Kesenjangan Ekonomi RI Lebih dari Timor

Apakah ada rasa malu ketika kesenjangan ekonomi di Indonesia jauh lebih parah dari Timor Leste yang baru merdeka dari Indonesia?

Kesenjangan ekonomi diukur dengan rasio Gini. Indonesia G = 0,833 sedangkan Timor Leste G = 0,565. Nilai G makin besar menunjukkan makin timpang tingkat ekonominya. Makin tidak merata kekayaan di negara tersebut.

Nilai G maksimal = 1,00 yang berarti terjadi kesenjangan maksimal. Yaitu hanya ada 1 orang mahakaya menguasai semua kekayaan. Sementara orang lain tidak memiliki kekayaan sama sekali.

Nilai G minimal = 0,00 yang berarti tidak ada kesenjangan sama sekali. Semua penduduk memiliki kekayaan dalam jumlah sama persis.

Secara praktis nilai G akan lebih dari 0 tetapi kurang dari 1.

Apa arti nilai G Indonesia 0,833 sedangkan G Timor = 0,565?

Kita akan mencoba membandingkan keduanya. Hasil perbandingan ini bisa di luar dugaan. Karena sangat timpang.

1. Rasio Gini G di atas 0,4 adalah buruk. Maka Timor Leste termasuk buruk (G = 0,565). Apalagi Indonesia, buruk sekali (G = 0,833). Saya sendiri membuat klasifikasi buruk bila G di atas 0,33. Hasilnya sama saja. Indonesia dan Timor sama-sama buruk.

OECD pernah menerbitkan laporan bahwa kesejahteraan ekonomi umat manusia makin meningkat (sebelum pandemi) tetapi kesenjangan juga meningkat. Ketimpangan ini berbahaya bagi kemanusiaan secara umum. Maka kita perlu solusi.

2. Index Gini G adalah inti dari kurva Lorenz. Tetapi sejatinya G tidak berarti apa-apa tanpa kurva Lorenz. Maka kita perlu mendapatkan info kurva Lorenz. Sayangnya kurva Lorenz tidak tersedia dari badan resmi nasional mau pun internasional. Sehingga kita hanya bisa mengestimasinya. Saya mengembangkan cara estimasi kurva Lorenz menggunakan integral polinom sederhana.

Hasil estimasi ini mengagetkan saya karena ketimpangan ekonomi begitu besar. Tak tercermin dari index G yang tampak sederhana hanya antara 0 dan 1.

Misal Timor G = 0,5 maka 10% orang terkaya memiliki harta 300 kali lipat dari orang termiskin.

Sedangkan Indonesia G = 0,8 maka 10% orang terkaya memiliki harta 600 000 000 kali dari orang termiskin.

Estimasi ini seperti tidak masuk akal. Beberapa laporan riset menunjukkan bahwa orang terkaya di Indonesia hanya memiliki kekayaan 7 kali atau 8 kali dari orang termiskin.

Tetapi intuisi kita bisa membenarkan estimasi saya. Bila orang termiskin tidak punya apa-apa. Hidup hanya numpang. Bisa dianggap hanya punya kekayaan 1 rupiah. Maka orang terkaya memiliki harta 1 x 600 000 000 = 0,6 milyar rupiah. Masuk akal. Harga 1 mobil saja bisa lebih dari 1 milyar rupiah kan?

3. Ketimpangan yang terbukti perlu solusi. Bukti matematika yang saya kembangkan makin kokoh. Maka kita perlu solusi untuk pemerataan ekonomi.

Solusinya adalah memberikan dan membuka akses pendidikan berkualitas untuk semua warga. Khususnya warga miskin perlu mendapat insentif untuk ikut pendidikan berkualitas. Mendapat dorongan untuk sekolah di sekolah berkualitas – lengkap dengan ancaman bagi yang melanggar.

Solusi ekonomi dan politik secara struktural tentu sangat diperlukan.

4. Lebih banyak orang kaya di Indonesia. Kita patut besyukur. Angka kemiskinan Indonesia di bawah 10%. Maka orang Indonesia yang tidak miskin ada lebih dari 90%. Luar biasa!

Ukuran miskin tentu beragam. Salah satunya adalah berdasar pendapatan (atau pengeluaran).

“Iya, jadi garis kemiskinan di Maret 2018 itu menurut pendapatannya Rp 401.220 per kapita per bulan,” kata dia saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Senin (16/7/2018).

Orang yang pendapatannya di bawah 400 ribu rupiah per bulan adalah orang miskin. Misalnya sebagian kecil dari pendapatan ini mampu ia simpan menjadi aset maka itu menjadi miliknya. Anggap saja orang miskin mampu menahan 1 ribu rupiah saja menjadi aset miliknya. Itulah kekayaan mereka: 1 ribu rupiah.

Kita bisa menghitung kekayaan orang terkaya di Indonesia, 10% terkaya.

= 1 ribu x 600 000 000 rupiah

= 600 milyar rupiah

= 0,6 trilyun rupiah

Kekayaan yang sangat besar.

Dengan asumsi ini kita menyimpulkan: ada 10% penduduk termiskin di Indonesia yaitu 27 juta orang miskin dengan kekayaan 1 ribu rupiah. Di sisi lain, 10% orang terkaya ada 27 juta orang kaya dengan kekayaan masing-masing 0,6 trilyun rupiah.

Ternyata banyak juga orang Indonesia yang kaya raya.

Bisa jadi kekayaan mereka tidak merata. Tepat. Kita bisa menganalisis lebih lanjut.

5. Orang terkaya Indonesia versus Timor. Kita bisa kembali membandingkan dengan negara tetangga: Timor Leste.

Karena Timor G = 0,5 maka ketimpangannya tidak seburuk Indonesia yang G = 0,8. Timor hanya berhubungan dengan pangkat n = 3 sedangkan Indonesia berhubungan dengan pangkat n= 9.

Asumsi orang termiskin di Timor punya harta 1 ribu rupiah maka orang terkaya di Timor memiliki kekayaan,

= 1 ribu x 300 rupiah

= 300 ribu rupiah

Tapi tidak masuk akal bila orang terkaya hanya punya aset kurang dari 1 juta rupiah. Maka kita perlu asumsi lebih besar lagi. Misal orang termiskin memiliki aset 1 juta rupiah maka orang terkaya memiliki aset 0,3 milyar rupiah.

Jadi untuk Timor kita bisa menyimpulkan, dengan asumsi lebih besar, ada 10% orang termiskin sekitar 100 ribu orang masing-masing memiliki kekayaan 1 juta rupiah. Di sisi 10% orang terkaya ada 100 ribu orang masing-masing memiliki kekayaan 0,3 milyar rupiah.

Indonesia baru-baru ini menjadi negara pendapatan menengah atas. Lebih dari 4 ribu dolar per kapita per tahun. Sementara Timor justru masuk sebagai salah satu negara miskin di dunia. Maka asumsi bahwa orang Indonesia lebih kaya dari orang Timor bisa dipertimbangkan.

Asumsikan orang termiskin di Indonesia memiliki aset yang sama dengan orang termiskin di Timor yaitu sebesar 1 juta rupiah.

Maka 10% orang terkaya di Indonesia memiliki aset kekayaan.

= 1 juta x 600 000 000 rupiah

= 600 trilyun rupiah

Ada 27 juta orang terkaya di Indonesia masing-masing memiliki kekayaan 600 trilyun rupiah. Tampak terlalu besar ya?

6. Ketimpangan ekonomi sulit tersembunyi dari kurva Lorenz. Awalnya saya pikir kurva Lorenz adalah prosedur cerdas untuk menampilkan distribusi kekayaan suatu populasi. Tapi kurva Lorenz lebih dari itu.

Pertama Lorenz meyusun kurva dimulai dari orang paling miskin. Ini wajar saja agar kurva terus naik.

Kedua, akibat dari yang pertama, maka gradien kurva selalu positif. Tentu saja dengan asumsi di dunia nyata tidak ada 0 atau negatif – meski pun bisa saja dengan definisi tertentu.

Ketiga, turunan dari gradien juga positif atau setidaknya 0. Turunan dari gradien bisa 0 ketika ada anggota populasi yang memiliki kekayaan sama persis. Gradien jadi positif konstan tetapi turunan dari gradien jadi 0. Tetapi hal semacam ini jarang terjadi – jarang ada dua orang memiliki kekayaan sama persis.

Secara umum kita bisa mengatakan bahwa turunan dari gradien juga positif.

Akibatnya lonjakan kekayaan makin besar untuk kelas orang kaya. Atau yang kaya makin kaya.

Untuk contoh kasus Timor G = 0,5 berpadanan dengan polinom pangkat n = 3. Maka gradiennya adalah 3 kali kelompok kelas kuadrat. Dan turunan dari gradien adalah 6 kali kelompok kelas.

Maksudnya untuk kelompok termiskin pertama maka lonjakan kekayaan mereka adalah, misalnya, 6 juta rupiah. Jika kelas pertama memiliki aset 1 juta rupiah maka kelas kedua memiliki kekayaan 6 juta rupiah lebih banyak..

Sedangkan untuk kelompok kelas ke 10 (atau terkaya) maka lonjakannya adalah tidak linear 6 juta juga. Jika orang terkaya tertentu punya aset a juta rupiah maka orang yang lebih kaya di sebelahnya punya aset 300 juta rupiah lebih banyak dari a juta rupiah itu.

Kasus Indonesia dengan G = 0,8 tentu lebih ekstrem.

Diestimasi dengan polinom pangkat n = 9 maka gradien = 9 kali kelompok kelas pangkat 8. Dan turunan dari gradien = 72 kali kelompok kelas pangkat 7.

Jika kelompok orang termiskin di Indonesia punya aset 1 juta rupiah maka kelompok miskin yang sedikit lebih kaya memiliki kekayaan,

= 1 juta x (2^9 – 1)

= 511 juta

= 0,5 milyar rupiah

Aset 0,5 milyar rupiah tentunya sudah tidak miskin lagi. Padahal ini baru kelompok kelas ke 2. Tampaknya asumsi kita terlalu tinggi di sini. Asumsi orang termiskin punya aset 1 juta rupiah adalah terlalu tinggi.

Jika kita turunkan kelompok termiskin di Indonesia menjadi 1 000 rupiah maka kelompok kedua memiliki aset 0,5 juta rupiah. Barangkali yang ini lebih masuk akal ya?

Tetapi lonjakan untuk kelompok orang terkaya di Indonesia tetap saja sangat tinggi. Yaitu,

= 1000 rupiah x (11^9 – 10^9)

Sekitar 1 trilyun rupiah.

Sulit dibayangkan. Tetapi ini semua kita mengikuti kaidah kurva Lorenz dan prinsip matematika. Serta menggunakan data resmi yang dipublish di media terbuka.

Saya sendiri mencoba mengkaji kurva Lorenz dari sisi integral polinom, busur lingkaran, poligon, dan deret Riemann memberikan hasil cukup konsisten. Grafik eksponen dan logaritmik juga menghasilkan analisis yang mirip.

Hanya saja bentuk polinom yang dilengkapi dengan deret Riemann memberikan analisis yang lebih tajam.

Analisis matematis ini hanya bisa dibantah dengan data empirik yang jujur. Tetapi data empirik tetap mengikuti kaidah kurva Lorenz maka akan tetap memberikan hasil yang mirip.

7. Kurva Lorenz dimulai dari O(0,0) di akhiri di A(1,1) memaksa konsisten. Meski kurva Lorenz yang berbeda dapat saja memberikan index G yang sama tetapi akan cenderung konsisten.

Jika kurva Lorenz terbentuk oleh dua garis lurus saja maka untuk satu nilai G yang unik dapat dihasilkan oleh tak terbatas banyaknya kurva Lorenz yang berbeda. Fakta ini mengecilkan kekuatan indeks G bila tanpa kurva Lorenz.

Tetapi index G tetap berguna karena konsisten dengan aturan kurva Lorenz.

Dan asumsi bahwa kurva Lorenz bisa dibentuk oleh dua garis lurus hampir tidak pernah terjadi di dunia praktis. Sulit terjadi suatu populasi terbelah hanya ada dua kelas yaitu kelas miskin dengan kekayaan seragam dan kelas kaya dengan kekayaan yang seragam pula.

Maka kurva Lorenz setidaknya perlu terbagi menjadi 5 kelas masing-masing 20% populasi.

Jika kelas awal yang dimulai dari O(0,0) punya gradien 0,5 misalnya maka G pasti kurang dari 0,5. Dan gradien kelas terakhir harus lebih dari 1 agar menyentuh A(1,1).

Dengan aturan kurva Lorenz di atas maka kita memang bisa menghasilkan kurva beragam tanpa batas. Tetapi secara umum akan memiliki karakteristik yang konsisten. Khususnya untuk kasus dunia nyata.

Bagaimana menurut Anda?

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: