Moral: Peta yang Salah Arah

Terbayang betapa menyakitkan, sudah menggunakan peta, tetap salah arah tujuan. Saya berangkat dari Bandung dini hari sebelum subuh menuju ke Indramayu hendak memberikan pelatihan multimedia. Panitia pelatihan sudah mengirimkan lokasi lengkap dengan peta digital kota Indramayu. Saya tiba di lokasi, sesuai peta, pukul 6 pagi. Padahal acara pelatihan dimulai pukul 8. Maka saya mencari tempat yang nyaman untuk sarapan dan minum kopi, di sekitar lokasi.

Menjelang jam 8 saya berangkat lagi dari kedai kopi menuju lokasi, kurang dari 5 menit sudah tiba. Saya tidak menemukan acara pelatihan multimedia di lokasi. Setelah bertanya ke orang di situ, ternyata saya salah peta. Lokasi yang saya cari ada di 40 km sebelah barat, sudah saya lewati ketika dari Bandung. Mereka juga cerita, sudah sering ada orang salah arah ke situ dengan menggunakan peta digital.

Salah arah dalam jarak 40 km tidak terlalu bermasalah. Tetapi salah arah dalam moral kemanusiaan lebih berbahaya.

Moral begitu penting dalam kemanusiaan. Sayangnya, moral di jaman kontemporer, bagai peta yang salah arah. Tentu tidak semua moral salah arah. Tetapi, moral salah arah justru di saat yang paling penting. Maka kita perlu kembali melakukan koreksi terhadap arah moral kemanusiaan kita.

Apakah seorang menteri yang korupsi melanggar moral? Apakah seorang pemuda yang mencuri roti melanggar etika? Apakah seorang bapak yang merusak hutan melanggar akhlak? Tepat, semua terjadi pelanggaran. Bagaimana pelanggaran semacam di atas bisa terjadi? Apakah kita bisa menemukan solusi?

Dasar Moral yang Rapuh

Sebagian besar rakyat bisa dipastikan bermoral. Sebagian besar pemimpin juga bisa dipastikan bermoral. Hanya sedikit orang yang tidak bermoral, sudah cukup untuk meruntuhkan sistem ideal bermasyarakat. Pelanggaran moral justru terjadi pada dasar-dasar yang rapuh.

Apa yang dimaksud dengan seuatu yang bermoral, baik, bagus, adil, dan benar?

Pertanyaan di atas jelas pertanyaan filosofis. Maka kita perlu menjawab dengan landasan yang kokoh untuk merumuskan dasar-dasar moral. Untuk sementara, kita menganggap bermakna sama antara moral, etika, dan akhlak. Untuk perbedaan-perbedaannya akan kita bahas di bagian bawah.

Terdapat beberapa pendekatan untuk menjawab pertanyaan dasar di atas: utilitarian (asas manfaat), otentisitas (manusia sejati), dan konsensus (kesepakatan). Berbagai pendekatan ini tidak saling menolak, tetapi kita perlu menyusun prioritas. Meski hanya prioritas, dampaknya sangat besar bagi masyarakat luas.

David Hume, pemikir abad 17, dan Bertrand Russell, pemikir abad 20, mendukung pendekatan utilitarian (asas manfaat). Sartre, Heidegger, pemikir abad 20, Sadra, pemikir abad 17, Ibnu Sina, pemikir abad 11, Aristoteles, pemikir abad 3 SM, meyakini pendekatan otentisitas (manusia sejati). Sedangkan Habermas, pemikir abad 21, dan Immanuel Kant, pemikir abad 18, mendukung konsensus (kesepakatan).

Bagi yang meyakini asas manfaat, sesuatu yang bermoral adalah sesuatu yang memberi manfaat terbesar bagi seluruh manusia dan alam semesta. Hakikatnya tidak ada sesuatu yang khusus untuk dikategorikan sebagai bermoral atau tidak. Kita perlu mengkajinya, untuk menentukan sesuatu itu seberapa besar manfaatnya. Korupsi, misalnya, jelas merugikan masyarakat maka tidak bermoral. Menolong sesama, misalnya, bermanfaat besar bagi masyarakat maka termasuk bermoral.

Sementara, yang berpandangan otentisitas (manusia sejati) menyatakan bahwa ada nilai-nilai khusus pada perilaku manusia. Misalnya, adil, adalah pasti bermoral. Karena manusia, sejatinya, harus selalu bersikap adil. Korupsi adalah tidak bermoral karena tidak adil, tidak sesuai dengan manusia sejati. Pada situasi apa pun, adil selalu bermoral. Apakah adil itu bermanfaat atau tidak, itu adalah pertanyaan kedua, karena adil adalah yang utama. Untuk menentukan sesuatu adil atau tidak dalam situasi tertentu, di situlah pentingnya kecerdasan manusia, dan moral manusia.

Di sisi lain, pendukung konsensus meyakini pentingnya kesepakatan semua pihak. Suatu tindakan yang bermoral adalah yang disepakati oleh semua pihak. Korupsi adalah tidak bermoral karena ada pihak tertentu yang tidak setuju, dirugikan. Menolong sesama adalah tindakan bermoral karena disetujui oleh semua orang. Persetujuan ini, dalam kondisi tertentu perlu eksplisit dan resmi misal dalam perjanjian kerja sama. Di sisi lain, bisa juga persetujuan ini bersifat kajian akal sehat yang adil dan jujur.

Landasan moral akan menjadi rapuh bila prioritas yang dipilih tidak tepat, dilanjutkan dengan penyelewengan di beberapa kasus.

Penyelewengan Moral Manfaat

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia terjebak dalam kebutuhan. Maka bimbingan moral yang paling mudah adalah asas manfaat. Apa yang memberi manfaat besar maka pantas kita pilih. Mengapa seorang anak harus belajar? Agar sekolahnya bagus. Mendapat kerja yang baik. Dan menjalani hidup dengan sejahtera. Asas manfaat yang bagus.

Tetapi penyelewengan bisa terjadi sewaktu-waktu. Mengapa pesawat ini harus diterbangkan? Bukankah pesawat ini waktunya diistirahatkan karena sudah terbang 36 jam terus-menerus? Jika pesawat ini diterbangkan maka memberi manfaat yang besar bagi banyak pihak. Keuntungan perusahaan lebih besar, pilot dan pramugari mendapat bonus lebih besar. Semua mendapat keuntungan, semua mendapat manfaat.

Dalam beberapa kali penerbangan terakhir dengan kondisi yang mirip, semua berjalan lancar. Setelah penerbangan itu, direncanakan pesawat akan istirahat dan mendapatkan perawatan sesuai standar. Kejadian pada tahun 2018 berbicara lain. Pesawat terbang dari Jakarta. Beberapa menit kemudian hilang kontak. Dan kabar duka menyelimuti seluruh negeri. Pilot, pramugari, dan ratusan penumpang meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat terbang. Tahun 2021 tejadi kecelakan pesawat terbang. Membawa duka yang besar juga. Tapi kita belum mengetahui lebih detil masalahnya. Semoga kita bisa mencegah kecelakaan serupa.

Prioritas moral yang terbaik adalah dengan mengutamakan otentisitas (manusia sejati) kemudian disusul asas manfaat atau konsensus dalam penerapan kehidupan nyata yang lebih praktis.

Misal, untuk penerbangan pesawat, kita bisa mencoba melihat dari otentisitas. Apakah ketika hendak menerbangkan pesawat adalah adil untuk semua pihak? Apakah adil bagi penumpang, pilot, dan pramugari? Bagi perusahaan bisa memberi penghematan. Tetapi resiko bagi penumpang dan kru tetap harus dikaji dengan adil. Jika pesawat tidak layak untuk terbang maka, demi keadilan, pesawat ditunda dari terbang. Keputusan adil ini bisa menurunkan manfaat bagi perusahaan misal tidak jadi untung. Bagi pilot dan pramugari tidak dapat manfaat bonus. Dan bagi penumpang tidak dapat manfaat transportasi karena penerbangan ditunda. Di sisi lain penundaan ini menyelamatkan semua pihak: itulah tindakan bermoral.

Dalam tulisan-tulisan selanjutnya, kita akan membahas masalah moral ini dengan mengambil fokus tema freedom dan pernikahan. Di satu sisi, manusia perlu menjunjung tinggi kebebasan (freedom), di sisi lain, manusia harus mengikatkan diri dengan konsensus nyata ikatan pernikahan (marriage). Apakah freedom dan pernikahan saling bertentangan atau bisa saling bersesuaian? Apa dampak moral secara pribadi dan masyarakat?

Lanjut ke
Freedom: Kebebasan yang tidak Bebas

Kembali ke
Moral: Freedom vs Marriage

Lampiran

Dalam beberapa bagian saya akan melampirkan pembahasan yang lebih detil bagi yang berminat. Lampiran ini bisa dilewatkan saja dan lanjut ke bagian selanjutnya tanpa mengurangi keutuhan pembahasan. Tapi bagi yang teratarik silakan mendalami lampiran demi lampiran.

Etika Aristoteles

Etika, filsafat moral, kuno paling komprehensif barangkali adalah karya Aristoteles: Nicomachian Ethics. Kita berhutang budi kepada sang putra Aristoteles, yang bernama Nicomachian, yang berhasil menyusun karya etika ini. Kita dapat menggolongkan tuntunan moral Aristoteles adalah otentisitas yang memberi nilai moral tinggi kepada sikap manusia sejati yaitu adil.

Plato dan Socrates juga menunjukkan menjunjung tinggi moral manusia sejati. Socrates, kakek guru dari Aristoteles, mendorong manusia untuk terus mencari kebenaran – sebagai sikap moral tertinggi. Sedangkan Plato, guru dari Aristoteles, mementingkan manusia untuk merenungi diri, berkontemplasi menemukan kebenaran sejati. Aristoteles sangat beruntung mendapat bimbingan langsung dari mahaguru, pemikir terbesar pada abad ke 4 atau ke 3 sebelum Masehi.

Aristoteles menyatakan bahwa adil adalah nilai moral tertinggi dan paling tepat. Adil adalah ada di tengah-tengah. Sehingga adil selalu benar. Tidak ada istilah terlalu adil atau kurang adil. Adil adalah sempurna. Berbeda dengan dermawan, salah sati sikap moral yang juga baik. Dermawan itu bisa saja terlalu dermawan. Seseorang yang terlalu besar berderma maka menjadi melampaui batas, terlalu dermawan, menjadi sikap yang buruk. Terlalu dermawan bergeser menjadi boros. Di sisi lain, kurang dermawan juga buruk karena bergeser menjadi kikir. Sementara adil benar-benar di tengah, sempurna. Dengan kata lain, ketika seseorang hendak menjadi dermawan maka, di saat yang sama, dia harus bersikap adil agar bermoral. Maka kita perlu menjadi “masyarakat yang di tengah-tengah.”

Tentu saja, Aristoteles merumuskan beragam karakter manusia yang bermoral tinggi. Misal sikap mau belajar, baik hati, bersahabat, mengendalikan marah, dan lain-lain. Bagi Aristoteles, sikap marah adalah manusiawi. Marah yang tak terkendali jadi berbahaya dan tidak bermoral. Tetapi marah dengan ukuran yang tepat, di saat yang tepat, di tempat yang tepat, kepada orang yang tepat adalah sikap moral yang tinggi.

Etika Sadra

Sadra adalah pemikir besar abad 17 yang paling berhasil merumuskan manusia spiritual. Tindakan moral yang paling tinggi adalah tindakan manusia yang menyempurnakan diri sebagai manusia spiritual. Tindakan moral tersebut adalah tindakan manusia menyempurnakan ilmu pengetahuan. Sadra menunjukkan bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan spiritual tentang wujud sejati melalui pengalaman nyata.

Pengetahuan sejati mengangkat hakikat manusia ke arah wujud yang lebih tinggi. Pengetahuan sejati, berbuah menjadi tindakan moral, memberikan yang terbaik untuk seluruh alam semesta. Dunia luar, yang tampaknya seperti obyek bagi individu, sejatinya adalah wujud dari diri kita sendiri. Maka ketika seseorang berbuat buruk kepada dunia luar, sejatinya, dia merusak dirinya sendiri. Sedangkan ketika kita, berbuat baik kepada semua orang, sejatinya kita berbuat baik kepada diri sendiri.

Hanya dengan pengetahuan sejati kita dapat menyempurnakan diri. Sadra berhasil membuktikan bahwa proses dan hasil menyempurnakan diri ini tidak berhenti ketika manusia mati. Bahkan ketika manusia sudah mati justru jiwa manusia menjadi lebih sempurna sesuai dengan tindakan moral dan pengetahuannya. Maka nilai moral berlanjut dari masa ketika manusia hidup di dunia sampai setelah dunia ini. Kita adalah manusia spiritual.

Kita bisa menggolongkan etika Sadra sebagai otentisitas. Manusia sejati adalah manusia spiritual yang penuh moral dengan pengetahuan terus meningkat. Sementara, kebodohan adalah sikap tidak bermoral yang menutup beragam potensi manusia yang seharusnya menggapai wujud yang lebih tinggi. Maka pengetahuan sejati adalah tindakan bermoral manusia untuk bergabung ke wujud yang lebih tinggi secara abadi.

Etika Kant

Saya kira Immanuel Kant adalah pemikir terbesar di jaman modern ini. Kant menuliskan karya-karyanya di abad ke 18 sampai abad 19. Analisis yang tajam ditambah wawasan yang luas menjadikan Kant benar-benar istimewa. Kant punya proyek ambisius untuk membangun filsafat moral yang kokoh. Kant merumuskan categorial imperative yang merupakan rumusan moral yang bersifat wajib dan pasti. Apakah Kant berhasil?

Kant beruntung, pada jamannya, pemikiran rasionalis sudah matang dengan tokoh-tokohnya Descartes, Leibniz, Spinoza, dan lainnya. Sedangkan pemikiran empiris juga sudah kuat dengan tokoh-tokohnya Locke, Hume, Newton, dan lainnya. Sehingga Kant berkesempatan untuk membuat sintesa besar dari raionalisme dan empirionalisme itu. Dan formula CI, categorial imperative, adalah hasil nyatanya.

CI mengambil dua bentuk yaitu larangan dan perintah. Contoh perintah CI adalah “Jagalah kehidupan!” yang bersesuaian dengan amar makruf. Sedangkan CI dalam bentuk larangan bersesuaian dengan nahi munkar, contoh, “Jangan membunuh.” Untuk merumuskan CI kita bisa mempertimbangkan empat tes berikut ini. Jika lolos maka bisa jadi CI. Jika tidak lolos maka gagal sebagai CI.

Pertama, bisa dilakukan setiap saat. “Jangan membunuh” lolos dengan tes ini. Tetapi “Peliharalah tanaman” gagal tes ini. Karena ketika tidur, seseorang tidak bisa memelihara tanaman. Sementara, ketika tidur, seseorang tetap bisa mematuhi tidak membunuh siapa pun.

Kedua, bisa dilakukan di setiap tempat. “Jagalah kehidupan” lolos tes ini. Di mana pun kita dapat menjaga kehidupan dengan cara mencegah penghancurannya. Sementara “Dilarang parkir” tidak lolos tes ini karena di tempat tertentu terpaksa kita harus parkir. Atau kadang-kadang kita tidak berurusan sama sekali dengan parkir.

Ketiga, bisa dilakukan setiap orang. Tentu saja, setiap orang bisa mematuhi larangan, “Jangan membunuh.”

Keempat, disetujui setiap orang yang bernalar jujur. Kita tentu setuju dengan perintah “Jagalah kehidupan.” Maka lolos sebagai CI. Barangkali orang jahat tidak setuju itu. Orang-orang yang mau untungnya sendiri juga bisa menolaknya. Tetapi orang yang jujur, secara wajar, akan bisa memberikan penilaian yang memadai.

Dengan pertimbangan di atas maka saya memasukkan filsafat moral Kant sebagai konsensus. Keunggulan Kant adalah praktis untuk menyusun aturan moral secara demokratis. Bisa kita duga akan terjadi perdebatan seru dalam menyusun konsensus terutama bila bersifat detil dan praktis. Habermas, pemikir abad 21, meyakini konsensus sebagai solusi terbaik dengan cara komunikasi aktif secara rasional.

Kant tampak mendukung otentisitas dengan menyatakan kebajikan moral sejati adalah ketika Anda memilih berbuat baik padahal Anda bisa berbuat buruk. Kant juga berhasil membuktikan eksistensi Tuhan. Dan menyusun postulat bahwa jiwa manusia bersifat abadi tidak hancur setelah mati. Tapi cara berpikir Kant yang terbuka dengan beragam ide mengantarkan dia sampai kepada antinomi: paradox. Dalam tataran praktis, antinomi dapat dimaklumi, diselesaikan, dengan cara konsensus.

Etika Russell

Russell, pemikir abad 20, adalah yang paling radikal tentang filsafat moral menurut saya. Russell menyakini utilitirianisme, asas manfaat. Bahwa sesuatu dinilai bermoral dilihat dari manfaatnya. Cara pandang yang jelas dan praktis. Asas manfaat ini sudah digagas oleh Hume, sekitar 200 tahun sebelum Russell. Dan bisa kita lacak benih-benih awalnya ada di para pemikir sofis, sekitar 100 tahun sebelum Aristoteles.

Russell membawa asas manfaat ini dengan menuliskan buku moral yang membahas isu pernikahan di jaman modern secara radikal. Russell meng-klaim bahwa dia memperoleh hadiah Nobel atas karya tulis moralnya itu. Tetapi panitia penghargaan Nobel membantahnya dengan menyatakan bahwa Russell mendapat penghargaan atas beragam karyanya yang luas bukan hanya karya moral.

Asas manfaat mengkaji suatu tindakan atas hasil akhirnya apakah bermanfaat atau tidak. Jika hasil akhir bermanfaat maka tindakan itu bernilai moral. Misal “menanam pohon” apakah bermoral? Kegiatan menanam pohon itu sendiri tidak bisa dikatakan sebagai bermoral atau melanggar moral. Kegiatan itu netral. Maka kita perlu mengkaji dampak dari menanam pohon itu sendiri. Jika setelah menanam pohon alam menjadi indah, aman, dan sejuk, maka menanam pohon adalah bermoral. Dan sebaliknya menebang pohon di hutan sampai gundul menyebabkan banjir di mana-mana adalah tindakan tidak bermoral.

Mari kita pertimbangkan kasus “menanam pohon” di pinggir jalan. Setelah pohon tumbuh besar menghalangi jalan. Sehingga orang-orang yang hendak berlalu di jalan itu menjadi terganggu. Menanam pohon, dalam kasus ini, tidak bermanfaat maka itu adalah tindakan tidak bermoral. Kita perhatikan, bahwa kegiatan menanam pohon itu sendiri bersifat netral. Terbebas dari moral atau tidak.

Russell memandang “pernikahan” dengan cara yang sama, netral. Bisa bermoral, bisa juga tidak bermoral. Kita perlu mengkaji lebih jauh apa manfaat pernikahan itu. Russell mencoba menggali argumen dari jaman kuno mengapa manusia menikah, menganalisis situasi pada jaman ini – jaman Russell, dan memprediksi situasi masa depan, lalu merumuskan seperti apakah seharusnya bentuk pernikahan itu. Dan hasil analisis Russell ini memang radikal. Maka saya akan membahasnya bagian demi bagian pada lanjutan tulisan saya ini.

Etika Lyotard

Lyotard adalah pemikir postmodernis yang berhasil memunculkan istilah postmodern dalam pembahasan filsafat pada tahu 1970an akhir. Sebagaimana pemikir postmo lainnya, Lyotard juga menghargai pluralisme, keanekaragaman. Sehingga kita bisa menggolongkan Lyotard sebagai pemikiran dengan pendekatan otentisitas. Manusia sejati adalah manusia yang menghormati perbedaan, manusia yang bermoral. Lyotard sendiri menulis buku dengan judul “The Differand” – perbedaan.

Dalam beragam tulisannya, Lyotard tampak menaruh komitmen kuat terhadap keadilan. Bahkan menghormati perbedaan, sejatinya, adalah untuk mewujudkan keadilan itu sendiri. Satu deskripsi sederhana dari sikap adil adalah sikap yang mendengarkan semua pihak, termasuk suara pihak yang tidak bersuara. Sedangkan differand itu sendiri adalah situasi yang timpang di mana keadilan tidak bisa dijalankan.

Lyotard menolak pendekatan konsensus sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik. Menurutnya, konsensus selalu dipakai oleh pihak yang kuat untuk memanipulasi pihak yang lemah. Maka keadilan tidak terwujud. Konsensus harus ditolak.

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

2 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: