Apa batas-batas dari suatu hukuman? Ketika ada seseorang mencuri ayam milik tetangga, apa hukuman paling tepat untuknya? Apakah penjara 30 hari? Atau cukup penjara 5 hari? Barangkali, pencuri itu hanya perlu mengembalikan ayam yang dia curi ditambah harus minta maaf dan berjanji tidak akan mencuri lagi. Atau, justru, hukuman yang setimpal bagi pencuri ayam adalah potong tangan kirinya? Atau potong pergelangan kiri? Atau cukup potong jari saja?

Scanlon (1940 – ) menyatakan bahwa tidak ada cara, yang pasti, untuk menentukan ukuran dari suatu hukuman secara logis. Artinya, ketika kita menetapkan hukuman bagi maling ayam adalah 30 hari penjara maka itu adalah suatu ketetapan belaka. Tidak ada realitas alami yang mendukung bahwa hukumannya harus 30 hari penjara. Demikian juga, jika pengadilan menetapkan bahwa hukuman maling ayam adalah, misalnya, potong pergelangan tangan maka itu juga hanya sebuah ketetapan belaka tanpa ada realitas alami mendukungnya.
Demikian juga, apa hukuman paling tepat untuk pelaku korupsi – para koruptor? Mereka ada yang dihukum 2 tahun, 5 tahun, bahkan lebih dari 10 tahun. Di luar negeri, pelaku korupsi ada yang dihukum mati. Baik hukuman 5 tahun atau hukuman mati, itu semua tidak ada dalil alami. Kita, umat manusia, perlu bersikap bijak dalam hal ini dan banyak hal lainnya.
Kali ini, kita akan membahas batas-batas hukuman secara filosofis. Dengan demikian, kita tidak akan masuk ke detil-detil menentukan batas-batas hukuman. Sebaliknya, kita akan mendiskusikan ide besar dan konsep dasar batas-batas hukuman – secara filosofis.
1. Dinamika Hukum
2. Prinsip Moral
3. Prinsip Melukai
4. “Public Reason”
5. Hukuman Hate Speech
Bagian awal, kita akan membahas bahwa hukum selalu bersifat dinamis – terhadap ruang dan waktu. Hukum yang berlaku pada suatu wilayah bisa saja tidak berlaku pada konteks yang berbeda. Selanjutnya, kita mendiskusikan prinsip apa saja yang menentukan perbedaan hukum dan dengan prinsip itu kita bisa mengambilkan keputusan hukum. Diskusi ini menunjukkan adanya keragaman prinsip yang tidak bisa ditemukan titik sepakat. Maka, kita perlu terbuka dengan ragam prinsip dan interpretasi yang mungkin saja saling kontradiksi.
Di bagian akhir, kita akan mencoba mengambil studi kasus “hate speech.” Sekilas, hate speech atau ujaran kebencian tampak jelas begitu saja. Nyatanya, tidak mudah menentukan batasan apa saja yang termasuk kategori ujaran kebencian. Pihak penguasa lebih mudah menerima bahwa suatu ujaran adalah ujaran kebencian. Sementara, pihak oposisi lebih mudah menolak kategori ujaran kebencian. Bahkan, jika bisa, kategori ujaran kebencian dihapus saja. Lagi-lagi, sikap bijak perlu kita kembangkan dalam situasi seperti ini.
1. Dinamika Hukum
2. Prinsip Moral
3. Prinsip Melukai
4. “Public Reason”
5. Hukuman Hate Speech
Tinggalkan komentar