Rara cantik. Rara memang cantik. Karena cantik maka Rara pasti tidak jelek. Karena kita tahu bahwa Rara tidak jelek maka Rara pasti cantik. Mengapa kata-kata sejelas itu harus diulang berkali-kali?
Cantik itu tidak jelek. Jelas itu. Itulah pengetahuan prinsip umum yang sudah jelas. Tetapi karena jelasnya kita bisa saja melupakannya. Seharusnya kita bisa membahasnya, pengetahuan prinsip umum, dengan mudah saja.

1. Tiga Prinsip Umum
2. Hukum Identitas
3. Hukum Non-Kontradiksi
4. Hukum Antara
5. Penutup
6. Diskusi
6.1 Non-Identitas
6.2 Kontradiksi
6.3 Intuisionisme
6.4 Tantangan dan Prospek
Prinsip umum sudah dirumuskan dengan baik oleh Aristoteles sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Russell menegaskan kembali prinsip umum ini pada abad ke 20 sampai menjelang abad 21. Tetapi para filsuf posmodernis, dianggap, sering melanggar prinsip umum pikiran ini. Maka kita menjadi sulit sekali memahami teori posmodern, menurut saya salah satunya, karena melanggar prinsip umum di beberapa bagiannya.
Bagaimana mungkin tokoh posmo yang menguasai filsafat kuno sampai filsafat modern bisa melanggar prinsip umum? Saya kira sulit menjelaskan ini. Karena teori posmodern sendiri tidak satu suara. Mereka berbeda-beda. Saya sendiri ragu-ragu apakah filsuf posmo benar-benar melanggar prinsip umum pikiran. Karena sejatinya prinsip umum pikiran tidak bisa dilanggar.

1. Tiga Prinsip Umum
Menurut Russell, mengacu kepada Aristoteles, hanya ada tiga prinsip umum. Pertama, hukum identitas. Jika sesuatu itu benar maka sesuatu itu benar. Wah, apa maksudnya? Bukankah itu jelas sekali?
Kedua, hukum non-kontradiksi. Jika sesuatu itu benar maka sesuatu itu tidak salah. Atau, jika sesuatu itu salah maka sesuatu itu tidak benar. Atau, tidak mungkin sesuatu itu benar dan salah, bersamaan. Itu kontradiksi. Tidak mungkin terjadi kontradiksi.
Ketiga, hukum antara. Sesuatu pasti salah satu antara benar atau salah. Tidak bisa serentak kedua-duanya. Tidak bisa juga jika tidak kedua-duanya. Tidak ada pilihan lain selain salah satu dari dua itu: benar atau salah saja.
Ketiga prinsip umum di atas benar, jelas dengan sendirinya. Tidak perlu pembuktian untuk prinsip umum. Justru segala bukti perlu memenuhi ketiga prinsip umum di atas. Prinsip umum ini, menurut Russell, sejatinya bukan hukum pikiran. Tetapi hukum realitas. Artinya, seluruh realitas memenuhi prinsip umum itu. Jika kita berpikir sesuai prinsip umum ini maka kita berpikir benar sesuai realitas.
2. Hukum Identitas
Jika Rara cantik maka kesimpulannya Rara memang cantik. Hukum identitas yang jelas. Dalam rumus matematika lebih jelas.
A = A
B = B
5 = 5
Meski ini prinsip umum yang jelas dengan sendirinya, tampaknya, untuk bisa memahaminya perlu proses pengamatan, perlu pengalaman. Dalam kehidupan sehari-hari ketika kita melihat sebuah mobil maka kita tahu itu adalah mobil. Ketika kita melihat meja maka itu adalah meja. Dari pengalaman ini kita menyadari prinsip identitas.
Kita bisa mengantisipasi jauh ke depan. Jika 10 tahun ke depan ada batu di Bandung maka itu pasti batu di Bandung. Jika ada makhluk hidup di Mars maka itu adalah makhluk hidup di Mars. Kita yakin itu semua benar. Berlaku umum. Tanpa kita harus mengalaminya secara langsung.
Namun demikian, kita tidak bisa yakin bahwa bayi yang baru lahir memahami prinsip umum ini. Bayi akan mengamati alam sekitarnya untuk kemudian memahami prinsip umum ini – meski tidak harus diformulasikan dalam bentuk bahasa. Ketika bayi melihat ibunya maka itu adalah ibunya. Ketika bayi melihat susu itu adalah susu.
Meski prinsip umum ini selalu benar tetapi penerapan pada kasus yang kompleks bisa lebih menantang. Rara cantik maka tidak jelek. Dari sudut pandang lain, cantik adalah jelek.
Misal hanya ada dua jenis penilaian: cantik atau jelek. Atau S = {cantik, jelek}.
Jika Rara cantik maka Rara memang cantik, dan pasti Rara tidak jelek. Jelas dan pasti itu. Tetapi orang dapat mengatakan bahwa Rara cantik dilihat dari wajahnya. Tapi Rara jelek dilihat dari warna bajunya. Maka, cantik = jelek = tidak cantik. Tentu saja kita mudah melihat kesalahan berpikir dengan cara ini. Perbedaan sudut pandang bisa menghasilkan penilaian yang berbeda.
“Harga komputer ini mahal, dan tidak mahal.”
Maka, mahal = tidak mahal. Lagi kita akan mudah meneliti ini terjadi karena beda sudut pandang. Komputer mahal karena dilihat dari uang yang dimiliki pembeli tidak cukup untuk membelinya. Komputer tidak mahal karena kinerjanya menghasilkan uang lebih besar dari harga belinya.
Jika konsisten maka, mahal = mahal. Dan, tidak mahal = tidak mahal. Semua jelas dengan sendirinya. Realitas alam semesta seperti itu.
3. Hukum Non-Kontradiksi
Saling melengkapi antara hukum kontradiksi dan hukum identitas. Rara yang cantik dipanggil polisi gara-gara melanggar lampu merah lalu lintas di jalan Setiabudi. Polisi melihat rekaman kamera cctv bahwa ada wanita cantik, mirip Rara, melanggar lampu merah tepat pukul 10 pagi. Tapi Rara menolaknya. Rara mengatakan tidak melanggar. Itu bukan Rara.
Memang rekaman video itu mirip Rara. Sama cantiknya. Sama warna bajunya. Sama warna motornya. Dan sama dari berbagai sudut pandang. Rara tidak bisa menyangkal begitu saja. Rara butuh argumen yang lebih kuat dari sekedar sangkalan belaka. (Contoh kasus ini tentu beda dengan kasus video panas mirip artis yang heboh itu).
Untungnya Rara ingat bahwa di waktu yang sama dengan dalam video dimaksud, Rara sedang belajar matematika bersama teman-teman di APIQ. Lalu Rara menunjukkan rekaman video, yang jelas tanpa ragu, bahwa hari itu dari pukul 9 sampai dengan pukul 11, ia sedang belajar matematika di APIQ.
Polisi mempelajari video para siswa sedang belajar di APIQ. Lalu polisi yakin bahwa di waktu itu Rara benar-benar sedang belajar di APIQ. Maka video yang melanggar lalu lintas itu pasti bukan Rara. Video itu hanya mirip Rara tapi bukan Rara.
Polisi sudah tepat menerapkan prinsip umum non-kontradiksi. Dalam sidang pengadilan sering menerapkan prinsip non-kontradiksi berupa alibi.
A: Rara belajar di APIQ.
B: Rara TIDAK belajar di APIQ
Pernyataan A dan B saling ber-kontradiksi maka tidak mungkin bisa benar serentak kedua-duanya. Jika A benar maka B pasti salah. Karena terbukti A benar, Rara sedang belajar di APIQ maka B salah. Jadi, Rara melanggar lalu lintas adalah bernilai SALAH. Pernyataan A di atas bisa disebut sebagai alibi bagi Rara.
Prinsip non-kontradiksi memastikan “ketiadaan sesuatu” sedangkan prinsip identitas memastikan “keberadaan sesuatu”.
“Apakah ada bilangan positif terbesar?”
Misalkan ada bilangan terbesar yaitu P. Tetapi kita bisa membuat bilangan Q = P + 1. Di mana Q lebih besar dari P karena Q = P + 1.
A: P adalah bilangan positif terbesar
B: P BUKAN bilangan positif terbesar
Pernyataan B adalah ber-kontradiksi dengan pernyataan A. Karena pernyataan A masih meragukan, sementara pernyataan B lebih meyakinkan, maka kesimpulannya adalah tidak ada bilangan positif terbesar. Terbukti. Pembuktian dengan prinsip kontradiksi ini sering dikenal dengan reductio ad absurdum, membuang yang absurd.
Lagi, prinsip umum non-kontradiksi ini berlaku umum dan jelas. Tetapi penerapan pada situasi kompleks bisa lebih menantang. Harga komputer ini mahal, dan tidak mahal. Seperti kontradiksi. Solusinya adalah karena ada beda sudut pandang yang sudah kita bahas di bagian prinsip umum identitas.
4. Hukum Antara
Tegas. Hanya pilih satu saja.
Tidak ada tengah-tengah. Tidak ada campuran. Tidak ada keraguan. Tidak ada abu-abu. Hitam, atau bukan hitam saja. Putih, atau bukan putih saja.
Perhatikan bendera Indonesia yang hanya berwarna merah putih. Bila Rara hanya bisa mengintip satu titik dari bagian bendera Indonesia maka warna yang dilihat Rara pasti merah atau putih, salah satunya saja. Jika titik yang terlihat bukan merah maka pasti putih.
Tetapi hidup ini tidak hanya merah putih, tidak hanya hitam putih. Hidup ini adalah warna-warni. Hidup ini bagai pelangi. Tepat. Itu benar sekali. Realitas hidup memang beragam. Maka kita perlu sudut pandang yang luas.
Dalam keluasan realitas, yang penuh aneka ragam, tetap berlaku “hukum antara” bersifat umum. Bila tidak hati-hati hukum ini bisa jadi jebakan. Maka kita perlu membahasnya di sini.
Pandangan hitam putih sering disebut sebagai oposisi biner. Dua hal yang saling bertentangan. Sejatinya hitam putih tidak oposisi biner dalam banyak hal. Syarat oposisi biner adalah afirmasi lawan negasinya.
Hitam vs Bukan Hitam
Putih vs Bukan Putih
Merah vs Bukan Merah
Benar vs Bukan Benar
Besar vs Bukan Besar
Warna pelangi bisa kita buat hanya dua kelompok yaitu merah atau bukan merah. Jingga, kuning, hijau, biru, lembayung, dan ungu masuk pada kelompok bukan merah. Sehingga ketika Rara memandang satu titik pada pelangi bisa dipastikan berwarna merah atau bukan merah, seperti di atas.
Apakah berdasar hukum antara ini orang harus mengambil sikap tegas hitam putih?
Sikap tegas hitam putih adalah sikap yang salah dalam menerapkan hukum antara. Seharusnya hitam vs bukan hitam. Karena bukan hitam bisa jadi merah, kuning, biru, putih, atau lainnya. Sehingga, dengan hukum antara, kita sadar ada banyak pilihan warna. Meskipun awalnya tampak hanya ada dua pilihan saja.
5. Penutup
Tiga prinsip umum di atas dapat saja kita formulasikan dengan bentuk yang berbeda-beda tetapi intinya akan mirip seperti di atas. Secara alamiah, ketika kita berpikir, pasti menerapkan tiga prinsip umum di atas. Hanya pada kondisi-kondisi tertentu saja, secara sadar, kita memanfaatkan prinsip umum untuk mendapatkan bukti yang kuat.
Prinsip non-kotradiksi berguna untuk membuktikan sesuatu yang tidak ada. Karena tidak ada maka kita tidak bisa memberi contoh. Berpikir induksi tidak akan bisa diterapkan dalam hal ini. Eksperimen juga tidak bisa menunjukkan sesuatu yang tidak ada. Solusinya adalah gunakan prinsip non-kontradiksi. Caranya, pertama misalkan sesuatu itu ada. Kedua, tunjukkan bahwa terjadi kontradiksi. Ketiga, kesimpulannya sesuatu itu tidak ada. Terbukti.
Pada bagian selanjutnya kita akan membahas pengetahuan a priori yang berlaku umum dan selalu benar.
6. Diskusi
Tiga prinsip umum, yang sekilas tampak jelas benar, dalam realitas, menghadapi banyak tantangan. Kejelasan prinsip-prinsip ini menjadi, sedikit banyak, goyah. Bagi kita, orang yang mengkaji filsafat, barangkali perlu memberi perhatian lebih terhadap dinamika prinsip umum ini.
6.1 Non-Identitas
Hukum identitas mendapat tantangan hukum non-identitas atau different. Deleuze (1920 – 1965) menunjukkan bahwa different lebih prior dari identitas. Karena ada keragaman different, kemudian, kita baru bisa menyimpulkan identitas.
6.2 Kontradiksi
Hukum non-kontradiksi menghadapi tantangan hukum kontradiksi. Hegel (1770 – 1831) lebih mengutamakan kontradiksi. Alam raya ini terus bergerak karena ada kontradiksi sampai akhirnya menuju spirit absolut.
6.3 Intuisionisme
Hukum antara mendapat tantang dari pandangan intuitif. Brouwer (1881 – 1966) mengembangkan pandangan intuisionisme. Kita hanya bisa memastikan suatu pernyataan bernilai benar atau salah hanya ketika kita bisa mengkonstruksi – nilai kebenaran – pernyataan itu atau mengkonstruksi negasinya. Jika kita tidak bisa mengkonstruksinya maka kita tidak bisa menyimpulkan kebenaran dengan hukum antara.
Kita akan membahas tantangan-tantangan ini pada bagian-bagian selanjutnya. Sekilas di sini, kita bahas beberapa prospek dari challenge di atas.
6.4 Tantangan dan Prospek
Perhatikan pernyataan (K): Sistem kapitalis adalah sistem terbaik.
Berdasar hukum idenitas, K = K. Secara tegas, kapitalis adalah yang terbaik. Kemudian, para pendukung kapitalis mengumpulkan bukti untuk mendukung klaim mereka. Bila ada tanda-tanda yang agak beda, misal menunjukkan cacat kapitalis, maka tanda tersebut perlu diframing atau dibuang. Sehingga, kapitalis adalah yang terbaik. Identitas K = K karena memang K.
Non-identitas, sebaliknya, justru menunjukkan hal-hal yang berbeda dari K. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kapitalisme tidak berjalan dengan baik. Perbedaan antara bukti-bukti ini dan klaim kapitalisme sebagai terbaik perlu kita uji dengan memadai. Jika K benar, kapitalisme adalah yang terbaik, itu karena ada peran dukungan dari yang bukan kapitalis. Barangkali karena sosialis kalah baik. Teonomic juga kalah baik.
Jadi, klaim K menjadi bisa valid karena ada yang beda dari kapitalisme. Seandainya tidak ada sosialis dan teonomic maka K juga tidak ada. Validitas K tergantung kepada selain K.
Prospek baru bisa terjadi dengan different ini. Ketika kita mengkaji sosialis dan teonomic, misal ternyata hasilnya, sosialis dan teonomic lebih baik dari kapitalisme. Akibatnya, klaim K yang mengatakan kapitalisme sebagai yang terbaik adalah klaim yang salah. Barangkali, selanjutnya, kita perlu melakukan beberapa koreksi terhadap K. Dengan demikian, akan tejadi klaim yang lebih dinamis.
Sementara, pihak yang berkeras kepala menyatakan K = K karena kapitalisme adalah memang sistem terbaik, kita bisa sebut mereka sebagai katak dalam tempurung. Mereka menilai diri sendiri berdasar standar diri sendiri. Katak dalam tempurung bisa terjadi dalam beragam klaim. “Pikiran kulo adalah yang terbaik.” “Aliran kulo adalah yang terbaik.” “Filosofi kulo adalah yang terbaik.” Klaim-klaim seperti itu sulit dipertanggungjawabkan. (Kulo = saya).
Prospek kontradiksi lebih dramatis lagi. Kontradiksi lebih keras dari different. Karena, kontradiksi menyatakan perlawanan total, bukan sekedar perbedaan dari beragam pihak.
Ketika klaim K mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem terbaik, maka, langsung muncul lawannya, misal (-K), yang menyatakan bahwa kapitalisme BUKAN sistem terbaik. Selanjutnya K berdialektika dengan (-K) menjadi (KK): kapitalisme adalah salah satu sistem terbaik.
Dan, tidak berhenti di (KK) saja. Karena, klaim (KK) akan langsung menghadapi kontradiksi lagi, misal (-KK): kapitalisme BUKAN salah satu sisten terbaik. Selanjutnya, terjadi proses dinamis tanpa pernah berhenti. Dengan prinsip kontradiksi ini, kita dilarang melakukan klaim dengan cara menjadi katak dalam tempurung. Setiap klaim harus menghadapi kontradiksinya.
Terakhir, prospek intuisionisme lebih menarik lagi. Intuis menolak hukum-antara (HA): pernyataan (K or -K) pasti BENAR.
Intuis menuntut agar kita bisa mengkonstruksi bukti bahwa K: kapitalisme adalah sistem terbaik. Kita tahu, bukti seperti itu, sejatinya, sulit diperoleh siapa pun. Atau, intuis lebih longgar, kita hanya dituntut mengkonstruksi bukti (-K). Sama saja, itu bukti yang sulit diperoleh. Lagi pula, siapa yang minat membuktikan kapitalis sebagai BUKAN yang terbaik? Aktivis kiri dan kanan barangkali berminat.
Para kapitalis, ketika kesulitan mebuktikan K, bisa bergeser menunjukkan bahwa (-K) adalah SALAH. Negara-negara yang tidak kapitalis, saat ini, menjadi negara miskin, mundur, dan terbelakang. Kondisi seperti itu menjadi bukti bahwa (-K) adalah SALAH. Konsekuensinya, K menjadi benar: kapitalisme adalah sistem terbaik.
Tentu saja, intuis menolak kesimpulan seperti itu. Kondisi negara yang miskin, mundur, dan terbelakang tidak mencukupi untuk membuktikan (-K) sebagai SALAH. Karena, kita gagal mengkonstruksi bukti untuk K mau pun (-K), menurut intuis, setidaknya saat ini, hal itu menunjukkan K dan (-K) sama-sama sebagai tidak relevan. Akibatnya, kita perlu membuat klaim yang relevan, yang buktinya bisa dikonstruksi, boleh afirmasi atau negasinya.
Apakah kapitalisme adil? Apakah kapitalisme mengatasi kesenjangan ekonomi? Apakah kapitalisme memperkuat kepedulian antar sesama? Barangkali, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas bisa menjadi klaim yang relevan menurut intuis.
Lanjut ke Pengetahuan A Priori
Kembali ke Philosophy of Love
Tinggalkan komentar