Pertumbuhan korupsi di Indonesia makin mengkhawatirkan. Tingkat kebersihan layanan publik merosot, dari urutan 85 menjadi urutan 102 pada tahun 2021 ini, dari 180 negara di dunia yang diteliti. Indeks persepsi kepercayaan (CPI) Indonesia juga merosot dari 40 menjadi 37, jauh di bawah 50, dari nilai sempurna maksimum 100. Di sisi lain, negara-negara yang paling bersih dari korupsi dengan indeks 88 juga tetap terancam adanya korupsi: pencucian uang.
Korupsi makin nyata mengancam kemanusiaan, di seluruh dunia. Lebih ngeri lagi, korupsi terjadi di masa pandemi. Bahkan secara langsung terhubung dengan layanan kesehatan dan bantuan sosial. Bagaimana manusia bisa tega? Rakyat kecil sedang menderita karena pandemi, pejabat melakukan korupsi. Demokrasi juga terancam oleh korupsi.

Transparancy International merekomendasikan 4 cara mengurangi korupsi. Memperkuat lembaga pengawasan, memastikan kontrak yang terbuka dan transparan, perkuat demokrasi dan ruang warga, dan umumkan data yang relevan dan mudah diakses.
Korupsi memang rumit karena terjadi berbagai macam konflik kepentingan. Ketika seorang pejabat melakukan korupsi, apakah atas inisiatif diri sendiri? Apakah dia melakukannya seorang diri? Apakah korupsi demi kepentingan seorang diri? Atau ada kepentingan kelompok? Ada kepentingan melanggengkan karir dan sistem?
Tampaknya sulit untuk mengatakan bahwa korupsi hanya untuk kepentingan diri sendiri. Banyak analisis menunjukkan bahwa korupsi melibatkan kepentingan yang lebih besar. Konflik kepentingan. Di sisi lain, korupsi juga muncul karena nafsu personal. Jebakan kehidupan pribadi yang terpisah dari arti pengorbanan, kebaikan, dan keadilan.
Korupsi sebagai Pertumbuhan
Beberapa waktu lalu, kita disuguhi opini bahwa korupsi adalah pendorong pembangunan, pendorong kemajuan, pendorong pertumbuhan ekonomi. Meski tampak aneh, pendapat itu ada benarnya. Korupsi memperlancar aliran uang, konsumsi meningkat, dan ekonomi tumbuh. Korupsi adalah pelicin pertumbuhan ekonomi. Benarkah begitu?
Benar tapi tidak tepat. Ekonomi bisa tumbuh karena korupsi, namun tidak langgeng. Pada titik tertentu, pertumbuhan ekonomi itu akan hancur akibat korupsi. Maka kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi, dan kemanusian, yang benar dan tepat serta langgeng.
Hegel, pemikir abad 19, menunjukkan bahwa pertumbuhan terjadi melalui proses dialektika. Konflik antara tesis dan anti-tesis menghasilkan sintesis baru yang lebih bagus, hasil pertumbuhan. Selanjutnya, sintesis baru itu bisa kita pandang sebagai tesis maka akan dihadapkan anti-tesis baru dan terjadilah dialektika. Menghasilkan sintesis lagi. Begitu seterusnya, proses dialektika mengantarkan kita ke perumbuhan yang terus-menerus menyempurna.
Tetapi korupsi tidak bisa kita pandang sebagai proses dialektika seperti itu. Karena dialektika mengasumsikan ada dua pihak yang berbeda, setara dalam posisi, kemudian berproses. Korupsi justru merusak pihak lain, maka tidak akan terjadi dialektika. Misal bansos, yang seharusnya sampai ke rakyat kecil, dikorupsi di tengah jalan. Sehingga rakyat kecil tidak punya kekuatan, modal, untuk berproses.
Korupsi menciptakan kondisi tidak adil: differend, dalam istilah Lyotard, pemikir abad 20. Differend adalah kondisi di mana, pihak yang lemah tidak bisa menunjukkan adanya kesalahan. Karena bukti kesalahan itu lenyap, telah dibungkam. Wong cilik tidak bisa membuktikan bahwa bansos-nya sudah dikorupsi oleh pejabat. Tidak ada bukti bahwa bansos itu dikorupsi. Karena bansos-nya sendiri sudah tidak ada.
Mensos yang baru, barangkali bisa mencoba melawan kondisi differend ini. Mensos bisa “mencetak” bukti bahwa nama-nama wong cilik tertentu berhak memperoleh bansos dalam jumlah yang jelas dan batas waktu yang jelas. Bukti ini bisa berupa kartu, postingan di medsos, publikasi digital resmi, atau lainnya. (Tetap mempertimbangkan privasi dan sekuriti). Sehingga ketika ada pejabat melakukan korupsi, wong cilik dapat menunjukkan bukti bahwa dia berhak menerima bansos tapi tidak dia terima. Pejabat akan lebih sulit melakukan korupsi.
Pertumbuhan Sejati
Saya mencatat tiga syarat, minimal, agar terjadi pertumbuhan sejati dalam ekonomi, kemanusiaan, dan lain-lain. Pertama, pengakuan dan respek terhadap adanya sawala – perbedaan sejati. Kaya-miskin, besar-kecil, kuat-lemah, memang ada dan perlu dihormati. Kedua, pengakuan terhadap podo – kesetaraan sejati. Ketiga, menjaga agar setiap pihak bisa berperan aktif. Setiap pihak punya kekuatan khas – jaya.
Saya mencoba merevisi istilah anti-tesis dari dialektika Hegel guna mempertimbangkan tiga syarat di atas – sawala, podo, jaya. Anti-tesis saya ganti dengan ko-tesis. Sehingga proses dialektika terjadi antara tesis dan ko-tesis menghasilkan sintesis. Dalam pengertian tertentu istilah dialektika bisa kita samakan dengan ko-kreasi.
Ko-tesis bermakna mengakui perbedaan, sawala. Tetapi perbedaan itu tidak selalu berlawanan, perbedaan itu eksis bersama-sama, podo. Ko-tesis punya peran unik, kekuatan unik, jaya. Ko-tesis tidak hanya melawan tesis, dia memang berproses dengan dirinya. Sejatinya, Hegel sendiri menggunakan istilah being dan nothing ber-dialektika menghasilkan becoming. Sedangkan istilah anti-tesis berkembang dari pemikir-pemikir idealis Jerman abad 19.
Melawan Korupsi
Konflik adalah hal alamiah. Tidak seharusnya konflik kepentingan berbuah menjadi korupsi. Untuk melawan korupsi kita memerlukan pendekatan sistem dan non-sistem. Pendekatan sistem dengan cara memperkuat lembaga pengawasan dan transparansi. Sedangkan pendekatan non-sistem bisa dengan memperkuat posisi korban, pihak lemah.
Pihak lemah, yang sering jadi korban, perlu diperkuat agar mampu berperan – jaya. Misal ketika terjadi pungutan liar di rumah sakit, korban perlu dibekali cara dan media agar bisa melaporkan kasus itu. Di saat yang sama, korban perlu dijamin bahwa layanan rumah sakit tetap jalan. Korban menjadi enggan, tidak melapor, karena bila melapor maka korban tidak ditangani di rumah sakit tersebut dan bisa fatal. Perlu kepastian layanan rumah sakit bagi pelapor.
Vendor yang akan menerima kontrak perlu dipastikan adanya jalan untuk melaporkan pungutan liar. Dengan cara ini maka pejabat menjadi lebih sulit melakukan korupsi. Di saat yang sama, ketika vendor melaporkan pungutan liar perlu dipastikan bahwa kontrak pekerjaan atau proyek tetap berjalan lancar. Bila karena ada laporan maka kontrak dibatalkan untuk semua maka vendor, sebagai korban, malas melaporkan. Laporan berkonsekuensi hilangnya kontrak kerja. Siapa berani?
Pendekatan personal untuk melawan korupsi juga perlu terus edukasi. Kita memang terjebak dalam situasi yang sulit. Namun, diri kita tetap punya kemampuan untuk mencegah diri dari korupsi. Kita memang produk dari sejarah. Di saat yang sama, kita bisa menciptakan sejarah. Sejarah yang bersih dari korupsi.
Bagaimana menurut Anda?
Tinggalkan komentar