maka terwujudlah game “dadu milenium.” Sebuah game matematika yang memudahkan anak-anak belajar matematika. Asyik…!
Ketika melihat kebun teh hijau membentang, akal memunculkan ide bahwa itu adalah simbol dari kebahagiaan manusia. Manusia bahagia dengan pemandangan yang begitu sejuk. Kebun teh dan bahagia, sejatinya tidak ada hubungan pasti. Akal kita menciptakan hubungan itu, menghubungkan sesuatu yang, tampaknya, tidak ada hubungan.
Ketiga daya di atas (imajinasi, daya-faham, dan akal) adalah daya aktif. Kombinasi dari string cinta memungkinkan terbentuknya daya-daya lain yang unik. Termasuk di antaranya daya pasif yaitu daya-data, daya-hasrat, dan daya-rasa.
Ketika kita melihat pohon di samping rumah maka mata mengirimkan sinyal-sinyal cahaya ke mata, dan sistem syaraf. Kemudian, secara reflek, daya-data akan memunculkan intuisi pohon masih samar-samar berdasar data yang diterimanya. Selanjutnya, daya-aktif mengambil alih tugas. Imajinasi menciptakan citra yang lebih jelas dari intuisi pohon dan daya-faham menerapkan konsep-konsep sampai bisa memutuskan bahwa citra dari obyek itu adalah pohon.
Di saat daya-data menerima sinyal dari pohon, daya-hasrat secara intuitif (reflek) memberi respon awal apakah berminat atau tidak terhadap pohon tersebut. Selanjutnya, daya-aktif mengolah sinyal minat itu. Dari imajinasi dan daya-faham, kita sudah tahu bahwa obyek tersebut adalah pohon. Akal, kemudian, mengembangkan idea: perlu direspon bagaimanakah pohon itu? Barangkali, respon akal adalah: biarkan saja pohon seperti itu, apa adanya.
Jika obyek pohon kita ganti dengan makanan-lezat, apa respon akal? Apakah makanan-lezat itu dibiarkan saja? Atau disantap lebih nikmat? Atau jika obyek itu adalah gadis cantik, maka apa respon akal? Untuk menjawabnya, kita perlu membahas daya-rasa.
3.4 Daya-rasa, merasakan berbagai macam realitas. Daya-rasa mempunyai karakter pasif dan aktif. Daya-rasa pasif bersifat refleks intuitif, secara langsung, meneruskan sinyal yang diterimanya kepada subyek, kepada kita. Sedangkan, daya-rasa aktif menjadi sangat penting bagi kita. Daya-rasa aktif bisa memberikan rasa yang lebih kuat kepada kita.
Obyek di depan kita, misalkan, makanan lezat. Daya-rasa pasif menerima sinyal makanan-lezat, secara langsung, meneruskan ke daya-aktif. Imajinasi dan daya-faham dengan cepat memastikan bahwa obyek itu adalah makanan-lezat. Dilihat dari tampilan dan aromanya, makanan itu tampaknya benar-benar lezat. Tugas akal, pada akhirnya, harus memutuskan sikap selanjutnya, apakah makanan perlu disantap?
Akal berulang kali berkomunikasi dengan imajinasi dan daya-faham untuk mengambil keputusan. Imajinasi memunculkan citra diri bahwa kita pada kondisi sedang lapar atau kenyang. Daya-faham memastikan sekarang adalah waktu makan yang tepat atau tidak. Dan seterusnya. Akhirnya, akal memutuskan: makan saja itu makanan lezat, misalnya.
Yang menarik, di sini, daya-rasa aktif sebenarnya tidak ada. Akal, bukan daya-rasa, yang memutuskan makan saja. Sementara, daya-rasa pasif memang ada secara mandiri. Daya-rasa pasif ini dibentuk oleh string-string cinta dalam jumlah tertentu. Sedangkan, daya-rasa aktif dibentuk oleh interaksi harmonis imajinasi, daya-faham, dan akal. Meski pun mereka (imajinasi, faham, dan akal) dibentuk oleh string-string cinta, daya-rasa aktif tidak demikian. Akibatnya, daya-rasa aktif memang besifat estetik, bukan logika linear. Interaksi harmonis berbagai macam daya-aktif menghasilkan rasa estetik.
4. Bukti Kebenaran
Sampai di sini, kita bisa menyusun bukti kebenaran dan bukti realitas. Masalah muncul ketika seseorang salah memberi bukti, atau salah menuntut bukti, karena tidak sesuai dengan daya manusia. Kita perlu menyesuaikan bukti dengan daya manusia. Imajinasi, misalnya, menuntut bukti obyektif atau subyektif. Bukti rasional tidak diperlukan di sini. Pernyataan matematika perlu bukti rasional berdasar sistem matematika yang disepakati. Imajinasi tidak diperlukan di sini – meski bisa membantu pemahaman.
4.1 Bukti Imajinasi
Daya-imajinasi menerima umpan dari intuisi-indera untuk kemudian diperkuat menghasilkan citra yang lebih jelas. Daya-imajinasi juga bisa memproduksi citra secara mandiri tanpa umpan dari indera, dengan memanfaatkan memori, akal, dan lainnya.
4.1.1 Imajinasi Obyektif
Ketika Anda melihat meja di depan Anda maka muncul citra meja dalam pikiran. Citra ini adalah hasil imajinasi Anda. Bagaimana cara membuktikan memang ada meja sesuai dengan citra imajinasi Anda? Kita bisa membuktikannya secara empiris-obyektif.
Kita bisa memperhatikan meja berulang kali, menyentuh, bahkan menimbangnya. Setelah hasil pengamatan ini konsisten beberapa kali maka kita berhasil memberikan bukti obyektif terhadap imajinasi kita. Alternatifnya bisa dengan mengundang orang lain untuk mengamati meja tersebut. Bila ada beberapa orang melihat meja yang sama, sambil diskusi sesama pengamat, maka kita berhasil membuktikan secara obyektif-empiris meja yang dimaksud. Sains dan teknologi mempunyai beragam metode untuk bukti obyektif-empiris semacam ini.
Tentu saja, ada kemungkinan kita salah menilai imajinasi. Kita melihat bola voli di depan kita. Setelah kita amati lebih dekat, ternyata, itu bukan bola voli tetapi bola sepak. Bisa juga, orang dengan mata rabun melihat kambing di depannya, ternyata, adalah anjing. Meski kesalahan menilai ini berhubungan dengan imajinasi, sebenarnya, bukan kesalahan imajinasi. Di bagian bawah, kita akan membahas bahwa kesalahan penilaian ini adalah kesalahan daya-faham atau salah paham.
4.1.2 Imajinasi Subyektif
Kita bisa membuat citra imajinasi tanpa berhubungan langsung dengan obyek luar. Ketika melamun, atau bermimpi, kita menciptakan citra tanpa berhubungan langsung dengan obyek luar. Bagaimana cara membuktikan imajinasi subyektif?
Bisa dengan beragam cara – dan umumnya tidak ada masalah dengan cara-cara ini.
“Bayangkan foto presiden Soekarno dengan mengenakan peci di kepalanya. Apa warna peci beliau?”
“Warna hitam.”
Tepat. Anda sudah menciptakan citra presiden Soekarno di imajinasi Anda. Dalam kasus imajinasi-subyektif ini, bisa saja seseorang berbohong. Dia mengatakan membayangkan presiden Soekarno, ternyata tidak. Kita juga bisa membuat citra dengan cara yang lebih kreatif, bebas. Bayangkan seorang pejabat mengenakan peci warna-warni pelangi. Tentu saja, saat ini tidak ada peci warna-warni pelangi tapi kita bisa membuat citranya.
4.1.3 Imajinasi-Intuitif
Imajinasi-intuitif terjadi seketika, refleks. Anda tidak sengaja menginjak duri. Terbentuk imajinasi-intuitif rasa sakit. Bisa juga, tiba-tiba Anda terkenang wajah orang yang Anda cintai, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Muncul imajinasi-intuitif berupa rasa rindu teriring citra wajahnya.
Bukti imajinasi-intuitif, umumnya, tidak masalah. Karena, kita cenderung menerima pengakuan dari orang yang mengatakannya.
August Kekule (1829 – 1896) waktu itu sedang melakukan penelitian ilmiah struktur kimia. Sampai larut malam, sudah berhari-hari, Kekule tidak menemukan kemajuan. Semua rumusan kimia yang ada tidak berhasil menjelaskan hasil risetnya.
Dalam kondisi mengantuk, atau tertidur, Kekule melihat ada beberapa ular yang melata. Di antara ular-ular itu, ada yang menarik perhatian Kekule, ada ular yang menggigit ekornya sendiri. Dengan menggigit ekornya sendiri maka tubuhnya membentuk lingkaran.
Kekule terjaga, merasa aneh dengan ular yang menggigit ekornya sendiri. Muncul dalam imajinasinya, bagaimana jika struktur molekul membentuk lingkaran? Struktur molekul melingkar ini, pada masanya, menjadi inovasi ilmiah terbesar dalam bidang kimia.
Dari beragam imajinasi di atas, kita bisa membentuk imajinasi kompleks – obyektif, subyektif, dan intuitif. Anda bisa bereksperimen. Menjelang tidur putarlah lagu kesayangan Anda. Kemudian, ketika Anda tidur, bermimpi menonton konser musik yang memainkan lagu kesayangan Anda tersebut. Mimpi tersebut adalah imajinasi kompleks. Obyektif karena Anda mendengarkan lagu. Subyektif karena Anda menciptakan sendiri berbagai citra dalam mimpi. Dan, intuitif karena merespon lagu secara refleks.
4.2 Bukti Pemahaman Konsep
Bukti pemahaman-konsep atau konsep-pemahaman adalah bukti yang paling penting dalam dunia sains dan kehidupan sosial. Sementara, bukti imajinasi bisa kita pandang sebagai ilustrasi dan penguat bagi pemahaman konsep.
4.2.1 Bukti Konsep Aposteriori
Bukti aposteriori adalah bukti yang bisa diuji setelah pengamatan tertentu. “Paman APIQ tinggal di Bandung” adalah pernyataan yang bisa dibuktikan secara aposteriori. Caranya mudah: kunjungi Bandung dan temukan tempat tinggal paman APIQ. Jika berhasil maka pernyataan di atas bernilai benar “setelah” dilakukan verifikasi.
Pernyataan sains, sebagian besar, adalah pemahaman konsep aposteriori. Seperti kita lihat di atas, aposteriori bisa saja positif mengkonfirmasi, tetapi bisa juga, ternyata negatif, atau menolak. Setelah diverifikasi, misalnya ternyata, Paman APIQ tidak tinggal di Bandung sehingga pernyataan ditolak.
Sains dan teknologi modern berkembang pesat dengan mengembangkan pengetahuan aposteriori.
Tetapi, sejatinya, masih ada masalah filosofis di sini. “Paman APIQ tinggal di Bandung.” Orang masih bisa beda pendapat definisi “Paman APIQ.” Begitu juga pengertian “tinggal di Bandung.” Apakah maksudnya kota Bandung? Atau Bandung Barat? Sebagian Bandung atau seluruh Bandung?
Perbedaan pendapat di atas, secara filosofis, bisa saja tidak ada titik temu sehingga dissensus. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mencapai konsensus. Apakah kebenaran empiris aposteriori itu, pada analisis akhir, berlandaskan konsensus?
Mari kita cermati dengan contoh yang lebih nyata, “Tinggi meja ini 135 cm.”
Kita, dengan mudah, bisa mengukur tinggi meja itu beberapa kali dan terbukti benar bahwa tingginya 135 cm. Bukti kebenaran empiris berupa fakta yang nyata. Hasil pengukuran aposteriori bisa diterima.
4.2.1.1 Bukti Sains Vs Konsensus
Sains teknologi terbukti benar secara empiris, efisien, dan menguntungkan. Lagi-lagi, kebenaran sains tidak sekuat yang diklaim banyak orang. Kebenaran sains, pada analisis akhir, harus mempertimbangkan konsensus. Sehingga, sains yang selama ini kita anggap sebagai fakta ilmiah perlu kita tinjau kembali. Kita, perlu, berpikir-terbuka.
Tinggi meja 135 cm kita peroleh dari beberapa pengukuran: 135,1; 135,0; dan 134,9. Maka rata-rata tinggi meja = 135 cm.
Berapa tinggi meja sebenarnya, yang bukan rata-rata? Tidak ada hasil pengukuran akurat mutlak. Setiap pengukuran menyertakan suatu margin error – suatu ketidakpastian. Hasil pengukuran sains memberikan hasil estimasi yang bisa diterima oleh komunitas sains. Bukankah itu suatu konsensus di antara para ilmuwan? Dan, jika ada konsensus di komunitas ilmuwan, bukankah pasti sudah mempertimbangkan banyak hal? Sehingga, konsensus pasti bernilai ilmiah?
4.2.1.2 Falsifikasi vs Konsensus
Falsifikasi adalah “metode ilmiah” untuk menguji suatu pernyataan ilmiah dengan menemukan titik kesalahannya.
“Semua angsa berwarna putih.” Hasil dari pengamatan ratusan sampai ribuan angsa menunjukkan bahwa setiap angsa, memang, berwarna putih.
Falsifikasi akan menguji, “Apakah ada angsa yang tidak berwarna putih?” Jika setiap pengamatan menunjukkan bahwa setiap angsa berwarna putih maka pernyataan bisa diterima sebagai benar – sampai saat itu.
Kesimpulan bisa berubah bila ada hasil pengamatan lain.
Ilmuwan A mengamati ada angsa berwarna hitam. Maka pernyataan semua angsa berwarna putih “tidak lolos” di-falsifikasi. Pernyataan tersebut tidak valid sehingga perlu revisi.
Secara filosofis, falsifikasi, tetap perlu mempertimbangkan konsensus. Ketika ilmuwan A mengamati ada angsa berwarna hitam, maka, apakah itu suatu fakta? Kita bisa meminta 5 ilmuwan lain untuk menguji apakah angsa yang diamati A benar-benar hitam. Mereka, misalnya, sepakat warnanya hitam.
Apakah ada jaminan ilmuwan ke-6 akan sepakat bahwa angsa itu berwarna hitam? Tidak ada jaminan. Bisa jadi, ilmuwan ke-6 menyatakan bahwa angsa yang dimaksud adalah berwarna putih. Sehingga, hasil pengamatan ilmuwan A “tidak lolos” di-falsifikasi oleh ilmuwan ke-6.
Lagi-lagi, para ilmuwan perlu mempertimbangkan konsensus di antara komunitas mereka. Konsensus bukanlah suatu aib. Justru, konsensus adalah keunggulan umat manusia.
4.2.1.3 Bukti Konsensus
Meski beberapa orang tidak nyaman bahwa konsensus berperan penting dalam kebenaran sains empiris, sejatinya, konsensus justru menunjukkan kemajuan peradaban manusia. Masyarakat yang berhasil menyepakati konsensus, dan menghormatinya, menjadi masyarakat yang beradab.
Demikian juga, komunitas saintis yang berhasil menghormati konsensus mampu mendorong kemajuan sains teknologi dengan dinamis.
Apakah ada kebenaran ilmiah yang bersifat pasti dan universal? Konsep matematika dan teknologi akan mampu menjawab dengan afirmatif.
4.2.2 Bukti Konsep Apriori Rasionalis
Konsep apriori terbukti benar secara pasti dan universal. Pernyataan matematika, misal 12 + 1 = 13, adalah konsep apriori yang bernilai benar secara pasti dan universal.
Kita bisa mengambil contoh 12 jeruk ditambah 1 jeruk maka akan menghasilkan 13 jeruk. Contoh jeruk tersebut adalah sekedar contoh belaka. Bukan karena contoh maka matematika menjadi benar. Tetapi karena matematika terbukti benar maka contoh jeruk itu bisa menjadi ilustrasi. Displin matematika mengembangkan beragam cara yang canggih untuk membuktikan kebenaran beragam pernyataan matematika dengan pendekatan rasionalis.
Mengapa pernyataan matematika bisa benar secara universal, bahkan apriori? Tanpa pengujian empiris matematika selalu benar – apriori. Di setiap ruang dan waktu bernilai benar – universal.
Matematika bernilai benar secara apriori karena konsep matematika adalah ideal. Jika ada obyek tidak ideal maka obyeknya ditolak. Sementara, konsep matematika tetap diterima secara apriori.
12 + 1 tidak = 13 terjadi pada bilangan jam dinding. Pada jam dinding terjadi 12 + 1 = 1 karena tidak ada angka 13.
Dalam kasus jam dinding, obyek jam dindingnya yang ditolak. Sementara, 12 + 1 = 13 tetap benar karena yang dimaksud adalah bilangan asli seperti umumnya kita pahami. Dengan cara ini, memilih yang ideal, konsep matematika akan selalu benar.
Bukankah itu merupakan suatu konsensus? Sehingga, kebenaran matematika yang universal itu, pada analisis akhir, mengandalkan konsensus?
Meski, barangkali, kita bisa menganggap matematika mengandalkan konsensus, istilah yang lebih tepat adalah aksioma. Pernyataan 12 + 1 = 13 selalu benar dalam sistem aksiomatik bilangan asli. Dan, pernyataan 12 + 1 = 1 selalu benar dalam sistem aksiomatik bilangan jam dinding. Kita perlu memahami konsep sistem aksiomatik yang dimaksud, bukan, kita diharapkan sepakat dengan suatu konsensus.
Dengan demikian, kita secara sah dapat mengatakan bahwa konsep matematika bernilai benar secara apriori.
Dengan keunggulan matematika yang apriori itu maka, wajar, sains menggabungkan pendekatan empiris dan matematis. Sehingga, sains memiliki aspek apriori dan aposteriori.
4.2.3 Bukti Enframing Engineering
Bukti kebenaran makin berkembang dengan bukti enframing engineering. Jika matematika mengembangkan sistem aksiomatik maka teknologi, lebih maju, dengan sistem enframing.
Produsen memproduksi batere mobil listrik yang mampu menempuh jarak 500 km. Janji produsen itu akan terbukti benar dengan enframing. Semua batere, terbukti, benar-benar mampu menempuh jarak 500 km – bahkan bisa lebih. Jika ditemukan batere yang tidak mampu menempuh jarak 500 km maka batere tersebut dianggap cacat. Batere tersebut dicoret dari sistem. Begitulah cara kerja enframing, agar terbukti benar.
Bukti kebenaran enframing akan ditentukan oleh penjamin – produsen batere dalam contoh ini. Ketika produsen berhasil konsisten memproduksi batere dengan daya tempuh lebih dari 500 km maka pernyataan tersebut terbukti benar. Bila ada batere yang cacat, segera diganti dengan batere yang baru, maka kebenaran enframing makin kuat. Dalam dunia engineering, kebenaran enframing bisa menjadi yang paling penting.
Layanan yotube bisa diakses di Indonesia. Jika suatu saat, layanan youtube, tidak bisa diakses di Indonesia maka para ahli, dan teknisi, dari youtube akan memperbaikinya. Sedemikian hingga, youtube benar-benar bisa diakses di Indonesia. Era digital bertabur realitas dengan bukti kebenaran enframing.
Dalam politik sering kita mendengar: kami butuh bukti bukan janji. Politikus bisa memberi bukti dengan memenuhi janji-janjinya selama kampanye. Dengan demikian, politikus dan pejabat, termasuk yang perlu mahir dalam memberikan bukti enframing.
Tetapi, apakah bukti enframing bisa dipertanggungjawabkan? Bukankah enframing adalah sejenis rekayasa? Sejenis manajemen? Atau sejenis manipulasi?
Catatan: Bukti pemahaman konsep, apriori mau pun aposteriori, adalah sejenis bukti yang paling mudah untuk ditunjukkan. Bukti pemahaman konsep ini bisa kita sebut sebagai bukti obyektif. Meski, dalam analisis akhir, bukti pemahaman konsep melibatkan suatu jenis konsensus, hal tersebut, tetap bisa kita anggap sebagai bukti ilmiah. Bahkan, konsensus adalah tanda kemajuan peradaban manusia.
4.3 Bukti Idea Akal
Karakter dari akal adalah kreatif. Akal tertarik untuk berpikir spekulatif memperluas konsep-konsep, bahkan, menciptakan konsep-konsep baru. Akal, dengan kemampuannya yang kreatif, mengembangkan beragam idea-idea orisinal. Ide-ide ini, barangkali, tidak pernah ada. Imajinasi kadang tidak mampu menggambarkan ide dari akal. Begitu juga, daya-faham, kadang tidak mampu memahami ide dari akal. Akal membebaskan pemikiran.
Akal mampu berpikir secara simbolis, perlambang. Ide-ide simbolis ini bisa menembus batas-batas konsep. Sehingga, bukti dari suatu ide tidak bisa dibatasi dengan konsep. Di sini, kita akan menunjukkan bukti dari ide melalui: contoh, ilustrasi, dan realisasi.
4.3.1 Bukti Contoh
“Kebun teh nan hijau adalah sumber kedamaian.”
Pernyataan di atas adalah idea, di mana, akal membaca kebun teh sebagai sumber kedamaian. Bagaimana cara membuktikannya? Kita bisa membuktikannya dengan contoh. Mari kita jalan-jalan santai di kebun teh. Kemudian, rasakan kedamaian dalam diri kita.
“Setiap kebaikan berbalas kebaikan.”
“Kebaikan” adalah idea. “Berbalas” juga idea. Maka kita bisa memberi bukti dengan contoh misal ketika suatu hari saya berbuat baik menolong anak yatim, 3 hari kemudian, saya mendapat kebaikan berupa mendapat rejeki dalam jumlah sangat besar.
Kita bisa saja mendefinisikan “kebaikan” dengan beragam konsep. Dengan cara ini, kita mengubah “idea” menjadi “konsep”. Sehingga, kita bisa membuktikan konsep tersebut dengan cara obyektif. Meski begitu, definisi “kebaikan” akan terbuka dengan definisi yang berbeda. Sebagai akibatnya, terbuka pembuktian yang berbeda pula.
4.3.2 Bukti Ilustrasi
Kadang-kadang idea benar-benar abstrak. Sehingga, tidak mudah bagi kita untuk memberi contoh. Maka, kita bisa memberi bukti berupa ilustrasi.
Saya punya idea “menjadikan seluruh seluruh siswa SD Indonesia jago matematika.”
Seperti apa ilustrasinya? Ketika kelas 1 SD, siswa belajar matematika dengan metode APIQ misal dengan game kartu milenium. Kemudian, siswa belajar perkalian cepat metode Bintang APIQ. Dengan demikian, siswa kelas 3 SD berhasil menjadi jago matematika.
Tentu saja, “jago matematika” adalah sebuah ide. Kita bisa mengubah ide “jago matematika” menjadi suatu konsep dengan definisi yang lebih terukur. Dengan cara ini, kita bisa memberi bukti konsep “jago matematika” dengan obyektif. Bagaimana pun bukti terhadap konsep beda dengan bukti terhadap idea.
“Setiap orang punya kehendak bebas.”
Seperti apa ilustrasinya? Ketika Anda akan makan, maka, bebas bagi Anda hendak makan atau tidak. Begitu juga ketika Anda membaca tulisan ini, maka, bebas bagi Anda hendak lanjut membaca atau tidak. Anda, dan setiap orang, punya kehendak bebas. Setiap orang bebas berkehendak.
Tetapi, idea sebaliknya bisa juga terjadi.
“Kehendak bebas adalah ilusi.”
Seperti apa ilustrasinya? Ketika Anda akan makan, kemudian, Anda benar-benar makan. Anda mengira bahwa itu kehendak bebas – dengan memilih makan. Sejatinya, itu ilusi. Anda memilih makan karena Anda sedang lapar. Kehendak Anda ditentukan oleh rasa lapar – tidak bebas. Jadi, kehendak bebas adalah ilusi belaka.
Kesimpulannya, kehendak bebas memang nyata atau ilusi?
Untuk bisa menarik kesimpulan seperti itu, kita perlu mengubah idea “kehendak bebas” menjadi konsep “kehendak bebas.” Kemudian, konsep ini bisa kita ukur dan kita tentukan kesimpulan akhirnya. Bagaimana pun, kesimpulan tersebut adalah tentang konsep “kehendak bebas” – bukan idea “kehendak bebas.”
Sikap apa yang perlu kita lakukan ketika menghadapi idea yang saling kontradiksi? Kita perlu bersikap dengan berpikiran-terbuka. Ijinkan idea itu berkembang apa adanya. Ijinkan idea itu membuka diri di depan akal Anda. Kemudian, akal Anda akan memberikan idea-idea lanjutan. Bisakah kehendak bebas benar-benar nyata dari suatu sudut pandang? Sementara, dari sudut pandang lain, adalah ilusi?
4.3.3 Bukti Realisasi
Pertimbangkan idea, “Berdoa menjadikan hidup lebih damai.”
Apa buktinya? Kita bisa membuktikannya dengan realisasi. Mari kita coba untuk berdoa. Kemudian, coba kita rasakan, hidup memang lebih damai. Jika hidup masih terasa hambar, belum merasa damai, maka tambahkan lebih banyak doa sampai terasa hidup lebih damai.
Catatan: Bukti idea beda dengan bukti konsep. Kita perlu cermat di sini. Tertukar menyikapi idea dengan konsep akan menyebabkan kebingungan. Konsep bisa dibuktikan secara empiris dan matematis. Bagaimana pun bukti ini tetap mempertimbangkan konsensus dan definisi – sehingga tidak universal. Sementara, idea bisa dibuktikan dengan beragam cara, dengan sikap berpikiran-terbuka terhadap kebenaran yang ada. Pilih dan dukung idea yang mengantarkan ke kondisi adil dan apik.
Bisakah segala realitas dibuatkan konsepnya sehingga bisa dibuktikan secara obyektif? Bisakah semua realitas dibuatkan ideanya sehingga kita bebas berpikir-terbuka? Kita, manusia, memang memiliki daya-faham yang bertugas memahami konsep. Dan, kita juga punya akal yang mendorong munculnya idea-idea. Tentu saja, kita juga punya daya imajinasi yang menjadi dasar semua itu.
4.4 Bukti Rasa
Daya-rasa memegang peran sangat penting dalam diri manusia. Beda dengan daya-daya yang lain, daya-rasa setiap orang, pasti berkembang sampai tahap kematangan tertentu. Untuk memahami konsep, daya-faham perlu belajar kemampuan khusus. Untuk menghasilkan idea-idea kreatif, akal perlu belajar kemampuan khusus. Sementara, untuk merasakan sesuatu, daya-rasa mampu merasakannya secara langsung – tanpa harus belajar dulu.
Kita sering menyebut pusat daya-rasa adalah hati secara metaforis. Sehingga benar adanya ungkapan, “Lihatlah dengan mata hati!” Atau, “Dengarkan baik-baik, suara hatimu!”
Perlu hati-hati karena daya-rasa yang berpusat di hati, sejatinya, tidak ada. Daya-rasa ini merupakan interaksi harmonis dari semua daya-daya lain terutama imajinasi, daya-faham, dan akal. Sehingga, daya-rasa mudah berbalik arah dari satu rasa ke bentuk rasa yang berbeda. Dalam bidang-bidang tertentu, daya-rasa bisa dilatih misal daya rasa terhadap sastra.
4.4.1 Bukti Konsensus
Bukti kebenaran daya-rasa, yang paling mudah, adalah dengan konsensus. “Udara di bandung terasa sejuk.” Untuk membuktikan “terasa sejuk” kita bisa melakukan survey ke beberapa orang di Bandung. Menanyakan apakah mereka merasa sejuk di Bandung, terutama di Lembang?
Barangkali, akan tercapai konsensus bahwa di Bandung memang sejuk – dari hasil survey itu. Ada kemungkinan juga bahwa tidak terjadi konsensus. Tidak ada masalah bila terjadi dissensus. Kita bisa maklum terhadap perbedaan itu.
4.4.2 Bukti Eksperimen
Dalam banyak hal, kita bisa melakukan eksperimen untuk mengumpulkan bukti daya-rasa. “Kopi racikan saya ini rasanya nikmat.” Bagaimana membuktikannya? Kita bisa melakukan eksperimen.
Kita meminta beberapa orang untuk mencicipi kopi racikan saya. Lalu kita minta pendapat mereka, apakah nikmat? Lagi, hasil eksperimen ini bisa mencapai konsensus dari banyak responden atau tidak tercapainya konsensus. Kita bisa memaklumi kondisi itu.
4.4.3 Bukti Sublim
Bukti daya-rasa sublim, indah, dan cantik berlaku universal. Beda dengan konsensus, sublim meski melibatkan peran penting subyek, hasil penilaiannya bersifat obyektif.
“Pemandangan gunung ini begitu indah.” Penilaian daya-rasa ini berlaku universal. Siapa saja yang memandang gunung itu maka akan merasakan keindahannya.
“Wajah Miss Universe itu cantik sekali.” “Deburan ombak laut bebas terasa agung, sublim.” Setiap orang yang memandang wajah Miss Universe akan merasakan kecantikannya. Setiap orang yang memandang deburan ombak akan merasakan keagungannya.
Catatan: Apa artinya bukti daya-rasa bila terjadi banyak hasil penilaian berbeda-beda? Bukti ini sangat berarti. Daya-rasa, memang, punya kemampuan toleran terhadap perbedaan hasil penilaian.
Apakah bisa dibuat konsep rasa sehingga bisa diukur secara obyektif? Kita bisa membuat konsep rasa sejuk, misalnya, adalah suhu di bawah 20 derajat celcius. Ketika kita mengukur suhu di Bandung, hasilnya di bawah 20 derajat, maka Bandung adalah sejuk. Bagaimana pun, yang diukur di bawah 20 derajat itu adalah konsep rasa sejuk. Bukan rasa sejuk itu sendiri.
Sampai di sini, kita mengenal bukti yang beragam oleh daya yang berbeda pada manusia. Pertama, konsep pemahaman bisa dibuktikan secara empiris matematis. Kedua, idea dari akal bisa dibuktikan dengan kreativitasnya menembus batas. Dan, ketiga, rasa dari dalam hati bisa dibuktikan dengan langsung mengalami.
5. Bukti Diri
Dari semua bukti, barangkali, kita bisa mengatakan bahwa bukti diri adalah yang paling utama. Bukan karena bukti diri merupakan bukti yang paling kuat, tetapi, karena semua bukti membutuhkan bukti diri dalam satu atau lain cara.
5.1 Bukti Obyektif Positivis
Pandangan positivisme meyakini adanya kebenaran obyektif yang terbebas dari subyek. Seperti sudah kita bahas bahwa konsep pemahaman bisa dibuktikan obyektif secara empiris matematis. Meski demikian, bukti obyektif ini tetap memerlukan peran diri kita sebagai manusia.
Mari kita perhatikan salah satu hukum Newton (1643 – 1727), yang terbukti obyektif,
“Benda yang yang begerak dengan kecepatan tetap akan bergerak dengan kecepatan tetap bila tidak ada gaya yang mengenainya.”
Mengapa hukum Newton terbukti benar? Karena saya, atau siapa pun yang mempelajari hukum Newton, menyepakati definisi benda, gerak, kecepatan, dan lain-lain. Dari konsensus tersebut berimplikasi hukum Newton benar secara obyektif.
Jika ada orang yang tidak sepakat dengan definisi “kecepatan,” misalnya, maka hukum Newton tidak bisa dibuktikan secara obyektif empiris. Bagaimana kita tahu suatu benda gerak dengan kecepatan tetap? Jika ruang ini tidak selurus yang dikira, misal melengkung karena massa, kecepatan yang dikira tetap itu sejatinya sudah berubah (arah vektornya). Dengan demikian, barangkali, tidak pernah ada kecepatan tetap?
Menurut saya, sebaiknya, kita menyepakati definisi-definisi Newton. Sehingga, kita berhasil membuktikan kebenaran hukum Newton dengan obyektif. Jika ada yang tidak sepakat, misal karena menganggap ruang melengkung akibat massa, maka bisa mengajukan revisi atau hukum alam yang baru. Einstein (1879 – 1955) berhasil melakukan revisi hukum Newton dengan teori Relativitas Umum, dengan asumsi bahwa ruang melengkung akibat massa.
Kita meyakini konsep sains tentang hukum alam adalah obyektif. Di saat yang sama, kita mengakui ada peran diri kita, sebagai manusia, untuk menerima sains benar secara obyektif.
5.2 Bukti Subyektif Eksistensialis
Para eksistensialis mengakui peran penting subyek dalam seluruh realitas. Tampaknya, mudah bagi kita untuk meyakinkan bahwa bukti subyektif eksistensialis didasarkan pada peran diri kita sebagai manusia.
Kita, manusia, terlempar pada situasi tertentu di dalam dunia sebagai fakta yang harus kita hadapi. Di saat yang sama, kita bebas untuk memaknai situasi yang ada. Bahkan, kita bebas untuk mengubah setiap situasi. Untuk kemudian, kita berada dalam situasi yang baru lagi. Kita bebas untuk memaknai atau mengubahnya lagi. Dan seterusnya. Begitulah eksistensi kita – dan alam raya.
Bagaimana kita tahu bahwa eksistensi kita memang seperti itu? Eksistensialis menjawab situasi seperti itu sudah hadir begitu saja. Tugas kita, sebagai manusia, adalah memaknai semua eksistensi yang ada dan (atau) mengubahnya menjadi lebih bermakna.
Lalu, mengapa kita harus percaya dengan pandangan para eksistensialis itu? Lagi-lagi, karena diri kita mau menyepakatinya. Jika kita tidak sepakat maka kita bisa mendebat mereka, terus-menerus dengan berbagai macam argumen tanpa henti. Di sisi lain, jika kita sepakat, maka kita bisa memahami berbagai macam konsep dan ide-ide eksistensialis.
Sampai di sini, kita menyadari bahwa bukti subyektif pun memerlukan diri kita sebagai landasan bukti. Bukti obyektif juga sama, memerlukan bukti diri sebagai landasan. Jika diri kita begitu penting, kemudian pertanyaan kritikalnya, siapakah diri kita? Apa buktinya diri kita ada? Bagaimana kita tahu diri kita seperti itu?
5.3 Bukti Cukup Diri
Kali ini, kita sampai kepada pertanyaan paling sulit untuk menjawabnya: apa bukti bahwa diri kita memang ada?
Bukti Cogito. Descartes (1596 – 1650) pernah meragukan segala sesuatu. Sampai pada suatu titik, Descartes, tidak bisa ragu lagi.
“Saya bisa meragukan segalanya. Tetapi, saya tidak bisa meragukan diri saya sendiri. Saya berpikir maka saya ada.”
Argumen ini, akhirnya, dikenal sebagai dalil cogito, “Cogito ergo sum.” Setelah Descartes berhasil membuktikan bahwa dirinya memang ada maka, selanjutnya, Descartes membuktikan eksistensi alam raya (dan Tuhan). Argumen cogito ini, termasuk, yang menjadi landasan perkembangan sains modern di antaranya oleh Newton.
Bukti Cinta. Realitas paling fundamental adalah manifestasi cinta dari Maha Cinta. Diri kita, sejatinya, juga manifestasi dari cinta. Mereka yang tidak punya cinta tersisih dari realitas. Mereka yang jatuh cinta, benar-benar eksis.
“Aku jatuh cinta maka aku ada. Bahkan, hanya cinta yang ada.”
Selama diri kita jatuh cinta maka di situlah kita ada. Cinta kepada wanita, wewangian, dan doa. Wanita adalah simbol cantiknya semesta. Wewangian adalah simbol daya tarik cinta yang penuh dinamika. Dan, doa adalah cinta tanpa batas.
“Apakah Anda sedang jatuh cinta?”
Bukti Tanpa Bukti. Kita memang harus menghadapinya. Kita harus memberikan bukti ketika tidak ada bukti sama sekali. Kita harus membuktikan diri kita sendiri, ketika, setiap bukti membutuhkan eksistensi diri kita. Bagaimana pun, itu adalah tugas kita, sebagai manusia.
Berpikir-terbuka adalah solusi bagi kita. Berpikir-terbuka mengijinkan segala sesuatu membuka diri, menunjukkan diri apa adanya. Berpikir-terbuka membuka diri terhadap segala. Berpikir-terbuka, termasuk, terbuka terhadap diri sendiri, terbuka terhadap Diri tanpa batas.
Berpikir-terbuka meski menggunakan istilah berpikir, bermakna, membuka segalanya. Berpikir-terbuka bermakna membuka daya-imajinasi, membuka daya-faham, membuka daya-akal, membuka daya-rasa, membuka daya-karsa, dan membuka daya-karya.
Berpikir-terbuka siap menerima cinta, siap memberi cinta. Berpikir-terbuka siap berjumpa dengan cinta Sang Maha Cinta.
Bagaimana menurut Anda?
Tinggalkan komentar