Perbedaan sering jadi masalah. Padahal perbedaan bisa jadi berkah. Perbedaan pandangan politik bisa menyulut perpecahan. Perbedaan sudut pandang bisa bertengkar. Perbedaan aliran bisa saling menyesatkan. Seperti apakah sejatinya perbedaan itu?

Begitu membuka mata, kita akan melihat beragam perbedaan. Fakta di depan mata dipenuhi oleh sesuatu yang berbeda. Perbedaan adalah suatu yang alamiah. Maka mestinya, kita bisa memandang perbedaan sebagai suatu karunia, suatu anugerah. Kita di Indonesia sudah mempunyai semboyan yang menghargai beragam perbedaan: Bhinneka Tunggal Ika.
Perbedaan laki-laki dan perempuan begitu jelas. Karena berbeda, salah satunya, mereka bisa saling jatuh cinta. Begitu indahnya. Lalu menikah. Berumah tangga. Punya anak. Terbentuk keluarga bahagia. Begitulah manusia berkembang dan hidup bahagia karena perbedaan. Bisa dibayangkan apa jadinya bila semua orang adalah laki-laki? Bagaimana jika semua orang adalah perempuan? Pasti manusia akan punah. Tidak bisa berkembang lagi.
Pandangan Perbedaan
Memandang rendah terhadap perbedaan tampak ada di mana-mana, bahkan sejak dulu kala. Siswa yang beda pendapat dengan guru dianggap nakal. Anak yang berbeda pandangan dengan orang tua dianggap durhaka. Rakyat yang berbeda prinsip dengan pejabat dianggap membakang. Oposisi yang mengkritisi penguasa dianggap nyinyir. Dan masih banyak contoh lainnya.
Deleuze, pemikir posmo abad 20, mengklaim penyebab itu semua adalah terlalu kuatnya manusia berpikir identitas. Padahal identitas, menurut Deleuze, bukanlah yang paling utama. Justru perbedaan adalah yang utama. Sawala adalah yang utama. Saya menggunakan istilah baru “sawala” untuk menyatakan perbedaan sejati.
Prinsip identitas sudah matang dirumuskan dengan baik sejak Aristoteles. Jika sesuatu adalah meja maka meja = meja. Begitu jelas, meja = meja. Tampak sederhana tetapi prinsip ini manfaatnya banyak. Misal jika kita beli meja maka meja yang diantar ke rumah kita harus identik dengan meja yang kita pesan itu. Harus sama. Dalam sains dan matematika kita merumuskan banyak persamaan, dan identitas. Persamaan kuadrat, identitas trigonometri, persamaan logaritma, dan lain-lain memenuhi prinsip identitas.
Tetapi realitas alam semesta dipenuhi sawala – perbedaan sejati. Caraka – realitas sejati – dipenuhi sawala.
Maka Deleuze menyatakan bahwa realitas paling utama adalah sawala – perbedaan sejati. Ketika kita mendefinisikan meja maka kita tidak bisa mendeskripsikan meja dengan identitasnya. Tetapi kita mendefinisikan meja sebagai kumpulan sawala, kumpulan beragam perbedaan. Meja adalah bukan kursi, bukan bantal, bukan lantai, bukan pintu, dan lain-lain. Jadi meja adalah selain yang bukan meja. Meja adalah sawala dari yang bukan meja.
Dengan mengangkat posisi sawala maka lebih terbuka bagi kita untuk lebih menghormati perbedaan. Kaya dan miskin adalah sawala. Tidak perlu menganggap kaya lebih baik dari miskin. Tidak pula sebaliknya. Sebagai sawala, kaya dan miskin mempunyai kedudukan yang sama, pada jaya. Bagi orang kaya ada kesempatan untuk berbagi sumber daya kepada orang miskin. Bagi orang miskin ada kesempatan untuk bekerja sesuai kemampuannya. Kaya dan miskin sama-sama terhormat.
Perbedaan Kualitatif
Kita mudah melihat adanya sawala, perbedaan, secara kuantitatif. Orang kaya punya uang lebih banyak dari uang orang miskin. Pejabat punya fasilitas lebih banyak dari rakyat jelata. Beras 10 kg lebih banyak dari beras 2 kg. Bahkan perbedaan kuantitatif ini bisa kita ukur secara obyektif. Dengan timbangan atau catatan rekening masing-masing.
Bergson, pemikir abad 20, menunjukkan adanya sawala kualitatif, perbedaan kualitatif. Dengan memandang waktu sejati, doto, sebagai durasi maka waktu di satu sisi adalah identik tetapi di sisi lain berbeda. Perbedaan pada doto, waktu sejati, adalah perbedaan kualitatif. Kita perlu lebih cermat untuk bisa memahami perbedaan kualitatif ini.
Untungnya, di jaman ini, kita sering menggunakan istilah “waktu yang berkualitas.” Sehingga kita bisa memahami bahwa waktu yang sama-sama 1 jam, misalnya, bisa saja kualitasnya berbeda. Ada orang yang dalam waktu 1 jam menghasilkan pekerjaan 3p, sementara orang lain menghasilkan 5p. Ada juga kebersamaan dalam waktu 1 jam dipakai untuk bertengkar, sementara orang lain menghabiskan 1 jam dengan saling menyayangi.
Lebih dalam, perbedaan kualitas waktu adalah dibandingkan dengan diri sendiri. Tidak dibandingkan dengan orang lain. Saya bisa memanfaatkan waktu 1 jam pagi untuk olahraga, sedangkan waktu 1 jam siang untuk membaca. Jelas 1 jam yang berbeda kualitas, olahraga beda dengan membaca. Tetapi, seandainya yang sama-sama 1 jam pagi dan siang, saya gunakan sama-sama untuk membaca maka kualitasnya tetap berbeda. Ketika saya membaca di siang hari, saya sudah punya modal membaca di pagi hari. Sedangkan ketika saya membaca di pagi hari, saya belum punya pengalaman membaca di siang hari, belum terjadi. Doto, waktu sejati, bersifat akumulatif.
Karena akumulatif, bersifat mengumpulkan, maka untuk mendapatkan waktu berkualitas tetap mempertimbangkan durasi atau lama waktunya. Waktu kebersamaan dengan keluarga di akhir pekan selama 3 jam akan berbeda dengan hanya 1 jam. Durasi yang 3 jam sudah meliputi, memasukkan, yang 1 jam. Tentu saja keseimbangan dalam berbagai macam hal tetap harus kita pertimbangkan dengan adil.
Perbedaan yang Mengancam
Bagaimana pun memang ada perbedaan yang berbahaya. Lyotard, pemikir abad 20, memberi istilah differend sebagai perbedaan yang tidak adil. Pihak yang kuat memanfaatkan kekuatan untuk memanipulasi agar yang lemah, terpaksa, menuruti yang kuat. Tentu tidak adil. Termasuk tidak adil adalah membungkam pihak yang lemah. Agar adil kita perlu mendengarkan semua pihak. Bahkan mendengarkan mereka yang tidak bersuara.
Polisi versus pencuri juga berada pada posisi perbedaan yang mengancam keadilan. Polisi bertugas menjaga keamanan, adil. Sementara pencuri berniat mencuri barang yang bukan miliknya, tidak adil. Dalam kasus seperti ini, pelanggaran terhadap keadilan, tetap perlu ditindak secara tegas.
Perbedaan Mendorong Perubahan
Perbedaan mempunyai kekuatan untuk mendorong perbaikan. Sawala, perbedaan sejati, mendorong untuk berubah menuju lebih baik. Heidegger, pemikir abad 20, menyatakan bahwa manusia punya karakter mengantisipasi masa depan, yang berbeda dengan masa lalu. Dengan pemahaman yang baik tentang masa depan, yang berbeda dengan masa lalu, maka manusia melangkah di masa kini menuju ke arah yang lebih baik.
Orang yang meyakini bahwa dirinya tidak bisa berubah, tidak bisa berbeda, adalah orang yang memiliki keyakinan yang buruk, keyakinan yang salah. Sejatinya, manusia selalu bisa berusaha untuk berbeda dengan masa lalunya. Manusia selalu bisa untuk berbeda, untuk menjadi lebih baik. Sukses selalu…!
Bagaimana menurut Anda?
Tinggalkan komentar