Pintu 5: Pakar Demokrasi

Pada tahap tertentu, kita akan berhadapan dengan banyak orang yang berbeda-beda kepentingan. Mereka bisa saja mengaku membela kebenaran, membela keadilan, dan berjuang mewujudan kebaikan bersama. Tetapi mengapa bisa berbeda-beda? Bahkan, mengapa bisa saling berlawanan?

Demokrasi menjadi salah satu alternatif terbaik. Memberi kebebasan kepada setiap orang mengungkapkan pendapat. Mendengarkan semua pendapat yang ada. Kemudian, mengambil keputusan secara demokratis.

1. Kebebasan
2. Keadilan
3. Sistem Pakar
4. Politik
5. Semesta Masa Depan

Di sisi lain, kita mengetahui bahwa setiap manusia adalah unik. Masing-masing orang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Sehingga, ada orang yang pakar di bidang tertentu, misal, pakar kedokteran, teknologi, pendidikan, agama, seni, dan lain-lain. Suara seorang pakar, tentu, berbeda bobot dengan yang bukan pakar. Akibatnya, kita perlu menempatkan suara pakar dengan tepat dalam suasana demokratis.

1. Kebebasan

Kebebasan adalah karakter unik yang hanya dimiliki manusia. Dengan kebebasan itu, manusia wajib bertanggung jawab atas semua pilihannya. Manusia memiliki tanggung jawab moral. Terdapat sistem hukum, natural atau kultural, untuk menjaga kebebasan umat manusia. Kita akan mulai pembahasan dengan diskusi makna kebebasan.

1.1 Bebas Menerima Batas

Manusia itu bebas. Manusia adalah bebas. Bahkan, manusia adalah kebebasan itu sendiri. Manusia terlahir bebas dan mati secara bebas. Tetapi, apa makna bebas?

Bebas adalah bebas terbang ke langit. Bebas menembus bumi. Bebas makan apa saja. Bebas minum apa saja. Bebas wisata ke mana saja. Bebas melakukan apa saja. Bebas mutlak. Tidak bisa bebas seperti itu. Bebas mutlak adalah absurd. Bebas sebebas-bebasnya, seperti khayalan, adalah mustahil.

Kita perlu memahami makna bebas sejati.

Bebas adalah kita bisa menentukan pilihan dalam batas. Beberapa orang bisa keberatan bila ada batas. Bagaimana pun, memang, selalu ada batas. Misal Anda ingin bebas terbang tinggi tanpa batas. Apakah bisa? Tidak bisa. Anda bisa terbang bila saat ini terbatas misal berada di bumi. Jika tidak ada bumi, tidak ada alam raya, Anda tidak bisa terbang. Bebas memang membutuhkan batas.

Saya ingin bebas memilih kerja apa saja, sebebas-bebasnya, tanpa batas. Apakah bisa? Tidak bisa. Misal, Anda bebas memilih 1000 jenis pekerjaan yang tersedia. Tetap saja, pekerjaan itu akan membatasi Anda. Atau, Anda terbatas kepada hanya 1000 pekerjaan yang tersedia.

Saya ingin bebas berimajinasi sebebas-bebasnya. Apakah bisa? Tidak bisa. Karena imajinasi Anda terbatas oleh beberapa pengalaman Anda. Meski imajinasi bisa saja kreatif, tetapi, beberapa unsur penyusun dari imajinasi tetap terbatas oleh pengalaman atau terbatas oleh kemampuan imajinasi itu sendiri.

Demokrasi adalah bebas. Demokrasi menghormati kebebasan. Bagaimana pun, kebebasan demokrasi selalu bebas menerima batas. Dengan kesadaran ini, seluruh anggota masyarakat bisa saling mengajukan pendapat, saling berbagi informasi, dan saling memahami.

Lalu, apa batas-batas dari demokrasi? Salah satu tugas penting dari demokrasi adalah menentukan batas-batas itu. Meski ada batas, batas-batas itu mengantar kita untuk meraih kebaikan yang tak terbatas. Secara umum, semakin sedikit jumlah batas maka semakin bebas kehidupan demokrasi.

1.2 Bebas Berpikir

Setiap orang bebas berpikir apa saja. Kemudian, dia bebas mengungkapkan pemikiran dia yang bebas itu. Kebebasan berpikir adalah keunggulan utama seorang manusia. Manusia bisa berpikir mengarungi masa lalu, menjelajahi sejarah ribuan atau atau jutaan tahun yang lalu. Di saat yang sama, manusia bebas berpikir puluhan tahun ke depan atau ribuan tahun ke depan.

Kebebasan berpikir perlu terus kita pupuk agar makin tumbuh subur.

Setiap orang bebas berpikir, kemudian, bebas berbagi pemikiran demi kebaikan bersama. Pikiran satu orang disempurnakan oleh pikiran orang lain. Pikiran bebas saling berkompetisi untuk menghasilkan pemikiran terbaik. Orang-orang bebas untuk saling komunikasi berbagi informasi. Perkembangan teknologi, terutama media sosial, memudahkan setiap orang untuk saling berbagi.

Mengkritik penguasa, tentu saja, dibolehkan. Saling mengkritik di antara warga juga baik dalam suasana demokrasi. Kritik-kritik menjadi sumber perbaikan di sana-sini. Yang dilarang adalah menyebarkan fitnah dan berita bohong. Karena, fitnah memang tidak berguna. Fitnah merugikan kita semua bahkan bisa meruntuhkan demokrasi.

Untuk di Indonesia, semua pihak perlu hati-hati. Meski kebebasan berpikir dan berpendapat adalah dijamin konstitusi, di saat yang sama, ada aturan tentang pencemaran nama baik dan penodaan agama. Beberapa pemikiran bebas bisa saja melanggar pencemaran nama baik atau penodaan agama. Sehingga, ada resiko masuk tindakan kriminal. Kita perlu berpikir ulang tentang aturan-aturan tersebut. Secara umum, di Indonesia, kebebasan berpikir dan berpendapat terjamin dengan baik.

1.3 Bebas atau Baik atau Benar

Seberapa pentingkah kebebasan itu? Lebih penting mana dengan kebaikan atau kebenaran?

Idealnya, kita merangkul semua: bebas, baik, dan benar. Dalam situasi tertentu, ketiga penilaian di atas bisa saja saling bertentangan. Kita dipaksa untuk membuat urutan prioritas. Secara teoritis, benar pasti membebaskan, membebaskan itu pasti baik, dan kebaikan pasti benar. Karena, masing-masing pihak melakukan penilaian berdasar perspektif terbatas, maka, terjadi perselisihan di antara warga masyarakat. Berikut adalah urutan prioritas yang bisa menjadi pertimbangan.

Benar atau kebenaran adalah konsep paling penting. Hanya saja, klaim kebenaran ini bisa sangat beragam. Apa penentu kebenaran? Aturan sosial, kesepakatan, hukum agama, sains, moral, dan masih banyak lagi. Keragaman perspektif penentu kebenaran ini, memaksa kita untuk menempatkan kebaikan dan kebebasan sebagai kandidat lebih prior.

Kebaikan bersama. Kita tentu sepakat untuk mengutamakan kebaikan bersama. Lebih menarik lagi, umumnya, warga masyarakat bisa mencapai kesepakatan demi kebaikan bersama. Awalnya, misal, ada kebaikan A bersaing dengan kebaikan B. Setelah diskusi demokratis, akan tercapai kesepakatan antara A atau B atau alternatif kebaikan lainnya. Dengan demikian, kita bisa menempatkan kebaikan sebagai paling prioritas.

Tetapi, problem bisa muncul, ketika kebaikan A dan kebaikan B, ternyata menjadi keburukan bagi pihak lain, misal pihak C. Kita perlu hati-hati di sini. Kebaikan perlu menjamin kebaikan bersama secara luas. Kebaikan itu termasuk kebaikan kepada pihak lain, bahkan, kebaikan bagi generasi masa depan. Menariknya lagi, ketika perspektif kebaikan diperluas, dan kriteria kebaikan beragam, umumnya warga akan sepakat untuk mencapai kebaikan bersama.

Bagaimana jika klaim kebaikan itu disertai ancaman? Sehingga, ada pihak lemah yang terpaksa menerima kesepakatan yang diklaim baik, padahal buruk bagi pihak lemah. Diskusi tentang kebaikan perlu menjamin bahwa semua pihak bebas. Semua pihak memiliki kebebasan untuk menentukan sikap. Dengan demikian, kebebasan menjadi paling prioritas?

Kebebasan berpendapat menjamin setiap orang bisa memberi usul yang terbaik. Kebebasan membuka posibilitas, yang awalnya, tampak tidak jelas. Kebebasan mendorong tercapainya kebaikan dan kebenaran.

Resiko dari kebebasan adalah orang menjadi bebas untuk berbuat tidak benar dan tidak baik. Tentu saja, dalam masyarakat demokratis, resiko seperti itu bisa dicegah dalam banyak kasus. Ketika orang bebas akan berbuat tidak benar, maka, warga yang lain bisa mengingatkannya. Begitu juga, ketika orang akan berbuat tidak baik, maka, warga yang lain bisa mengingatkannya.

Lebih menarik lagi adalah kebebasan mudah untuk diklaim oleh setiap warga. Maksudnya, ketika seseorang merasa tidak bebas, maka, dengan mudah dia menuntut kebebasan dalam masyarakat demokratis.

Sampai di sini, rekomendasi prioritas kita adalah kebebasan, kebaikan, dan kebenaran. Lebih-lebih, secara pribadi. Pastikan diri Anda bebas. Kemudian, gunakan kebebasan Anda untuk kebaikan bersama. Dan, pastikan Anda berada di jalan yang benar.

Secara sosial politik, prioritas bisa dibalik. Menegakkan kebenaran dan keadilan adalah tugas utama bagi kita besama. Kita akan membahas tema keadilan di bagian selanjutnya.

2. Keadilan

Dalam kehidupan sosial, keadilan adalah paling utama. Adil lebih utama dari baik, bebas, atau benar. Secara pribadi, orang bisa saja mengutamakan kebaikan atau kebebasan atau kebenaran. Secara sosial, dan politik, keadilan menjadi dasar dari semuanya.

2.1 Hak Rakyat dan Semesta

Anda berhak mendapat keadilan. Orang kaya berhak mendapat keadilan. Orang miskin, sama juga, berhak memperoleh keadilan. Lebih luas, alam semesta berhak memperoleh keadilan.

“Adil adalah memberi hak sesuai hak.”

Mudah kita rumuskan adil itu. Tetapi, tidak mudah untuk sampai tataran praktis. Apa itu hak? Apa ukuran hak? Bagaimana cara menghitungnya?

Pertama, kita perlu memastikan semua pihak, khususnya setiap manusia, memiliki hak yang setara. Orang miskin dan orang kaya, sama-sama, berhak mendapat kebebasan. Pejabat dan orang awam, sama-sama, berhak dihargai sebagai manusia. Profesor dan wong cilik, sama-sama, berhak mengajukan pendapat.

Kedua, setiap manusia berhak untuk berbeda dengan manusia lainnya karena setiap manusia memang unik. Untuk menjaga tetap adil, perbedaan hanya diperbolehkan bila memberi manfaat lebih besar kepada pihak lemah. Sementara, pihak kuat sudah cukup kuat dengan situasi sekarang dan penambahan manfaat secukupnya saja.

Ketiga, sistem sosial perlu menjamin bahwa pihak lemah mampu bergerak dinamis untuk mencapai tingkat menengah atau yang lebih tinggi dalam rentang waktu tertentu. Jika target dinamika ini tidak tercapai, maka, perlu intervensi sosial untuk meperbaiki situasi.

Dengan tiga pandangan di atas, kita, sebagai anggota masyarakat, sadar bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk meraih cita-cita. Di saat yang sama, masing-masing warga perlu memperhatikan warga lain, terutama, pihak lemah. Kita perlu memastikan kemajuan pihak lemah, yang pada gilirannya, akan mendorong pertumbuhan pihak kuat juga.

2.2 Pihak Lemah

Kita perlu memberi perhatian lebih kepada pihak lemah untuk menjamin mereka mendapat keadilan secara memadai. Karena fokus ke pihak kuat bisa menjadi kamuflase yang berbahaya. Mengapa dia sah jadi presiden? Karena menang pemilu. Mengapa dia layak jadi menteri? Karena ditunjuk oleh presiden. Mengapa dia menjabat anggota dewan? Karena menang suara pemilu. Mengapa dia jadi kaya? Karena sukses bisnis. Mengapa rakyat miskin menjadi miskin? Mengapa dia jadi orang tersisih? Mengapa dia tidak diterima di universitas idaman? Mengapa dia tidak diterima di sekolah terbaik?

Dia bekerja jadi sopir puluhan tahun tetap miskin. Kerja 12 jam sehari, sampai 20 jam sehari, tetap miskin. Sudah kerja keras mengapa tetap miskin? Karena ada orang kaya yang tidak bekerja, justru, makin bertambah kaya. Apa hubungan antara mereka? Mengapa yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya?

Miskin Meski Kerja

Kita perlu menjawab pertanyaan mengapa sopir yang kerja 20 jam sehari tetap miskin. Tetapi, mengapa pejabat polisi yang tidur dengan perempuan bukan istri tiap hari tetap berlimpah materi.

Pertama, kita perlu apresiasi sang sopir. Dia sudah bekerja keras. Dia memberi penghidupan keluarga secara halal. Dia tetap kerja meski tetap miskin. Sopir yang seperti itu adalah penggerak roda ekonomi. Dan, masih banyak wong cilik lainnya yang menggerakkan roda ekonomi sejati.

Kedua, kita perlu mengutuk pejabat polisi pelanggan prostitusi. Kabarnya, saat ini, pejabat itu sedang ditahan untuk sidang kasus korupsi dan terutama kasus bisnis narkoba. Semoga dia mendapat balasan yang adil. Pejabat-pejabat lain juga perlu tobat, misal, pejabat pajak yang mencuri uang rakyat. Orang-orang kaya, pengusaha sampai artis ibu kota, sama saja seperti kita, perlu tobat semua.

Ketiga, kita perlu mencermati struktur tidak adil yang menyebabkan sopir tetap miskin. Kemudian, mencari cara mengubah struktur tersebut agar menjadi adil. Sopir itu tetap miskin karena, secara struktural, nafkah dia disedot oleh pihak kuat. Nafkah sopir disedot untuk prostitusi pejabat polisi, menambah kaya penguasa-pengusaha, dan membayar artis ibu kota. Untuk mengungkap struktur yang tidak adil itu kita perlu transparansi. Serta fokus bagaimana agar struktur memberi manfaat kepada pihak lemah. Tidak cukup hanya dengan kamuflase pembenaran mengapa pihak kuat boleh menyedot kekayaan sebesar-besarnya. Struktur yang tidak adil perlu dibenahi.

Belajar Meski Tidak Kuliah

Setiap tahun, lebih 500 ribu lulusan SMA tidak sanggup melanjutkan kuliah ke universitas idaman. Mengapa?

Kita bisa menjawab dengan argumen kamuflase yaitu karena 200 ribu lulusan SMA lainnya lebih berprestasi. Sehingga, siswa yang prestasinya lebih baik, maka, lebih berhak menduduki kursi kuliah di universitas. Tentu saja, argumen kamuflase tidak sah. Kita perlu fokus ke pihak lemah, yaitu, mereka yang tidak bisa kuliah meski sudah belajar giat setengah hidup.

Pertama, karena daya tampung universitas tidak memadai. Misal daya tampung universitas adalah 200 ribu kursi. Sementara, calon mahasiswa baru ada 700 ribu orang, maka, yang 500 ribu orang pasti ditolak. Mengapa tidak mencukupi? Karena anggaran untuk membangun universitas disedot, secara struktural, untuk kepentingan lain. Kita bisa memperbaiki situasi dengan memperbaiki struktur sosial sehingga daya tampung universitas memadai.

Kedua, mengapa 500 ribu orang calon mahasiswa yang itu, bukan yang lain, yang ditolak untuk kuliah? Karena sistem seleksi tidak ada tranparansi. Misal, kita ambil contoh jalur undangan prestasi. SMA 3 Bandung selalu mendapat porsi tinggi, siswanya, diterima di universitas bergengsi. Sementara, untuk bisa menjadi siswa SMA 3 harus memakai zonasi, tepatnya radiusi, berdasarkan KK yang asli atau pun yang dibeli. Di sisi lain, ribuan anak di pedesaan Jawa Barat atau pinggiran kota Bandung, tidak punya peluang diterima di SMA 3. Akhirnya, tidak bisa kuliah di perguruan tinggi. Kita perlu merombak sistem seleksi dengan mengutamakan transparansi.

Ketiga, bukan hanya perguruan tinggi tetapi kampus alam raya ini. Kuliah tidak hanya bisa di universitas. Anak-anak kita bisa kuliah di kampus-kampus alternatif misal padepokan, pesantren, universitas online, universitas terbuka dan lain-lain. Banyak orang ragu dengan standar kualitas lulusan mereka. Kita bisa membuat standarisasi sebagai jaminan kualitas, misal, mirip tes TOEFL. Hasil tes ini memberi nilai standar para sarjana. Hasil tes tidak perlu menyatakan calon sarjana sebagai lulus atau tidak lulus. Hasil tes hanya menampilkan nilai standar kesarjanaan. Selanjutnya, masyarakat yang akan memanfaatkan hasil penilaian itu sesuai kebutuhan mereka. Dengan cara ini, 700 ribu calon mahasiswa bisa meraih gelar sarjana.

Karya Meski Tua

Orang-orang yang berusia tua memang orang yang lemah, khususnya, secara fisik. Kita perlu membela orang-orang yang lanjut usia. Kita, bila beruntung, akan menjadi tua juga. Sehingga, kita harus serius memberi perhatian kepada orang tua.

Di usia tua, setiap orang tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan fisik. Fokos kerja perlu bergeser kepada karya. Selanjutnya, menuju maha karya. Orang tua, terbukti sudah lebih lama menjalani hidup. Orang muda tidak bisa membeli waktu yang sudah dialami orang lanjut usia. Pengalaman menjalani hidup ini perlu menjadi hikmah bagi seluruh masyarakat luas. Kita akan membahas tema ini di tempat tersendiri.

Poin penting kita, sampai di sini, adalah perlu fokus kepada pihak lemah. Kemudian, mencari cara agar pihak lemah menjadi dinamis bergerak menuju lebih baik. Tidak cukup hanya fokus kepada argumen bahwa pihak kuat berhak atas klaim kemenangan mereka. Pihak kuat sering diuntungkan oleh struktur yang tidak adil. Pihak lemah sering dirugikan. Kita perlu berjuang menciptakan struktur yang adil. Atau, setidaknya, kita menolak struktur yang tidak adil.

2.3 Transparansi

Syarat dasar untuk bisa mewujudkan keadilan adalah transparansi, keterbukaan, dan kejelasan. Dengan transparansi, semua pihak, baik pihak yang kuat mau pun pihak lemah, bisa melihat data dengan baik. Kemudian, mereka bisa mengusulkan, atau menuntut, keadilan. Tentu, akan terjadi banyak pro dan kontra. Berikutnya, perlu terjadi dialog yang demokratis.

Mengapa terjadi korupsi? Karena tidak ada transparansi. Mengapa pejabat tidak dipercaya oleh rakyat? Karena tidak transparan. Mengapa harga-harga menjadi mahal? Karena tengkulak tidak transparan.

Akhir-akhir ini, kita mendengar dugaan korupsi melibatkan pejabat pajak. Bahkan, dugaan korupsi melibatkan lebih banyak penjabat di kemenkeu. Menko sempat menyoroti adanya transaksi 300 T rupiah yang mencurigakan. Pejabat pajak melakukan korupsi karena yakin, di negeri ini, tidak ada transparansi. Pejabat menerima uang pajak, kemudian, masuk kantong sendiri. Karena tidak ada transparansi, mereka bisa melakukan korupsi. Pada akhirnya, korupsi merugikan seluruh negeri. Para pelaku perlu dihukum dengan hukuman berat sekali.

Rakyat tidak percaya kepada pejabat yang tidak transparan. Pejabat mengaku membela wong cilik tetapi gaya hidup mereka, dan keluarga mereka, mewah super kaya raya. Berapa biaya hidup seorang pejabat yang mewah begitu? Dari mana para pejabat memperoleh uang untuk hidup mewah? Mengapa pejabat kampanye untuk hidup sederhana, tetapi, mereka bermegah-megahan? Tanpa transparansi, pejabat tidak layak dipercaya oleh rakyat.

Rakyat menderita karena harga-harga barang kebutuhan sehari-hari mahal, membubung tinggi. Ambil contoh harga daging ayam per kilogram. Rakyat harus membeli dengan harga lebih dari 40 ribu rupiah. Sementara, peternak ayam menjual ke tengkulak hanya 10 ribu sampai 20 ribu rupiah. Bagaimana harga yang murah dari peternak bisa menjadi mahal ke pembeli? Karena ada pihak di tengah, yaitu, tengkulak yang tidak transparan. Mereka, tengkulak, memainkan harga suka-suka. Tengkulak menekan harga serendah-rendahnya terhadap peternak. Sementara, tengkulak menjual harga setinggi-tingginya ke rakyat.

Transparansi adalah solusi paling mendasar. Dengan transparansi, pejabat pajak tidak bisa korupsi. Karena, setiap perilaku korupsi tercatat dan mudah diamati banyak pihak. Di sisi lain, pejabat yang transparan menggunakan dana dan jabatan secara bijak, dia mendapat hormat dari seluruh rakyat. Tengkulak bisa menetapkan harga yang tepat dengan transparan. Menguntungkan bagi peternak, menguntungkan bagi rakyat, dan, akhirnya, menguntungkan juga bagi tengkulak.

Semudah itu kah, transparansi menjadi solusi? Tentu saja, masih banyak tantangan. Batas-batas transparansi akan tetap memunculkan ambiguitas. Aspek keamanan perlu mendapat jaminan. Sehingga, masyarakat perlu mendiskusikan sistem transparansi secara dinamis dan demokratis. Perkembangan teknologi digital, semisal AI, menjadi sebuah harapan.

3. Sistem Pakar

Pada awal perkembangannya, AI berupa sistem pakar, SP, expert system. Saat ini, tahun 2023, kita jarang mendengar SP. Saya kembali membahas SP karena masing-masing dari manusia berpotensi untuk menjadi pakar. Karena itu, masyarakat berpotensi menjadi sistem pakar dalam pengertian yang baru.

3.1 Respek

Masing-masing orang di antara kita memiliki bakat yang beragam dan berbeda-beda. Sehingga, wajar bagi kita, untuk saling respek. Beberapa orang mengembangkan keahlian sampai tingkat tinggi, sering disebut, sebagai pakar. Tentu saja, kita menghargai pakar di bidangnya lebih tinggi dari orang awam yang bukan pakar untuk bidang tersebut.

Kita sudah membahas di bagian sebelumnya bahwa pakar bisa tersebar ke berbagai bidang. Secara ringkas, setiap manusia berhak untuk menjadi pakar di bidang pilihannya. Pakar bisa saja ditentukan oleh tingkat pendidikan, oleh pengalaman, oleh keahlian, oleh karya nyata, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita perlu respek kepada setiap orang karena setiap orang adalah pakar. Atau, setiap orang berpotensi menjadi pakar.

Di sisi lain, pakar tampak menjadi paradoks bagi demokrasi. Karena demokrasi memandang setiap orang adalah sama, yaitu, satu orang satu suara. Sementara itu, sistem pakar memandang setiap orang adalah sebagai pakar yang unik. Kita akan mencoba mencari titik temu paradoks pakar demokrasi ini.

3.2 Paradoks Interpretasi

Para pakar umumnya sepakat dalam banyak hal. Tetapi, dalam hal-hal tertentu yang fundamental, para pakar bisa berbeda interpretasi. Akibatnya, orang awam di bidang tersebut, juga ikut beragam interpretasi. Kadang, di antara beragam interpretasi bisa saling melengkapi. Pada situasi lain, perbedaan interpretasi berujung paradoks atau kontradiksi.

Paradoks interpretasi pasti terjadi karena, pada dasarnya, interpretasi adalah bebas. Masing-masing orang bebas memaknai segala sesuatu. Bahkan, masing-masing orang bebas memilih obyek tertentu saja, dan bukan obyek lain, yang akan dimaknai. Akibatnya, terdapat beragam makna. Terdapat beragam interpretasi.

Keragaman interpretasi menuntut kita bersikap bijak, misalnya, saling respek. Memaksa agar semua pihak membuat interpretasi yang seragam adalah tugas mustahil. Karena manusia bukan robot. Manusia bukan AI. Dan, manusia bukan ChatGPT. Manusia bukan produk standar.

Penyebab paradoks interpretasi adalah sebagai berikut. Saya sudah sering membahas di beberapa tempat. Di sini, kita bahas ringkas saja.

Pertama, meta-teori. Ada dua jenis paradok meta-teori: fondasi dan konsekuensi. Setiap teori membutuhkan fondasi. Di mana, fondasi itu butuh fondasi lagi tanpa henti. Atau, kita bisa berhenti kepada suatu fondasi tanpa fondasi. Fondasi akhir ini, tanpa perlu fondasi lagi, bisa saja berupa aksioma, dewa, Tuhan, keyakinan, tradisi, kitab suci, atau lainnya. Paradoks terjadi karena masing-masing orang bisa berbeda dalam memilih fondasi akhir.

Paradoks konsekuensi terjadi ketika suatu teori akan menghasilkan konsekuensi. Selanjutnya, konsekuensi itu akan menghasilkan koksekuensi lagi. Sampai pada akhirnya, ada konsekuensi paradoks yaitu G dan (-G). Tidak ada aturan bagaimana kita bisa menentukan yang benar apakah G atau negasi G, yaitu, (-G).

Kedua, paradoks meta-perspektif. Terdapat dua paradoks meta-perspektif: beda perspektif dan ganti perspektif. Beda perspektif pasti terjadi karena tidak ada subyek yang sama persis dalam posisi dan waktu. Sehingga, setiap perspektif pasti tidak lengkap. Dan, setiap orang selalu menerapkan perspektif. Tidak ada pandangan tanpa perspektif. Dua perspektif berbeda bisa saja digabungkan saling melengkapi. Tetapi, penggabungan itu sendiri membutuhkan perspektif baru. Jadi, selalu ada paradoks beda perspektif.

Sementara, paradoks ganti perspektif terjadi karena pihak tertentu mengganti total perspektif atau obyek kajian. Mengapa kita mengkaji dari perspektif politik? Gunakan perspektif agama maka beres. Atau, gunakan perspektif ilmiah dan lain-lain. Ganti perspektif bisa terjadi dengan cara mengganti obyeknya. Kita tidak perlu mengkaji masalah edukasi, misalnya. Kita hanya perlu mengkaji masalah ekonomi. Akhirnya, selalu ada paradoks interpretasi.

Ketiga, secara spontan, beberapa orang bisa memunculkan interpretasi yang saling bertentangan sehingga paradoks. Maksudnya, tanpa mempertimbangkan meta-teori dan meta-perspektif, seseorang bisa memunculkan paradoks begitu saja. Tentu saja, seorang pakar akan terbuka terhadap keragaman teori dan perspektif. Sehingga, paradoks yang terjadi di antara para pakar adalah paradoks yang sudah dikaji dengan baik.

Dengan mempertimbangkan tiga faktor penyebab paradoks di atas, maka, kita perlu menerima paradoks dengan bijak. Kabar baiknya, kita bisa mengurai seluruh teori dan perspektif yang menyebabkan paradoks. Dengan pemahaman yang luas ini, kita berharap akan menemukan solusi terbaik diwarnai sikap saling respek.

Perkembangan AI, artificial intelligence, yang makin canggih memudahkan kita mengurai setiap teori dan perspektif. Lebih dari itu, AI mampu berpikir dengan lebih cepat. Sehingga, kita bisa membuat simulasi bila diperlukan. Kita akan membahas demokrasi dengan memanfaat bantuan AI di bagian berikutnya. Bagaimana pun AI adalah teknologi. AI bukan pengganti manusia. AI membantu manusia.

3.3 Sistem AI

AI, artificial intelligence, makin berkembang lebih cerdas. AI mulai mampu “berpikir” layaknya manusia. Dengan banyak berlatih dan penyempurnaan, AI mampu meraih kualitas seorang pakar. Sebut saja, AI seperti itu sebagai sistem-pakar (SP).

SP ini belajar dari semua data yang ada di internet, data digital rahasia, dan dari para pakar (manusia). Seperti seorang pakar, SP juga mengusai kepakaran secara spesifik. Ada SP bidang seni, SP bidang bisnis, SP bidang hukum, SP bidang politik, dan lain-lain. Menariknya, di antara para SP itu sendiri bisa terjadi paradoks interpretasi. Karena itu, para SP bisa membentuk asosiasi, kita sebut sebagai asosiasi pakar, yang melakukan dialog antara SP.

Asosiasi pakar ini menjadi harapan untuk menjadi hakim terakhir terhadap beragam paradoks.

(a) Mengurai teori dan perspektif. Dalam demokrasi, berbeda pendapat adalah wajar. Situasi tertentu mengantar kita pada paradoks. Tentu saja, voting dengan suara terbanyak bisa menjadi solusi. Sebelum voting, kadang kita perlu memahami dulu apakah paradoks bisa diselesaikan dengan konsensus. Jika dengan pemahaman yang lebih mendalam, akhirnya, tercapai konsensus maka hal tersebut baik bagi demokrasi. Jika dengan pemahaman yang mendalam tetap ada paradoks, maka, voting adalah solusi yang wajar.

Kita bisa menugaskan AI untuk menguraikan seluruh teori dan perspektif yang mendasari suatu paradoks. AI menampilkan beragam data yang tersedia. Kita bisa challenge AI untuk membuat simulasi. Kita meminta AI untuk mengurai beragam asumsi yang mungkin masih tersembunyi. Setelah itu, kita bisa melanjutkan untuk mencapai konsensus atau voting.

(b) Jaminan moral manusia. Kita perlu tetap ingat bahwa tanggung jawab akhir ada pada manusia. AI hanya membantu kita dengan data dan analisisnya. Barangkali, lengkap dengan rekomendasi akhir. Kemudian, kita, sebagai manusia, yang mengambil keputusan dan bertanggung jawab secara moral.

Alternatifnya, kita bisa memberi sejumlah opsi kepada AI, di mana, masing-masing opsi sudah dipastikan bernilai moral yang baik oleh manusia. AI membanding-bandingkan sejumlah opsi tersebut dari beragam teori dan perspektif, kemudian, memberikan penilaian dan rekomendasi akhir.

(c) Hakim ringan dan terakhir. Kita bisa memberi tugas kepada AI sebagai hakim ringan dan hakim terakhir, hakim terberat. Sebagai hakim ringan, kita sudah sering menerapkan misal untuk VAR. Untuk menentukan apakah bola sudah keluar lapangan atau belum, kita bisa memanfaatkan AI sebagai VAR. Tugas ini ringan, karena hasil akhir apa pun adalah “sekedar” permainan olah raga. Dan, tugas ini harus dilakukan. Baik dengan AI atau tanpa AI, hakim harus memutuskannya. Hakim ringan ini barangkali bisa diperluas untuk bidang-bidang lain, misal, menentukan apakah sebuah kendaraan melanggar aturan lalu lintas atau tidak.

Hakim terakhir adalah tugas AI yang sangat berat. Umat manusia sudah diskusi panjang lebar. Dan, akhirnya, masih tersedia dua pilihan penting antara P atau Q. Harus dipilih salah satunya saja. Mengapa tidak voting saja? Tentu, voting bisa dilakukan dengan mudah. Suara terbanyak adalah pemenangnya. Perlu kita catat di sini, pilihan P dan Q adalah sama-sama baik secara moral meski berbeda dalam beberapa aspek.

Tetapi, dalam kasus ini, masyarakat sadar bahwa hasil voting bisa bias terhadap kepentingan tertentu. Asumsikan, pendukung P tahu bahwa bila voting maka akan menang P. Demikian juga, pendukung Q tahu bahwa mereka mungkin akan kalah dalam voting. Lebih dari itu, pendukung P khawatir bahwa, barangkali, dirinya mendukung P karena ada bias kepentingan. Bisa jadi, sejatinya, Q lebih baik untuk kebaikan bersama.

AI mendapat tugas berat menjadi hakim terakhir untuk memilih P dan Q. Semua data yang diperlukan sudah disediakan dan dianalisis lanjut oleh AI. Jika AI memutuskan P sebagai pemenang maka hal tesebut sesuai dugaan awal dan memperkuat dugaan awal. Tetapi, jika AI memutuskan Q sebagai pemenang maka hal tersebut diterima dan dimanfaatkan sebagai umpan balik bagi masyarakat untuk refleksi beberapa bias kepentingan yang tidak disadari. Karena P mau pun Q sudah dipertanggungjawabkan secara moral, maka, apa pun keputusan AI bisa diterima dengan lapang dada.

Tampaknya, sampai pembahasan kita di sini, tidak ada masalah berat bagi demokrasi. Dengan bantuan AI, semua masalah demokrasi bisa diatasi. Benarkah begitu? Tidak benar. Masalah demokrasi, dan politik, tetap rumit sampai kapan pun. Pembahasan kita di atas tampak mudah karena diasumsikan setiap orang berniat baik. Pada dasarnya, setiap orang memang memiliki karakter baik. Dengan demikian, setiap orang bisa menjadi pakar demokrasi dibantu dengan AI. Hanya saja, pada situasi tertentu, kadang, orang berbuat salah baik sengaja atau tidak. Bahkan, kadang, orang memang berniat jahat dengan menunggangi demokrasi mau pun politik. Jadi, pembahasan kita masih cukup panjang untuk dilanjutkan ke tema politik.

4. Politik

Politik adalah cara merebut kekuasaan. Cara tersebut bisa melalui cara demokratis, kudeta, kekerasan, tipuan, atau lainnya. Kita bisa menambahkan bahwa politik adalah cara memanfaatkan kekuasaan untuk kebaikan bersama. Meski, kita bisa menambahkan terus aspek positif dari politik, tetap saja, kesan negatif dari politik terlanjur melekat dengan kuat. Bagian ini akan membahas politik terutama dari aspek positif dan disandingkan dengan demokrasi.

4.1 Komunikasi Interpersonal

Secara politis, keahlian komunikasi interpresonal adalah paling utama. Yaitu kemampuan kita berkomunikasi ke orang lain secara personal. Dengan kemampuan komunikasi, kita bisa meminta orang lain untuk mendukung sikap politik kita.

Berikut ini beberapa tips komunikasi interpersonal yang bisa Anda manfaatkan untuk sukses politik. Asumsikan Anda dan teman Anda memiliki niat baik untuk memberi kebaikan politik. Sementara, jika salah satu Anda atau teman Anda memiliki niat jahat, maka, perlu tips komunikasi yang lain. Secara umum, tips berikut ini bermanfaat besar untuk Anda.

(a) Kuasai bahasa. Sudah jelas kemampuan berbahasa adalah penting. Lebih-lebih dalam dunia politik, peran bahasa menjadi sangat penting. Kita perlu memahami bahasa lokal, bahasa Indonesia dan bahasa daerah tertentu, ditambah bahasa internasional. Saat ini, bahasa Inggris dipandang sebagai bahasa internasional. Karena Indonesia mayoritas penduduk beragama Islam, maka, bahasa Arab menjadi nilai tambah khusus. Untuk wilayah Asia, bahasa Mandarin dan Jepang patut dipertimbangkan.

Kita diuntungkan, saat ini, tersedia penerjemah online yang mudah sederhana. Bagaimana pun, menguasai bahasa secara langsung akan meraih lebih banyak untung. Barangkali, politikus tertentu justru mengembangkan bahasa isyarat.

(b) Denotasi dan konotasi. Memahami bahasa secara formal sesuai makna denotasi adalah cukup mudah. Bila ada salah paham, maka, kita bisa klarifikasi untuk koreksi. Tetapi, makna bahasa justru sering dipahami sebagai konotasi. Bukan hanya yang tersurat, lebih penting yang tersirat.

“Apa yang Anda inginkan?”

Pertanyaan di atas bila ditanyakan secara datar, denotasi, adalah pertanyaan wajar. Bila diiringi nada tegas, maka, berubah menjadi semacam ancaman. Bila dengan nada lembut, maka, menjadi sebuah tawaran manis. Jadi, kita perlu memperhatikan makna konotasi dengan teliti. Baik ketika kita berbicara, maupun, ketika mendengarkan.

(c) Konteks. Sejatinya, semua bahasa hanya bisa dipahami sesuai konteks. Sesuai aturan main atau language game. Contoh di atas “Apa yang Anda inginkan?” akan menjadi jelas bila ada konteks. Dalam percakapan langsung, tatap muka, konteks lebih mudah dipahami. Sementara, dalam percakapan tertulis, misal chatting, konteks bisa menjadi kabur sewaktu-waktu.

Kita perlu memastikan bahwa kita memahami konteks yang tepat, baik, ketika berbicara atau mendengarkan. Lebih serius lagi, bila potongan suatu pernyataan ditempatkan pada konteks berbeda, bisa memberi makna berkebalikan. Kasus pencemaran nama baik, dan penistaan agama, sering terjadi dalam situasi seperti ini. Kita perlu hati-hati.

(d) Latar. Melangkah lebih jauh, latar atau background menentukan makna dari suatu bahasa. Latar yang tepat akan menyampaikan pesan Anda dengan cepat. Latar yang tidak tepat, tampaknya, sulit sekali untuk dikompensasi.

Kesepakatan politik sering terjadi di lapangan tenis yang santai. Kemudian, dibuat formalitas di kantor. Lapangan tenis menjadi latar yang tepat untuk menyampaikan usulan kerja sama yang menjanjikan keuntungan besar. Kadang kesepakatan dibuat dengan latar hiburan malam, yang, memperjelas makna kesepakatan bersangkutan.

Jika Anda seorang laki-laki yang ingin melamar pujaan hati, maka, bisa Anda coba dengan latar yang tepat. Ajak pujaan hati ke tanah suci. Lalu, sampaikan lamaran suci itu di tanah suci. Lamaran Anda menjadi mudah dipahami dengan latar tanah suci.

(e) Interpretasi. Pada akhirnya, semua bahasa ditentukan oleh interpretasi. Semua pembahasan kita, di atas, adalah bertujuan untuk mengantarkan interpretasi agar sesuai. Tetapi, kita tahu, selalu bisa terjadi paradoks interpretasi. Orang selalu bisa untuk salah paham. Termasuk, diri kita selalu bisa salah paham terhadap orang lain. Interpretasi adalah bebas.

Solusi yang bisa kita lakukan adalah dengan mencermati feedback. Lakukan klarifikasi, bila memungkinkan, untuk menjamin interpretasi sudah sesuai. Klarifikasi ini bisa dua arah, yaitu, ketika berbicara atau mendengarkan. Ketika bicara, Anda bisa menanyakan, “Apakah Anda sudah memahami maksud saya?” Ketika Anda mendengarkan, Anda bisa bertanya, “Apakah maksudnya begini?”

(f) Pahami mereka. Masalah prioritas ini penting. Secara umum, berusahalah untuk memahami mereka lebih dulu. Hal ini akan memudahkan Anda dalam komunikasi. Sekaligus tugas ini, berusaha memahami mereka, adalah tugas paling berat.

Untuk bisa memahami mereka, kita perlu mendengarkan mereka dengan baik, mendengarkan dengan konsentrasi, simpati, dan empati. Proses mendengarkan ini menuntut kesabaran kita. Karena, kadang, kita merasa sudah punya solusi tanpa harus mendengarkan mereka. Yang diperlukan hanya mereka harus mendengarkan Anda. Bila hal ini terjadi, maka, telah terjadi gagal komunikasi.

Jadi, kita memang harus sabar untuk memahami mereka. Kita memahami tujuan mereka, kekhawatiran mereka, dan harapan mereka. Dengan pemahaman yang baik, sudah diklarifikasi, kita melanjutkan komunikasi untuk membuat mereka agar paham maksud kita.

(g) Pahamkan mereka. Memastikan mereka memahami kita adalah tugas yang lebih ringan bila tahap awal sudah dikerjakan dengan baik, yaitu, berusaha memahami mereka. Ketika mereka tahu bahwa Anda sudah memahami mereka, maka, mereka akan terbuka terhadap ide-ide Anda. Akhirnya, mereka memahami Anda. Pada situasi saling memahami ini, kita bisa melangkah untuk membuat keputusan demi kebaikan bersama.

Urutan di atas sulit untuk dibalik. Menuntut orang lain, mereka, untuk memahami Anda dulu adalah sulit. Karena, mereka bisa mengajukan tuntutan yang sama. Mereka menuntut Anda untuk memahami mereka lebih dulu. Bisa terjadi jalan buntu dalam komunikasi seperti itu. Tentu, situasi bisa saja, mereka mempersilakan Anda untuk menyampaikan ide lebih awal agar mereka bisa memahami Anda. Kemudian, Anda mempersilakan mereka menyampaikan ide-idenya agar Anda memahami mereka. Situasi terakhir ini baik-baik saja.

(h) Konsensus. Langkah terakhir adalah membuat komitmen bersama, misal, berupa konsensus. Kesepakatan ini perlu menjamin kebaikan bersama. Mereka memperoleh kebaikan dan kita juga memperoleh kebaikan.

(i) Minta pengorbanan. Dalam situasi tertentu, kebaikan bersama atau keuntungan bersama tidak bisa diraih. Satu pihak tertentu, Anda atau mereka, kadang harus berkorban demi kebaikan yang lain. Pengorbanan ini, dalam batas-batas tertentu, dengan saling pengertian, adalah baik-baik saja. Pada satu kesempatan, Anda berkorban untuk mereka. Pada kesempatan lain, mereka berkorban untuk Anda. Kerja sama saling menolong bisa diterima oleh banyak pihak.

(j) Dissensus. Terbuka peluang untuk tidak ada kesepakatan. Atau, sepakat untuk tidak sepakat. Pada situasi saling independent, mungkin saja, terjadi dissensus. Gubernur Jabar, misal, tidak sepakat dengan gubernur Jatim. Terjadi dissensus. Mereka saling respek ke pihak lain. Karena Jabar dan Jatim saling independent, maka, mereka bisa dissensus.

(k) Giliran. Kadang tidak mungkin terjadi dissensus dan, di saat yang sama, tidak ada konsensus. Siapa yang harus jadi dirut perusahaan ini? Harus ada satu orang sebagai dirut. Barangkali, solusi giliran bisa menjadi pilihan. Bisa saja, 2 tahun pertama Pak Adi jadi dirut dan 2 tahun berikutnya giliran Pak Budi yang menjadi dirut. Dengan sikap saling memahami, beberapa solusi alternatif bisa kita kembangkan.

Dengan 11 tips, di atas, Anda selalu bisa mempengaruhi orang lain. Beberapa orang akan mudah Anda pengaruhi untuk mengikuti arahan Anda. Beberapa orang, yang lain, akan lebih susah dipengaruhi. Tetapi, jika kedua pihak, Anda dan mereka, sama-sama tulus, maka, selalu ada jalan keluar dengan tips di atas. Bila salah satu pihak ada yang curang, misal sengaja berniat menipu, maka akan terjadi kejanggalan di beberapa proses. Menjadi tulus memang tidak selalu mudah. Di sisi lain, menjadi curang, sama saja, tidak mudah. Hanya saja, beragam rintangan yang Anda hadapi ketika memperjuangkan cita-cita yang tulus, justru, menambah makna semua perjalanan.

4.2 Komunikasi Massa Digital

Era digital membuka kesempatan komunikasi massa yang cepat dan efisien. Sehingga, pihak-pihak yang menguasai media digital berpotensi besar memenangkan kompetisi politik.

(a) Komunikasi viral. Saya pernah membuat konten video durasi 2 menit yang viral. Hanya dalam waktu semalam, video sudah ditonton hampir 1 juta views. Sistem digital mampu menjadikan konten viral dengan super cepat. Teknologi masa lalu akan membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk bisa 1 juta tayangan. Lebih dari itu, kita membutuhkan biaya mahal untuk melakukannya. Sementara, saya tidak perlu modal uang sepeser pun untuk membuat viral. Bahkan, saya mendapat dolar karena video viral ada muatan iklan.

Komunikasi viral adalah kesempatan untuk menyampaikan pesan Anda dengan cepat. Sayangnya, konten viral, umumnya, adalah konten ringan, guyon, receh, atau bahkan negatif. Contoh konten video viral saya, di atas, memang positif yaitu tentang sains dan probabilitas. Tetapi, saya sendiri sulit untuk mengulangi konten viral tersebut. Meski sulit untuk viral, kita tetap bisa melakukannya.

Kita perlu melakukan riset yang efektif untuk menciptakan komunikasi viral dengan konten positif. Hanya melarang pihak lain membuat konten negatif adalah kurang tepat. Kita perlu menyediakan alternatif berupa konten positif yang membuka wawasan masyarakat, menginspirasi berbuat kebaikan, dan mendorong untuk meraih cita-cita luhur.

(b) Framing terhadap framing. Teknologi adalah framing. Media digital adalah framing. Pencitraan. Media digital membingkai suatu informasi agar muncul citra tertentu sesuai harapan. Memang demikianlah adanya.

Masalah bukan ada pada framing itu sendiri. Masalah justru pada tujuan framing dan realitas framing. Tujuan framing adalah menciptakan informasi agar bernilai kebaikan dengan proses yang bernilai kebaikan juga. Sehingga, kebaikan menjadi realitas yang ada. Kebaikan menjadi berlimpah dalam ukuran yang tepat.

Jadi, tugas kita adalah membuat framing, atau pencitraan, demi kebaikan dengan proses yang berupa kebaikan itu sendiri. Untuk itu, kita perlu mengembangkan strategi, taktik, sumber daya, dan teknologi yang tepat.

(c) Kompensasi informasi terbuka. Problem muncul akibat dari ulah manusia sendiri bukan dari teknologi. Manusia cenderung lebih suka konten negatif dari konten positif. Konsekuensinya, konten viral akan lebih mudah bagi konten negatif dari konten positif.

Saya terpikirkan agar masyarakat membuat aturan kompensasi keterbukaan informasi bagi konten viral. Setiap kreator wajib membuat konten tandingan yang merupakan konten kontra terhadap konten viral karyanya. Konten menjadi viral karena konten tersebut mengeksploitasi satu perspektif tertentu yang sempit. Umumnya, memang begitu. Sebaliknya, konten dengan perspektif luas sulit menjadi viral. Setelah viral, misal dalam 1 sampai 3 hari kemudian, kreator bertanggung jawab membuat konten tandingan dengan perspektif yang kontra.

Sejatinya, kode etik jurnalistik sudah mengatur agar liputan berimbang dari perspektif pro dan kontra. Tetapi, konten kreator bukanlah seorang jurnalis. Bahkan, mungkin saja, kreator itu tidak sengaja konten menjadi viral. Karena itu, kreator bisa membuat kompensasi. Dengan demikian, masyarakat bisa menikmati konten viral, untuk kemudian, melengkapi dengan perspektif yang lebih luas dari kreator yang sama. Saya kira ide konten kompensasi ini bisa dikembangkan dengan kajian lebih lanjut.

4.3 Struktur Kekuasaan

Pada akhirnya, semua kekuatan politik bermuara kepada struktur kekuasaan formal dan non-formal. Struktur kekuasaan dan relasi kuasa menjadi sangat menentukan apakah keadilan akan tegak atau terseok-seok.

Melihat begitu pentingnya struktur kekuasaan, maka, apakah setiap orang harus terjun ke dunia politik? Apakah semua orang yang baik harus berpolitik praktis? Atau, harus ada beberapa orang yang terbebas, menjaga jarak, dari politik?

(a) Politik perlu orang baik. Beberapa tahun lalu, saya membaca di media nasional, ajakan dari seorang tokoh politik agar orang-orang baik terjun masuk ke politik Indonesia. Politik kita, saat ini, banyak diwarnai korupsi sana-sini. Orang-orang baik perlu masuk politik agar kebaikan mewarnai politik. Sebaliknya, jika orang-orang baik tidak mau masuk politik, maka, politik akan tetap diisi beberapa orang jahat.

Apakah benar, orang-orang baik bisa mewarnai politik? Awalnya, saya setuju. Akhirnya, saya ragu-ragu. Tampaknya, masuk akal bahwa orang baik akan memberi warna kebaikan ke dunia politik. Beberapa tahun kemudian, terbukti, tidak ada perbaikan signifikan di dunia politik. Dugaan beredar, justru, orang-orang baik yang masuk politik ikut terjerat korupsi.

(b) Politik merusak orang baik. Sering terjadi. Orang-orang yang awalnya baik, justru, mengalami kesulitan di dunia politik. Manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan. Politik menyediakan sarana, bagi manusia, untuk mengungkapkan kebebasan itu. Maksudnya, politik bisa membuat aturan sesuatu, yang awalnya samar-samar menjadi jelas, dengan bebas. Misalnya, gunung emas yang ada di dasar laut tidak jelas milik siapa pada awalnya. Selanjutnya, politik bisa menetapkan bahwa gunung emas itu miliki negara, atau milik rakyat, atau miliki perusahaan tertentu. Semua bebas, terutama, berkenaan hal-hal yang samar-samar. Bahkan, sesuatu yang sudah jelas pun bisa diubah oleh politik. Di negara tertentu, masa jabatan presiden dibatasi dua periode. Dengan kekuatan politik, pembatasan masa jabatan presiden bisa dihapuskan. Sehingga, presiden bisa menjabat seumur hidupnya.

Karena menjadi rahasia umum bahwa banyak kejahatan di dunia politik, maka, orang-orang baik yang masuk politik beresiko terseret menjadi jahat. Lebih sulit lagi, perubahan dari orang baik menjadi orang jahat itu terjadi secara lembut. Sehingga, orang bersangkutan tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi jahat. Sementara, orang-orang disekitarnya, terus-menerus menyampaikan puja-puji setinggi langit selama dia duduk di kursi jabatan. Dia makin terlena dalam kejahatan dirinya. Semoga segera sadar dan tobat.

Saran terbaik: jangan berpolitik! Lalu, bagaimana nasib dunia politik?

(c) Jangan berpolitik. Sederhana. Jangan masuk politik praktis. Jika Anda bisa tidak berpolitik, maka, sebaiknya tetap tidak berpolitik. Jika Anda terlanjur masuk dunia politik, maka, Anda bertanggung jawab menjadikan dunia politik agar lebih baik. Tugas yang sangat berat. Tetapi, pahalanya juga sangat besar, baik di dunia mau pun akhirat.

Jika orang baik tidak masuk politik, bukankah politik menjadi dipenuhi oleh orang jahat? Bukankah itu berbahaya bagi kehidupan bersama?

(d) Politik ketua kelas. Ilustrasi terbaik untuk dunia politik adalah pemilihan ketua kelas. Ketua kelas, di SMA-SMP-SD, tidak mendapat gaji. Ketua kelas juga tidak mendapat fasilitas jabatan apa pun. Mereka bersedia menjadi ketua kelas dengan ikhlas. Beberapa, ikhlas karena terpaksa.

Jabatan politik, dan urusan politik secara umum, seharusnya adalah mirip ketua kelas. Semua orang menolak dipilih jadi ketua kelas. Semua orang menolak dipilih sebagai pejabat politik. Tetapi, harus ada ketua kelas. Terpaksa, di antara orang-orang baik, harus ada yang ikhlas menjadi pejabat politik. Orang baik tersebut adalah manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Manusia selesai, manusia sempurna, adalah M(S).

(e) Manusia yang sudah selesai. M(S) adalah manusia yang selesai dengan kepentingannya sendiri. Dia tidak ingin kaya, tidak ingin kuasa, tidak ingin pujian, dan tidak ingin beragam fasilitas kenikmatan. M(S) hanya ingin menebarkan kebaikan melalui dunia politik.

Jika Anda seorang M(S), maka, barangkali ada baiknya Anda terjun ke politik. Jika Anda bukan M(S), sebaiknya, menjaga jarak dengan politik praktis. Bahkan, ketika Anda adalah M(S), akan lebih baik Anda menghindar dari dunia politik praktis. Masih ada M(S) lain. Ijinkan mereka terjun ke politik praktis.

Mari berandai-andai: jika seluruh politikus adalah orang suci, maka, apakah tidak ada lagi kejahatan politik? Jika seluruh politikus adalah M(S), manusia sempurna yang selesai dengan dirinya, maka apakah tidak ada lagi kejahatan politik? Tidak ada lagi masalah politik?

Benar, kejahatan politik bisa musnah. Tetapi, masalah politik masih tetap ada. Dosa politik masih ada. Dan, kesalahan politik masih ada di sana-sini.

Kesalahan politik tetap ada karena politikus yang bersih tetap bisa berbuat salah, sengaja atau tidak. Akibatnya, dosa politik tetap bisa menumpuk dan mengakibatkan masalah politik yang sulit. Tetapi, tidak ada kejahatan politik. Ketika, kesalahan politik mulai tampak jelas, maka, para politikus bersih itu sadar dan kemudian melakukan koreksi. Realitasnya, yang sering terjadi, ada beberapa politikus yang tidak bersih. Mereka mencari keuntungan pribadi melalui dunia politik. Secara totalitas, sebagai akibatnya, masalah politik akan tetap rumit sampai kapan pun.

Secara ringkas, urusan politik dan struktur kekuasaan sangat penting dalam realitas alam raya. Tetapi, sebaiknya, Anda jangan terlibat dengan politik praktis. Jika terpaksa terlibat dengan politik praktis, maka, pastikan diri Anda tetap sebagai M(S), yaitu, manusia yang selesai dengan dirinya.

Dilema Politik

Umat manusia akan selalu menghadapi dilema politik. Misal, Anda adalah manusia selesai M(S) yang sudah selesai dengan diri Anda sendiri dan ikhlas berkorban untuk rakyat. Di sisi lain, L adalah orang licik yang dicalonkan sebagai calon bupati. Jika L terpilih jadi bupati, maka, kelicikan L akan merugikan seluruh kabupaten. Apakah M(S) harus bersedia bersaing dalam pemilihan bupati melawan L yang licik?

Tidak bersedia. M(S) harus tidak bersedia dicalonkan sebagai calon bupati. Bukan berarti M(S) tega bahwa kabupaten akan dipimpin L yang licik. Tetapi, karena kita tidak punya argumen kuat untuk menuduh bahwa L licik. Jika L memang licik atau kriminal, seharusnya, L diadili untuk dipenjara. Atau, setidaknya panitia pemilihan calon bupati menolak L sebagai calon bupati jika memang dia licik. Jadi, sejauh itu, sejauh L bisa jadi calon bupati, kita tidak bisa membuktikan bahwa L adalah licik.

Asumsikan L memang terbukti licik di masa lalu. Apakah kita bisa memastikan bahwa L akan tetap licik bila kelak terpilih sebagai bupati? Tidak bisa. Tidak ada orang yang bisa memastikan masa depan L dengan cara adil. L tetap punya peluang untuk menjadi bupati yang baik dan berhasil mengantarkan seluruh kabupaten mencapai adil makmur di masa depan.

Jadi, politik akan selalu menghadapi dilema. Demokrasi selalu menghadapi dilema. Politik selalu mengetuk pintu hati umat manusia.

Dilema hanya bisa dihapus ketika semua orang bebal, cuek, dan tidak peduli terhadap keadilan. Khususnya, ketika para politikus dan pejabat sudah bebal, maka, tidak ada lagi dilema politik. Mereka bisa menggunakan proses demokrasi untuk menghasilkan suara terbanyak agar bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Suara demokrasi bisa dimanipulasi dengan satu dan lain cara. Tidak ada dilema. Bukan karena memang tidak ada. Tetapi, karena mereka sudah bebal, mereka merasa tidak ada dilema. Apakah demokrasi seperti itu yang sedang melanda dunia?

Kembali ke tema struktur kekuasaan, saat ini, struktur kekuasaan demokratis dipandang sebagai struktur terbaik. Ditambah, bila pejabat-pejabat kekuasaan demokratis adalah orang-orang yang baik, maka, menjadi lebih baik lagi. Bagaimana pun, seperti kita bahas di atas, struktur kekuasaan bisa mengubah orang baik menjadi jahat. Sehingga, kita perlu untuk terus waspada kepada setiap struktur kekuasaan.

Jadi, bagaimana struktur kekuasaan terbaik? Tidak ada jawaban pasti untuk ini. Struktur perlu bersifat dinamis sesuai situasi. Salah satu struktur yang menarik untuk menjadi kajian adalah anarkis atau anarko atau minoritas atau minorisme. Mari kita gunakan istilah baru yaitu minori.

Minori adalah struktur kekuasaan yang bernilai minor, atau bernilai kecil. Setiap pejabat menyadari dirinya sebagai minor. Sehingga, pejabat tidak memiliki cukup kekuatan untuk korupsi. Lagi pula, pada awalnya, pejabat adalah manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Ukuran negara minori juga kecil. Konsekuensinya, tidak tersedia sumber daya signifikan untuk dikorupsi. Luas negara minori berkisar antara satu kelurahan sampai satu kabupaten. Meski kecil, negara minori menjalin kerja sama dengan negara-negara sekitar sehingga terjalin kekuatan lebih besar. Bagaimana pun, kerja sama ini bersifat longgar: bilateral atau multilateral.

Struktur kekuasaan pada minori adalah ramping, kecil, horison, transparan, fleksibel, agile, dan efisien. Hanya dibutuhkan sedikit biaya untuk menjaga struktur kekuasaan. Karena fokus utama negara minori bukan mempertahankan struktur kekuasaan tetapi untuk memberikan kebaikan bersama.

5. Semesta Masa Depan

Menghadapi kompleksitas demokrasi serta politik, kita perlu bersikap cerdik dan bijak. Kita perlu berpikir dengan orientasi masa depan demi kebaikan bersama.

Dalam demokrasi, dan politik, kita perlu mempertimbangkan kajian unik berdasar situasi. Di saat yang sama, kita perlu menjunjung nilai-nilai universal kemanusiaan dan ketuhanan misal adil, bebas, baik, kesetaraan, kesejahteraan, edukasi, dan lain-lain. Lebih dari itu, semua pihak tidak akan bisa melakukan klaim demokrasi secara absolut. Klaim demokrasi hanya bisa sampai hampir-absolut. Sehingga, demokrasi perlu untuk terus berkembang memperbaiki diri tanpa henti.

Demokrasi yang adil menjadi harapan kita untuk membangun masa depan semesta yang cemerlang.

Catatan

Pintu 5 “Pakar Demokrasi” menjadikan pembahasan kita lengkap. Dari kajian personal, sosial, bahkan politik serta seluruh alam raya. Jadi, kita bisa mencukupkan pembahasan sampai Pintu 5 saja. Tetapi, masih ada yang tertinggal. Pada akhirnya, kita semua akan mati. Apa yang terjadi setelah kematian?

Kita akan membahasnya di Pintu 7 “Warisan Sejarah Cinta”. Sebelum itu, kita akan membahas tema penting dan amat padat di Pintu 6 “Urip Iku Urup.”

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

2 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: