Apakah gadis cantik Rara itu benar-benar ada di hadapan kita?
Kita sudah menjawab positif bahwa Rara, obyek eksternal alam, ada di hadapan kita. Ada pohon, ada rumah, meja, kursi, dan berbagai obyek alam lainnya. Obyek-obyek alam ini ada secara obyektif. Dalam arti, misal meja, tetap ada baik kita sedang memikirkannya atau tidak memikirkannya.
Tetapi orang masih bisa meragukan bahwa Rara, anak gadis saya yang kita lihat itu, atau meja yang kita lihat itu, tidak benar-benar ada. Jangan-jangan Rara itu hanya imajinasi kita. Meja itu hanya pikiran kita. Seluruh alam semesta hanya ide kita.

1. Keraguan Descartes
1.1 Cogito
1.2 Dasein
1.3 Cahaya
2. Eksistensi Materi
3. Eksistensi Cantik
4. Eksistensi Cinta
5. Diskusi
5.1 Ringkasan
5.2 Eksistensi Bunda
5.3 Realitas Subyektif
Menurut Bertrand Russell, mungkin saja seseorang berpandangan bahwa seluruh alam semesta hanyalah ide saja. Yang ada hanya dirinya sendiri, sensasi-sensasi pribadi dan ide-ide pribadi. Tidak ada absurditas dalam hal ini. Bahkan kita tidak bisa membantah pandangan seperti itu. Karena setiap bantahan kita, termasuk diri kita, masuk sebagai bagian dari ide-ide mereka juga.
Filsafat harus mampu menjawab keraguan seperti di atas dengan meyakinkan. Dan terbukti filsafat mampu menjawabnya dengan baik. Dalam bab ini, kita akan mencoba membahasnya dengan tuntas. Kita akan mulai dengan menjawab eksistensi materi dengan mengambil contoh eksistensi pipi Rara. Lalu melangkah kepada eksistensi cantik dan cinta.
Tampaknya, eksistensi cantik dan cinta lebih mudah kita tangani dalam kasus ini. Karena, misalnya cinta, mengandung kualitas subyektif. Sehingga orang mudah menerima bahwa cinta itu adalah perasaan subyektif. Tetapi, kita tidak akan berhenti sampai di situ. Kita akan melangkah membahas kekuatan cinta yang jauh lebih besar dari istilah subyektif itu.

1. Keraguan Descartes
Saya setuju dengan Russell yang mengambil contoh Descartes untuk membahas eksistensi materi. Descartes adalah Bapak Filsuf terbesar jaman modern. Yang berhasil membangun sistem filsafat kokoh dan jelas. Di sisi lain, Descartes juga ahli matematika dan sains. Misalnya, sampai sekarang kita mengenal diagram Descartes atau diagram Cartesius itu. Meski pun ahli matematika lain, Fermat, juga menemukan diagram yang mirip dan lebih awal dari Descartes.
1.1 Cogito
Landasan filsafat Descartes adalah “cogito ergo sum” yaitu “aku berpikir maka ada” dan lebih dikenal sebagai cogito.
Dalam perjalanan mencari kebenaran yang hakiki, Descartes meragukan segala sesuatu. Descartes menolak filsuf-filsuf yang sudah ada sebelumnya. Ia menolak Socrates, Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Bacon, dan semuanya. Dia menolak, atau meragukan, semua pengetahuan dari inderanya. Semua pengetahuan bisa salah. Patut dicurigai.
Tapi ada satu hal yang tidak dapat diragukan, “Aku sedang berpikir.”
Aku yakin aku sedang berpikir. Bahkan, keraguanku sendiri adalah bentuk dari aku sedang berpikir. Meski, aku bisa saja berpikir dengan benar dan bisa juga aku berpikir dengan salah. Apa yang aku pikirkan bisa saja salah. Tetapi, bisa dipastikan bahwa aku berpikir. Sehingga, “Aku berpikir maka aku ada.”
Orang lain bisa saja ragu dengan keberadaanku. Tapi Descartes yakin bahwa dia ada karena dia berpikir. Descartes tidak bisa meragukan pikirannya sendiri. Maka dia yakin 100%, “Aku berpikir maka aku ada.”
Dari landasan itu, Descartes bergerak dari keraguan menuju keyakinan. Descartes, kemudian, berhasil menyusun sistem filsafat yang kokoh dan rasional. Dia berhasil membuktikan adanya alam semesta secara obyektif dan eksistensi jiwa yang mandiri dari alam fisik. Descartes pun mengkaji ulang pemikiran-pemikiran filsuf-filsuf jaman sebelumnya. Tidak diterima begitu saja sebagai doktrin. Sebagian disetujui dan sebagian lainnya ia tolak. Dan terbentuklah sistem filsafat Descartes.
Keberhasilan filsafat rasional Descartes ini, disusul dengan filsafat alam Newton yang lengkap dengan perhitungan matematika. Mengungkap fenomena alam semesta raya dan hukum gerak benda bola, peluru, kereta, sampai partikel terkecil. Manusia berhasil menguasai alam semesta dengan menggunakan rasionya. Catatan sejarah menunjukkan kemajuan luar biasa di bidang sains dan teknologi sejak itu.
1.2 Dasein
Heidegger (1889 – 1976) adalah pemikir eksistensialis terbesar dari Jerman. Meski pada masa dewasa, Heidegger menjaga jarak dengan gerakan eksistensialisme, tetapi konsep eksistensialisme Heidegger tetap menjadi fondasi dari beragam pemikiran. Heidegger meng-kritik filsafat Barat sebagai sudah melupakan “being” atau eksistensi. Padahal, tugas filsafat adalah mengkaji being sebagai mana being sejati. Heidegger bertekad untuk kembali mengkaji being dengan serius.
Dari beragam being yang ada di alam raya, mereka semua adalah sama yaitu sama-sama being. Kita perlu memilih dari mana untuk mulai mengkaji being. Human-being atau manusia adalah being paling unik, yaitu, being yang senantiasa peduli dengan eksistensi dirinya sendiri. Berbeda dengan batu, misalnya. Batu tidak pernah bertanya bagaimana nasibnya tahun depan atau bagaimana sejarahnya dia bisa menjadi batu seperti sekarang ini. Di sisi lain, manusia selalu bertanya bagaimana nasibnya di masa depan dan bagaimana sejarah masa lalu sampai menjadikan dirinya seperti ini. Karakter peduli dan penuh tanya ini yang menjadikan manusia sebagai istimewa.
Manusia sejati adalah dasein atau being-there. Heidegger memilih memulai kajian dari dasein. Tetapi, bukan dasein dalam arti konsep abstrak. Sebaliknya, dasein adalah being-there atau manusia apa adanya atau manusia ontologis – berbeda dengan manusia ontic. Pada bagian lebih akhir, kita akan membahas perbedaan ontologis dengan ontic ini.
Dasein selalu ada dalam dunia. Manusia selalu ada di dunia ini. Manusia tidak bisa membebaskan diri dari dunia ini, misal, manusia tidak bisa hanya hidup dengan dirinya sendiri. Dasein adalah being-in-the-world. Dengan anugerah diri dan seluruh alam raya maka tugas manusia adalah memaknai semua yang ada, memaknai being. Apa makna jadi dasein?
Pertama, manusia sadar bahwa dirinya hidup bersama ibu. Sejak lahir, kita mendapat curahan kasih sayang ibu. Kita berutang budi kepada ibu. Selanjutnya, kita melihat alam sekitar. Kita hidup berlindung dari panas dan dingin dengan memakai baju dan tinggal di rumah. Kita perlu makan setiap hari. Kita berinteraksi dengan lebih banyak orang lagi. Apa makna itu semua? Ketika kita peduli, dengan bertanya apa makna itu semua, maka kita sedang menjadi manusia otentik, manusia sejati. Kita menjadi bermakna dengan cara memaknai segala yang ada.
Kita bisa kembali bertanya, “Apakah gadis cantik, anak saya, bernama Rara itu benar-benar ada?” “Apakah meja, di depan saya ini, benar-benar ada?” “Apakah pohon, di samping rumah kita, benar-benar ada?”
Ketika kita bertanya itu semua, kita sedang berperan sebagai dasein otentik. Orang yang tidak pernah bertanya dengan serius tentang itu semua, mereka, justru, sedang tenggelam dalam ilusi diri. Kita perlu bertanya. Bahkan berlanjut dengan, “Apa makna semua anugerah itu?” Dan, semua anugerah itu sudah hadir begitu saja untuk kita. Tugas kita adalah memaknai semua. Dari proses “memaknai” ini, lahir berbagai macam ilmu pengetahuan baru dan “tersingkapnya” wujud dengan proses dinamis.
Eksistensialis, semisal Heidegger, menempuh jalur berbeda dengan rasionalis, misal Descartes. Eksistensialis menerima bahwa alam raya ini sudah ada seperti ini – sebagai facticity atau situasi. Tugas kita adalah untuk memaknainya, kemudian, mengubahnya menjadi lebih baik. Eksistensialis tidak perlu meragukan akan eksistensi meja, pohon, Rara, dan apa saja di dunia luar. Sehingga, eksistensialis tidak perlu membuktikan bahwa alam raya ada atau tidak. Alam raya sudah benar-benar ada.
Dasein adalah being-there atau realitas wujud apa adanya. Dan, yang penting, apa makna semua anugerah itu? Apa makna-ada?
1.3 Cahaya
Suhrawardi (1154 – 1191) mendefinisikan cahaya adalah sebagai realitas paling fundamental dan paling jelas. Cahaya, tidak perlu dijelaskan, sudah jelas dengan dirinya sendiri. Bahkan realitas yang lain, justru, memerlukan cahaya agar menjadi jelas. Tentu saja, maksud cahaya di sini adalah cahaya sejati.
Pengetahuan kita adalah cahaya. Dunia luar adalah cahaya. Diri kita sendiri adalah cahaya. Selain cahaya adalah tidak ada yaitu gelap-void.
Dalam realitasnya, cahaya bertemu dengan gelap. Mereka, cahaya dan gelap, itu bercampur. Tetapi, campuran itu adalah campuran cahaya-being dengan gelap-void. Bagaimana pun, gelap-void adalah tidak ada. Sehingga, campuran itu sejatinya hanya campuran cahaya.
Ketika kita hendak membuktikan eksistensi dunia luar, sama artinya dengan, cahaya diri kita berhadapan dengan cahaya luar. Di antara mereka tercipta suatu relasi, di mana, relasi itu sendiri juga berupa cahaya. Sehingga tercipta satu kesatuan cahaya: cahaya-diri, cahaya-relasi, cahaya-alam. Terbukti bahwa alam raya memang ada. Pada analisis akhir, satu kesatuan cahaya yang baru itu, sejatinya, adalah cahaya-diri yang lebih sempurna. Cahaya-diri yang baru ini akan menatap cahaya lain, sehingga, terjadi proses penyempurnaan cahaya-diri secara terus-menerus.
Tetapi, tetap ada resiko. Karena alam raya adalah campuran cahaya dengan void, maka, bisa saja seseorang justru terjebak dalam gelapnya void. Karena itu, kita perlu hati-hati dengan membersihkan diri sehingga bisa melihat cahaya apa adanya. Dan, kita berpartisipasi dalam gerak dinamis cahaya meraih sempurnanya Cahaya Segala Cahaya.
Berikutnya, kita akan membahas lebih detil eksistensi materi, cantik, dan cinta. Kita akan menjadi lebih mudah memahami bila dalam pikiran kita terbayang bahwa materi adalah cahaya, cantik adalah cahaya, dan cinta adalah cahaya.
2. Eksistensi Materi
Mari kembali memandang wajah Rara yang cantik. Fokus kepada pipi Rara. Kita bisa ragu apakah kita benar-benar tahu bahwa di depan kita itu adalah Rara. Tapi saya yakin bahwa saya sedang berpikir. Saya sedang berpikir tentang pipi Rara. Tidak ada keraguan sedikit pun tentang pikiran itu.
Di sini, saya berhasil membuktikan bahwa saya ada karena sedang berpikir. Sementara pikiran saya tentang pipi Rara masih perlu penjelasan lebih jauh apakah itu benar atau salah. Seperti pada bab sebelumnya, saya bisa menguji pikiran saya dengan berbagai macam cara.
Saya bisa saja mengundang sepuluh teman saya untuk bersama-sama menatap pipi Rara. Mereka, semua, melihat pipi Rara. Mereka semua berpikir tentang Rara. Di antara sebelas orang itu, termasuk saya, bisa saja bergantian meninggalkan ruangan. Yang meninggalkan ruangan tidak lagi berpikir tentang pipi Rara. Tetapi pipi Rara tetap ada, secara obyektif. Jadi saya yakin tentang pikiran saya bahwa ada pipi Rara.
Selanjutnya, penyelidikan tentang pipi Rara menunjukkan tersusun dari daging, kulit, dan sebagainya. Penelitian lebih lanjut memberi tahu kita bahwa pipi manusia tersusun oleh sel-sel tubuh manusia, tersusun oleh senyawa bio-kimia. Di antaranya terdiri dari hidrokarbon. Gabungan atom hidrogen dan atom karbon.
Lebih detil, kita fokus ke atom hidrogen – penyusun pipi Rara. Terdiri dari satu inti atom, proton bermuatan listrik positif, dan satu elektron bermuatan listrik negatif. Elektron ini mengelilingi inti yang berjarak tertentu dengan kecepatan tinggi. Elektron, sejauh ini, dianggap partikel paling sederhana. Artinya elektron tersusun oleh dirinya sendiri, tidak tersusun oleh bahan lain. Inti atom, proton misalnya, dianggap sebagai partikel sederhana awalnya. Tetapi sains, kemudian, menemukan penyusun inti atom berupa quark, lepton, dan sebagainya.
Jadi, pipi Rara tersusun oleh beragam atom. Masing-masing atom ada muatan listrik positif, negatif, atau nol. Dan, muatan negatif, yang berupa elektron, senantiasa bergerak dengan kecepatan tinggi mengelilingi inti atom.
Sampai di sini, kita menyimpulkan diri kita ada. Rara juga ada secara obyektif di depan kita yang pipinya tersusun oleh atom-atom. Obyek eksternal alam lainnya, misal meja, kursi, pohon, dan lainnya dapat kita analisis dengan cara yang sama. Maka obyek eksternal tersusun oleh atom-atom. Termasuk badan kita, otak kita, dan mata kita juga tersusun dari atom-atom.
Kesimpulan di atas kita peroleh dengan analisis filsafat dibantu sain fisika. Alternatif analisis lainnya akan kita diskusikan di bawah.
3. Eksistensi Cantik
Jika pipi Rara tersusun oleh atom-atom bermuatan listrik maka apakah cantiknya Rara juga tersusun oleh atom yang sama?
Tentu tidak.
Cantik tidak berhubungan dengan atom-atom bermuatan listrik, sejauh pengalaman sehari-hari yang kita perhatikan. Cantiknya Rara itu karena ada struktur yang seimbang, ada susunan yang indah dari mata dan alis. Ada proporsi wajah yang tepat. Demikianlah kira-kira rumusan cantik dari sang filsuf Aristoteles.
Sementara, Plato, menyatakan bahwa Rara cantik karena terhubung dengan cantik universal yang berada di alam idea. Begitu juga obyek-obyek cantik yang lain – bunga, burung, taman, lukisan, rumus, program – juga terhubung dengan cantik universal yang sama.
Kedua rumusan cantik, Aristoteles dan Plato, dapat kita gabungkan untuk analisis cantiknya Rara.
Cantiknya Rara yang karena ada perpaduan pipi, di atasnya ada mata bening, di atasnya lagi ada alis, lalu rambut hitam lebat menunjukkan adanya simetri yang indah – cantik versi Aristoteles. Sedangkan relasi pipi dengan mata yang tepat itu tidak hanya ada di alam materi. Relasi yang sempurna itu sejatinya ada di alam idea yang universal – cantik versi Plato.
Jadi, cantiknya Rara benar-benar ada. Bahkan tidak relatif seperti dugaan orang-orang selama ini. Bahkan cantik ini lebih kuat dari materi daging, kulit, dan rambut Rara karena cantik berada di alam idea yang universal. Eksistensi cantiknya Rara benar adanya.
Bagaimana bila ada orang yang tidak cantik? Apakah tidak cantik itu juga universal? Atau relatif?
Bila mengacu definisi cantik adalah adanya komposisi simetri yang indah maka, barangkali, tidak cantik adalah tidak adanya komposisi itu. Dengan demikian tidak ada juga di alam universalia. Di bagian berikutnya kita akan membahas lebih detil tentang dunia universalia dan hakikat keburukan, kejahatan, penderitaan, dan lain-lain. Untuk saat ini, kita masih fokus menunjukkan bahwa eksistensi cantik itu benar adanya.
Mengacu kepada Ibnu Arabi, cantik adalah manifestasi dari sifat-sifat Tuhan yang cantik: indah, lembut, pengasih, pemurah, bersinar, dan lain-lain.
4. Eksistensi Cinta
Cinta, barangkali, dianggap oleh banyak orang sebagai tidak ilmiah. Hanya fenomena subyektif. Anggapan ini akan kita balik total. Cinta adalah segalanya.
Cinta untuk Rara, gadis cantik itu benar-benar ada, nyata. Saya, sebagai ayahnya Rara, memberikan cinta yang tulus untuk Rara. Saya mencintai Rara apa adanya. Saya berikan semua yang terbaik untuk Rara. Saya rela berkorban apa pun demi kebahagiaan Rara. Bagi saya, cinta kepada Rara adalah yang paling berharga. Melampaui segalanya.
Rara cantik tentu saya cinta. Seandainya Rara dalam kondisi yang berbeda maka saya tetap cinta. Cinta saya kepada Rara melebihi daging dan kulit yang membentuk pipi Rara itu.
Terbentuk dari apakah cinta itu? Di mana “letak” cinta itu? Apa hakikat cinta?
Kita akan menjawab pertanyaan penting tentang cinta itu di bagian lebih akhir. Kita masih perlu merumuskan berbagai pendahuluan untuk membahas cinta ini. Memang benar cinta bersifat subyektif, dalam arti tergantung subyek. Cinta saya kepada Rara bergantung kepada saya. Jika saya pergi dari ruangan ini meninggalkan Rara maka di dalam ruangan ini tidak ada lagi cinta saya kepada Rara. Tetapi cinta saya kepada Rara tetap ada dalam diri saya, dalam jiwa saya. Ke mana pun saya pergi selalu ada cinta untuk Rara.
Meski saya pergi meninggalkan ruangan tetap ada cinta di sana. Yaitu cinta Rara kepada saya. Cinta seorang anak kepada ayahnya. Dunia tidak pernah hampa dari cinta. Bahkan dunia selalu dipenuhi oleh cinta. Sampai meluber. Cinta melampaui dunia dan semesta.
Rumi, sang sufi penyair, menjalani hidup penuh cinta. Hidup adalah cinta itu sendiri. Agama adalah cinta. Eksistensi adalah cinta.
5. Diskusi
Sampai di sini, kita berhasil membuktikan eksistensi cinta, cantik, dan materi. Di mana, materi adalah realitas obyektif, terbebas dari subyek pengamat. Sedangkan cantik adalah realitas obyektif universal – tidak relatif seperti perkiraan banyak orang. Sementara, cinta merupakan realitas subyektif tetapi justru lebih kuat dari materi penyusun badan manusia.
5.1 Ringkasan
Kita bisa mempertimbangkan beragam argumen untuk membuktikan eksistensi alam eksternal. Argumen paling sederhana adalah argumen Russell, yaitu, dengan cara kita mengamati obyek tertentu bergantian dengan orang lain. Karena, beberapa orang itu berhasil mengamati obyek yang sama secara konsisten, maka, obyek tersebut, yakni dunia eksternal, benar-benar eksis secara obyektif.
Argumen-argumen yang lebih canggih, di antaranya, cogito dari Descartes, dasein dari Heidegger, dan cahaya realitas dari Suhrawardi.
5.2 Eksistensi Bunda
Eksistensi-bunda adalah argumen yang kuat membuktikan bahwa dunia eksternal adalah eksis secara obyektif. Kita sadar bahwa kita lahir dari seorang bunda. Setiap orang lahir dari ibunya. Karena itu, bunda benar-benar ada. Ibu eksis secara obyektif di alam eksternal. Terbukti, alam eksternal memang eksis.
Selanjutnya, ibu sendiri lahir dari ibunya, yaitu nenek. Sementara, nenek lahir dari buyut dan seterusnya. Jadi, alam eksternal eksis sambung-menyambung sampai ke masa lalu. Secara ruang, untuk hidup, ibu memerlukan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Sehingga, benda-benda tersebut juga eksis secara obyektif di dunia eksternal. Ringkasnya, eksistensi-bunda membuktikan bahwa beragam dunia eksternal adalah eksis secara obyektif.
Orang bisa saja berargumen bahwa, di masa depan, seorang bayi bisa lahir tanpa perlu ibu. Misal, kemajuan teknologi kedokteran memungkinkan terjadinya pembuahan sel telur oleh sel sperma bukan di rahim ibu, melainkan di tabung. Kemudian, janin hasil pembuahan dibesarkan di tabung-hebat. Lebih jauh lagi, sel telur dan sel sperma di atas merupakan hasil rekayasa. Dengan demikian, akan lahir seorang bayi tanpa ibu dan tanpa bapak. Argumen ini justru menunjukkan adanya eksistensi dunia luar yaitu: para dokter, ahli teknologi medis, dan peralatan medis itu sendiri.
Eksistensi-bunda, lebih jauh, membuktikan eksistensi cantik dan cinta. Bunda, karena seorang wanita, pasti cantik. Dan, bunda pasti cinta kepada anaknya. Lengkap sudah, eksistensi-bunda membuktikan eksistensi dunia luar, cantik, dan cinta.
5.3 Realitas Subyektif
Realitas subyektif cinta memunculkan tanda tanya apakah pengetahuan kita tentang materi, misal pipi Rara, juga subyektif? Meski pun realitas pipi Rara adalah obyektif. Karena sejauh ini, kita belum bisa mengetahui, secara meyakinkan, apa hakikat materi itu. Sementara, untuk saat ini, kita menerima hasil penyelidikan sains fisika yang menyatakan materi tersusun oleh atom-atom dan partikel quantum. Pada bagian berikutnya kita akan menyelidiki hakikat materi ini lebih detil dan mempertimbangkan berbagai macam alternatif berbeda. Dan, berusaha menjawab subyektivitas dan obyektivitas pengetahuan manusia.
Lanjut ke Cantik Alami
Kembali ke Philosophy of Love
Tinggalkan komentar