Sketsa Bayangan Hakikat

Vaksin adalah konspirasi. Pandemi juga konspirasi. Tentu kita sulit membuktikan itu. Konspirasi sulit dibuktikan. Jika mudah dibuktikan maka tidak menjadi konspirasi. Ketika kita sudah tahu tidak ada bukti, kemudian, apakah pantas kita percaya terhadap konspirasi seperti itu? Kita perlu solusi. Yang lebih pasti. Bukan sekedar konspirasi.

Coronavirus mutations: what we've learned so far

Saya mencoba membuat sketsa bayangan hakikat untuk mencatat beberapa alternatif solusi. Kita akan fokus kepada solusi ilmu pengetahuan. Khususnya yang bersifat filosofis. Sementara, konspirasi tidak menunjukkan tanda-tanda solusi. Konspirasi hanya asyik sebagai bahan diskusi sana sini. Berikut ini sketsa meniti solusi.

Daftar Isi – Content

A Pendahuluan
B. Being and Freedom
1. Pentingnya mengkaji Being atau Wujud: Hana
2. Freedom: Mungkinkah Secara Pribadi dan Semesta
3. Metodologi: Fenomenologi Spiral

C. Kajian Hana: Memahami Karakter Semesta
1. Hanya Bisa Dikaji Melalui Manifestasi: Caraka
11 Being-in-the-world
12 Being-with-mama
13 Being-with-other
14 Being-with-special
15 Being-with-natural
16 Language
17 Sains
18 Mathematic
19 Dunia Digital
110 Hana Otentik
111 Tenggelam dalam Dunia
112 Tenggelam dalam Rata-rata
113 Tenggelam dalam Digital
114 Real vs Realitas
115 Obyektif dan Subyektif: Estimasi Integratif
116 Cogito Descartes
117 Antinomi Kant
118 Optimisme: Fenomena Sartre
119 World-in-the-Being

2. Filosofi Negasi dan Different: Sawala
21 Perbedaan Geometri dan Kuantitatif
22 Perbedaan Intensitas dan Kualitatif
23 Identitas Aristoteles dan Kontradiksi
24 Negasi dan Nothingness
25 Differensial
26 Ontologi Different: Bergson dan Deleuze
27 Differance: Derrida
28 Perbedaan di Dunia Digital
29 Berbeda adalah Otentik
210 Antinomy
211 Dialektika
212 Integral Kotesis
213 SDG: Konsensus vs Dissensus

3. Kesetaraan dan Peran: Podo Jaya
31 Dominasi Identitas
32 Differend: Lyotard
33 Keadilan: Aritoteles dan Lyotard
34 Peran dalam Semesta
35 Kontribusi dalam Semesta
36 Kontribusi Digital
37 Rasio Gini dan Ketimpangan
38 Prioritas SDG
39 Nihilisme
310 Demokrasi Digital

D. Dinamika Maga: Perubahan Abadi
1. Filosofi Gerak: Maga
11 Gerak Biasa: Aksidental
12 Gerak Relasi
13 Gerak Substansial
14 Gerak Wujud atau Esensi
15 Ambiguitas Sistematis Wujud Sadra
16 Filsafat Proses
17 Sistem Dinamis

2. Karakter Waktu: Doto Selaras Hana
21 Waktu Linear
22 Waktu Sekarang yang Mengalir
23 Durasi: Bergson
24 Ekstase dan Horison: Heidegger
25 Waktu adalah Maga
26 Waktu Akumulatif Unik
27 Waktu Digital: Cepat dan Akumulatif
28 Entitas Abadi: Natural vs Idealisasi

3. Freedom: Free Will dan Warisan
31 Freedom adalah Hana: Sartre
32 Kesadaran
33 Care: Heidegger
34 Pengetahuan: Sadra
35 Genetika Warisan
36 Lingkungan
37 Budaya
38 Manusia adalah Maga
39 Perbuatan vs Milik
310 Moral vs Hukum

4. Ikatan Alam Semesta
41 Sains Obyektif
42 Metanarasi
43 Progresif
44 Teknologi dan Digital

5. Filsafat Sosial: Ekonomi Politik
51 Sejarah
52 Ekonomi
53 Politik
54 Hukum
55 Demokrasi
56. Kritik Sosial

E. Bataga: Mencapai Akhir sebagai Awal Baru
1. Menuju atau Ditarik Bataga
2. Bataga adalah Hana
3. Semesta adalah Hana

F. Dekonstruksi Metafisika
1. Heidegger, Derrida, Deleuze
2. Socrates, Sadra, Kant
3. Russell, Rorty, Habermas
4. Evolusi dan Kosmologi Sains
5. Metafisika Abda 21: Mungkinkah?

G. Enigma Pra-Lahir dan Pasca-Mati
1. Nasib Hana: Spekulasi Pasca-Mati
2. Possibilitas Hana: Pra-Lahir dan Pra-Manusia
3. Hermeunetika: Weak Thougt

H. Alternatif Kajian
1. Sains Empiris
2. Agama
3. Mistisisme

  1. Immanuel Kant, pemikir abad 18, merumuskan transendental fenomenologi. Segala sesuatu yang kita ketahui di dunia ini adalah sekedar fenomena, penampakan belaka. Misal seorang dokter meneliti covid-19 maka apa yang diketahui oleh dokter itu tentang covid-19 adalah penampakannya saja. Sedangkan hakikat covid itu sendiri adalah tetap tersembunyi, transenden, di luar ruang dan waktu. Kant sendiri meyakini bahwa ruang dan waktu tidak bersifat nyata obyektif. Ruang dan waktu adalah intuisi murni dari manusia, subyektif.
  2. Sadra, pemikir abad 17, meyakini bahwa pengetahuan adalah manifestasi dari wujud, atau bahkan wujud itu sendiri. Sehingga kita bisa benar-benar mengetahui sesuatu secara hakiki. Bahkan, Sadra sejalan dengan Aristoteles, meyakini kesatuan antara subyek yang mengetahui dengan obyek pengetahuan itu sendiri. Meski Sadra menerapkan kajian rasional, sayangnya, untuk mengetahui hakikat segala sesuatu tidak cukup hanya berbekal rasionalitas saja. Rasio, menurut Sadra, hanya mengantarkan. Selanjutnya, butuh manusia seutuhnya untuk mencapai pengetahuan sempurna.
  3. Hegel, pemikir abad 19, melangkah lebih maju dengan menyusun dialektika. Suatu pengetahuan bisa kita anggap sebagai tesis. Maka akan berhadapan dengan antitesis, sebut saja anti-pengetahuan. Ketegangan antara pengetahuan dengan anti-pengetahuan akan berproses dialektis sehingga muncul sintesis baru, sebut saja pengetahuan baru, yang lebih bagus. Pengetahuan baru ini akan terus berproses, berdialektika dengan antitesisnya, untuk pengetahuan yang lebih bagus lagi. Sampai akhirnya tercapai pengetahuan absolut. Proses dialektika ini sangat menarik dan dinamis. Tetapi kita berhadapan dengan pertanyaan besar: bagaimana kita tahu pengetahuan absolut itu, bahwa pengetahuan tertentu absolut benar? Sementara jiwa manusia, pengetahuan manusia, memiliki posibilitas yang tak terbatas. Sehingga tidak mudah membatasi pengetahuan manusia.
  4. Husserl, pemikir abad 20, secara sah dapat kita nyatakan sebagai pendiri fenomenologi modern. Kita seharusnya fokus meneliti apa yang hadir kepada kesadaran kita dari sudut pandang orang pertama yang mengalaminya, saran Husserl. Apa yang hadir itu adalah fenomena maka pendekatan Husserl menyelidiki struktur kesadaran ini disebut sebagai fenomenologi. Dengan fenomenologi ini maka filsafat bergerak secara produktif menghasilkan penyelidikan-penyelidikan dengan analisis mendalam. Apakah pengetahuan manusia menjadi lebih dekat, lebih benar, untuk mengetahui hakikat segala sesuatu, dengan pendekatan fenomenologi? Tampaknya struktur kesadaran manusia memang penuh misteri. Bukan jawaban pasti yang kita peroleh dari fenomenologi. Tetapi kita berhasil mendapatkan lebih banyak pertanyaan yang mencerahkan.
  5. Heidegger, pemikir abad 20, lebih dalam mengkaji fenomenologi dengan analisis eksistensial. Langkah Heidegger ini membelokkan filsafat kembali ke arah being, sang-ada. Di mana, menurut Heidegger, filsafat sejak Plato sampai Nietzsche telah terlalu jauh melupakan being. Yang seharusnya justru menjadi fokus utama dari filsafat itu. Dengan arah baru ini, wajar saja, Heidegger menjadi sulit dipahami oleh rekan-rekan filsuf lainnya. Bahkan sering dicurigai sebagai tidak masuk akal. Tetapi argumen Heidegger kuat. Pertama kita perlu fokus kepada being itu sendiri agar mengungkapkan diri apa adanya, analisis eksistensial. Kedua, membatasi kepada apa-apa yang hadir kepada manusia. Menggeser metafisika ke ontologi. Ketiga, kita tidak bisa melakukan klaim preskriptif (menentukan). Yang bisa kita lakukan adalah deskriptif. Maka terbuka peluang interpretasi tak terbatas: hermeneutik.
  6. Sartre, pemikir abad 20, menerapkan analisis eksistensial fenomenologi dengan lebih fokus kepada kesadaran manusia. Dengan menggabungkan pendekatan Husserl dan Heideger, Sartre sampai pada kesimpulan kesejatian manusia adalah kebebasan. Tidak ada manusia tanpa kebebasan. Pun tidak ada kebebasan tanpa manusia. Manusia adalah kebebasan, kata Sartre. Untuk sampai kesimpulan itu, Sartre perlu elaborasi lebih mendalam konsep negasi atau ketiadaan. Lagi-lagi, ini adalah pembahasan yang sulit karena beda dengan nalar sehari-hari. Tetapi pada bagian akhir, Sartre bergerak kepada hal-hal yang praktis dari kebebasan itu sendiri. Kebebasan terus bergerak bebas menuju yang lebih sempurna. Tidak pernah berhenti. Apa yang ada di diri manusia selalu ingin diubah oleh kesadaran manusia itu sendiri. Kebebasan mewujud dalam bentuk suatu kerja nyata serta membebaskan orang lain.
  7. Lyotard, pemikir abad 20 akhir, menghadirkan konsep postmodern ke wacana filsafat. Dengan kredo, “tidak percaya metanarasi,” posmo berhasil menggoyang perdebatan filsafat. Ketika sebagian besar orang percaya dengan narasi modernitas untuk memajukan kemanusiaan, Lyotard justru meragukan narasi tersebut. Bahkan Lyotard berhasil menunjukkan bahwa modernitas hanya sekedar narasi, cerita yang diulang-ulang tanpa menambah nilai kebenaran sama sekali. Lyotard mengusulkan dissensus sebagai solusi untuk mewujudkan manusia yang adil. Menghargai perbedaan setiap pihak. Mendengarkan suara mereka yang tidak bicara. Lyotard membangun argumennya merujuk ke antinomy Kant. Tidak bisa diseragamkan. Adil dalam keragaman. Apakah dissensus bisa diterapkan untuk kehidupan nyata?
  8. Russell, pemikir abad 20, adalah pelopor filsafat analytic. Bersama siswanya, Wittgenstein, Russell berhasil meletakkan fondasi yang kuat untuk filsafat analytic, aliran filsafat yang paling mudah masuk akal. Berawal dengan penyelidikan nilai kebenaran suatu proposisi berkembang ke bahasa – dan matematika. Dengan mengikuti cara berpikir Russell maka kita lebih mudah menentukan sesuatu bernilai benar atau salah, dengan cara analisis yang masuk akal. Sains dan teknologi modern dapat berkembang pesat dengan memanfaatkan analisis ini. Pendekatan analytic konsisten dengan logika Aristoteles misalnya penerapan logika non-kontradiksi. Russell juga sepakat dengan dunia universalia Plato. Pendek kata, dengan pendekatan analytic kita berhasil makin dekat dengan kebenaran sejati atau bahkan berhasil meraih kebenaran sejati. Ideal. Lalu apa masalahnya? Benar, masalahnya filsafat analytic ini hanya berlaku pada bidang tertentu, yang terlalu sempit untuk kemanusiaan. Maka di usa, filsafat analytic berkembang menjadi pragmatisme yang lebih luas. Pada abad 21 bangkit menjadi neopragamatis di tangan Rorty.
  9. Habermas, pemikir abad 21, yang saat ini berusia 92 tahun, adalah pelopor generasi kedua critical theory. Percaya bahwa sistem masyarakat lebih dominan dari peran individu, Habermas mengembangkan pendekatan komunikasi aktif. Kemanusiaan bisa berkembang dengan jalan komunikasi antara semua pihak tanpa manipulasi. Komunikasi ini menerapkan ungkapan-ungkapan rasional sehingga semua pihak dapat menganalisis dengan baik dan diambil konsensus terbaiknya. Habermas percaya proyek modernitas sudah pada arah yang tepat tapi belum tuntas. Maka kita memerlukan kritik-kritik terhadap modernitas untuk menyempurnakan. Wajar saja bila pendekatan Habermas ini mendapat banyak dukungan karena Habermas mendukung modernitas yang sedang berjalan saat ini. Kritik terhadap Habermas, salah satunya, dari Lyotard yang menolak konsensus. Dalam konsensus selalu terdapat peluang bagi pihak yang kuat untuk memanipulasi pihak yang lemah, tidak adil. Tidak ada kata sepakat antara Lyotard dan Habermas. Dan di tahun 2021 ini, Habermas masih terus berkarya.

Sketsa

Dengan mempertimbangkan pemikiran para tokoh-tokoh kontemporer di atas dan melengkapi dengan pemikiran kuno misal dari Thales, Parminides, Zeno, Plato, dan Aristoteles maka saya coba susun sketsa pembahasan.

  1. Fenomenologi. Kita akan melakukan analisis eksistensial dengan bantuan fenomenologi. Karena semua yang kita bahas tentu hadir dalam kesadaran manusia maka fenomenologi menjadi paling tepat. Sifat fenomenolog yang deskriptif memberi kelonggaran hasil analisis untuk lebih beragam.
  2. Spiral fenomenologi. Ketika fenomenologi memulai analisis dari pengalaman sehari-hari, langkah ini memberi pijakan umum. Kemudian fenomenologi melanjutkan analisis lebih mendalam terhadap pengalaman kesadaran manusia itu. Saya akan mencoba melangkah lebih jauh menganilisis pengalaman-pengalaman tokoh penting masa lalu dengan pendekatan spiral fenomenologi.
  3. Non eksistensi. Meski Heidegger dan Sartre sudah mulai membahas non esksistensi atau ketiadaan tetapi pembahasan mereka masih perlu lebih jauh kita elaborasi. Maka saya akan mencoba membahas non eksistensi ini lebih luas dan mendalam.
  4. Possibility vs probability. Perkembangan analytic kontemporer menunjukkan peran kuat dari probailitas (dan statistik). Maka kita akan mengkaji probabilitas secara filosofis dengan bantuan analytic. Di saat yang sama, kita menyadari bahwa probabilitas mengasumsikan mengetahui semesta 100%. Tentu itu hanya asumsi maka kita perlu membuka posibilitas lebih luas, tanpa batas.
  5. Definisi eksistensi. Sudah disepakati para ahli bahwa eksistensi tidak bisa didefinisikan. Maka kita perlu cara-cara baru mendekati definisi eksistensi. Saya memperkenalkan istilah “hana” sebagai padanan baru dari being, eksistensi, dan wujud. Lebih detil saya mendekati hana dengan “equa” yang mempertimbangkan posibilitas tak terbatas dan probabilitas yang lebih fokus.

Bagaimana pun cara kita mengenal realitas sejati, empiris dan rasional, hanya akan mampu mendekati kebenaran realitas itu. Sementara kebenaran mutlak, untuk menemukannya, akan tetap menjadi tugas kemanusiaan untuk mengkajinya sepanjang jaman.

Karakter Hana

Hana sebagai istilah being dari manusia, wujud dari manusia, eksistensi dari manusia akan menjadi fokus utama pembahasan kita. Kita akan menyelidiki apa saja karakter utama dari hana, melakukan interpretasi dari sudut pandang analisis eksistensial.

  1. Gerak atau perubahan. Karakter utama dari hana adalah selalu berubah atau bergerak. Hana berubah dari sisi permukaan, aksidental, misal berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hana juga berubah dari sisi mendalam, substansial, misal seseorang yang dulunya penakut, ketika dewasa menjadi pemberani. Gerak substansial diformulasikan oleh Sadra, pemikir abad 17. Sedangkan gerak aksidental sudah dikenal banyak orang sejak awal dan masuk pembahasan filsafat sejak masa Heraklitus, pemikir abad 5 SM.
  2. Ruang dan waktu. Gerak dari hana berkonsekuensi pentingnya ruang dan waktu. Manusia senantiasa dalam ruang dan waktu, tak terpisahkan. Umumnya, orang menerima begitu saja eksistensi ruang dan waktu. Kant, pemikir abad 18, yang berhasil meyakinkan kita bahwa ruang dan waktu adalah intuisi murni manusia. Heidegger, pemikir abad 20, mengklaim waktu sebagai horison bagi hana untuk mengungkapkan diri. Einstein, pemikir abad 20, merumuskan ruang waktu sebagai relatif terhadap pengamat. Yang absolut adalah kecepatan gerak cahaya, menurut Einstein.
  3. Kesadaran, peduli, dan bebas. Karakter utama berikutnya dari hana perlu kita pertimbangkan. Kesadaran menjadi yang paling utama menurut fenomenologi Husserl. Namun Heidegger lebih mengutamakan peduli, care, sebagai karakter dasar hana. Sartre memilih kebebasan, freedom, sebagai paling utama. Kita perlu mempertimbangkan karakter-karakter penting hana tersebut dan merumuskan struktur eksistensial paling mendasar.
  4. Sistem sosial. Hana menemukan dirinya lahir dari orang tua, yang merupakan Hana juga. Hana selama bersama hana lainnya. Hana berada dalam jaringan sosial. Mewarisi genetika, budaya, bahasa, dan berbagai hal dari masa lalu. Akankah Hana mengalir bersama sistem sosial itu? Ataukah Hana justru bisa mengarahkan aliran sosial itu?
  5. Sistem alam semesta. Hana mengetahui ada banyak hal di sekitarnya. Hana berada dalam alam semesta. Hana memanfaatkan alam semesta dan menjaga alam semesta.

A. Waktu (Tidak) Bisa Mundur
B. Berbeda (Bukan) Masalah
C. Konflik vs Korupsi: Pertumbuhan
D. Akhir Negeri Korupsi
E. Makna Ketiadaan
F. Kosmologi: Mahana – Kosmos – Hana

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: