Teorema Godel memang luar biasa. Hampir 100 tahun, dikaji oleh masyarakat saintis dengan penuh curiga dan penuh pesona, hasilnya, teorema Godel tetap berjaya. Teorema Godel memang paradox, skeptis, dan negatif. Tidak masalah dengan itu. Kita membutuhkan yang seperti itu.

Ketika Godel menulis teorema, tahun 1931, teknologi digital belum berkembang. Bahkan, di akhir masa hidup Godel, tahun 1978, media digital juga belum terlalu berkembang. Sehingga, Godel tidak mengeksplorasi aljabar boolean secara mendalam. Godel tetap mendasarkan teorema kepada aksioma Peano.
Dalam tulisan ini, saya mencoba menganalisis Godel dengan mempertimbangkan kemajuan era digital. Lebih dalam, saya memperluas teorema Godel menjadi teorema Emak-Godel.
1. Teorema Godel dan Emak-Godel
1.1 Teorema Godel
1.2 Teorema Emak
1.2 Teorema Emak-Godel
2. Konsep Godel Digital
2.1 Coding Godel Digital
2.2 Logika Diagonal Digital
3. Terbukti Tidak Lengkap
3.1 Bukti Tidak Lengkap
3.2 Bukti Tidak Konsisten
3.3 Solusi Tidak Lengkap
4. Terbukti Emak Godel
5. Artificial Intelligence
5.1 Argumen Penrose
5.2 AI Setara Manusia
6. Debat Paradox
6.1 Paradox Zeno
6.2 Paradox Russell
6.3 Wittgenstein Vs Godel
6.3.1 Keunggulan Godel
6.3.2 Keunggulan Wittgenstein
6.3.3 Kesimpulan Godel Wittgenstein
1. Teorema Godel dan Emak-Godel
Pertama, mari kita formulasikan ulang teorema Godel. Kedua, kita membuat penafsiran singkat dari teorema Godel. Selanjutnya, kita kaji teorema Emak-Godel.
1.1 Teorema Godel:
i) Sistem formal yang konsisten pasti tidak lengkap
ii) Sistem formal yang lengkap pasti tidak konsisten
Sistem formal adalah sistem aksiomatik semisal operasi penjumlahan aritmetika pada bilangan asli. Misal, 1 + 2 = 3 adalah benar secara aksiomatik. Dan akibatnya, konsisten selalu berlaku 1 + 2 = 3.
Karakter konsisten adalah keharusan bagi suatu sistem formal. Karena, dengan konsisten kita bisa mengandalkannya. Sebaliknya, tanpa konsistensi, kita tidak bisa mengandalkan apa pun. Sistem konsisten seperti itu, contohnya, adalah sistem aksiomatik Peano.
Godel membuktikan bahwa sistem yang konsisten seperti itu pasti tidak lengkap. Yaitu, ada suatu pernyataan yang tidak bisa dibuktikan sebagai bisa diterima atau harus ditolak. Akibatnya, sistem tersebut adalah tidak lengkap – karena ada pernyataan yang tidak bisa dibuktikan.
Teorema Godel yang kedua, tentang tidak konsisten, bisa kita pandang sebagai konsekuensi dari teorema yang pertama, tentang tidak lengkap.
Sistem yang konsisten maka tidak lengkap. Sebaliknya, ketika sistem dianggap lengkap maka dalam sistem itu ada pernyataan yang tidak konsisten. Yaitu ada pernyataan yang tidak bisa dibuktikan. Akibatnya, sistem tidak berhasil membuktikan, secara lengkap, bahwa sistem selalu konsisten.
Sistem yang lengkap maka tidak konsisten – karena ada pernyataan yang tidak bisa dibuktikan sebagai konsisten di dalam sistem. Atau, sistem yang lengkap tidak bisa membuktikan dirinya sebagai konsisten.
1.2 Teorema Emak: “Setiap emak-emak punya ibu.”
1.3 Teorema Emak-Godel:
i) Teorema formal: Setiap sistem formal pasti antara tidak lengkap atau tidak konsisten.
ii) Teorema konsep: Setiap konsep pemikiran pasti antara tidak lengkap atau tidak konsisten.
Bukti teorema formal, langsung, mengikuti bukti teorema Godel. Sementara, bukti teorema konsep mengikuti teorema emak-emak yang menyatakan, “Setiap emak-emak punya ibu.”
Teorema konsep mengubah pernyataan emak-emak menjadi, “Setiap konsep didahului konsep lainnya.”
Asumsikan ada sistem konsep pemikiran yang konsisten di mana setiap konsep didahului, didasarkan pada, konsep sebelumnya. Konsep-1 didasarkan pada konsep-2 dan konsep-2 didasarkan pada konsep-3 dan seterusnya.
{konsep-1, konsep-2, … … … konsep-9}
Sistem ini konsisten sampai konsep-8 yang didasarkan pada konsep-9. Sedangkan, konsep-9, kita tidak bisa membuktikan di dalam sistem. Mungkin saja, konsep-9 konsisten karena di dasarkan pada konsep-10. Tetapi, konsep-10 tidak ada dalam sistem. Akibatnya, kita tidak bisa membuktikannya.
Kesimpulannya: terbukti sistem tidak lengkap karena ada konsep, yaitu konsep-9, yang tidak bisa dibuktikan sebagai konsisten dalam sistem tersebut.
Barangkali, kita terpikir, tambahkan saja konsep-10 ke dalam sistem. Benar, konsep-9 jadi terbukti konsisten. Tetapi, konsep-10 menjadi tidak bisa dibuktikan. Demikian seterusnya. Sistem konsep yang konsisten tidak pernah lengkap.
Bagian kedua, tentang sistem yang lengkap pasti tidak konsisten, bisa kita buktikan dengan bukti di atas. Asumsikan ada sistem konsep yang lengkap dari konsep-1 sampai konsep-9. Tampak jelas, ada konsep yang tidak konsisten yaitu konsep-9. Sehingga, sistem tersebut tidak berhasil membuktikan konsisten secara sempurna.
Perlu kita catat di sini bahwa teorema Emak-Godel berhasil membuktikan adanya ketidak-lengkapan dan ketidak-konsistenan dari setiap sistem. Tetapi, teorema Emak-Godel tidak merobohkan seluruh bangunan sistem formal atau pun konsep pemikiran. Teorema Emak-Godel hanya menunjukkan adanya suatu lubang dalam sistem. Sehingga, kita perlu waspada dengan lubang tersebut.
2. Konsep Godel Digital
Godel mengantisipasi perkembangan era digital sejak 90 tahun yang lalu. Untuk membuat teorema yang kokoh, Godel membuat kode-kode prima yang sama hebatnya dengan teknologi digital. Godel memanfaatkan perpangkatan bilangan prima untuk kode-kodenya yang canggih. Sementara, teknologi digital memanfaatkan bilangan biner 0 dan 1.
George Boole (1815 – 1864) sudah mengembangkan aljabar “boolean”, setengah abad sebelum Godel lahir. Dengan aljabar ini, kita bisa melakukan operasi aritmetika apa pun hanya dengan memanfaatkan simbol biner 0 dan 1 saja. Orang-orang tidak menyadari keunggulan aljabar boolean ini sampai pada waktunya lahir revolusi teknologi digital.
Lebih dari itu, aljabar boolean, sejatinya juga bisa kita gunakan untuk membangun sistem formal mau pun sistem konsep. Karena itu, dalam tulisan ini, kita akan mengkaji Godel dengan pertimbangan era digital berbasis aljabar boolean.
2.1 Coding Godel Digital
Godel dengan cerdik membuat kode-kode prima. Dengan kode prima, Godel berhasil menyusun teorema yang kokoh. Di satu sisi, kalangan saintis bisa mengkritisi dengan tegas, di sisi lain, Godel terhindar dari debat berkepanjangan tentang interpretasi makna bahasa.
Terbukti, teorema Godel bertahan sampai sekarang dengan meyakinkan. Kode-kode prima diterima dengan pasti oleh kalangan saintis. Tentu saja, matematikawan berikutnya bisa memodifikasi dan menyempurnakan argumen teorema Godel. Dan, seperti di duga, interpretasi makna teorema Godel secara bahasa adalah beragam. Keragaman interpretasi, sama sekali, tidak mengganggu keabsahan bukti formal kode-kode prima.
Lebih jauh dari itu, kode prima memungkinkan kita berpikir lebih luas dari sistem formal itu sendiri. Bayangkan himpunan bilagan biner {0, 1} dengan operasi penjumlahan.
Di atas kertas, kita hanya bisa menuliskan, misalnya,
0 + 1 = 1
Dengan kode prima, kita bisa menuliskan,
“Jika 0 + 1 = 1 maka 1 + 0 = 1.”
Pernyataan pertama, 0 + 1 = 1, dinyatakan dengan satu kode prima, misal m. Sedangkan, pernyataan kedua dinyatakan dengan satu kode prima berbeda misal n.
Kode prima adalah suatu bilangan unik yang merupakan hasil kali dari bilangan-bilangan prima berpangkat. Mempertimbangkan contoh di atas, kode prima mampu mewakili prinsip logika manusia. Di antaranya prinsip non-kontradiksi, implikasi, biimplikasi, dan lain-lain.
Bandingkan dengan kode biner. Aljabar boolean juga bisa menyatakan kode prima m menjadi bilangan biner. Yaitu, bilangan yang digit-digitnya hanya terdiri dari angka 0 dan 1. Keunggulan bilangan biner adalah bisa dimplementasikan dalam bentuk teknologi digital.
Baik kode prima mau pun kode biner, keduanya, harus kita ubah ke bahasa manusia agar kita mampu memahaminya. Kode prima, hanya para ahli matematika yang mampu menerjemahkan ke bahasa manusia. Sementara kode biner, komputer bisa menerjemahkan ke bahasa manusia dengan menampilkan hasilnya di layar, misalnya.
Kemampuan menampilkan di layar ini, yang akan kita manfaatkan untuk mengkaji teorema Godel.
2.2 Logika Diagonal Digital
Godel lebih kreatif lagi dengan mengembangkan logika diagonal. Dengan logika diagonal ini, sistem formal mampu berbicara tentang banyak hal, termasuk berbicara tentang dirinya sendiri. Meski demikian, serumit apa pun pembicaraan itu, hanya akan berupa satu kode prima saja – bilangan unik hasil perkalian bilangan prima berpangkat.
Mari kita ambil contoh lagi. Sistem formal, barangkali hanya bisa menyatakan,
0 + 1 = 1 .
Dan, kode prima mengatakan pernyataan di atas sebagai bilangan m. Lebih jauh, logika diagonal memungkinkan untuk menyatakan,
“Terbukti bahwa (0 + 1 = 1)”
Misalkan, pernyataan tersebut dinyatakan dengan kode prima bilangan p. Kita bisa menerjemahkan kembali bilangan p ke sistem formal yang asli, misal menghasilkan,
11++=011.
Bagaimana pun, kode prima, dengan logika diagonal tidak bisa sembarangan memproduksi pernyataan. Misal,
“Tidak terbukti bahwa (0 + 1 = 1)”
dinyatakan dengan kode prima bilangan q.
Selanjutnya, ketika kita hendak menerjemahkan q ke sistem formal, ternyata, sistem formal tidak bisa memproduksi q. Sehingga, q adalah tidak valid dalam sistem formal.
Bagaimana dengan logika diagonal bidang digital? Berkembang lebih pesat. Di antaranya, berkembang bahasa program C++, Java, IOS, Android, IPv6, media sosial, dan lain-lain.
Dengan Java, misalnya, kita bisa menyusun pernyataan apa saja. Sebagian pernyataan itu valid sehingga bisa berjalan di sistem digital. Tetapi, bisa saja sebagian pernyataan yang lain tidak valid sehingga tidak bisa dijalankan.
Langkah Godel menyusun logika diagonal ini membuka jalan untuk membuktikan teoremanya.
3. Terbukti Tidak Lengkap
Setiap sistem formal adalah konsisten, minimal sebagian besar adalah konsisten. Kita perlu mengasumsikan bahwa sistem formal adalah konsisten. Karena kebalikannya, yaitu sistem yang tidak konsisten, tidak perlu dikaji.
3.1 Bukti Tidak Lengkap
Mari kita bandingkan beberapa pernyataan.
Baris 1 sudah jelas, kita bahas sebagai contoh di atas. Baris 1 ini mudah karena kita bisa bekerja dari arah mana pun. Kita bisa membuat pernyataan pada sistem formal bahwa “0 + 1 = 1”, kemudian menemukan kode prima adalah bilangan m, dan menampilkan di layar digital “0 + 1 = 1”.
Baris 2 lebih sulit. Kita tidak bisa memulai dari sistem formal. Karena, pernyataan pada sistem formal, hampir, tidak bermakna bagi manusia. (Pernyataan pada sistem formal di atas hanyalah permisalan dengan asumsi valid). Para ahli matematika bisa memulai dari kode prima bilangan p kemudian memahami maknanya. Orang pada umumnya, lebih mudah mulai dari layar digital, “Terbukti bahwa (0 + 1 = 1)”.
Formal | Kode Prima | Layar Digital |
0 + 1 = 1 | m | 0 + 1 = 1 |
11++=011 | p | Terbukti bahwa (0 + 1 = 1) |
11==+00 | t | x = 3 jejika 2 + x = 5 |
1+===0 | r | y = 2 jejika y bukan = 2 |
11+=+00 | s | ada k jejika tidak ada k |
Baris 3 adalah landasan utama untuk bukti teorema Godel. Perhatikan kekuatan logika diagonal di pernyataan baris 3 ini. Lagi, kita tidak bisa mulai dari pernyataan sistem formal. Kita, lebih mudah, mulai dari layar digital, “x = 3 jejika x + 2 = 5”. Kemudian, menemukan kode prima adalah bilangan t dan sistem formal adalah “11==+00”.
Berhasil. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa sistem konsisten. Tetapi, apakah konsisten secara sempurna, konsisten secara lengkap?
Baris 4 adalah bukti utama teorema Godel.
Layar digital, kode prima, dan sistem formal berhasil memproduksi baris 4 dengan baik. Apa konsekuensinya?
Layar digital menampilkan “y = 2 jejika y bukan = 2”, kode prima menghasilkan bilangan r, dan sistem formal menampilkan “1+===0”.
Kita bertanya kepada sistem formal, “Berapa nilai y?” Sistem formal menjawab y = 2. Tetapi implikasinya adalah y bukan = 2. Jadi, apakah y = 2 atau y bukan = 2? Sistem formal tidak bisa membuktikan bahwa y = 2 dan sistem formal tidak bisa membuktikan bahwa y bukan = 2.
Dengan demikian, sistem formal tidak lengkap, terbukti. Karena, ada pernyataan dalam sistem formal tersebut yang tidak bisa dibuktikan.
Baris 5 adalah contoh pernyataan yang lebih kuat karena menyangkut eksistensi sesuatu dalam sistem formal. Apakah k ada? Jika sistem tidak menjawab, diasumsikan, tidak ada k dalam sistem. Implikasinya, maka ada k dalam sistem.
3.2 Bukti Tidak Konsisten
Bukti tidak konsisten bisa, salah satu caranya, dengan analisis logika dari bukti tidak lengkap di atas.
Karena tidak lengkap maka ada pernyataan dalam sistem yang tidak bisa dibuktikan. Akibatnya, ada bagian tertentu dari sistem yang tidak konsisten. Kesimpulannya: sistem tidak konsisten, terbukti.
3.3 Solusi Tidak Lengkap
Bukankah solusinya sederhana? Tambahkan, ke dalam sistem, aksioma khusus. Dalam contoh kita, misalkan tambahkan aksioma bahwa “y = 2”. Maka terbukti y = 2 dan semua pernyataan lain dalam sistem adalah konsisten.
Ide semacam itu menarik dan kreatif. Pada akhirnya, tidak ada pernyataan di layar “y = 2 jejika y bukan = 2”. Dan, tidak ada kode prima bilangan r. Hal semacam itu memang terjadi. Tetapi, kita hanya menggeser masalah saja.
Di layar, kita bisa memproduksi, misalnya, “z = 3 jejika z bukan = 3”. Kode prima berupa bilangan v dan sistem formal menyatakan “111+++”. Dan seterusnya tanpa henti. Ketika ditambah aksioma baru akan ditemukan pernyataan baru.
Pernyataan yang membuktikan teorema Godel, seperti di atas, dikenal sebagai “pernyataan Godel” atau “Godel sentence” dilambangkan sebagai G. Kenyataanya, tidak selalu mudah menemukan G. Bisa jadi, G adalah barang langka, meski ada. Bagaimana pun, ahli matematika yang berpengalaman dibantu komputer, akan berhasil menyusun G.
Perlu kita catat juga, meski teorema Godel berhasil membuktikan bahwa setiap sistem formal pasti tidak lengkap atau tidak konsisten, tetapi, kejadian tidak konsisten jarang terjadi. Tidak konsisten hanya terjadi ketika melibatkan G.
Jika tidak konsisten ini bisa diabaikan, atau bisa mitigasi dengan baik, maka sistem formal tetap bisa diterima sebagai wajar. Tetapi, jika tidak konsisten ini berbahaya maka perlu aksi lanjutan. Bisa jadi, aksi lanjutan adalah menolak sistem formal tersebut. Atau, bisa juga, menambahkan aksioma baru sedemikian hingga, resiko akhir bisa diterima.
4. Terbukti Emak Godel
Kita sudah berhasil menunjukkan keabsahan teorema Godel. Sebelumnya, kita juga sudah menunjukkan keabsahan teorema emak-emak. Dengan demikian, kita sudah sah meng-klaim kebenaran teorema Emak-Godel.
Godel membuktikan bahwa tidak ada sistem formal yang sempurna. Sistem formal pasti tidak lengkap atau tidak konsisten. Sehingga, kita perlu rendah hati untuk menerima kenyataan yang tidak sesempurna harapan. Dari perspektif positif, Godel menunjukkan kelemahan suatu sistem. Selanjutnya, tugas kita untuk memperbaiki sistem atau menggantinya dengan yang lain.
Bagaimana pun, teorema Godel terbukti untuk sistem formal. Sementara, untuk sistem yang lain tidak dibahas. Kita sudah mengembangkan teorema Emak-Godel yang berlaku lebih luas yaitu meliputi sistem konsep pemikiran. Setiap sistem konsep pemikiran pasti tidak lengkap atau tidak konsisten.
Lagi, kita perlu rendah hati menerima bahwa konsep pikiran kita tidak sempurna. Konsep pikiran bisa tidak lengkap, atau bisa tidak konsisten. Emak-Godel menunjukkan kelemahan pikiran kita. Selanjutnya, tugas ada di diri kita. Kita bisa saja memperbaiki sistem konsep pemikiran. Sayangnya, kita tidak bisa mengganti pikiran dan kepala kita.
Dengan teorema Emak-Godel, kita akan mencoba mengkaji “artificial intelligence” atau AI. Dalam format canggihnya menjadi general AI atau strong AI.
5. Artificial Intelligence
AI merupakan bidang penelitian paling prospek saat ini, di samping, blockchain, energi terbarukan, akses internet, dan genetika. AI, dengan kecerdasannya, mampu berpikir layaknya manusia. Apakah benar bisa seperti itu?
5.1 Argumen Penrose
Lucas dan Penrose (1931 – ) berargumen bahwa tidak mungkin AI bisa meniru cara berpikir manusia. Mereka, Lucas dan Penrose, mendasarkan argumennya pada teorema Godel. Alur argumennya, kurang lebih, sebagai berikut.
1. Asumsikan ada sistem formal AI yang mampu meniru pikiran manusia. Berdasar teorema Godel,
2. AI tersebut tidak bisa membuktikan G (pernyataan Godel) benar atau salah. Tetapi,
3. Manusia tahu, bisa membuktikan, bahwa G benar.
4. Karena AI bisa menirukan manusia, maka, AI bisa membuktikan G.
5. Kontradiksi antara (4) dan (2).
6. Kesimpulan: asumsi AI bisa meniru manusia adalah salah. Jadi, AI tidak akan pernah bisa menirukan pikiran manusia.
Chalmers (1966 – ) menilai bahwa argumen Penrose memang problematis. Pemikir-pemikir lain, banyak, yang mengkritik argumen Penrose ( dan Lucas). Menurut saya Chalmers benar, argumen Penrose problematis. Bagaimana pun, menerapkan teorema Godel ke konsep AI memang menarik.
Beberapa pertanyaan bisa kita ajukan.
1. Apakah pikiran manusia adalah sistem formal? Jika bukan sistem formal maka kita tidak bisa menerapkan teorema Godel. Jika pikiran manusia adalah sistem formal, apa saja argumennya?
2. Jika pikiran manusia adalah sistem formal maka pikiran manusia tidak bisa membuktikan G, sama halnya dengan AI. Bukankah itu bukti AI bisa meniru manusia?
Dari sini, tampak, bahwa kita tidak bisa menerapkan teorema Godel terhadap sistem pikiran manusia. Kita perlu meluaskan lebih dulu menjadi teorema Emak-Godel.
5.2 AI Setara Manusia
Sistem pikiran manusia adalah sistem konsep pemikiran. Karena itu, sistem pikiran manusia pasti tidak lengkap atau tidak konsisten – sesuai teorema Emak-Godel.
Apakah AI, dengan demikian, bisa menirukan pikiran manusia? Karena, mereka sama-sama tidak lengkap dan tidak konsisten?
AI dan manusia sama-sama tidak bisa membuktikan G. Apa langkah selanjutnya?
AI diam, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Manusia, berbeda dengan AI, mengembangkan pemikiran spekulatif – melebihi batasan-batasan konsep. Sehingga, manusia bisa membuktikan G sebagai benar (atau sebagai salah) berdasar pemikiran spekulatif.
AI belajar dari pemikiran spekulatif manusia. AI juga bisa membuktikan G. Sehingga AI sejajar manusia.
Berdasar Emak-Godel, maka akan muncul G baru, misal, G(2). Mereka, manusia dan AI, tidak bisa membuktikan G(2).
Manusia akan berpikir spekulatif lagi dan, akhirnya, bisa membuktikan G(2). AI meniru manusia, akhirnya juga, bisa membuktikan G(2). Begitu seterusnya, AI menyamakan diri dengan pikiran manusia.
Dengan begitu, apakah AI berhasil meniru pikiran manusia?
Mari kita tantang AI. Ketika muncul G(3), lalu manusia malas berpikir spekulatif, apakah AI bisa berpikir spekulatif? Kemudian berhasil membuktikan G(3)? Dan, selanjutnya, manusia yang malas berpikir spekulatif itu tinggal meniru AI saja?
Jika demikian, maka, AI melanggar teorema Godel dan teorema Emak-Godel. Konsekuensinya, AI lebih dari sistem formal. AI lebih dari sekedar sistem konsep pikiran. Lalu, apa itu AI?
Dan, bagaimana manusia harus bersikap kepada AI? Apakah ada aturan moral antara manusia dan AI? Apakah, jika manusia memberi tugas kepada AI maka harus ada kesepakatan dengan AI?
Sejauh ini, AI belum menunjukkan tanda-tanda mampu berpikir spekulatif. Sehingga, AI belum bisa membuktikan G(3). AI hanya bisa membuktikan G(3) jika belajar dari pemikiran spekualif manusia.
Kesimpulannya: AI tidak pernah bisa menirukan pikiran manusia sampai hari ini. Entah esok hari. Entah lusa nanti. Entahlah.
Tetapi, ada pertanyaan lebih penting. Siapakah, sejatinya, manusia? Siapakah kamu?
6. Debat Paradox
Teorema Godel dan Emak-Godel, jelas, menimbulkan paradox. Selama ini, orang berpikir bisa membangun sistem formal aksiomatik dengan pasti. Ternyata, tidak ada yang pasti. Sistem tersebut pasti tidak lengkap. Pasti ada sesuatu yang tidak pasti. Berikut ini, kita akan mendiskusikan beberapa paradox.
6.1 Paradox Zeno
Barangkali, paradox Zeno adalah paradox terkenal yang paling tua. Zeno (490 – 430 SM) mengajukan beberapa paradox. Salah satunya, adalah Achiles, sang pelari cepat, tidak akan pernah bisa mengejar kura-kura di depannya.
Kura-kura ada di depan Achiles berjarak 8 m. Kura-kura bergerak pelan menjauhi Achiles. Secepat apapun, Achiles mengejar kura-kura maka tidak akan pernah berhasil. Mengapa?
Karena, ketika Achiles bergerak cepat mendekat 8 m, saat itu juga, kura-kura sudah maju menjauh 8 cm. Achiles maju lagi, dengan cepat, 8 cm. Tapi, di saat bersamaan, kura-kura sudah maju menjauh 8 mm. Dan begitu seterusnya. Memang jarak mereka makin dekat tetapi tidak akan pernah berhasil menyusul. Aneh kan?
Paradox Zeno, saat ini, sudah dianggap selesai dengan solusi matematika kalkulus. Meski pun, beberapa kalangan skeptis, masih bisa saja meragukannya. Jawaban matematika dan sains, tampak, meyakinkan.
Solusi: Apa yang dikatakan oleh Zeno, benar ketika Achiles memang belum berhasil menyusul. Tapi seiring berjalan waktu, dan waktu memang terus mengalir, maka Achiles pasti berhasil menyusul kura-kura.
Untuk memudahkan, misal Achiles maju dengan kecepatan 8 m per menit. Tapi, kura-kura sudah menjauh 4 m per menit. Jarak mereka tinggal 4 m saja – setelah proses 1 menit. Kemudian, kura-kura maju 4 m per menit lagi, jarak menjadi 8 m terpisah. Di saat yang sama, Achiles maju 8 m per menit. Tepat, Achiles berhasil menyusul kura-kura.
Bahkan, bila dilanjutkan, Achiles akan meninggalkan kura-kura, karena waktu terus bergulir.
6.2 Paradoks Russell
Russell mengajukan paradox di masa sekitar peralihan abad 19 ke abad 20. Paradox ini muncul sebagai respon Russell terhadap konsep sistem aritmetika yang dikembangkan Frege.
“X adalah himpunan yang beranggotakan semua himpunan yang tidak beranggotakan dirinya sendiri. Apakah X beranggotakan dirinya sendiri?”
Jika X tidak beranggotakan dirinya sendiri maka X adalah anggota X (paradox).
Jika X beranggotakan dirinya sendiri maka X tidak menjadi anggota X (paradox juga).
Solusi paradox Russell ini dituliskan oleh Russell sendiri (bersama Whitehead) dalam karnyanya Principia. Solusinya, adalah mirip dengan paradox, “Saya berbohong.”
Suatu pernyataan tidak bisa menilai dirinya sendiri, tidak bisa merujuk dirinya sendiri. Pernyataan, hanya bisa, merujuk ke sesuatu yang lain.
“Saya berbohong” adalah suatu pernyataan sebagai domain. Tetapi, makna “Saya berbohong” adalah kegiatan saya di masa lalu sebagai kodomain.
Ketika kegiatan saya di masa lalu, sebagai kodomain, memang berbohong maka pernyataan “Saya berbohong” bernilai benar. Tidak ada paradox. Masalah selesai.
6.3 Debat Wittgenstein
Godel menghadapi lawan debat Wittgenstein dan Russell. Meski mereka hidup sejaman, perdebatan terjadi hanya secara tidak langsung.
Russell mengatakan bahwa dia pernah bertemu langsung dengan Godel, saat itu, ditemani Einstein dan Pauli. Mereka adalah orang-orang hebat, saintis dan pemikir besar, di jamannya. Russell menggambarkan pertemuan itu sebagai tidak nyaman.
Di kesempatan lain, ditanya tentang teorema Godel, Russell menjawab, “Saya sudah selesai dengan filsafat matematika di tahun 1910an, dengan terbitnya Principia. Semua sudah tuntas.”
Banyak pemikir menilai bahwa teorema Godel justru meruntuhkan bangunan Principia – yang sudah ditinggal pemiliknya yaitu Russell. Dengan demikian, perdebatan masih jauh dari kata tuntas.
Wittgenstein, tampak, lebih terang-terangan menolak teorema Godel. Sayangnya, penolakan Wittgenstein, diterbitkan anumerta. Sehingga, ketika Godel membaca penolakan Wittgenstein, dia sudah wafat. Respon Godel banya bisa diarahkan ke komunitas saintis dan filosof saja. Sementara, tanggapan susulan dari Wittgenstein hanya bisa diwakilkan oleh pendukung-pendukungnya.
“I have constructed a proposition (I will use ‘P’ to designate it) in Russell’s symbolism, and by means of certain definitions and transformations it can be so interpreted that it says: ‘P is not provable in Russell’s system’.
Must I not say that this proposition on the one hand is true, and on the other hand is unprovable? For suppose it were false; then it is true that it is provable. And that surely cannot be! And if it is proved, then it is proved that it is not provable. Thus it can only be true, but unprovable. (§8)” (SEP)
Wittgenstein tetap merujuk kepada Principia bahwa kontradiksi terjadi karena suatu pernyataan merujuk ke diri sendiri. Pertimbangkan pernyatan P.
P = “P tidak bisa dibuktikan.”
1) Jika P salah, maka bisa dibuktikan BENAR, maka BENAR tidak bisa dibuktikan.
2) Jika P benar, P tidak bisa dibuktikan, maka BENAR tidak bisa dibuktikan.
Jadi, pernyataan di atas selalu BENAR dan tidak bisa dibuktikan. Itulah teorema Godel, BENAR dan tidak bisa dibuktikan. Definisi Godel terhadap “ketidak-lengkapan” adalah ada penyataan BENAR tetapi tidak bisa dibuktikan. Dan, menurut Wittgenstein, paradox seperti itu sudah tuntas puluhan tahun lalu dengan Principia Russell.
Godel, tentu saja, menolak pendapat Wittgenstein. Bahkan, Godel menilai Wittgenstein sebagai tidak paham teorema Godel atau berpura-pura tidak paham. Pemikir-pemikir serius berikutnya, sebagian besar, setuju dengan Godel. Benarkah begitu?
"Has Wittgenstein lost his mind? Does he mean it seriously? He intentionally utters trivially nonsensical statements. What he says about the set of all cardinal numbers reveals a perfectly naive view. [Possibly the reference is to RFM: 132 and the surrounding observations.] He has to take a position when he has no business to do so. For example, "you can't derive everything from a contradiction." He should try to develop a system of logic in which that is true. It's amazing that Turing could get anything out of discussions with somebody like Wittgenstein." "He interpreted it as a kind of logical paradox, while in fact it is just the opposite, namely a mathematical theorem within an absolutely uncontroversial part of mathematics (finitary number theory or combinatorics)." (cs.nyu.edu)
Godel meng-klaim bahwa teorema Godel bukanlah paradoks logika – sebagaimana dituduhkan oleh Wittgenstein. Justru, sebaliknya, teoremanya terbukti mutlak tanpa keraguan sebagai bagian dari kepastian matematika. Apakah klaim Godel bisa dibenarkan? Bisa dibuktikan?
6.3.1 Keunggulan Godel
1) Godel benar bahwa pernyataan G tidak merujuk diri. Karena, G adalah sebuah kode prima berupa satu bilangan hasil perkalian bilangan prima berpangkat. Sederhananya, G adalah sebuah bilangan saja.
2) Godel benar bahwa G adalah terbukti konsisten secara matematis – tanpa keraguan sama sekali, dari sudut pandang matematika.
3) Godel benar bahwa G bernilai BENAR tetapi tidak bisa dibuktikan.
6.3.2 Keunggulan Wittgenstein
1) Wittgenstein benar bahwa sumber paradox adalah kontradiksi diri.
2) Wittgenstein benar bahwa kita bisa menciptakan beragam pernyataan paradox bernilai BENAR tapi tidak bisa dibuktikan.
3) Wittgenstein benar bahwa paradox bisa dimunculkan dalam masing-masing “language-game” atau sistem formal.
6.3.3 Kesimpulan Godel-Wittgenstein
Apa kesimpulan akhir yang bisa kita simpulkan? Berdasar teorema Emak-Godel, tidak ada kesimpulan akhir. Karena, kesimpulan akhir merupakan suatu konsep, di mana, dia membutuhkan dukungan konsep lainnya. Begitu seterusnya.
1) Teorema Godel adalah simbol keindahan matematika, dan pikiran manusia. Godel layak mendapat apresiasi yang tinggi.
2) Klaim Godel bahwa teoremanya mutlak tanpa kontroversi hanya valid dalam bidang matematika. Tetapi, Godel sendiri melangkah ke bidang meta-matematika. Sehingga, Godel perlu berbesar hati menerima ragam kontroversi. Dan, teorema Godel tidak lagi mutlak.
3) Godel melakukan interpretasi terhadap sistem formal ketika membuat coding. Kemudian, membuat interpretasi ulang dari kode prima kembali ke sistem formal. Proses interpretasi (ulang) termasuk dalam meta-matematika. Kita perlu lebih terbuka dengan ragam interpretasi.
4) Wittgenstein langsung melompat ke meta-matematika. Tanpa membahas pernyataan G, Wittgenstein, membahas konten G. Dengan satu dan lain cara, konten G memuat kontradiksi. Wittgenstein berhasil melembutkan “kemutlakan” teorema Godel tapi lupa memberi apresiasi bahwa teorema Godel adalah teorema terindah.
5) Wittgenstein dan Godel bisa berdampingan serasi dalam teorema Emak-Godel. Bagi yang fokus ke konsep Emak maka lebih dominan kreativitasnya. Sementara, bagi yang lebih fokus ke konsep Godel maka lebih dominan logikanya. Kita, manusia, memerlukan keduanya. Sehingga, manusia tetap terjaga dalam dinamika.
Bagaimana menurut Anda?
Tinggalkan komentar