Masalah terbesar umat manusia, saat ini, adalah manusia menjadi manusia satu dimensi.
Di era kontemporer ini, manusia hanya punya satu dimensi yaitu dimensi ekonomi. Bahkan lebih fokus hanya ke profit. Lebih jauh lagi fokus bergeser hanya ke pertumbuhan kekayaan – bagi segelintir orang. Dampak negatif dari manusia satu dimensi, bisa kita rasakan langsung: kesenjangan ekonomi, kebobrokan politik, perusakan lingkungan, krisis iklim, pandemi, sampai ancaman perang nuklir dan senjata pembunuh massal.

Secara pribadi, manusia satu dimensi hanya bisa menipu diri sendiri. Mereka berpikir dengan makin banyak kekayaan maka makin bahagia. Nyatanya, makin kaya justru makin hampa. Makin banyak fasilitas, hati makin panas. Makin banyak uang, jalan hidup makin bimbang.
Solusinya jelas: berubahlah. Jangan mau jadi manusia satu dimensi. Jadilah manusia dua dimensi. Untuk kemudian, terus bertumbuh menjadi lebih banyak dimensi penuh harmoni. Raihlah bahagia sejati. Hidupkan jiwa. Cahaya jiwa adalah cahaya sakina.
1. End of History
2. Dialektika Kontradiksi
3. Dialektika Keragaman
4. Dialektika Sakina
5. Cahaya Masyarakat Sakina
6. Kejahatan Selalu Ada
7. Semesta Sakina
Sokrates (470 – 399 SM) mengingatkan bahwa manusia punya banyak dimensi. Di antara dimensi-dimensi itu saling berdialog untuk tumbuh menjadi lebih baik. Proses dialog ini, kita kenal sebagai dialektika, berlangsung dengan saling tanya dan jawab secara terbuka.
Fukuyama (1952 – ) menyatakan bahwa kompetisi dunia kapitalis lawan dunia komunis sudah berakhir pada tahun 1990an ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet. Dunia menjadi tunggal, satu dimensi, yaitu dunia kapitalis. Sejarah telah mencapai ujung akhir.
Hegel (1770 – 1831) merumuskan dialektika kontradiksi yang memenuhi alam raya. Seharusnya, sejarah tidak akan pernah mencapai ujung akhir. Karena sepanjang sejarah, selalu ada kontradiksi dalam masyarakat sehingga masyarakat terus bergerak mengatasinya.
Marx (1818 – 1883) mengembangkan dialektika kontradiksi materialis. Kaum elit borjuis berkontradiksi dengan kaum bawah proletar, berdialektika, untuk kemudian, membentuk masyarakat yang adil. Kritik Marx kepada kapitalisme menunjukkan beragam cacat kapitalisme. Tetapi, masyarakat adil itu belum juga tiba. Seandainya, masyarakat adil memang terbentuk maka akan tetap ada kontradiksi.
Deleuze (1920 – 1995) merumuskan metafisika “different”: realitas dipenuhi oleh beragam perbedaan. Kita melihat perbedaan-perbedaan nyata di dunia aktual. Lebih dari itu, perbedaan juga terjadi pada dunia virtual. Kapitalisme tidak memerlukan perbedaan yang beragam itu. Kapitalisme memandang semua sama: sumber daya yang bisa dieksploitasi. Problem besar muncul ketika keragaman diberangus. Kita memerlukan solusi yang mengakui keragaman perbedaan.
Dialektika sakina adalah solusi yang mengakui keragaman. Keragaman adalah energi pendorong perubahan. Dialektika sakina membentuk keseimbangan dinamis dari berbagai unsur yang berbeda. Tidak ada formula tunggal untuk keseimbangan dinamis. Banyak struktur berbeda, di saat yang sama, struktur-struktur itu mencapai keseimbangan dinamis. Namun, banyak juga struktur lain yang tidak dinamis juga tidak seimbang.
Dalam proses dialektika sakina, secara personal, muncul rasa bahagia dalam diri setiap orang yang terlibat. Secara sosial politik, dialektika sakina mendorong terciptanya struktur politik dinamis yang menjamin masyarakat adil makmur. Pada bagian akhir tulisan, kita akan mengkaji lebih dalam tema ini dengan harapan terciptanya cahaya masyarakat sakina.
1. End of History
Fukuyama (1952 – ) menyatakan bahwa kompetisi dunia kapitalis lawan dunia komunis sudah berakhir pada tahun 1990an ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet. Dunia menjadi tunggal, satu dimensi, yaitu dunia kapitalis. Sejarah telah mencapai ujung akhir.
Dunia ketiga, pada abad 20, tidak diperhitungkan eksistensinya. Hanya ada dunia kesatu, negara kapitalis, melawan dunia kedua, yaitu negara komunis. Proses dialektika kapitalis versus komunis sudah berakhir menjelang abad 21. “End of History” dimenangkan oleh dunia kapitalis.
Vattimo (1936 – ) membaca “End of History” dengan pendekatan berbeda: pendekatan hermeneutika. Hadirnya media digital menyebabkan sejarah berakhir. Kita tidak punya lagi sejarah, dalam arti, tidak ada sejarah tunggal. Setiap negara, atau kelompok, bisa menciptakan narasi sejarah masing-masing. Termasuk sejarah dunia, masing-masing orang punya narasi yang berbeda.
Sayangnya, dunia digital, benar-benar, mengakhiri sejarah. Perusahaan-perusahaan besar mendiktekan narasi besar dengan menguasai media digital. Umat manusia tidak sadar, mereka dalam genggaman korporasi raksasa dunia. Hanya ada sejarah tunggal: sejarah korporasi besar.
Bagaimana pun, dalam diri manusia selalu ada yang tersisa: satu titik sumber cahaya. Meski pun sejarah berakhir, meskipun sejarah mengungkung manusia, titik cahaya itu tetap bersinar. Bahkan, sinarnya senantiasa mencari cara untuk keluar, memenuhi jagat raya. Tidak akan pernah ada akhir, selama ada manusia di sana.
Akhir dari sejarah, sejatinya, adalah awal dari sejarah yang berbeda. Siapa yang akan menulis sejarah baru? Siapa yang menciptakan sejarah baru? Siapa pelaku sejarah baru?
2. Dialektika Kontradiksi
Hegel (1770 – 1831) merumuskan dialektika kontradiksi yang memenuhi alam raya. Seharusnya, sejarah tidak akan pernah mencapai ujung akhir. Karena sepanjang sejarah, selalu ada kontradiksi dalam masyarakat sehingga masyarakat terus bergerak mengatasinya.
Hegel sendiri menyatakan bahwa dialektika akan berakhir manakala tercapai “Spirit Absolute”: di mana tidak ada kontradiksi lagi. Membaca “Spirit Absolute” ini, tentu saja, menimbulkan problem tersendiri. Wajar jika “Spirit Absolute” berkontradiksi dengan spirit-tidak-absolute maka terjadi proses dialektika, lagi. Dengan demikian, dialektika tidak pernah berakhir.
Secara definisi, “Spirit Absolute” adalah hilangnya segala kontradiksi. Justru definisi seperti itu yang mengundang kontradiksi. Bagaimana pun, konsep “Spirit Absolute” mempunyai daya pikatnya tersendiri. Kita jadi memiliki cita-cita jelas untuk meraih cita-cita absolute. Karl Marx mengembangkan konsep masyarakat komunis lebih lanjut.
Marx (1818 – 1883) mengembangkan dialektika kontradiksi materialis. Kaum elit borjuis berkontradiksi dengan kaum bawah proletar, berdialektika, untuk kemudian, membentuk masyarakat yang adil. Kritik Marx kepada kapitalisme menunjukkan beragam cacat kapitalisme. Tetapi, masyarakat adil itu, yang diprediksi Marx, belum juga tiba. Seandainya, masyarakat adil memang terbentuk maka akan tetap ada kontradiksi.
Marx percaya bahwa masyarakat adil itu akan terbentuk dan menjadi akhir dari dialektika materialisme. Sampai akhir abad 20, prediksi Marx tidak terbukti. Bahkan di awal abad 21 ini, tanda-tanda jalannya sejarah menyimpang dari prediksi Marx makin jelas. Kita lebih yakin bahwa masyarakat tidak akan berhenti, masyarakat terus berdialektika.
Bertrand Russell (1872 – 1970), sekitar peralihan ke abad 20, menolak konsep dialektika kontradiksi dari Hegel. Menurut Russell, sains tidak berkembang melalui kontradiksi-kontradiksi yang menyatu dalam dialektika. Sains justru berkembang melalui kajian detil terhadap obyek-obyek dengan batasan yang jelas, tanpa kontradiksi. Setiap penemuan sains akan menjadi pijakan untuk pengembangan sains berikutnya. Kelak, pendekatan Russell ini, sekaligus menolak Hegel, membentuk satu mazhab filsafat yang kokoh: filsafat analitik.
Karl Popper (1902 – 1994), pada pertengahan abad 20, menyerang keras dialektika Hegel, dan Marx, sebagai historisisme. Bagi Popper, historisisme adalah mustahil. Tidak mungkin, kita bisa meramalkan jalannya sejarah ke depan. Karena, kemajuan sejarah umat manusia dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan, dan teknologi. Sementara, perkembangan pengetahuan selalu menampilkan lompatan-lompatan tak terduga dalam bentuk penemuan-penemuan baru. Akibatnya, kita tidak pernah bisa memastikan arah sejarah manusia di masa depan.
Sebaliknya, historisisme justru menyakini jalannya sejarah, ke masa depan, sudah dipastikan melalui jalur tertentu.
Tugas manusia, menurut hitorisisme, sekedar mengikuti jalannya sejarah itu. Bila ada orang yang menyimpang dari jalannya sejarah maka mereka perlu diluruskan agar sesuai jalannya sejarah. Akibat dari historisisme ini adalah totaliterianisme. Dan, kita menyaksikan bencana kemanusia terbesar sepanjang sejarah: perang dunia I dan II. Popper dengan tegas menolak totaliterianisme dan historisisme. Popper mengusulkan terbentuknya “open society”, masyarakat terbuka.
Terbukti, konsep dialektika Hegel nyaris musnah pada akhir abad 19 dan sepanjang abad 20. Serangan Russell dan Popper, tampaknya, berpengaruh besar terhadap meredupnya Hegel. Di saat hampir bersamaan dengan Popper menulis kritik kepada Hegel, Russell menulis buku “Sejarah Filsafat Barat.” Di dalam bukunya, Russell menyerang terang-terangan kepada Hegel.
Kebangkitan
Kajian lebih mendalam menunjukkan bahwa serangan Russell dan Popper terhadap Hegel adalah salah sasaran. Mereka tidak mengkritik dialektika Hegel. Mereka, Russell dan Popper, hanya mengkritik interpretasi terhadap konsep Hegel. Bahkan, mereka salah paham terhadap Hegel.
Akhir abad 20, kita menyaksikan kebangkitan kembali dialektika Hegel. Bahkan awal abad 21 ini, ada yang menilai sebagai masa kegemilangan dialektika Hegel. Pada tahun 1980an, Pippin (lahir 1948 – ) menulis buku tentang dialektika Hegel dari sudut pandang anti-metafisika. Dengan cara ini, kita bisa membaca Hegel dengan intonasi wajar tanpa kecurigaan. Kita membaca Hegel secara rasional dan empiris sehingga sejalan dengan filsafat analitik – dan filsafat lain secara lebih luas.
Zizek (lahir 1949 – ), terang-terangan, menghidupkan kembali ajaran dialektika Hegel. Sikap ini menarik. Karena gerakan Marxisme, sampai saat ini, adalah kisah kegagalan perjuangan. Dengan kembali kepada Hegel setelah dari Marx, maka, terbuka posibilitas lebih besar. Secara intelektual, dialektika Hegel tampak lebih kokoh dari Marx. Tetapi, secara politis, pendekatan Marx barangkali mempunyai dampak lebih besar dan lebih revolusioner.
“Apa makna Spirit Absolute di saat ini?”
Bagaimana pun, kesan totaliter tetap kuat dalam kata “Spirit Absolute”. Pippin membaca spirit sebagai bukan sesuatu yang bersifat spiritual tetapi suatu pendekatan epistemologis. Spirit kita perlukan secara epistemologis untuk pijakan ontologi. Spirit adalah “dasar pengetahuan” yang dengannya, kita bisa mengembangkan pengetahuan lanjutan secara dialektis. Tanpa “dasar pengetahuan,” tanpa spirit, kita tidak bisa mengembangkan pengetahuan apa pun.
Dasar-pengetahuan ini terbatas, sehingga berkontradiksi dengan esensi alam raya. Karenanya terjadi dialektika merangkul dasar-pengetahuan dan esensi alam raya sehingga terbentuk pengetahuan baru. Selanjutnya, pengetahuan-baru ini berkontradiksi dengan esensi alam raya dan berdialektika lagi menghasilkan pengetahuan yang lebih baru lagi. Demikian seterusnya, proses dialektika tiada henti.
Tentu saja, kita bisa memikirkan pertumbuhan pengetahuan melalui dialektika bisa bersifat meluas dan mendalam. Meluas dalam arti cakupan pengetahuan makin luas dengan batas-batas yang melebar, misal teori relativitas dan sosiologi. Sedangkan, mendalam dalam arti tidak meluaskan batas tetapi makin mendalami suatu kajian tertentu, misal mekanika quantum dan psikologi.
Spirit Absolute bermakna pengetahuan yang tidak pernah berhenti, terus-menerus bergerak, secara absolute. Karena realitas alam raya selalu dinamis, termasuk manusia, maka kontradiksi selalu terjadi. Dengan demikian, dialektika secara absolute tidak akan pernah berhenti. Dialektika akan selalu terjadi.
Dalam analisis kita, dialektika Hegel ini memberi dorongan untuk mengembangkan dialektika Sakina yang lebih komprehensif. Dialektika Sakina mengakui keragaman alam raya, dan keragaman manusia, sehingga terjadi kontradiksi, meminjam istilah Hegel. Proses dialektika bertujuan untuk mencapai mode Sakina yang lebih tinggi ditandai dengan hadirnya karakter keseimbangan dinamis dan dinamika seimbang. Dari satu mode Sakina,senantiasa, bergerak maju ke mode Sakina yang baru, sering ditandai dengan hilangnya keseimbangan sementara.
Dialektika Hegel, minimal, mengingatkan kita ada dua sisi realitas yang saling berkontradiksi. Realitas tidak bisa direduksi menjadi realitas tunggal, misal, menjadi realitas ekonomi belaka. Demikian juga, realitas manusia tidak bisa dipandang sebagai realitas tunggal untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja. Realitas selalu jamak, beragam. Bagaimana pun, dalam keragaman realitas, kita tetap terhubung dalam kesatuan alam raya. Sehingga terjadi dinamika untuk meraih yang lebih baik bagi sesama. Dialektika Sakina.
3. Dialektika Keragaman
Deleuze (1920 – 1995) merumuskan metafisika “different”: realitas dipenuhi oleh beragam perbedaan. Kita melihat perbedaan-perbedaan nyata di dunia aktual. Lebih dari itu, perbedaan juga terjadi pada dunia virtual. Kapitalisme tidak memerlukan perbedaan yang beragam itu. Kapitalisme memandang semua sama: sumber daya yang bisa dieksploitasi. Problem besar muncul ketika keragaman diberangus. Kita memerlukan solusi yang mengakui keragaman perbedaan.
Heidegger (1889 – 1976) merumuskan ontological “different”: selalu ada perbedaan ontologis antara interpretasi dengan realitas dalam setiap klaim kebenaran. Apa pun klaim kebenaran yang kita buat maka tidak akan pernah sama persis dengan realitas ontologis. Selalu ada perbedaan di antara keduanya, interpretasi dan realitas, yang tak pernah bisa dihilangkan. Sebagus apa pun interpretasi yang kita buat maka itu adalah sekedar estimasi dari realitas. Masalah lebih serius muncul karena setiap pengetahuan manusia selalu melibatkan interpretasi, dan pengalaman, dalam satu dan lain cara.
Masih di akhir abad 20, Derrida dan Lyotard secara terpisah, juga merumuskan konsep “different” yang berbeda lagi. Sehingga, kita memiliki banyak konsep “different” yang berbeda-beda. Bagi kita di Indonesia, sudah terbiasa dengan istilah “bhineka” atau keragaman atau “different” itu sendiri. Realitas alam raya memang dipenuhi oleh aneka ragam perbedaan.
Deleuze menyatakan bahwa “different” lebih prior dari “identitas”. Cara pandang Deleuze ini berkebalikan dengan prinsip logika yang selama ini kita pegang sejak era Aristoteles. Prinsip identitas adalah yang paling utama, menurut Aristoteles. Kuda adalah kuda dan sapi adalah sapi. Karena ada identitas kuda adalah kuda maka, kemudian, kita bisa membedakan antara kuda dan sapi.
Konsep “different” menyatakan sebaliknya. Kuda berbeda dengan sapi. Kuda berbeda dengan kambing. Kuda berbeda dengan segala yang bukan kuda. Totalitas dari seluruh yang berbeda dengan kuda maka, kemudian, kita mengenali identitas kuda. Awalnya adalah “different”, kemudian, totalitas dari “different” membentuk suatu identitas.
Implikasi dari konsep “different” ini sangat besar. Membalik karakter mandiri identitas menjadi tergantung, atau dipengaruhi, oleh entitas selain dirinya.
Secara teoritis, dan filosofis, konsep “different” mempersulit kita dalam melakukan klaim kebenaran. Karena klaim kebenaran kita harus mempertimbangkan seluruh aspek yang berbeda dari “kebenaran kita” itu. Sementara, kita tidak akan pernah berhasil meraih totalitas dari seluruh keragaman perbedaan. Akibatnya, klaim kebenaran kita tidak pernah sempurna.
Untuk memperbaiki klaim “kebenaran kita” yang tidak sempurna ini maka kita perlu melakukan iterasi mempertimbangkan totalitas keragaman perbedaan. Iterasi tanpa henti ini bisa kita sebut sebagai dialektika keragaman atau dialektika “different”. Meski pun, barangkali, Deleuze tidak akan suka dengan istilah dialektika.
Secara ekonomi, kita tidak bisa lagi melakukan klaim bahwa bisnis kita menguntungkan berdasar analisis data internal kita. Untuk bisa melakukan klaim “kebenaran ekonomi kita” perlu mempertimbangkan totalitas perbedaan dari beragam pihak. Secara politik, demikian juga, kita tidak bisa lagi melakukan klaim kebenaran berdasar analisis internal. Dan, karena klaim ini tidak pernah sempurna maka kita perlu terbuka dengan proses dialektika keragaman bersama banyak pihak lain.
Dialektika keragaman ini lebih fleksibel dibanding dialektika kontradiksi. Karena, keragaman mencakup kontradiksi dan lebih banyak lagi jenis perbedaan lainnya. Selanjutnya, kita perlu membahas dialektika Sakina sebagai kelanjutan dari dialektika keragaman.
Realitas memang beragam. Realitas, sekali lagi, tidak bisa direduksi menjadi hanya satu dimensi, misal dimensi ekonomi belaka. Demikian juga, realitas kemanusiaan juga beragam sehingga tidak mungkin bisa direduksi menjadi hanya satu dimensi.
4. Dialektika Sakina
Sakina adalah rasa bahagia yang hadir dalam proses, dan sebagai hasil, mengatasi keragaman perbedaan. Hasil dari mengatasi keragaman adalah keragaman baru yang lebih matang. Sakina tidak menolak keragaman. Sakina mengatasi keragaman, untuk kemudian, berada dalam keragaman baru.
Dialektika sakina adalah solusi yang mengakui keragaman. Keragaman adalah energi pendorong perubahan. Dialektika sakina membentuk keseimbangan dinamis dari berbagai unsur yang berbeda. Tidak ada formula tunggal untuk keseimbangan dinamis. Banyak struktur berbeda, di saat yang sama, struktur-struktur itu mencapai keseimbangan dinamis. Namun, banyak juga struktur lain yang tidak dinamis juga tidak seimbang.
5. Cahaya Masyarakat Sakina
Dalam proses dialektika sakina, secara personal, muncul rasa bahagia dalam diri setiap orang yang terlibat. Secara sosial politik, dialektika sakina mendorong terciptanya struktur politik dinamis yang menjamin masyarakat adil makmur. Pada bagian akhir tulisan, kita akan mengkaji lebih dalam tema ini dengan harapan terciptanya cahaya masyarakat sakina.
6. Kejahatan Selalu Ada
7. Semesta Sakina
Senang membaca tulisanmu
SukaSuka