Cantik Penampakan dan Cinta Sejati

Apakah ada pengetahuan sejati? Yang dengan pengetahuan itu, kita jadi yakin 100% benar? Maka, jika ada, kita bisa menilai segala sesuatu berdasar pengetahuan itu dengan keyakinan tinggi.

Pertanyaan mudah di atas, ternyata, jawabnya susah. Apa, yang semula, kita kira yakin 100%, bila diselidiki lebih mendalam maka tidak meyakinkan. Misal, ketika kita hendak minum air di gelas di depan kita. Apakah Anda yakin 100% bahwa air tersebut tidak beracun? Tidak membahayakan diri Anda? Tidak kotor?

Nike Ardila only kosmetik - Posts | Facebook

1. Eksistensi – Keberadaan Gadis Rara
2. Kecantikan – Rara Gadis Cantik
3. Cinta Untuk Rara
4. Ringkasan
5. Diskusi
5.1 Empirisme
5.2 Sintesa
5.3 Eksistensialisme

Barangkali kita mencoba menyelidiki asal-usul air di gelas itu. Air berasal dari botol air mineral. Diproduksi oleh produsen luar kota. Kabarnya, sumber air itu dari pegunungan di Jawa Barat. Proses air sampai ke depan kita, dalam gelas, begitu panjang. Apakah kita yakin, air tersebut tidak beracun dari tiap tahap prosesnya?

Tetapi kenyataannya kita sering percaya begitu saja, bahwa air di gelas itu aman. Kita minum air itu dengan santai. Tanpa menyelidiki apakah beracun. Akibatnya, kita sehat sampai hari ini. Kesimpulan pertama yang bisa kita ambil adalah: hidup kita bisa menerima hal-hal meskipun tidak 100% meyakinkan. Dalam istilah keren, sains atau teknologi, manusia itu fault tolerant. Manusia itu bisa toleransi terhadap kesalahan.

Berbeda dengan mesin atau komputer. Mereka tidak toleran terhadap kesalahan. Jika kita salah memasukkan data ke komputer maka komputer akan mem-proses data dan memberikan hasil yang salah. Manusia tidak demikian. Meski ada data salah, tidak lengkap, atau tidak akurat, manusia masih bisa melakukan proses berpikir dan lain-lain untuk menghasilkan kesimpulan tepat guna. Komputer masa kini ingin meniru kehebatan manusia yang fault tolerant itu.

Berikutnya, mari kita ambil contoh yang lebih menantang. Misalnya di hadapan saya, atau di hadapan Anda, ada seorang gadis remaja usia mendekati 20 tahun. Wajahnya bersih. Matanya bening. Berambut hitam. Nama gadis itu adalah Rara. Rara adalah seorang gadis yang cantik, yang membuat banyak pria jatuh cinta padanya. Rara adalah anak saya.

Kita akan menyelidiki, pertama, apakah cinta untuk Rara benar-benar ada? Atau hanya imajinasi saja? Kedua, apakah cantiknya Rara itu benar-benar ada? Bukankah cantik itu relatif? Dan ketiga, apakah Rara benar-benar ada atau hanya ilusi belaka?

1. Eksistensi – Keberadaan Gadis Rara

Kita akan menjawab pertanyaan pertama. Ketika Rara ada di hadapan kita, apakah benar-benar ada Rara di depan kita?

Rara adalah anak perempuan saya. Rara lahir pada awal peralihan milenium baru ini. Sehingga Rara termasuk anak milenial. Rara, sekarang, menginjak masa remaja menuju dewasa.

Coba kita fokus ke wajah Rara. Perhatikan pipinya yang putih, lembut. Dihiasi warna tipis kemerah-merahan. Di atas pipi ada mata yang bening dengan bulu mata lentik. Di samping pipi ada hidung dan bibir. Benarkah itu semua ada? Atau hanya rekaan pikiran kita sendiri.

Jawabnya: Rara benar-benar ada.

Kita bisa eksperimen memejamkan mata. Rara benar-benar ada di hadapan kita. Bahkan kita bisa saja pingsan, hilang kesadaran, Rara benar-benar ada. Bukan hanya ilusi pikiran kita.

Eksperimen bisa juga menggunakan kamera. Kita pergi meninggalkan Rara. Kita cek kamera, dari jarak jauh misalnya, tetap ada Rara. Jadi Rara benar-benar ada secara obyektif tidak tergantung pikiran kita. Bandingkan dengan realitas subyektif misalnya kita bisa membayangkan ada gadis pakai topi warna merah. Gadis bertopi merah itu ada dalam pikiran kita. Kemudian bayangkan, pikirkan, ada gajah berkaki tiga. Apa yang terjadi?

Ketika kita memikirkan “gajah berkaki tiga” maka gadis bertopi merah hilang dari pikiran kita. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan gadis bertopi merah tergantung kepada pikiran subyektif kita. Gadis bertopi merah tidak obyektif. Hanya ada bila dipikirkan.

Berbeda dengan Rara yang benar-benar ada. Baik ketika kita memikirkan Rara atau tidak.

Tetapi, apakah kita benar-benar mengetahui hakikat Rara?

Nah, itu pertanyaan yang berbeda. Pertama kita bisa menyimpulkan bahwa Rara benar-benar ada. Jadi, kita berhasil meng-konfirmasi eksistensi Rara dengan positif. Kedua, kita perlu menyelidiki apakah kita bisa mengetahui hakikat Rara. Untuk menjawab pertanyaan kedua kita dapat meminjam teori dari sains terbaru.

Fisika memberi tahu kita bahwa kita bisa melihat Rara karena ada cahaya yang bersinar dari Rara mengenai indera mata kita. Bila ruangan benar-benar gelap maka kita tidak bisa melihat Rara meski Rara ada di hadapan kita. Karena tidak ada cahaya yang masuk ke mata kita.

Mari fokus bagaimana kita bisa melihat pipinya Rara. Ada cahaya yang menimpa pipi Rara dengan susunan tertentu. Pipi Rara memantulkan beragam cahaya itu, yang sebagiannya, menimpa ke mata kita. Mata kita memproses, sebagai indera penglihatan, cahaya yang diterima lalu mengirim ke otak untuk diolah lebih lanjut. Sebagai hasilnya kita tahu ada pipi di sana. Dan selengkapnya kita tahu ada Rara seutuhnya.

Di sini, kita perlu melakukan beberapa pembedaan penting. Cahaya yang diterima oleh mata bisa kita sebut sebagai data-indera. Data-indera ini bersesuaian dengan pipi Rara. Tapi jelas data-indera bukanlah pipi Rara itu sendiri. Data-indera ini kemudian diolah oleh sistem indera kita menghasikan “citra” dari pipi Rara yang kita pahami. Citra ini bisa kita sebut sebagai sensasi-indera, yang berbeda dengan data-indera, dan berbeda dengan pipi Rara. (Sensasi-indera bisa kita sebut juga sebagai sense-indera atau impresi-indera sesuai konteks).

Dengan adanya pembedaan di atas maka kita lebih mudah memahami beberapa kemungkinan kesalahan yang terjadi. Kesalahan pertama yang bisa terjadi adalah data-indera tidak bersesuaian dengan pipi Rara. Misal, di antara mata kita dan pipi Rara yang berjarak sekitar 2 meter dipasang kaca tembus pandang melengkung. Maka, data-indera berupa gelombang cahaya yang dibiaskan oleh kaca berbeda dengan gelombang cahaya yang dipancarkan oleh pipi Rara. Sebagai akibatnya, kita akan melihat pipi Rara yang melengkung. Padahal, aslinya, pipi Rara lurus. Fenomena semacam ini terjadi juga pada fatamorgana atau pensil yang dimasukkan ke air tampak seperti patah.

Kesalahan kedua bisa terjadi pada sensasi-indera. Misalkan data-indera yang diterima sudah bersesuaian dengan pipi Rara. Tetapi mata yang melihat dalam kondisi minus dua (-2) tanpa memakai kaca mata. Maka, mata minus tersebut menghasilkan sensasi-indera yang buram tentang pipi Rara. Padahal, pipi Rara cerah mempesona. Kesalahan serupa bisa terjadi kepada orang yang menderita vertigo. Dia melihat pipi Rara berputar-putar padahal, aslinya, pipi Rara tetap di depan kita.

Sampai di sini, kita tidak berhasil mengetahui hakikat Rara dengan meyakinkan. Pengetahuan kita tentang Rara, melalui indera, mungkin saja salah. Meski demikian, kita tetap bisa yakin bahwa Rara benar-benar ada secara obyektif. Bukan sekedar ilusi. Rara benar-benar ada di depan kita.

Pada bagian selanjutnya, bab-bab selanjutnya, kita akan mendiskusikan lebih detil bagaimana sensasi-indera, pemahaman, kesadaran, dan lain-lain bisa muncul dalam diri kita. Melalui indera, kita berhasil memahami penampakan luar Rara – atau fenomena – tetapi masih gagal mengenali hakikat Rara – noumena.

2. KecantikanRara Gadis Cantik

Mari bergeser lebih fokus kepada kecantikan Rara. Kita telah berhasil membuktikan bahwa Rara ada di depan kita tapi apakah Rara benar-benar cantik? Atau cantik itu subyektif, relatif?

Ketika saya menatap Rara, saya yakin Rara adalah cantik. Benar-benar kualitas cantik itu ada pada Rara. Matanya yang bening, lentik bulu matanya, rambutnya hitam lebat memastikan Rara cantik. Saya yakin orang lain setuju bahwa Rara memang cantik. Tapi mungkin saja ada orang tertentu yang mengatakan bahwa Rara tidak cantik. Sehingga, cantiknya Rara ini subyektif tergantung siapa yang menilainya.

Bahkan ketika saya mengatakan bahwa Rara cantik, bisa saja Eko mengatakan bahwa Rara bukan cantik tetapi Rara adalah cantik sekali. Sehingga cantik itu relatif – dan subyektif.

Tidak demikian pandangan para filsuf tingkat dunia. Ketika orang awam menilai bahwa cantik itu relatif dan subyektif, sebaliknya, para filsuf justru menyatakan bahwa cantik itu nyata, obyektif, dan jelas. Baik dari Plato, Aristoteles, Ibnu Arabi, dan lain-lain.

Aristoteles mengatakan bahwa cantik itu ada pada obyeknya (pada diri Rara). Di mana, obyek cantik bernilai artistik menunjukkan karakter simetri, harmoni, tertata, seimbang, dan sebagainya. Sebagaimana kita bisa menemukan itu semua dengan menatap langsung wajah Rara.

Plato, gurunya Aristoteles, melangkah lebih jauh dengan mendefinisikan cantik itu bersifat universal – meminjam istilah Bertrand Russell. Cantik adalah “idea” atau “form” yang menyebabkan sesuatu jadi cantik. Cantik berada dalam domain obyek intelligible.

Ibnu Arabi, filsuf sufi Timur, mendefinisikan cantik dengan membandingkan dengan sifat perkasa. Cantik, sejatinya, adalah sifat Tuhan yaitu jamal yang saling melengkapi dengan sifat Tuhan yang Perkasa yaitu Jalal. Cantik itu sendiri manifestasi dari nama-nama Tuhan yang Maha Kasih, Maha Sayang, Maha Baik, dan lain-lain.

Kiranya cukup, untuk sementara ini, kita katakan bahwa cantiknya Rara itu bernilai penting – tidak hanya sesuatu yang relatif. Bahkan, cantiknya Rara ini bisa lebih kuat dari pipinya Rara itu sendiri. Kita akan mendiskusikan lebih jauh tentang cantik ini dari bab demi bab pada bagian selanjutnya.

3. Cinta untuk Rara

Tiba waktunya kita membahas cinta Rara. Saya jelas cinta kepada Rara. Cinta yang suci dari seorang ayah kepada putrinya. Cinta yang tulus. Hanya memberi tak pernah mengharap kembali.

Beda dengan Joko, yang juga mencintai Rara dengan tulus. Joko adalah calon suami Rara. Hidup Joko menjadi begitu berbunga-bunga sejak jatuh cinta kepada Rara. Bahkan Rara juga mencintai Joko. Mereka hidup bahagia penuh cinta.

Mari kita eksperimen pikiran. Waktu berlalu, maju sepuluh tahun ke depan. Wawan, bocah umur 5 tahun, juga cinta kepada Rara sebagai ibunya. Cinta sejati.

Teman-teman Rara juga cinta ke Rara sebagai sahabat. Dan masih banyak cinta lagi untuk Rara.

Sampai di sini kita merasakan besarnya peran cinta. Meski awalnya, kita menduga cinta itu hanya subyektif, relatif, dan tidak ilmiah, ternyata, kita tidak bisa mengecilkan arti penting cinta. Bahkan cinta itu bisa lebih penting dari segalanya. Kita bisa mempertimbangkan pandangan Rumi yang menyatakan segala yang ada adalah manifestasi cinta.

Sartre, filsuf continental eksistensialis, mengatakan bahwa cinta itu adalah prestasi tertinggi dari subyek yang sadar. Adorno, pendiri “critical theory”, menegaskan pentingnya karya seni tinggi yang merupakan ekspresi dari cinta itu sendiri.

Lagi, kita akan menunda sementara, membahas cinta lebih detil pada bab-bab selanjutnya.

4. Ringkasan

Pada bagian ini kita berhasil meyakinkan bahwa obyek eksternal, semisal Rara yang cantik, memang ada secara obyektif. Namun kita hanya mampu mengenali penampakan Rara. Apa hakikat sejati dari Rara belum kita ketahui. Jadi, cantik itu hanya penampakan – sejauh ini. Tetapi, cinta adalah asli, cinta sejati. Pada bab selanjutnya, kita akan mencoba memahami hakikat Rara. Termasuk, hakikat cinta.

Masih pada bagian ini, kita juga berhasil menunjukkan posisi penting dari cantik dan cinta. Bukan sekedar sesuatu yang relatif dan tidak ilmiah, tetapi cantik dan cinta, adalah tema penting dalam filsafat yang perlu kita bahas tuntas di seluruh sisa tulisan ini.

5. Diskusi

Sambil melanjutkan pembahasan lebih mendalam, di bagian ini, saya sertakan secara ringkas bahan diskusi, “Bagaimana pengetahuan tentang dunia luar, misal bola atau wajah Rara, bisa muncul dalam pikiran manusia?”

5.1 Empirisme

Ada bola di depan kita. Bagaimana kita bisa melihat bola itu? Atau, bagaimana gambar bola itu bisa muncul dalam pikiran, atau persepsi, manusia? Atau, bagaimana kita bisa merasakan, menyadari, ada bola di depan kita?

Sains fisika empiris memberi jawaban dengan jelas. Bola itu bisa kita lihat karena bola itu memancarkan cahaya ke mata kita, misal pantulan cahaya dari lampu atau matahari. Tentu saja, tanpa cahaya, kita tidak bisa melihat bola di depan kita. Cahaya ini menjalar dari bola mengenai mata kita. Cahaya ini kita sebut sebagai data-indera.

Kemudian, mata kita mengolah data-indera dan berkomunikasi dengan sistem syaraf di otak dan tubuh kita. Hasil olahan oleh mata dan sistem syaraf kita sebut sebagai sinyal-indera. Lebih lanjut, kita fokus kepada proses yang terjadi pada sel-sel otak, misal neuron-neuron, memproses sinyal-indera. Dengan proses yang melibatkan teori quantum dan lain-lain, sistem biologi fisik menghasil impresi-indera yang berupa “gambar bola”. Sampai di sini, sudah lengkap, proses memunculkan gambar bola dalam pikiran.

Semua proses di atas, dapat dijelaskan secara fisika kecuali munculnya impresi-indera yang berupa “gambar bola” di pikiran kita. Sampai saat ini, para peneliti dan filosof sains masih terus mengkaji bagaimana impresi gambar bola itu bisa muncul dalam pikiran manusia.

Pandangan empiris seperti di atas mendapat banyak dukungan dari kalangan saintis masa lampau sampai sekarang. Bertrand Russell (1872 – 1970) dan David Chalmers (lahir 1966) adalah beberapa filosof pendukung pandangan empiris seperti di atas.

Tentu saja, banyak pemikir yang menolak pandangan empiris di atas. Kant (1720 – 1804) menilai bahwa pandangan sains empiris tidak mencukupi untuk menghadirkan impresi-indera atau pengetahuan manusia. Zizek (lahir 1949) menolak pandangan empirisme sains karena hakikat dari kesadaran manusia adalah “void” atau kehampaan. Sehingga, sains tidak akan pernah berhasil mengamati void karena, memang, void tidak ada.

5.2 Sintesa

Kant (1720 – 1804) melengkapi dengan teori sintesa. Pengetahuan manusia, misal melihat bola di depan kita, adalah hasil sintesa antara data empiris dan kekuatan transendental yang bersifat apriori.

Pandangan sintesa menerima pandangan empiris seperti di atas untuk kemudian diolah oleh kekuatan apriori untuk proses “deduksi transendental.” Kekuatan apriori manusia ini dimiliki oleh setiap orang yang sehat berupa sistem skemata.

Proses sintesa: data-indera dan sinyal-indera diterima kemudian diproses oleh skemata. Skemata ini menentukan kualitas, kuantitas, modalitas, dinamika, dan lain-lain dari data yang diterima. Hasil olahan sintesa ini adalah kita memahahi ada “bola” di depan kita. Atau, muncul impresi-data yang berupa “gambar bola” dalam pikiran manusia. Jadi, impresi “gambar bola” merupakan sintesa data empiris dengan skemata transendental.

Perlu kita catat bahwa skemata apriori ini bersifat transendental pada diri manusia. Di mana, sains empiris tidak akan bisa menemukan skemata apriori tetapi analisis rasional berhasil membuktikan kebenaran skemata apriori. Tanpa skemata maka data-indera adalah sekedar data-indera yang berserakan tak bermakna. Hanya dengan skemata, data-indera itu menjadi bermakna, bisa dipahami pikiran manusia, misal sebagai gambar bola.

Banyak yang setuju dengan solusi sintesa dari Kant. Tetapi lebih banyak lagi filosof berikutnya yang mempertanyakan bagaimana skemata apriori itu bisa terbentuk? Hegel, Schopenhauer, Husserl, Heidegger, dan lain-lain mencoba menjawab pertanyaan penting itu.

5.3 Eksistensialisme

Pandangan eksistensialisme selaras dengan pandangan sintesa. Sehingga, mereka menerima peran penting dari sains empiris, untuk kemudian, dikembangkan lebih lanjut. Eksistensialisme juga terbuka bila pandangan sains berubah seiring ditemukannya hasil penelitian empiris yang baru. Karena, kajian empiris ini adalah syarat perlu terbentuknya pengetahuan, tetapi, bukan syarat yang mencukupi.

Eksistensialis menambahkan satu tugas penting yaitu memaknai being, memaknai eksistensi, memaknai wujud. Alam raya ini merupakan suatu anugerah yang, faktanya, sudah seperti ini adanya. Sehingga, tugas kita sebagai manusia adalah memaknai semua yang ada, menyingkap misteri being sebagai being. Dan, salah satu cara memaknai wujud adalah dengan berpartisipasi aktif dalam dinamika wujud. “Apa makna wujud?” “Apa makna ada?”

Kembali kepada contoh bagaimana “gambar bola” bisa muncul dalam pikiran kita?

Bola adalah mode-wujud. Otak manusia juga mode-wujud. Demikian juga, pikiran adalah mode-wujud. Ketika cahaya dari bola memancar ke mata maka terbentuk data-indera, ini adalah mode-wujud-fisik. Di saat bersamaan, ada mode-wujud-jiwa yang selaras dengan pancaran cahaya dari bola ke mata. Dan seterusnya, sampai terbentuk sinyal-indera.

Tugas penting berikutnya, “Bagaimana muncul impresi gambar bola pada pikiran?”

Pada tataran mode-wujud-jiwa, setelah sinyal-indera diolah maka jiwa memproduksi impresi-indera yang berupa “gambar bola.” Dan, impresi gambar bola ini terjadi pada mode-wujud-jiwa bukan pada mode-wujud-fisik. Bagaimana pun, tetap ada keselarasan antara fisik dan jiwa. Maksudnya, impresi gambar bola ini terbentuk dengan adanya realitas fisik bola, mata, dan otak yang sehat. Meski, impresi tersebut tidak bersifat fisik.

Tentu saja, jiwa bisa memproduksi impresi gambar bola tanpa melihat bola di depannya. Tetapi, itu kasus yang berbeda karena berupa imajinasi fiksi. Sementara, kasus yang kita bahas adalah melihat bola fisik di depan kita. Dengan demikian, eksistensialisme berhasil menjelaskan munculnya impresi gambar bola pada pikiran manusia sebagai produk kreasi oleh jiwa pada mode-wujud-jiwa.

Pandangan eksistensialisme ini berkembang baik di Timur mau pun di Barat. Tentu saja, dengan variasi yang beragam. Kita mengenal beberapa tokoh diantaranya Ibnu Arabi, Sadra, Thabathabai, Heidegger, Sartre, dan lain-lain. Untuk kasus impresi ini, saya memasukkan Suhrawardi juga sejalan dengan eksistensialisme.

Pilihan Solusi

Jadi, mana yang lebih meyakinkan antara pandangan empirisme, sintesa, atau eksistensialisme? Anda boleh menentukan pilihan jawaban saat ini. Boleh juga menentukan pilihan setelah selesai membaca tulisan-tulisan lanjutannya di bagian berikutnya.

Kembali ke pengantar dan daftar isi.
Lanjut ke Eksistensi Cinta

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

2 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: