Apa yang akan terjadi jika akal hanya menghamba kepada hasrat? Gairah mengendalikan setiap sisi kehidupan manusia. Hasrat adalah penguasa hidup manusia. Sementara, akal hanyalah budak bagi hasrat. Atau, setidaknya, akal adalah sekedar pelayan bagi hasrat.
David Hume (1711 – 1776) mengatakan, “Akal adalah budak hasrat.” [“Reason is, and ought only to be, the slave of the passions.”(1000word)]

Kita, manusia, menjalani hidup berdasar hasrat belaka. Jika Anda menolak hasrat maka Anda dikendalikan oleh hasrat yang lain – misalnya hasrat untuk menolak sesuatu itu. Heidegger (1889 – 1976) menggunakan istilah mood (keadaan perasaan). Eksistensi manusia, kita, selalu berada dalam mood. Jika kita menolak satu mood maka kita akan berada pada mood yang lain.
Selemah itukah akal manusia? Hanya budak bagi hasrat? Hanya pelayan bagi mood?
1. Struktur Hasrat
2. Akal Bebas
3. Pusat Hati
4. Diri Terbuka
5. Semesta Manusia Unik
Saat ini, filsafat terbagi menjadi tiga kelompok utama. Pertama, filsafat analitik yang mengandalkan kekuatan akal, membahas filsafat secara obyektif. Bagi filsafat analitik, akal lebih penting dari hasrat.
Kedua, filsafat kontinental yang mengandalkan analisis holistik. Filsafat kontinental memandang penting peran subyek manusia dalam semesta obyektif yang luas. Dengan sudut pandang ini, hasrat atau mood, mendapat posisi penting di samping akal.
Ketiga, filsafat moral yang banyak berkembang di dunia Timur. Filsafat moral menempatkan posisi suara hati menjadi yang paling utama. Dengan demikian, hasrat juga menjadi kajian utama. Tentu saja, bukan hasrat sebarang hasrat.
1. Struktur Hasrat
Kita perlu mencoba memahami struktur hasrat yang dimaksud oleh Hume, misalnya. Hume, tampak, membandingkan hasrat dan akal untuk menyusun prioritas. Dia tidak bermaksud menolak salah satunya. Keduanya, akal dan hasrat, sama-sama penting bagi manusia.
Hanya saja, hasrat adalah yang mengendalikan manusia. Hasrat adalah raja. Akal sekedar budak bagi sang raja – yaitu hasrat. Akal membantu menunjukkan mana hasrat yang paling kuat. Selanjutnya, hasrat yang bertahta.
Manusia menjadi tidak rasional dengan hasratnya?
Pandangan umum menyatakan begitu. Hasrat lebih utama dari akal, maka, itu adalah pandangan irasional. Hume memandang dengan cara berbeda antara rasional dan irasional.
Bayangkan di siang hari, Anda sedang lapar. Tersedia, sepiring makanan lezat untuk Anda. Apakah Anda akan memakannya?
Dengan mengikuti hasrat maka Anda bisa memakannya. Tetapi, tindakan seperti itu menjadi irasional (tidak rasional). Karena, Anda sedang menjalani program puasa untuk keperluan agama atau kesehatan.
Tindakan rasional adalah Anda menunda memakannya sampai waktu maghrib. Atau sampai waktu diperbolehkan makan oleh dokter – bila puasa untuk kesehatan.
Kedua tindakan di atas, langsung memakan atau menundanya, tetap bisa rasional. Penentu tindakan rasional bukanlah akal atau hasrat. Penentu tindakan menjadi rasional adalah kesesuaian dengan keyakinan Anda. Ketika Anda puasa, lalu menunda untuk makan maka itu adalah rasional. Karena, sesuai dengan keyakinan Anda bahwa makan yang tepat adalah nanti, di waktu maghrib, misalnya.
Ketika seseorang langsung memakannya, siang itu, maka itu juga bisa jadi tindakan rasional. Karena dia meyakini bahwa makanan itu enak, dirinya lapar, dan makanan itu miliknya sendiri.
Bertindak sesuai hasrat tidak menyebabkan suatu tindakan menjadi tidak rasional. Tindakan yang tidak sesuai dengan keyakinan, yang menyebabkan, menjadi tidak rasional. Sementara, segala tindakan yang sesuai keyakinan, meski penuh hasrat, tetap merupakan tindakan yang rasional.
Anda setuju dengan Hume? Banyak yang tidak setuju. Immanuel Kant merumuskan teorinya sendiri yang berbeda dengan Hume.
2. Akal Bebas
Immanuel Kant (1720 – 1804) memposisikan akal pada puncak struktur fakultas manusia. Sehingga, akal yang memutuskan suatu tindakan perlu dilakukan atau tidak. Memang, ada pengaruh hasrat terhadap akal. Tetapi, karakter utama dari akal adalah kebebasan itu sendiri. Akal bebas memutuskan apa saja.
Ketika ada hidangan makanan lezat di siang itu, indera (dan hasrat) memberi tahu bahwa itu adalah makanan yang lezat. Selanjutnya, akal bebas memutuskan untuk memakannya atau menundanya. Dengan demikian, keputusan penting dari manusia bersifat rasional. Lebih-lebih, dalam keputusan yang bersifat moral, akal memegang kendali paling utama.
3. Pusat Hati
Para pemikir Timur lebih banyak menggunakan istilah hati metaforis sebagai penentu sikap manusia. Baik Al Ghazali (1057 – 1111), Ibnu Arabi (1165 – 1240), mau pun Rumi (1207 – 1273) berfokus kepada kekuatan hati.
Hasrat, akal, dan indera adalah alat bagi hati untuk menemukan kebenaran. Sehingga, hati yang bersih menjadi amat penting bagi umat manusia. Suara hati membisikkan kebenaran dengan lembut.
Tetapi, karena bisikan suara hati begitu lembut, manusia kadang tak mendengarnya. Manusia justru sibuk mendengar apa yang disuarakan oleh indera, hasrat, atau pun akal. Padahal, hanya hati, yang bersih, yang mampu menerima kebenaran sejati. Dan, masih banyak rahasia, yang hanya bisa diungkap dengan hati yang bersih.
4. Diri Terbuka
Charles Taylor (1931 – ) menyebut beberapa pemikir menerapkan kerangka pikir imanen yang tertutup. Sehingga, mereka menghalangi diri sendiri untuk mendapatkan kebenaran yang lebih luas, yang lebih terbuka. Misalnya, kaum ateis dan meterialis membatasi realitas hanya sebatas materi imanen yang kasat mata. Dengan berpikir tertutup seperti itu, mereka sulit sekali mengembangkan alternatif berpikir yang lebih tajam.
Heidegger (1889 – 1976) menyatakan tugas manusia adalah tugas untuk berpikir terbuka. Ijinkan kebenaran, secara terbuka, menghampiri diri Anda. Ijinkan diri Anda, secara terbuka, mengenali kebenaran sejati.
Diri sejati manusia yang terbuka siap menerima kebenaran. Dari mana pun asalnya kebenaran adalah tetap kebenaran. Kebenaran bisa berasal dari suara hati, perenungan akal, percikan hasrat, atau bahkan mimpi di alam imajinasi. Kebenaran bisa hadir dalam ruang sunyi. Pun kebenaran bisa hadir di tengah hingar-bingar semesta raya. Tugas kita untuk menjadi diri yang terbuka.
5. Semesta Manusia Unik
Kita, manusia, tidak pernah selesai dengan diri sendiri. Kita juga tak akan pernah selesai dengan semesta raya. Selalu ada tugas untuk manusia. Tugas yang unik menanti peran Anda.
Apa yang Anda berikan? Apa yang Anda kejar? Apa yang Anda terima? Siapa diri Anda? Siapakah Dia?