Free Will Berhadapan Super Determinisme

Bukan hanya determinisme, kita berhadapan dengan super determinisme. Suatu kepastian yang bersifat super pasti. Semua alam raya, sejatinya, nasibnya sudah dipastikan. Bahkan pilihan bebas kita, sebagai manusia, juga sudah dipastikan. Tidak bisa berubah, semua yang ada. Tidak ada alternatif, dari semua yang ada. Semua sudah dipastikan dengan super pasti. Kita dan alam raya berada dalam super determinisme.

Paham super determinisme hidup sampai sekarang sejak ribuan tahun yang lalu. Beberapa pendukung, di antaranya, adalah Amy Karofsky dengan menerbitkan bukunya di tahun 2021. Leibniz dan Spinoza adalah pemikir besar abad 17 dan 18 pendukung super determinisme. Imam Al Ghazali merumuskan super determinisme pada abad 12. Dan kita bisa merunut ke Zeno pendiri Stoic abad 3 SM sampai ke Parmenides di sekitar abad ke 6 SM.

Fisika Quantum, di luar dugaan, mendukung super determinisme. Ketika awal muncul, quantum mendukung indeterminisme – tidak deterministik. Akhir abad 20, Bell berhasil menyelesaikan paradox EPR (Einstein Podolsky Rosen). Menurut Bell, solusi tersebut menunjukkan super determinisme quantum.

Apakah semua manusia tidak punya free will, tidak punya kehendak bebas? Semua dalam cengkeraman super determinisme?

1. Konsep Super Determinisme
2. Super Determinisme Barat: Karofsky – Leibniz
3. Super Determinisme Timur: Ghazali
4. Super Determinisme Quantum
5. Nasib Free Will

Dalam tulisan ini, kita fokus membahas super determinisme. Meski pun di berbagai tempat, kita perlu membahas determinisme dan free will. Pembahasan lebih lengkap mengenai determinisme dan free will silakan merujuk ke tulisan saya: Misteri Free Will vs Determinisme.

Pada bagian awal, kita akan membahas konsep super determinisme. Kemudian, kita melanjutkan mengkaji konsep super determinisme Barat, khususnya, konsep dari Leibniz. Konsep super determinisme Timur, kita dasarkan pada konsep Ghazali. Super determinisme quantum merupakan konsep terbaru dari sudut pandang ilmiah. Pada bagian akhir, kita mempertimbangkan konsep free will berhadapan dengan super determinisme. Saya menyimpulkan bahwa konsep free will terpojok oleh konsep super determinisme. Bagaimana pun, konsep free will tetap bisa muncul kembali dengan konsep “kasab” dari Ghazali dan konsep “respon” dari Nietzsche.

1. Konsep Super Determinisme

Paham determinisme mengatakan bahwa apa yang terjadi saat ini, dan di sini, adalah niscaya akibat dari kejadian-kejadian sebelumnya – di sini dan di sana. Pasti dan tidak bisa dicegah. Pandemi covid di Indonesia adalah akibat dari terjadinya penularan-penularan sebelumnya. Mengapa penularan itu terjadi? Karena perilaku manusia yang berkerumun menyebarkan droplet.

Perilaku manusia itu sendiri merupakan akibat dari kejadian-kejadian di sekitarnya – dan sebelumnya. Pikiran manusia merupakan respon “pasti” dari segala yang ada. Pikiran manusia, dan perilaku manusia, tidak bebas tetapi deterministik secara pasti seperti mesin.

Super determinisme melangkah lebih jauh dari determinisme, dalam ruang dan waktu. Bahkan, super determinis bisa melampaui ruang dan waktu. Pandemi covid di Indonesia, saat ini, memang ditentukan oleh penularan-penularan yang terjadi kemarin. Penularan kemarin ini ditentukan oleh penularan tahun lalu bahkan ditentukan oleh penularan pertama yang terjadi 2019. Dan, kejadian 2019 itu, sejatinya, merupakan akibat pasti dari situasi tahun 1019. Masih bisa kita lanjutkan, kejadian tahun 1019 itu ditentukan oleh kejadian di saat big bang, ledakan besar, sekitar 13 milyard tahun yang lalu.

Sehingga, semua kejadian yang terjadi saat ini sudah dipastikan sejak awal. Tidak bisa berubah. Tidak ada alternatif. Bahkan, jika sebelum big bang sudah ada waktu dan ruang maka peristiwa big bang itu sendiri sudah ditentukan oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya. Karena, pertimbangkan beberapa pengamatan ilmiah yang menunjukkan adanya jejak sebelum era big bang, misalnya, teori conformal cyclic cosmology oleh Roger Penrose. (Data dan interpretasi terhadap “jejak” masih menjadi perdebatan hangat sampai saat ini.)

Super determinisme ilmiah mengatakan bahwa semua kejadian saat ini, termasuk pandemi covid dan perilaku Anda membaca tulisan ini, sudah ditentukan dan dipastikan sejak milyardan tahun yang lalu oleh alam raya. Tidak bisa berubah. Tidak ada alternatif.

Super determinisme teologis melibatkan peran Tuhan dengan lebih tegas. Semua yang ada saat ini sudah ditentukan oleh Tuhan sejak jaman pertama, jaman azali. Tidak bisa berubah. Tidak ada alternatif.

Free will atau kehendak bebas, di sisi lain, mengakui adanya peran manusia dalam menentukan jalannya sejarah. Kehendak bebas Anda ikut menentukan bahwa Anda membaca tulisan ini. Free will juga akan ikut menentukan apakah Anda akan melanjutkan membaca tulisan ini atau tidak.

Immanuel Kant (1720 – 1804) meyakini adanya antinomi atau paradox yang tidak bisa diselesaikan. Keyakinan adanya free will tidak bisa membatalkan determinisme. Dan, keyakinan adanya determinisme tidak bisa membatalkan free will. Mereka, determinisme dan free will, sama-sama ada dengan saling kontradiksi.

2. Super Determinisme Barat: Karofsky – Leibniz

Amy Karofsky berhasil menerbitkan buku pada Desember 2021 yang mendukung super determinisme. Karofsky perlu berjuang keras untuk bisa menerbitkan buku. Karena, di Barat, paham super determinisme sulit diterima masyarakat. Ide-ide Karofsky menghadapi beragam perlawanan, termasuk penolakan oleh para editor.

Super determinisme, tentu saja, bukan ide baru. Leibniz, pada abad 18, telah merumuskan super determinisme dengan solid. Dan, Parmenides, pada abad 6 SM, sudah menyatakan hanya ada satu realitas tunggal, tidak pernah berubah, super determinisme. Semua perubahan di alam raya ini, hanya ilusi. Dan, opini manusia mudah tertipu oleh ilusi.

Necessitarianism is the view that absolutely nothing about the world could have been otherwise in any way, whatsoever.” (Amy Karofsky

Karofsky menggunakan term “necessitarianism” yang sepadan dengan super determinisme menyatakan bahwa alam raya pasti seperti ini tidak ada peluang berubah menjadi yang lain. Kepastian ini sudah dipastikan sejak masa lampau – milyaran tahun yang lalu. Karofsky mengakui bahwa dia meyakini kebenaran fatalisme – implikasi logis dari super determinisme.

Yang menarik, Karofsky meyakini peran penting perilaku manusia. Jika Karofsky memutuskan untuk tidak menulis buku maka tidak akan ada buku yang terbit. Sebaliknya, jika Karofsky berkomitmen untuk menulis buku dan menemukan penerbit maka bukunya jadi terbit. Memang benar, buku Karofsky terbit Desember 2021.

Keyakinan super determinisme, menurut Karofsky, tidak bertentangan dengan pilihan perilaku manusia. Bagaimana bisa begitu? Mari kita mencoba mencermati ide-ide dari Leibniz. Dengan cerdik, Leibniz membagi beragam jenis keniscayaan (determinisme).

Determinisme mutlak adalah determinisme yang pasti benar dan negasinya pasti salah. Operasi bilangan bulat, misal 1 + 2 = 3, adalah pasti benar. Dan tidak bisa terjadi sebaliknya. Dalam operasi bilangan bulat, tidak bisa 1 + 2 selain menghasilkan 3. Jika menghasilkan yang lain, pada analisis akhir, adalah tautologi. Misal, 1 + 2 = 4 – 1.

Determinisme hipotesis adalah determinisme yang pasti benar tetapi negasinya bisa juga benar. Misal, jika Jokowi menang pemilu maka dia jadi presiden. Tetapi negasinya, bisa saja terjadi. Presiden bisa saja orang lain. Cerita fiksi bisa saja terjadi di dunia nyata – bisa juga tidak terjadi. Tidak ada kontradiksi terhadap cerita fiksi. Determinisme hipotesis ini bisa kita pandang sebagai kontingen – ada peluang.

Determinisme instrinsik adalah determinisme yang terjadi secara pasti karena dirinya sendiri – tidak memerlukan faktor luar. Lagi, beragam kebenaran matematika adalah determinisme instrinsik.

Determinisme ekstrinsik adalah determinisme yang terjadi karena ada pengaruh dari luar dirinya. Matahari bersinar hari ini adalah pasti. Tetapi, untuk bisa bersinar, matahari perlu faktor-faktor eksternal misal tersedianya reaksi nuklir pada matahari. Jika faktor-faktor luar ini tidak ada maka matahari tidak bersinar.

Dengan mengikuti cara Leibniz, kita masih bisa membagi determinisme lebih beragam lagi: determinisme logis, determinisme metafisis, dan lain-lain. Tetapi, dengan pembagian di atas, kiranya sudah cukup bagi kita untuk analisis super determinisme.

Tuhan adalah determinisme mutlak dan instrinsik. Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan itu semua karena Dirinya sendiri. Karena Maha Bijak maka Tuhan menciptakan alam raya ini dalam pilihan terbaik di antara pilihan-pilihan lain. Akibatnya, alam raya eksis dalam keadaan terbaik, pasti, tidak bisa yang lain. Super determinisme berlaku untuk seluruh jagad raya.

Tentu saja, sejatinya, alam raya hanya determinis hipotesis. Bisa saja alam yang lain yang ada. Alam raya juga hanya determinisme ekstrinsik, perlu faktor lain untuk mengada. Karena Tuhan memilih alternatif yang terbaik dari beragam alam raya yang mungkin maka alam raya menjadi pasti terbaik. Alam raya adalah super determinisme.

Super determinisme ilmiah barangkali mengganti kata Tuhan dengan yang mereka inginkan. Misal, kehampaan quantum, enigma quantum, atau lainnya.

Dalam alam raya yang super determinisme seperti itu bagaimana nasib free will, kehendak bebas, manusia? Sulit untuk menyelamatkan free will. Memang, para pemikir super determinis, cenderung, menolak adanya free will tetapi mengakui adanya peran usaha manusia mempengaruhi nasib mereka. Tampaknya, mereka berada dalam paradox super determinisme lawan usaha manusia.

Nietzsche (1844 – 1900), barangkali, paling berhasil menyelesaikan paradox itu. Nietzsche mengakui super determinisme dan menolak free will. Manusia memang tidak memiliki free will. Manusia hanya memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Untuk itu manusia memiliki otonomi menyelaraskan diri dengan alam raya. Nietzsche menyebutnya dengan “will to power.”

Awalnya, otonomi manusia ini lemah, hanya merespon sekedarnya terhadap lingkungan sekitar. Dengan bertambahnya ilmu dan pengalaman, maka otonomi makin kuat. Bahkan, otonomi yang kuat ini memuncak kepada seorang superhuman. Orang yang mampu menaklukkan segala hambatan, mampu menahan pedihnya kehidupan, dan mampu menikmati alam raya.

Bagi Nietzsche, manusia tidak memiliki free will karena alam raya super determinisme. Manusia hanya memiliki sebutir otonomi. Tetapi, orang lain bisa saja menilai Nietzsche hanya mengganti term free will dengan term otonomi. Sejatinya, manusia punya free will juga, cuma ganti nama jadi otonomi.

3. Super Determinisme Timur: Ghazali

Imam Al Ghazali (1058 – 1111) adalah pemikir paling kreatif di jamannya – barangkali sampai sekarang. Konsep super determinisme Ghazali, kita kenal sebagai sistem atomis. Berbeda dengan atom Demokritus dan atom ilmiah. Atom Ghazali ini lebih selaras dengan teori quantum (Bell Theorem). Memang, Bell juga super determinis.

Ghazali menyatakan bahwa seluruh alam semesta, termasuk perilaku manusia, diciptakan langsung oleh Tuhan secara atomis. Sehingga super determinis. Tentu saja, Ghazali dan para ahli kalam, membedakan determinisme sebagaimana Leibniz. Ghazali, tampaknya merujuk ke Avicena.

Ibnu Sina (980 – 1037), atau Avicena, membedakan determinisme menjadi dua. Pertama, wajibul wujud bidzati adalah keniscayaan atau determinisme yang pasti benar karena dirinya sendiri. Tuhan adalah wajibul wujud bidzati. Bandingkan dengan determinisme instrinsik dari Leibniz.

Kedua, wajibul wujud bighoirihi, adalah determinisme yang pasti benar karena faktor lain. Bandingkan dengan determinisme ekstrinsik dari Leibniz. Alam raya adalah determenisme karena faktor luar – karena diciptakan langsung oleh Tuhan.

Bayangkan seluruh alam semesta ini terdiri dari atom-atom yang kecil. Teori atom ini mirip dengan atom Demokritus. Kemudian, kita memotret alam raya menjadi satu gambar, sebut saja frame1. Pada detik kedua, detik berikutnya, alam raya sudah bergerak berubah. Kita, memotretnya lagi, sebut saja jadi frame2. Dan, seterusnya, kita bisa memotret alam raya sampai terbentuk frame tak terhingga. Jeda waktu pemotretan bisa dipersingkat misal tiap mili detik, mikro detik, atau lebih singkat lagi. Di antara frame-frame itu terpisah secara atomis. Inilah teori atom Ghazali yang kreatif.

Anda melihat kopi (frame1). Tangan Anda memegang cangkir kopi (frame2). Cangkir kopi Anda dekatkan ke bibir (frame3). Anda minum kopi, nikmat (frame4).

Tidak ada hubungan sebab akibat antara frame1 dan frame lainnya. Semua frame, Tuhan menciptakannya langsung. Bisa saja, jika Tuhan menghendaki, setelah frame1 langsung frame4. Jadinya, begitu Anda melihat kopi maka langsung kopi itu bergerak ke bibir Anda untuk diminum. Semua super determinisme.

Analogi frame ini terjadi pada teknologi film movie – gambar bergerak. Pada frame1, misalnya, seorang bayi lahir. Pada frame7, bayi itu berumur 5 tahun. Bisa saja, urutan frame itu kita balik. Bayi berumur 5 tahun, setelah itu, bayi dilahirkan. Karena semua frame kita yang membuat. Dan kita bebas menaruh urutan. Tidak ada hubungan sebab akibat dalam seluruh frame gambar bergerak. Super determinisme.

Jika semua frame, Tuhan langsung yang menciptakannya, mengapa orang harus berbuat baik? Mengapa manusia harus menghindari maksiat? Bukankah tindakan manusia tidak berpengaruh apa-apa?

Kasab adalah solusi dari Ghazali. Manusia memiliki kemampuan untuk berusaha, kasab. Manusia yang lapar berusaha makan kemudian kenyang – tidak lapar lagi. Manusia berusaha berbuat baik kemudian hidupnya bahagia di dunia – dan akhirat. Meski manusia “berusaha makan” (frame1) tidak akan menyebabkannya “kenyang” (frame2). Yang menyebabkan “kenyang” (frame2) adalah karena Tuhan menciptakan frame2 – kenyang itu.

Begitu juga ketika manusia “berbuat baik” (frame5). Kemudian orang itu “masuk surga” (frame6). Bukan “berbuat baik” itu yang menyebabkan manusia “masuk surga”. Tidak ada hubungan sebab akibat antara “berbuat baik” dan “masuk surga”. Orang itu bisa “masuk surga” karena Tuhan langsung yang menciptakannya.

Jika Tuhan bebas menciptakan apa saja, buat apa manusia berusaha berbuat baik?

Karena Tuhan Maha Baik, Tuhan Maha Memenuhi Janji. Barangsiapa berbuat baik maka masuk surga. Sehingga, usaha manusia dijamin manjur oleh Tuhan. Bagaimana pun, bukan usaha manusia yang menyebabkannya masuk surga. Tetapi Tuhan Yang Maha Baik, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menyebabkan manusia masuk surga.

Ghazali bisa saja berpikir manusia tidak punya free will – atau freedom dalam bentuk apa pun. Manusia hanya bisa berusaha, kasab, semata. Orang lain, bisa menilai Ghazali sebagai mengganti term free will dengan kasab. Maknanya, sama saja dengan free will.

Ibnu Arabi (1165 – 1240) melangkah lebih maju dari Ghazali. Tuhan Maha Kuasa, Tuhan Maha Bebas. Tuhan menciptakan manusia sesuai nama dan sifatNya. Maka, manusia juga bersifat bebas. Manusia memiliki free will. Manusia tidak hanya bisa berusaha, kasab, tetapi manusia bisa berpartisipasi – ishtirak.

Sadra (1572 – 1640) mengembangkan lebih jauh ide Ibnu Arabi. Dengan eksplorasi lebih mendalam gradasi wujud, kita bisa merumuskan pastisipasi aktif manusia dan Tuhan dalam alam raya. Untuk menciptakan teknologi komputer, misalnya, manusia berpartisipasi aktif dengan membuat desain komputer dan eksekusi. Tuhan menciptakan beragam bahan yang diperlukan manusia untuk menciptakan komputer, lengkap dengan hukum-hukum alam dan prinsip sains. Bahkan, Tuhan juga yang menciptakan otak manusia, mata, dan tangan manusia. Sehingga, manusia mampu merakit komputer.

Siapa yang menciptakan komputer? Manusia. Anda sudah menjawab dengan benar. Siapa yang menciptakan komputer? Tuhan. Anda menjawab dengan benar juga. Manusia ikut berpartisipasi dalam alam raya.

Dengan beragam modifikasi ini, apakah pandangan Ghazali tidak super determinisme lagi? Tetap. Ghazali tetap super determinisme. Ketika manusia berpartisipasi dengan free will, berapa porsi manusia dalam partisipasi itu? Berapa porsi manusia dibanding alam raya, bumi, dan seluruh galaksi? Berapa porsi manusia dibanding rentang waktu jutaan tahun masa lalu, dan barangkali, ribuan tahun di masa depan? Porsi partisipasi manusia adalah bagaikan satu titik di samudera. Atau, manusia lebih kecil dari satu titik itu. Meski kecil, partisipasi manusia begitu menentukan.

4. Super Determinisme Quantum

Teori quantum mengawali kemunculannya sebagai teori indeterministik – tidak deterministik. Tetapi di era kontemporer ini, di balik indeterminisme quantum, tersimpan konsep super determinisme.

Heisenberg (1901 – 1976) merumuskan ketidakpastian quantum, yang kelak, dikenal sebagai ketidakpastian Heisenberg. Selalu ada ketidakpastian dalam setiap pengamatan sains. Selalu ada ketidakpastian dalam setiap pengukuran sains. Sehingga, kita tidak akan pernah mengetahui suatu obyek secara pasti. Hanya bisa estimasi. Selalu ada kesalahan.

Hasil kali pengukuran posisi dengan pengukuran momentum suatu partikel, misal elektron, nilai keyakinannya selalu di bawah konstanta tertentu. Sehingga, ketika kita ingin mengetahui posisi elektron dengan pasti maka kita menjadi tidak tahu momentum elektron. Begitu juga sebaliknya. Jika ingin lebih pasti momentumnya maka kita menjadi tidak tahu pasti posisinya.

Dengan demikian, Heisenberg menetapkan ketidakpastian epistemologis quantum.

Berbeda dengan fisika klasik Newton, atau Laplace. Mereka meyakini mampu mengukur posisi atau momentum suatu obyek dengan pasti. Laplace pernah mengatakan, “Jika kita mengetahui semua informasi alam raya maka kita bisa memastikan nasib alam raya di masa depan – atau masa kapan pun.”

Pertama, Laplace mengasumsikan bahwa kita akan mampu mengetahui obyek dengan pasti. Determinisme epistemologis. Kedua, dari pengetahuan itu kita bisa meramalkan masa depan alam dengan pasti. Determinisme ontologis. Determinisme epistemologis sudah dibantah dengan tegas oleh Heisenberg. Sedangkan determinisme ontologis dibantah oleh “kucing Schrodinger”.

Teori quantum adalah tidak deterministik. Sehingga, ada peluang untuk hadirnya free will.

Schrodinger (1887 – 1961) merumuskan persamaan gelombang quantum, yang kelak, dikenal sebagai gelombang Schrodinger menjadi dasar hampir semua teori fisika quantum. Gelombang Schrodinger ini, tampaknya, lebih liar dari Schrodinger itu sendiri. Gelombang Schrodinger menyatakan peluang terjadinya situasi quantum tertentu – hanya probabilitas bukan kepastian.

Agar lebih mudah, mari kita ikuti eksperimen pikiran “kucing Schrodinger.” Seekor kucing ditempatkan di suatu kotak, di ruangan tertutup. Di samping kucing itu ada partikel radioaktif (quantum) yang peluang meluruhnya adalah 50% dalam waktu 5 menit ke depan. Jika partikel itu meluruh maka akan memecahkan botol racun di dekatnya dan mengakibatkan kucing mati keracunan. Sebaliknya, jika partikel tidak meluruh maka aman dan kucing tetap hidup.

Setelah 5 menit, apakah kucing hidup atau mati?

Berdasar fisika klasik, ada dua kemungkinan. Pertama, kucing itu pasti sudah mati. Hanya saja kita belum mengetahui. Dengan membuka kotak maka kita yakin kucing memang sudah mati. Kedua, kucing itu pasti masih hidup. Dengan membuka kotak kita menjadi tahu.

Teori quantum tidak begitu. Menurut quantum, saat ini, kucing itu setengah hidup dan setengah mati. Perpaduan antara keduanya. Ketika kita membuka kotak maka situasi kucing akan roboh ke salah satunya, misal, kucing telah mati. Selama kita tidak membuka kotak maka kucing akan tetap berimbang setengah hidup dan setengah mati, bersamaan.

Dan yang lebih menarik, kita benar-benar tidak bisa meramalkan apakah partikel quantum itu akan meluruh atau tidak. Kita tidak bisa meramalkan apakah kucing itu akan hidup atau mati.

Tidak ada determinisme dalam teori quantum. Secara ontologi, quantum memang tidak deterministik.

Einstein (1879 – 1955) termasuk yang tidak setuju dengan interpretasi quantum yang dipenuhi banyak ketidakpastian itu. Einstein melontarkan, “Tuhan tidak sedang main dadu.” Tidak bisa diterima jika prinsip alam bersifat tidak pasti. Tentu, karena ada sesuatu yang belum kita ketahui (hidden variable) sehingga sains bersifat tidak pasti.

Awalnya, Schrodinger mengajukan “kucing Schrodinger” untuk menunjukkan bahwa teori quantum semacam itu, yang tidak pasti, tidak bisa diterima akal sehat. Akhirnya, “kucing Schrodinger” justru menjadi ilustrasi paling jelas dari tidak deterministiknya teori quantum. Ironis!

Sampai di sini, teori quantum memantapkan landasan sebagai teori yang tidak determinisitik. Sedangkan fisika klasik bersifat deterministik.

EPR Paradox merupakan paradox yang menyatakan bahwa teori quantum adalah teori yang tidak lengkap – sehingga bersifat tidak pasti. Einstein, Podolsky, dan Rosen merumuskan paradox ini dengan menunjukkan adanya “hidden variable” atau “variabel tersembunyi” yang belum dimasukkan ke teori quantum. Jika “variabel tersembunyi” ini bisa dimasukkan maka teori quantum menjadi teori yang lengkap dan bersifat pasti – bersifat deterministik.

Bell (1928 – 1990) menyusun formula untuk menyelesaikan EPR Paradox. Di satu sisi, EPR menunjukkan teori quantum sebagai “non-lokal” sehingga bersifat tidak pasti. Kedua, EPR menunjukkan cara menyelesaikan masalah teori quantum itu dengan menemukan “variabel tersembunyi” dan teori quantum menjadi teori yang lengkap. Segala fenomena quantum akan bisa dipastikan secara lokal. Teori quantum tidak akan perlu lagi “non-lokal”.

Formula Bell menunjukkan syarat-syarat yang diperlukan agar “variabel tersembunyi” itu memang ada.

Beberapa tahun kemudian, dirancang alat untuk menguji formula Bell. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa “variabel tersembunyi” memang tidak ada. Sehingga, teorema Bell membuktikan bahwa dugaan Einstein ternyata salah. EPR terbukti ditolak. Jadi, tidak ada “variabel tersembunyi”. Kalau pun ada “varibel tersembunyi” maka itu bersifat non-lokal juga.

Usaha EPR untuk menarik kembali teori quantum ke arah determinisme terbukti gagal. Jadi, berdasar teorema Bell, teori quantum memang tidak deterministik. Benarkah demikian?

Super Determinisme

Bell mengagetkan masyarakat dengan mengatakan bahwa teori quantum tidak deterministik secara lokal. Tetapi, teori quantum adalah super deterministik secara non-lokal.

Wajar bagi kita mencari suatu penjelasan dari fenomena. Segala akibat pasti ada sebabnya. Ketika, semua sebab-sebab lokal gagal menjelaskan fenomena quantum maka apa alternatif sebabnya?

Benar, pasti ada sebab non-lokal. Karena non-lokal, mungkin saja, sebab ini sangat jauh. Tetapi, sebab ini begitu kuat dan begitu cepat. Di saat yang sama, sebab non-lokal ini tidak kita ketahui secara pasti. Penuh misteri. Sebab non-lokal itu adalah sebab super determinism. Sehingga, teori quantum bergerak dari determinisme fisika klasik menuju indeterminisme quantum, untuk kemudian masuk super determinisme quantum.

Jadi, apa sejatinya sebab super determinisme quantum itu? Misteri. Tidak ada yang tahu. Itu merupakan enigma quantum, tanda tanya quantum.

Seandainya, suatu saat nanti, enigma quantum ini terpecahkan dengan solusi meyakinkan, maka, akan muncul enigma baru yang lebih misterius. Hipotesis ini sejalan dengan teorema Emak Godel. Setiap sistem aksiomatik yang konsisten pasti tidak lengkap. Teori quantum bisa kita pandang sebagai sistem aksiomatik maka pasti tidak lengkap – terbukti dengan adanya enigma quantum.

Barangkali ada yang keberatan jika teori quantum masuk sebagai sistem aksiomatik. Sehingga, teori quantum tidak bisa dianalisis dengan teorema Godel. Kita bisa memanfaatkan teorema Emak Godel yang menyatakan bahwa setiap sistem konsep yang konsisten pasti tidak lengkap. Dan, teori quantum memang termasuk sebagai sistem konsep. Karena itu, teori quantum pasti tidak lengkap – dengan adanya enigma-enigma baru.

Teori quantum, saat ini, dalam genggaman super determinisme. Ada tiga enigma quantum saat ini. Pertama, runtuhnya prinsip lokal, yang baru kita bahas. Kedua, runtuhnya realisme oleh kucing Schrodinger. Ketiga, runtuhnya freedom para peneliti. Peneliti mengira dirinya bebas memilih apa saja obyek kajiannya, ternyata, pilihan mereka sudah dipastikan oleh super determinisme.

5. Nasib Free Will

Determinisme berkontradiksi dengan free will. Wajar, kita menduga bahwa super determinisme akan menolak free will dengan lebih ekstrem lagi. Tidak seperti itu yang terjadi. Semakin keras, super determinisme menolak free will, maka, free will akan muncul dengan satu dan lain cara.

Nasib free will tetap dinamis bersama super determinisme – atau pun determinisme. Hanya saja, kita perlu mengakui bahwa peran free will memang hanya kecil. Dengan optimis, kita bisa menyatakan,

“Meski kecil, peran free will, sangat menentukan.”

Sebaliknya, juga harus kita sadari,

“Meski free will punya peran, perannya sangat kecil.”

Dari Barat, super determinisme mencapai formulasi sistematis oleh Leibniz. Tuhan menciptakan alam raya dengan kondisi terbaik. Tidak ada yang berbeda dari itu. Berbeda dengan itu, menjadi bukan yang terbaik. Tidak mungkin bagi Tuhan memilih bukan yang terbaik. Karena Tuhan memilih yang terbaik bagi alam semesta maka super determinisme.

Tidak ada tempat bagi free will di alam raya yang super determinis seperti itu. Paling, yang bisa dilakukan manusia hanya sekedar merespon alam sekitar. Menurut Nietzsche, awalnya, respon manusia ini hanya lemah, meski otonom. Bagi orang-orang tertentu, superhuman, kekuatan otonomi ini membesar. Kekuatan otonom yang besar, bagi manusia, adalah semakna dengan free will itu sendiri. Free will hadir berdampingan dengan super determinisme. Free will tidak bisa disingkirkan.

Dari Timur, Ghazali merumuskan super determinisme, dengan kreatif, menggunakan pendekatan atomis. Atom-atom alam raya, layaknya frame-frame dalam movie, langsung diciptakan oleh Tuhan. Sehingga, alam raya super determinisme. Meski begitu, menurut Ghazali, manusia memiliki kemampuan kasab, kemampuan berusaha. Manusia berusaha dan Tuhan yang menciptakan.

Dalam perkembangannya, Ibnu Arabi dan Sadra, mengembangkan lebih jauh kemampuan usaha manusia itu. Meski Tuhan Maha Kuasa menetapkan dan menciptakan segala sesuatu, manusia bisa berusaha ikut berpartisipasi. Kemampuan partisipasi oleh manusia ini memang kecil tapi sangat menentukan. Karena Tuhan Maha Baik berjanji membalas kebaikan sekecil apa pun dengan kebaikan yang lebih besar. Jadi, memang Tuhan yang menciptakan segala kebaikan. Manusia hanya ikut berpartisipasi dengan free will. Lagi, free will hadir berdampingan dengan super determinisme.

Dari sains, teori quantum, Bell mengusulkan interpretasi teoremanya sebagai super determinisme. Bagaimana pun, interpretasi dari Bell adalah sebuah interpretasi – bukan kesimpulan sains empiris. Sehingga, terbuka peluang bagi kita untuk mengembangkan interpretasi-interpretasi lain yang menguatkan peran kesadaran subyek pengamat dalam fenomena quantum – membuka pintu bagi free will. Subyek pengamat sains, para peneliti, merespon lingkungan kemudian memilih melakukan penelitian sains. Pilihan tersebut, melakukan penelitian sains, adalah free will. Dengan demikian, dalam teori quantum, super determinisme bersanding dengan free will.

Apa manfaat membahas super determinisme dan free will?

Pertama, karena Tuhan Maha Baik menciptakan alam semesta menjadi yang terbaik maka kita tinggal menjalani hidup dengan bahagia. Kedua, kita kapan pun dan di mana pun, selalu bisa berpartisipasi dalam kebaikan. Semangat dan optimis! Karena Tuhan berjanji melipatgandakan partisipasi kita yang kecil itu. Ketiga, bila terjadi kesalahan alami atau perilaku orang maka kita lebih terbuka untuk memaafkan. Karena orang berbuat salah itu, tidak 100% kesalahan dirinya. Banyak faktor lain yang terlibat.

Pada akhirnya, dan setiap saat, kita bisa hidup bahagia dengan segala karunia terbaik Tuhan, adanya kesempatan berpartisipasi, dan terbuka saling memaafkan kepada semua.

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: