Keluarga menyatukan manusia, di saat yang sama, memecah belah. Jelas, kita adalah anak dari ibu dan bapak kita. Kita adalah anggota keluarga, berbeda dengan keluarga lain. Cara hidup masing-masing keluarga banyak perbedaan. Keluarga menyatukan semua anggota itu. Di saat yang sama, keluarga membedakan diri dengan keluarga lain.

Kepentingan keluarga A bisa saja bertentangan dengan kepentingan keluarga B. Mereka bisa saja bermusuhan. Maka dibentuklah rukun warga untuk menyatukan semua. Lebih besar lagi, dibentuklah pemerintah daerah sampai satu negara. Dengan konstitusi, satu negara bersatu padu.
Bagaimana hubungan satu negara dengan negara lain? Bisa terjadi peperangan di antara mereka. Bisa terjadi invasi atau dominasi. Kita perlu cara pandang yang lebih luas: kosmopolitanisme.
1. Keluarga versus Komunitas
2. Antar Negara
3. Kosmopolitanisme
Cicero (106 – 43 SM) menyadari dilema itu. Di satu sisi, kita butuh kekuatan untuk meyakinkan bahwa setiap warga harus saling menghormati. Di sisi lain, kekuatan itu sendiri menjadi sarana menindas pihak lain. Kita butuh negara untuk menjamin tatanan sosial yang tertib. Tidak jarang, negara sendiri adalah yang paling besar melanggar tatanan sosial itu.
Kontradiksi sosial selalu terjadi. Tugas kita sebagai manusia tidak pernah berhenti. Kita adalah anggota alam raya: kosmopolitan. Kita perlu berperan serta dalam perjalanan alam raya.
1. Keluarga versus Komunitas
Plato (428 – 348 SM) pernah mengusulkan agar lembaga keluarga dihapus saja diganti dengan komunitas. Karena, keluarga menjadi sumber ketimpangan sosial. Bertrand Russell, di abad 20, kembali mendukung usulan Plato ini. Meski usulan tersebut menarik, tampaknya, tidak mendapat respon memadai dari masyarakat luas. Sehingga, ikatan keluarga tetap kokoh sampai saat ini, di seluruh dunia.
Anak yang terlahir dari keluarga kaya akan tetap menjadi kaya karena mendapat warisan, pendidikan mahal, dan berbagai fasilitas spesial. Sementara, anak yang terlahir dari keluarga miskin akan tetap menjadi miskin. Ketika kejadian ini berlangsung berabad-abad maka terbentuklah kesenjangan sosial. Suatu ketimpangan yang membahayakan seluruh umat manusia.
John Rawls (1921 – 2002) mengusulkan prinsip keadilan untuk mengatasi beragam ketimpangan. Prinsip kesetaraan bahwa setiap orang setara dalam kebebasan-kebebasan dasar. Dan, prinsip perbedaan bahwa perbedaan hanya sah bila memberi keuntungan terbesar kepada pihak lemah. Saya menambahkan dengan prinsip dinamis bahwa setiap pihak perlu untuk terus bergerak maju. Kemajuan kelas kaya perlu berkontribusi memajukan pihak lemah.
2. Antar Negara
Cicero menghadapi dilema secara langsung. Di satu sisi, Roma adalah negara terbaik saat itu. Roma menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan. Roma menyebarkan nilai-nilai kebajikan ini ke seluruh dunia. Di sisi lain, Roma memiliki kekuatan besar untuk menaklukkan negara lain, untuk kemudian, mendominasinya. Roma menyebarkan nilai-nilai kebajikan dengan cara melanggar nilai-nilai kebajikan itu sendiri.
Dilema semacam itu, apakah ada solusinya? Di jaman sekarang, apakah kita mengalami dilema yang sama? Benar. Kita tetap mengalami dilema yang sama. Menyebarkan nilai-nilai kebajikan dengan cara melanggarnya.
3. Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme memandang bahwa setiap manusia adalah warga dari dunia (kosmos) yang sama. Sehingga, setiap manusia memiliki kedudukan yang setara. Bahkan binatang, tumbuhan, dan bebatuan juga merupakan anggota kosmos yang sama. Sehingga, semua mendapat kedudukan yang setara – meski berbeda.
Tinggalkan komentar