Induksi: Cantik Keturunan

Rara memang cantik. Ibunya Rara juga cantik. Bahkan neneknya pun cantik. Maka bila Rara nanti punya anak perempuan maka pasti cantik juga. Dilanjutkan lagi, bila punya cucu perempuan pasti juga cantik. Apakah bisa kita berpikir seperti itu?

Tentu saja bisa. Cara berpikir yang lebih luas seperti di atas dikenal sebagai metode berpikir induktif yang mendorong pengetahuan berkembang maju pesat. Kita akan membahas lebih detil berpikir induktif pada bagian ini.

1. Terbit Matahari
2. Perkembangan Pengetahuan
2.1 Induksi Paling Kuat
2.2 Mengapa Induksi Pasti Benar
3. Berpikir Deduktif Lebih Pasti
4. Anomali Adalah Pengetahuan
5. Cantik Turunan
5.1 Dugaan
5.2 Kausalitas
5.3 Mutlak Benar
6. Ringkasan
7. Diskusi
7.1 Falsifikasi Langsung
7.2 Falsifikasi Paradigma
7.3 Falsifikasi Program
7.4 Penolakan Induksi
7.5 Penolakan Kausalitas
7.6 Generalis: Induksi Muda
7.7 Futuris: Induksi Dewasa
7.8 Antisipasi
7.9 Inferensi

Kita mudah menduga bahwa berpikir induktif bisa benar, bisa juga salah. Tepat sekali. Dengan metode yang hati-hati, kita bisa menjamin bahwa berpikir induksi mendekati kebenaran 100%. Russell menunjukkan caranya, dengan mengungkap suatu hubungan sebab-akibat yang mendukung berpikir induksi tersebut. Misal, asumsikan, bahwa penyebab cantik adalah suatu “gen c” yang selalu diturunkan dari ibu ke anak perempuannya. Dan kita menemukan terdapat gen c pada Rara maka kita sah menyimpulkan bahwa anak perempuan Rara pasti cantik juga.

Sementara, Karl Popper mengingatkan bahwa, kebenaran berpikir induksi ini, perlu difalsifikasi. Sehingga kita menemukan letak kesalahan yang mungkin dan mengembangkan pengetahuan yang lebih kokoh. Popper menolak penggunaan metode induksi. Sementara, beberapa pemikir mendukung induksi.

1. Terbit Matahari

Apakah besok matahari akan bersinar? Apakah besok matahari akan terbit lagi? Apakah besok masih ada air di bumi?

Jawabannya positif. Ya, benar semua!

Kita tahu bahwa besok matahari akan bersinar. Tetapi tidak ada jaminan itu benar. Bisa saja nanti malam berpendar. Dan besok, tidak lagi matahari bersinar.

Berpikir induksi akan menjawab ini semua dengan jelas.

Pertama, kemarin matahari bersinar. Kemarin lusa matahari bersinar. Pekan lalu matahari bersinar. Bulan lalu matahari bersinar. Dan sepanjang sejarah manusia, matahari tetap bersinar. Maka kita menyimpulkan bahwa besok matahari bersinar.

Meski kesimpulan di atas benar tetapi tidak meyakinkan.

Kedua, kita bisa menyelidiki mengapa matahari bersinar. Di matahari terjadi reaksi nuklir yang menghasilkan energi, salah satunya, berupa cahaya matahari. Sinar matahari, sebagai gelombang elektromagnetik, merambat sampai ke bumi, yang kita amati. Dari penelitian, diperkirakan umur matahari, masih sampai lebih dari 5 milyard tahun ke depan. Masih ada reaksi nuklir terus-menerus sepanjang milyardan tahun di matahari. Sampai saat ini tidak ada tanda-tanda istimewa akan terjadi perubahan mendadak reaksi nuklir matahari di atas. Maka kita menyimpulkan matahari akan bersinar esok hari.

Dengan cara analisis yang kedua maka kita makin yakin validitas berpikir induktif. Kita tidak hanya mengamati kasus permukaan bahwa matahari bersinar atau tidak. Tetapi kita melangkah lebih jauh dengan mencermati hukum sebab akibat yang terkait pada proses sinar matahari.

Bandingkan dengan berpikir induksi pada kasus yang berbeda. Di pagi hari Senin, Rara membuka pintu rumahnya. Pagi hari Selasa, Rara juga membuka pintu rumahnya. Begitu seterusnya kejadian sampai 99 kali. Pertanyaannya: apakah besok pagi Rara akan membuka pintu rumahnya? Sehingga lengkap sampai 100 kali?

Analisis sederhana menunjukkan bahwa penyebab Rara membuka pintu adalah keputusan Rara itu sendiri. Jika Rara mengambil keputusan untuk membuka pintu maka besok pagi ia akan membuka pintu. Jika Rara memutuskan sebaliknya maka yang terjadi bisa sebaliknya. Berpikir induksi dalam kasus Rara membuka pintu hanya berupa dugaan semata. Meski sudah pernah terjadi peristiwa membuka pintu 99 kali atau seribu kali, atau bahkan sejuta kali maka tetap tidak ada jaminan besok akan terjadi lagi.

Ketiga, dalam kasus apakah matahari besok bersinar, kita dapat meneliti gerak-gerak benda di langit. Termasuk gerak matahari, planet-planet, dan bintang-bintang lain. Gerak jagad raya dapat dihitung dengan hukum gravitasi dan mekanika Newton. Dari perhitungan itu kita peroleh bahwa bumi akan tetap berputar pada porosnya sambil mengelilingi matahari. Dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa hukum gravitasi akan berhenti bekerja. Sehingga kita, sah, menyimpulkan bahwa besok matahari akan bersinar.

Memang bisa saja, misalnya, nanti malam bumi bertabrakan dengan planet Mars. Di saat yang sama, malam nanti, matahari bertabrakan dengan bintang yang lebih besar sampai hancur lebur. Atau orang menyebut sebagai terjadi kehancuran alam semesta. Maka besok matahari TIDAK bersinar. Meski hal ini bisa terjadi tetapi kita tidak melihat ada tanda-tanda yang menunjukkan hal itu bisa terjadi.

2. Perkembangan Pengetahuan

Induksi mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan konsep generalisasi, yang dipakai dalam berpikir induksi, dari pengetahuan yang sedikit kita bisa menyimpulkan yang lebih luas. Dilengkapi dengan metode ilmiah, maka kita bisa melakukan banyak eksperimen hanya di laboratorium, tetapi hasil kesimpulan berlaku luas ke seluruh alam semesta.

Di laboratorium, penelitian menemukan bahwa arus listrik (I) yang mengalir berbanding terbalik dengan nilai hambatan (R). Meski hanya ditemukan di laboratorium tetapi para insinyur yakin bahwa perilaku arus listrik seperti di atas berlaku umum. Maka insinyur dapat mendesain teknologi berdasar perilaku arus listrik di atas (dan aturan-aturan lain yang ditemukan di lab). Dan hasil desain teknologi itu berupa smartphone yang kita pakai, layar monitor yang kita lihat, dan komputer yang memudahkan kerja manusia.

Tentu saja, para peneliti tidak perlu tahu bahwa smartphone akan bisa beroperasi di rumah masing-masing pengguna. Peneliti hanya perlu sudah menguji di lab. Lalu berpikir induksi. Dan benar saja smartphone bisa kita pakai di mana saja. Kadang-kadang kita menemukan cacat pada produk baru smartphone, misal layar yang pecah. Sehingga smartphone tidak beroperasi. Dengan mudah kita bisa mengatakan bahwa itu hanya kejadian khusus saja. Mungkin karena smartphone jatuh atau lainnya. Yang jelas, secara umum, berpikir induktif adalah valid.

2.1 Induksi Paling Kuat

Berpikir induksi yang paling meyakinkan adalah induksi matematika untuk bilangan bulat. Barangkali dengan contoh akan lebih mudah. Perhatikan deret bilangan ganjil positif berikut ini.

1 + 3 + 5 + 7 + … … …

Kita mudah menebak bahwa jumlah dari deret di atas adalah kuadrat atau perkalian banyaknya angka (bilangan).

1 + 3 = 2 x 2 = 4

1 + 3 + 5 = 3 x 3 = 9

Apakah kita bisa berpikir induksi? Apakah bila ada 100 angka maka jumlahnya adalah 100 x 100? Yaitu 10 000. Ternyata benar. (Saya menyebut angka meski yang dimaksud bilangan).

Apakah juga berlaku bila ada 1000 angka maka jumlahnya 1 000 x 1 000 = 1 000 000. Ternyata benar juga.

Matematika punya cara untuk membuktikan validnya berpikir induktif ini dengan keyakinan 100% benar.

Asumsikan bahwa itu berlaku untuk banyak angka n maka jumlah seluruhnya,

S = n x n

Maka kita perlu menunjukkan bila ditambah 1 angka lagi tetap benar. Maksudnya bila 2 angka benar bahwa 2 x 2 = 4 maka harus benar juga,

2 x 2 + (5) = 4 + (5) = 9 = 3 x 3 (Benar)

Bilangan ganjil berikutnya dibentuk dengan rumus (2n + 1).

Maka

n x n + (2n + 1) harus sama dengan (n + 1) x (n + 1)

Dan memang benar,

(n + 1) x (n + 1) = n x n + 2n + 1 (Terbukti).

Kesimpulan bahwa jumlahnya adalah kuadrat selalu benar 100% secara matematika. Tidak ada keraguan dalam induksi matematika ini. Beda dengan induksi alam semesta yang masih menyisakan sedikit banyak keraguan. Dengan falsifikasi Karl Popper kita bisa menyisihkan keraguan, yang tersisa itu, guna membentuk pengetahuan yang lebih kokoh.

Barangkali ada yang penasaran bagaimana induksi matematika di atas terbukti dengan kuat tanpa keraguan?

Pertama, kita menduga bahwa kuadrat itu berlaku untuk n angka. Dan ini bisa kita coba untuk n yang kecil misal n = 2 ternyata benar. Kedua, kita membuktikan bahwa kuadrat itu berlaku untuk (n + 1) maka berlaku semua n berapa pun.

Misal mengapa berlaku untuk n = 100? Karena berlaku untuk 2 angka maka berlaku juga untuk 3 angka. Dan seterusnya maka berlaku untuk 99 angka, sampai berlaku juga untuk 100 angka. Jadi berapa pun nilai n yang kita pilih maka kesimpulan kita akan dijamin benar berdasar induksi matematika.

2.2 Mengapa Induksi Pasti Benar

Mengapai induksi matematika pasti benar? Sedangkan mengapa induksi sains alam dan sosial masih ada kemungkinan salah, meski umumnya benar?

Matematika selalu benar karena didasarkan pada pengetahuan a priori. Sedangkan sains, ada kemungkinan salah karena, mempertimbangkan pengetahuan a posteriori. Lebih lengkap tentang a priori dan a posteriori kita bahas lengkap di bab khusus tulisan ini. Kita akan membahas bagian terpentingnya di saat ini.

Untuk induksi matematika kita punya kemewahan mendefinisikan kasus demi kasus sesuai keingingan kita, a priori. Misal deret bilangan ganjil,

1 + 3 + 5 … … …

Kita bisa memastikan hanya terdiri dari bilangan ganjil yang urut. Bila ada angka 6 akan dimasukkan ke deret maka kita boleh menolaknya. Bahkan bila semua bilangan ganjil tapi susunan acak-acakan maka kita boleh menyusun ulang sesuai aturan yang kita pakai.

Dengan kemewahan ini, kita kemudian berpikir induktif sesuai logika matematika. Maka hasil induksi matematika ini terjamin benar 100%.

Sains bernasib beda. Sains tidak punya kemewahan untuk mendefinisikan fenomena alam. Meski sains sudah berusaha membatasi kajian dengan definisi yang ketat, masih ada peluang, ada hal-hal yang di luar dugaan.

Lagi pula, induksi matematika hanya merupakan satu cara menemukan bukti kebenaran. Ada cara lain, yang lebih pasti, yaitu berpikir deduktif dalam matematika. Tampaknya, sains juga tidak memiliki kemewahan menerapkan berpikir deduktif sekuat matematika.

3. Berpikir Deduktif Lebih Pasti

Berpikir induktif matematika bernilai pasti benar. Sedangkan, berpikir deduktif juga selalu benar, baik untuk bidang matematika atau bidang lainnya. Deduktif tetap selalu benar karena berdasar analisis logis terhadap sistem aksiomatik semisal matematika.

“Setiap presiden Amerika adalah orang pilihan.”
“Biden adalah presiden Amerika.”
Kesimpulan:
“Biden adalah orang pilihan”

Cara berpikir di atas adalah deduktif. Dijamin pasti bernilai benar, kesimpulannya. Dalam matematika, kita akan menemukan banyak cara berpikir deduktif ini.

“Setiap segitiga memiliki 3 sudut.”
“ABC adalah segitiga.”
Kesimpulan: “ABC memiliki 3 sudut.”

Yang menarik adalah, induksi matematika seperti contoh kita di atas, contoh deret bilangan, dapat kita buktikan secara deduksi sehingga bernilai benar 100%. Mari kita perhatikan kembali deret bilangan ganjil positif.

1 + 3 + 5 + … … … + (2n -1)

Jumlah deret aritmetika di atas bisa kita hitung dengan menjumlah suku pertama dengan suku terakhir lalu dikalikan banyaknya pasangan yaitu n/2. Kita peroleh,

S = (1 + (2n – 1)) x (n/2)
= 2n x (n/2)
= n x n

Jadi terbukti, secara deduktif, bahwa jumlahnya adalah n x n. Sama persis dengan pembuktian induksi. Maka dengan cara ini, kita makin yakin, bahwa induksi matematika bernilai benar 100% karena sepadan dengan deduksi.

Untuk sains – eksak dan sosial – tidak seberuntung matematika. Sains hanya bisa deduksi dengan batasan yang lebih ketat. Misalnya kita bisa bertanya, “Apakah matahari bersinar pada tahun 2010?”

“Matahari bersinar dari tahun 2000 sampai 2020”
“Tahun 2010 terletak di antara 2000 sampai 2020”
Kesimpulan: “Matahari bersinar pada tahun 2010.”

Kesimpulan deduksi kita di atas sah dan bernilai benar 100%, meski pun ini sains bukan matematika. Mudah kita lihat bahwa deduksi ini hanya berlaku untuk periode masa lalu, terbatas. Bila kita dihadapkan pada pertanyaan apakah matahari bersinar pada tahun 2050 maka sains akan menggunakan cara induksi lagi.

Sedikit kembali kepada induksi matematika yang terjamin benar 100% di atas, sejatinya, ketika kita memisalkan bilangan bulat positif n maka bilangan n ini bersifat universal. Berlaku untuk seluruh bilangan bulat. Tidak sekedar partikular. Maka masuk akal bila kesimpulan induksi matematika juga bersifat universal, selalu benar.

Ditambah lagi, dalam matematika, kita memiliki kemewahan untuk mendefinisikan deret sesuai kriteria kita secara a priori. Lengkap sudah, kebenaran matematika bersifat pasti.

4. Anomali adalah Pengetahuan

Dalam mengembangkan pengetahuan, anomali bisa menjadi petunjuk arah baru pengetahuan. Anak-anak tidak suka belajar matematika, misalnya. Seharusnya, mendapat ilmu, anak pasti suka. Anomali ini menjadi petunjuk bagi saya untuk mengembangkan metode belajar matematika APIQ yang disukai oleh banyak anak-anak.

Einstein berhasil mengembangkan teori fisika modern karena ada anomali dari fisika klasik Newton. Teori mekanika quantum juga berkembang dari anomali mekanika klasik.

Karl Popper menyatakan bahwa teori sains tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Hanya bisa dibuktikan kesalahannya atau falsifikasi. Dengan cara ini, kita bisa memilih teori sains yang lebih bagus atau memodifikasi teori sains yang ada menjadi lebih tepat.

Mari kita ambil contoh sains fisika Newton. Misal kita naik kereta api dengan kecepatan tetap 40 km/jam. Lalu di dalam kereta api saya berjalan ke depan dengan kecepatan 1 km/jam. Maka kecepatan total saya,

k = 40 + 1 = 41 km/jam.

Rumusan mekanika klasik ini terbukti benar untuk semua eksperimen yang pernah dikaji. Bila ada anomali, bahkan, dicari-cari ada salahnya di mana. Lalu dikoreksi – hasil eksperimennya. Sehingga, teori mekanika klasik tetap benar.

Einstein melihat suatu anomali. Misal kita naik kereta dengan kecepatan 0,7 c. Lalu di atas kereta saya lari ke depan dengan kecepatan 0,5 c. Maka kecepatan total saya adalah,

k = 0,7 + 0,5 = 1,2 c

Anomali…!!! Tidak mungkin bisa lebih besar dari c, kecepatan cahaya. Dari anomali ini, Einstein berhasil menyusun teori relativitas khusus, yang sangat berguna untuk pengembangan teknologi nuklir.

5. Cantik Turunan

Nah, kita kembali membahas cantiknya Rara akankah diwariskan kepada anak-anak perempuan Rara? Artinya, apakah bisa dipastikan, bahwa anak-anak perempuan Rara akan cantik semua?

5.1 Dugaan

Pertama, jika kita hanya memperhatikan fenomena cantiknya Rara, ibunya, dan nenek moyangnya maka kita hanya bisa menduga bahwa anak perempuan Rara akan cantik. Dugaan ini tidak bernilai ilmu pengetahuan, hanya sebatas dugaan.

5.2 Kausalitas

Kedua, jika kita mengkaji lebih dalam hukum sebab-akibat bagaimana seorang ibu menurunkan sifat cantik kepada putrinya maka ini bernilai ilmu pengetahuan. Misalnya benar, setelah kajian mendalam, bahwa cantiknya Rara akan diturunkan kepada putri-putrinya maka tetap ada batasan kebenarannya. Artinya, putri Rara akan cantik selama hukum-hukum sains terpenuhi. Dan dalam banyak kejadian hukum-hukum sains berlaku sehingga putri-putri Rara memang cantik. Namun ada kalanya anomali. Tidak masalah dengan anomali karena menunjukkan arah teori baru atau memperbaiki teori yang sudah ada.

5.3 Mutlak Benar

Ketiga, kita berharap bisa menemukan pengetahuan yang bernilai mutlak benar. Dalam pembahasan di atas, kita sudah menemukan kebenaran mutlak pada pernyataan matematis. Sedangkan pengetahuan yang melibatkan materi di alam semesta ada juga yang mendekati mutlak benar. Misalnya, “Setiap orang mati pada waktunya.” Kita akan menyelidiki pengetahuan yang berlaku mutlak seperti ini pada bab selanjutnya.

6. Ringkasan

Cara berpikir induktif merupakan cara berpikir yang alamiah. Bila kita mengembangkan metode yang tepat maka berpikir induktif ini memudahkan pengembangan ilmu pengetahuan. Eksperimen-eksperimen ilmiah banyak memanfaatkan berpikir induktif. Dengan mengamati fenomena-fenomena terbatas, sains berhasil membuat kesimpulan yang berlaku luas.

Dalam sains, metode induksi bersaing dengan metode falsifikasi. Kita bisa mendiskusikan falsifikasi, di beberapa tempat, sebagai lanjutan tulisan ini.

7. Diskusi

Ide falsifikasi makin penting karena melengkapi ide induksi. Di satu sisi, induksi lebih mudah karena terasa alamiah bahwa kita berpikir secara generalisasi induksi. Di sisi lain, falsifikasi mengingatkan kita adanya beragam batasan dari klaim induksi. Di bagian ini, kita akan mendiskusikan beberapa pengembangan falsifikasi.

7.1 Falsifikasi Langsung

Falsifikasi langsung menyatakan bahwa suatu hipotesis bisa ditolak secara langsung dengan adanya eksperimen, atau pengamatan, yang membuktikan kebalikannya.

H: Setiap mobil beroda 4.
K: Ada mobil truk beroda 6.

Kesimpulan: hipotesis (H): Setiap mobil beroda 4 adalah ditolak. Karena (K) berhasil menunjukkan hasil pengamatan yang berkebalikan dengan (H). Bisa saja, pendukung (H) menyatakan bahwa (K) hanyalah kejadian khusus sehingga (H) tetap bisa diterima.

Bagaimana pun, kita menyadari bahwa klaim (H) terlalu kuat. Kita perlu terbuka dengan beragam alternatif yang mungkin saja menunjukkan hasil pengamatan berbeda dari (H).

7.2 Falsifikasi Paradigma

Setiap klaim memiliki paradigma tertentu. Atau, lebih luasnya, setiap klaim memiliki histori tertentu. Sehingga, kita perlu mengamati klaim sesuai konteks masing-masing.

Bisa saja klaim (H), setiap mobil beroda 4, adalah dilakukan penduduk wilayah tertentu. Di wilayah itu, sulit akses jalan. Sehingga, mobil yang masuk ke sana harus melintasi jembatan sempit. Akibatnya, hanya mobil-mobil kecil yang beroda 4 saja yang bisa ke wilayah itu. Dengan demikian, klaim (H) tetap valid.

Problem filosofis bisa lebih serius. Bagaimana kita yakin bahwa (K), ada mobil truk beroda 6, bernilai mutlak benar? Bukankah (K) perlu difalsifikasi juga? Bagaimana jika (K) ternyata salah?

Skenario ini bisa menjadikan setiap klaim tidak stabil. (H) gugur karena tidak lolos falsifikasi oleh (K). Tetapi, (K) bisa gugur juga karena, misal, tidak lolos falsifikasi oleh (L) dan seterusnya. Solusinya, kita perlu berhenti pada titik tertentu, klaim tertentu, yang bisa disepakati oleh para ahli.

Alternatif solusi adalah kita memandang setiap klaim dengan paradigma probabilistik. Sehingga, setiap pernyataan memiliki nilai kebenaran dengan probabilitas tertentu. Klaim (H), misal, bernilai benar dengan probabilitas 90%. Sehingga, ketika (K) menemukan mobil tidak beroda 4, kita boleh bertanya, “Berapa banyak?”

Jika mobil yang tidak beroda 4 itu hanya 5% maka kita masih percaya klaim (H). Tetapi, jika mobil yang tidak beroda 4 itu lebih dari 15% maka klaim (H) dianggap gugur. Lebih detil metode perhitungan ini, kita bisa merujuk ke statistik.

7.3 Falsifikasi Program

Dengan sengaja, kita bisa menyusun program untuk merespon falsifikasi. Ketika (H) sudah terbukti benar di berbagai situasi, kita perlu menguji (H) pada situasi yang sulit. Misal, pada situasi yang mungkin saja (H) terbukti salah.

P: Setiap mobil di kota A beroda 4.
Q: Ada mobil di kota A tidak beroda 4.

Ketika (Q) terbukti benar maka kita menolak (P). Meski demikian, (H) masih bisa kita terima sebagai teori utama. Program riset semacam ini banyak terjadi di dunia sains.

Teori heliosentris, matahari sebagai pusat, berbeda dengan teori bumi sebagai pusat. Diharapkan akan terjadi perbedaan pengamatan bintang-jauh berdasar heliosentris dibanding teori bumi-pusat.

R: Terjadi perbedaan pengamatan bintang-jauh.
S: Tidak terjadi perbedaan pengamatan bintang-jauh.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa (S) yang benar pada waktu itu. Sehingga, (R) ditolak. Apakah teori heliosentris juga ditolak? Apakah perlu kembali meyakini bumi sebagai pusat dengan matahari yang mengelilingi? Tidak juga. Komunitas sains, saat itu, tetap menerima teori heliosentris. Karena, pengamatan fenomena-fenomena lain lebih banyak mendukung teori heliosentris.

Beberapa puluh tahun kemudian, teknologi teleskop makin berkembang. Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa (R) yang benar. Sehingga, teori heliosentris makin dikuatkan lagi.

Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa metode generalisasi induksi valid. Dan, falsifikasi menunjukkan bahwa klaim validitas induksi adalah terbatas, atau tidak mutlak. Dengan sudut pandang seperti itu, kita bisa berpikir lebih terbuka.

7.4 Penolakan Induksi

David Hume (1711 – 1776) menolak validitas induksi. Karena, induksi tidak bisa dibuktikan secara rasional. Induksi hanya bisa dibuktikan secara induksi. Argumen melingkar seperti ini tidak valid seara logika. Bagaimana pun, Hume tetap menerima praktek berpikir induksi.

Induksi-1 = Matahari terbit tiap hari.
Induksi-2 = Cahaya matahari memanaskan batu ketika disinari.
Induksi-3 = … … …

Induksi-1 valid, induksi-2 valid, sampai induksi-n selalu valid. Kesimpulan: seluruh induksi adalah valid. Induksi diterima sebagai valid berdasarkan contoh-contoh induksi. Tetapi, terjadi argumen melingkar di sini. Jadi, berpikir induksi perlu ditolak.

D = Berpikir induksi ditolak.

Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa “D = Berpikir induksi ditolak”? Kita tidak akan bisa membuktikan D secara memadai. Mari kita ubah D menjadi E.

E = Seluruh berpikir induksi ditolak.

Kita bisa menolak satu atau dua jenis induksi. Bahkan, kita bisa menolak induksi-n. Tetapi, bagaimana kita bisa menolak seluruh induksi? Bagaimana kita bisa menolak induksi yang akan terjadi 10 tahun ke depan, 100 tahu ke depan, 1000 tahun ke depan? Kita bisa menolak induksi dengan cara induksi. Tentu, berpikir melingkar seperti ini juga batal.

Secara ringkas, kita tidak bisa membuktikan validitas induksi dan, di saat yang sama, kita tidak bisa membuktikan penolakan terhadap induksi. Kita perlu menempatkan induksi pada posisi yang tepat.

Posisi yang tepat menurut Hume adalah posisi skeptis yaitu menerima bahwa: (1) kita gagal membuktikan validitas induksi secara rasional; dan (2) kita gagal menolak induksi. Induksi bisa kita terima sebagai way-of-life atau berdasar praktek common-life.

Problem induksi ini berkaitan dengan problem kausalitas.

7.5 Penolakan Kausalitas

Induksi menjadi valid ketika kajian sampai ke kausalitas, prinsip sebab-akibat. Nenek cantik, ibu cantik, dan Rara cantik. Suatu saat nanti, Rara melahirkan anak perempuan maka anak perempuan tersebut pasti akan cantik. Karena, cantik disebabkan oleh gen-cantik yang diwariskan oleh ibu kepada anak-anak perempuan. Kesimpulan induksi ini valid karena didasarkan pada prinsip kausalitas.

Tetapi, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa kausalitas adalah valid?

Asumsikan kita memiliki argumen A, di mana, berkat A kita menyimpulkan kausalitas valid. Jadi A adalah sebab dan kausalitas adalah akibat. Lagi, terjadi proses berpikir melingkar sehingga perlu ditolak. Jadi, kausalitas ditolak.

K = Prinsip kausalitas ditolak.

Muncul pertanyaan lagi, bagaimana kita bisa membuktikan “K = Prinsip kausalitas ditolak” adalah valid?

Asumsikan kita bisa membuktikan K berdasar argumen B. Jadi, B adalah sebab dan K adalah akibat. Kita menolak prinsip kausalitas dengan menerapkan kausalitas. Terjadi proses berpikir melingkar lagi. Jadi, kita gagal membuktikan K.

Secara ringkas, kita tidak berhasil membuktikan kausalitas dan, di saat yang sama, kita tidak berhasil menolak kausalitas. Justru, pembuktian mau pun penolakan, sama-sama membutuhkan kausalitas. Jadi, kita perlu menempatkan prinsip kausalitas pada tempat yang tepat. Kita perlu memaknai kausalitas dengan bijak. Menariknya, Hume menerima kausalitas dan menempatkan sebagai probabilitas.

7.5.1 Makna Kausalitas

Apa itu kausalitas? Apa itu hukum sebab-akibat? Apa itu sebab dan akibat?

“Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kausalitas adalah perihal sebab akibat. Oleh karena itu, pengertian konjungsi kausalitas adalah kata hubung yang digunakan untuk menghubungkan sebab akibat dalam sebuah teks.”

7.5.2 Hubungan Konjungsi

Sebab adalah sesuatu yang berdampak pada akibat. Atau, akibat adalah segala sesuatu yang merupakan dampak dari suatu sebab. Hubungan konjungsi antara sebab dan akibat inilah disebut sebagai kausalitas.

Contoh sederhana: biji kacang adalah sebab dan cambah (toge) adalah akibat.

Sebelumnya, biji kacang adalah akibat dari pohon kacang yang berbuah. Pohon ini pun akibat dari sebab-sebab yang lebih awal. Jadi, kita melihat rangkaian rantai sebab-akibat yang amat panjang. Adakah sebab pertama yaitu sebab yang tidak menjadi akibat sama sekali? Adakah akibat terakhir yaitu akibat yang tidak berdampak sama sekali?

7.5.3 Kategori Apriori

Kant (1724 – 1804) menyelesaikan makna kausalitas sebagai kategori apriori yaitu abstrak universal. Kausalitas adalah abstrak yaitu selalu valid tidak tergantung fakta empiris apa pun. Kausalitas adalah universal yaitu selalu berlaku kapan dan di mana pun.

Kausalitas adalah struktur pikiran manusia sebagai dasar pengalaman (eksperiens). Setiap kita mengalami “lapar” (sebagai contoh) maka ada sebabnya yaitu perut kita kosong dan ada akibatnya yaitu kita mencari-cari makanan. Hanya dengan struktur kausalitas ini kita bisa mengalami “lapar” atau pengalaman apa pun. Tanpa struktur kausalitas maka pengalaman tidak bisa dimengerti atau, bahkan, tidak bisa dialami.

7.5.4 Ide Imajinasi

Hume (1711 – 1776) mendahului Kant dalam mendefinisikan kausalitas dengan fokus kepada sebab (cause).

“There may two definitions be given of this relation, which are only different, by their presenting a different view of the same object, and making us consider it either as a philosophical or as a natural relation; either as a (1) comparison of two ideas, or as an (2) association betwixt them.

We may define a CAUSE to be ‘An object precedent and contiguous to another, and where all the objects resembling the former are plac’d in like relations of precedency and contiguity to those objects, that resemble the latter.’ If this definition be esteem’d defective, because drawn from objects foreign to the cause, we may substitute this other definition in its place, viz.

‘A CAUSE is an object precedent and contiguous to another, and so united with it, that the idea of the one determines the mind to form the idea of the other, and the impression of the one to form a more lively idea of the other.’ Shou’d this definition also be rejected for the same reason, I know no other remedy, than that the persons, who express this delicacy, should substitute a juster definition in its place. But for my part I must own my incapacity for such an undertaking. (1.3.14.31)

Hubungan ini dapat diberikan dua definisi, yang sesungguhnya tidak berbeda secara hakiki, melainkan hanya menyajikan sudut pandang yang berbeda atas objek yang sama—yakni dengan memandangnya sebagai hubungan filosofis atau hubungan alamiah; baik sebagai (1) perbandingan antara dua gagasan, maupun sebagai (2) asosiasi antara keduanya.

Kita dapat mendefinisikan sebab (cause) sebagai: “Sebuah objek yang mendahului dan berdekatan dengan objek lainnya, di mana semua objek yang menyerupai yang pertama ditempatkan dalam hubungan mendahului dan kedekatan yang serupa dengan (maka akan menghasilkan) objek-objek yang menyerupai yang kedua.” Apabila definisi ini dianggap kurang memadai karena diturunkan dari objek-objek yang dianggap tidak esensial terhadap konsep sebab, maka kita dapat menggantinya dengan definisi alternatif, yakni:

“Sebuah sebab adalah objek yang mendahului dan berdekatan dengan objek lainnya, serta sedemikian rupa berhubungan dengannya sehingga gagasan mengenai yang satu (yaitu sebab) mendorong pikiran untuk membentuk gagasan tentang yang lain (yaitu akibat), dan kesan mengenai yang satu membentuk gagasan tentang yang lain secara lebih hidup.”

Jika definisi ini pun ditolak dengan alasan yang serupa, maka saya tidak memiliki jalan lain selain menyarankan agar mereka yang memiliki keberatan tersebut menyusun definisi yang lebih tepat. Adapun saya sendiri, saya harus mengakui ketidakmampuan saya untuk melaksanakan tugas semacam itu.”

David Hume, A Treatise of Human Nature (1.3.14.31)

Kita bisa fokus kepada definisi kedua: sebab adalah ide yang bila kita memikirkannya maka mudah muncul ide lainnya (sebagai akibat). Ketika kita berpikir api maka muncul ide panas; api adalah sebab dan panas adalah akibat. Hume fokus bahwa kausalitas adalah ide tetapi kita menerapkannya dengan sempurna, kausalitas itu, terhadap fenomena realitas eksternal; misal api menyebabkan panas.

7.5.5 Imkan Ashraf: Posibilitas Paling Luhur

Suhrawardi (1154 – 1191) mengembangkan konsep Imkan Ashraf untuk menjelaskan kausalitas. Segala realitas adalah imkan atau posibilitas atau probabilitas. Realitas “lapar” adalah posibilitas; mungkin saja Anda “lapar” tetapi mungkin juga Anda tidak “lapar”.

Imkan Ashraf (IA): setiap realitas, mereka, niscaya membutuhkan posibilitas yang lebih kuat; pada gilirannya, posibilitas lebih kuat itu membutuhkan posibilitas yang lebih kuat lagi; pada akhirnya sampai kepadai posibilitas paling kuat (yaitu imkan ishraf) di mana tidak ada lagi yang lebih kuat.

Dalam istilah kausalitas, IA menyatakan bahwa setiap realitas (sebagai akibat) niscaya membutuhkan sebab yaitu posibilitas yang lebih kuat.

Anda sebagai manusia (sebagai akibat) adalah nyata maka niscaya Anda membutuhkan ibu (sebagai sebab) dengan posibilitas yang lebih besar; pada gilirannya, ibu membutuhkan nenek dan seterusnya. Tetapi tidak memaksa sebaliknya; nenek tidak harus melahirkan ibu; dan ibu tidak harus melahirkan Anda. Misal, nenek meninggal ketika masih usia 5 tahun maka ibu tidak jadi lahir; dan Anda juga tidak jadi lahir. Jadi, nenek “bebas” untuk melahirkan ibu atau tidak. Sementara, ibu wajib harus memiliki orang tua yaitu nenek.

Berdasar IA (imkan ashraf), “sebab” adalah posibilitas yang lebih kuat; dan “akibat” adalah posibilitas kurang kuat. Menariknya, IA mengijinkan kausalitas futuristik; posibilitas yang lebih kuat itu bisa saja eksis di masa lalu, masa kini, mau pun masa depan. Lalu, siapa atau apa posibilitas paling kuat? Posibilitas paling kuat adalah Cahaya Maha Cahaya, Maha Awal, Maha Nyata, dan Maha Akhir.

IA mengijinkan posibilitas kompleks (realitas kompleks) sebagai sebab; sebab yang beragam, sebab yang majemuk, bisa menghasilkan akibat tunggal yang sederhana. Contohnya Anda, diri kita sendiri, adalah tunggal sebagai akibat. Sementara sebabnya adalah beragam: 2 orang tua (ayah dan ibu); 4 orang tua dari ayah-ibu (2 kakek dan 2 nenek) dan seterusnya. Lebih beragam lagi sebabnya, diri kita adalah akibat dari lingkungan sekitar dan sejarah panjang alam semesta.

7.5.6 Argumen Melingkar

Kita perlu sedikit banyak membahas argumen melingkar atau circular reasoning. Secara umum, dalam logika formal, argumen melingkar adalah falasi sehingga perlu ditolak. Tetapi, dalam situasi tertentu kita membutuhkan argumen melingkar. Kita perlu menerima argumen melingkar dengan pertimbangan yang bijak. Sementara, dalam banyak kasus, kita perlu menolak argumen melingkar.

Dalam sistem aritmetika bilangan natural, atau bilangan cacah, bilangan 0 adalah bilangan paling kecil. Mengapa 0 adalah bilangan paling kecil? Karena kita membutuhkan bilangan paling kecil untuk mulai menghitung. Bila kita teliti lebih mendalam akan menemukan argumen melingkar. Bagaimana pun kita perlu memerima 0 sebagai bilangan paling kecil untuk sistem bilangan cacah. Konsekuensinya, kita bisa mengembangkan kajian matematika bilangan cacah.

Mengapa sistem bilangan jam dinding hanya terdiri angka 1 sampai 12? Karena, dari pengalaman, terbukti sudah diterima oleh masyarakat luas. Bila kita kaji lagi pertanyaan ini maka kita akan bertemu dengan argumen melingkar. Bagaimana pun, kita perlu menerima argumen melingkar bahwa bilangan jam dinding hanya sampai 12 saja. Konsekuensinya, kita bisa memanfaatkan aturan jam dinding untuk kehidupan sehari-hari.

Demikian juga, kita bisa menerima prinsip berpikir induksi yang melibatkan argumen melingkar – dalam proses penerimaan itu. Konsekuensinya, kita bisa mengembangkan pengetahuan lebih luas. Bagaimana pun, kita perlu bersikap terbuka terhadap posibilitas perkembangan pengetahuan yang berbeda dari dugaan awal.

7.6 Generalis: Induksi Muda

Kita bisa membedakan dua macam induksi: [1] induksi-muda dan [2] induksi-dewasa.

Generalisasi adalah induksi-muda dan sebaiknya dihindari.

Pengamatan 1 sampai 100 menunjukkan bahwa gagak berwarna hitam. Kesimpulan induksi-muda: K = semua gagak berwarna hitam.

Kesimpulan K adalah tidak layak. Bahkan, jika pengamatan dilakukan ribuan kali sampai jutaan kali dan menunjukkan semua gagak berwarna hitam, maka, kesimpulan K tetap tidak pantas. Kita tidak pernah berhasil verifikasi “semua” gagak. Pasti ada gagak yang belum teramati; misal gagak yang hidup 300 tahun yang lalu atau 500 tahun yang akan datang.

Dari 1000 pengamatan, rakyat wajib membayar SIM ketika mengurus SIM. Kesimpulan: S = selalu wajib membayar SIM ketika mengurus SIM. Lagi, kesimpulan S perlu dihindari.

7.7 Futuris: Induksi Dewasa

Futuris adalah induksi-dewasa yang berupa pernyataan futuristik, partikular, dan teramati.

Pengamatan 1 sampai 100 menunjukkan bahwa gagak berwarna hitam. Kesimpulan induksi-dewasa: D = pada pengamatan 101, gagak berwarna hitam.

Kesimpulan D adalah valid dan bagus. Peluang besar bahwa D akan bernilai benar; dan peluang kecil D bernilai salah. Pengamatan akan menjadi hakimnya.

Dari 1000 pengamatan, rakyat wajib membayar SIM ketika mengurus SIM. Kesimpulan: E = pengamatan 1001, seseorang wajib membayar SIM ketika mengurus SIM. Kesimpulan E adalah valid dan bagus; berpeluang benar atau salah sesuai pengamatan.

Quick count adalah contoh induksi-dewasa. Dari 100 orang sample; 65% memilih capres C dan 35% memilih capres D. Kesimpulan: Q = dari populasi 100 ribu orang; 65% memilih capres C dan 35% memilih capres D. Kesimpulan Q adalah valid dan sah. Kemudian, bisa verifikasi sebagai bernilai benar atau salah.

Tampak jelas, kita perlu menghindari induksi-muda dan beralih menggunakan induksi-dewasa. Berpadu dengan falsifikasi, induksi-dewasa bisa terus melangkah maju.

Catatan tambahan. Hume menolak induksi yang bersifat niscaya; Hume menerima induksi yang bersifat probabilitas. Hume menolak kausalitas-induksi yang bersifat niscaya; Hume menerima kausalitas-induksi yang bersifat probabilitas. Dengan demikian ontologi probabilitas, dan statistik, adalah valid. Singkatnya, Hume menerima realitas probabilitas dengan argumen probabilitas. Jadi, apakah seharusnya kita yakin kepada Hume? Hanya probabilitas.

7.8 Antisipasi

Kita perlu membedakan antara antisipasi dengan inferensi. Kita bisa antisipasi dengan induksi mau pun falsifikasi; sama-sama valid. Tetapi inferensi, menetapkan kesimpulan terhadap teori atau hipotesis berdasar hasil pengamatan, hanya sah melalui modus tolen; tidak sah melalui modus ponen; lebih tepat melalui falsifikasi.

John Stuart Mill pernah bertanya, “Mengapa dengan satu contoh pengamatan kita bisa mengambil kesimpulan meyakinkan? Sementara, di kesempatan lain, ratusan pengamatan tetap tidak meyakinkan untuk mengambil kesimpulan? Orang yang bisa menjawab pertanyaan ini pasti lebih bijak dari tokoh terbijak di era Yunani Kuno.”

Tentu saja, kita bisa menjawab pertanyaan Mill, di atas, menggunakan probabilitas. Dan, kita menjadi lebih bijak dari pemikir Yunani Kuno.

Jika maksud induksi oleh Mill adalah induksi-muda-generalisasi maka tidak ada kesimpulan meyakinkan. Tetapi, jika induksi-dewasa-futuris maka kita akan berhasil mengambil kesimpulan meyakinkan; meski hanya dengan satu pengamatan. Makna kesimpulan di sini adalah antisipasi.

Misal Anda bersama rombongan sekitar 5 orang tertidur lelap. Kemudian, rombongan Anda dipindahkan ke tengah tanah lapang bentuk lingkaran masih dalam suasana gelap menjelang subuh. Anda terjaga bahwa di keliling lapangan terdapat 12 pohon, dengan jarak teratur, tertuliskan angka 1 sampai dengan 12, satu angka (bilangan) pada setiap pohon. Pertanyaannya, “Pada arah pohon angka berapa matahari akan terbit pagi nanti?”

Hanya terbatas dengan informasi di atas, Anda hanya bisa menduga-duga. Pagi tiba, matahari terbit dari balik pohon 6. Hari itu adalah tanggal 1 Mei.

Pertanyaan lanjutan,”Pada arah pohon berapa matahari terbit esok hari?”

Dengan meyakinkan kita menjawab,”Esok hari, matahari akan terbit pada arah pohon 6.”

Esok hari, 2 Mei, dilakukan pengamatan dan memang benar matahari terbit dari arah pohon 6. Kita sudah berhasil antisipasi dengan baik menggunakan induksi meski hanya dengan satu contoh pengamatan.

Bandingkan dengan kasus yang berbeda. Anda diberitahu bahwa nanti siang Rara akan datang. Rara akan menyentuh hanya satu pohon dari pohon-pohon yang ada. “Pohon angka berapa yang akan disentuh oleh Rara?” Siang itu, Rara datang dan menyentuh pohon 6. Besok, Rara akan datang untuk menyentuh satu pohon lagi.

“Pohon angka berapa yang akan disentuh Rara esok hari?”

Jawaban kita tidak akan meyakinkan. Besok, Rara bisa menyentuh pohon 6 atau pohon lainnya. Andai, Rara mengulang menyentuh pohon sampai 100 hari, kemudian, “Pohon angka berapa yang akan disentuh oleh Rara pada hari ke 101?”

Sama saja: kita tidak bisa menjawab dengan meyakinkan. Mengapa? Karena kita berada pada konteks histori tertentu, paradigma dan tradisi tertentu, yang meyakini bahwa Rara bisa mengubah pilihannya untuk menyentuh pohon. Konsekuensinya, kita tidak bisa antisipasi pilihan Rara meski dengan ratusan pengamatan induksi.

Untuk kasus matahari terbit, kita berada dalam konteks bahwa matahari akan terbit esok pagi pada arah yang konsisten dengan hari ini. Konsekuensinya, kita berhasil antisipasi bahwa esok hari matahari akan terbit pada arah pohon 6; meski pun kita hanya berdasar satu pengamatan saja.

7.9 Inferensi

Berhasil antisipasi tetapi gagal inferensi.

H = Matahari terbit pada arah pohon 6 di tanggal 2 Mei.
P = Teramati empiris matahari terbit pada arah pohon 6.
Jika H maka P. [Jika Hipotesis benar maka Pengamatan juga benar.]

Ketika P benar, teramati empiris, maka H tidak terjamin benar. Karena inferensi ini tidak valid; bila berdasar modus ponen. H bisa bernilai salah, atau bisa bernilai benar, dan berkonsekuensi sama yaitu P benar. Jadi, kita gagal inferensi melalui induksi dalam kasus ini.

Kita bisa mengembangkan falsifikasi yang bersesuaian dengan modus tolen.

G = Matahari terbit TIDAK pada arah pohon 6 di tanggal 2 Mei.
Q = Teramati empiris matahari terbit TIDAK pada arah pohon 6.
Jika G maka Q.

Ketika Q bernilai benar maka kita tidak bisa mengambil kesimpulan valid apa pun. Tetapi, pengamatan menunjukkan Q salah. Kita menyimpulkan G juga salah; inferensi ini valid berdasar modus tolen. Kita berhasil falsifikasi G.

Karena G salah maka H benar = matahari terbit pada arah pohon 6 di tanggal 2 Mei.

Tetapi, bukankah sama saja antara verifikasi induksi dengan falsifikasi di atas? Sama-sama menghasilkan H bernilai benar? Poin penting bagi kita adalah setiap kajian perlu terbuka terhadap afirmasi mau pun negasi; perlu siap menerima P atau Q. Pemahaman falsifikasi membantu kita untuk berpikir lebih terbuka.

Inferensi mengembangkan cakupan lebih luas dari antisipasi. Sains membutuhkan klaim yang lebih luas ini. Mari kita ubah agar klaim hipotesis bermakna lebih luas.

H = Matahari terbit pada arah pohon 6 setiap tanggal 2 Mei dalam rentang 10 tahun ke depan.

G = Matahari PERNAH terbit TIDAK pada arah pohon 6 di tanggal 2 Mei dalam rentang 10 tahun ke depan.

Q = Teramati secara empiris bahwa matahari PERNAH terbit TIDAK pada arah pohon 6 di tanggal 2 Mei dalam rentang 10 tahun ke depan.

Ketika pengamatan Q berhasil, bernilai benar, maka H langsung batal secara logis. Falsifikasi valid.

Sebaliknya, ketika, pengamatan Q bernilai salah maka G bernilai salah; sesuai modus tolen. Konsekuensi dari G salah adalah H bernilai benar. Kita berhasil falsifikasi G dengan konsekuensi menguatkan H. Bagaimana pun, hasil akhir inferensi adalah tetap bernilai probabilitas.

Lanjut ke Pengetahuan Prinsip Umum
Kembali ke Philosophy of Love

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

3 Comments

Tinggalkan komentar