Amandemen UUD 1945 menunjukkan dinamika dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dinamika seperti itu, wajar, kita pandang sebagai kemajuan positif. Setelah reformasi, amandemen terbaik, menurut beberapa kalangan, adalah pembatasan masa jabatan presiden dan wakil menjadi hanya 10 tahun atau 2 periode.
/https://static.asumsi.co/posts/944fd9a0-6b93-4583-85b5-75ca6adbae4c/1615874332008_3_periode.jpg)
Tahun 2021, muncul ide kembali untuk amandemen UUD 45. Sejatinya, wajar saja. Menjadi lebih heboh lantaran dalam rencana amandemen itu adalah mengesahkan masa jabatan presiden menjadi 3 periode. Kosekuensinya, bila amandemen terjadi, Presiden Jokowi bisa mencalonkan kembali pada 2024.
Atau logikanya bisa dibalik. Beberapa pihak mengharapkan presiden Jokowi untuk menjabat 3 periode. Agar sah secara konstitusional maka diperlukan amandemen. Dan, lebih menarik lagi, koalisi pemerintah di MPR sangat besar sehingga memungkinkan dilakukan amandemen.
Presiden Jokowi Menolak
Dalam berbagai macam media, Jokowi menolak ide masa jabatan presiden 3 periode.
“Saya tegaskan, saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama-sama.” (Sumber: asumsi.co)
Secara sekilas, tampak jelas, dari pernyataan di atas bahwa Jokowi menolak masa jabatan 3 periode. Sementara bagi pendukung masa jabatan 3 periode, pernyataan presiden di atas bukanlah penolakan nyata. Jika konstitusi mengijinkan, misal dengan amandemen, maka presiden bisa saja bersedia.
Untuk mengurangi kekuatan oposisi, bahkan pendukung jabatan 3 periode, memasangkan Jokowi dan Prabowo di 2024.
Presiden Lebih Tegas
Tentu saja, presiden bisa membuat pernyataan lebih tegas, sesuai sikap dirinya.
a. Saya menolak masa jabatan 3 periode
b. Saya memerintahkan, atau mengajak, anggota DPR untuk menolak amandemen UUD 45 berkenaan dengan masa jabatan presiden.
c. Jika karena satu dan lain hal terjadi amandemen yang mengijinkan masa jabatan presiden menjadi 3 kali maka saya dengan tegas menolak dicalonkan untuk masa jabatan ke 3. Saya cukup menjabat 2 periode saja.
Debat Masa Jabatan
Dalam suasana demokrasi yang sehat, debat publik masa jabatan presiden 3 periode mesti dapat tempat yang memadai. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mendiskusikan beberapa sudut pandang filosofis.
Plato dan Aristoteles
Para pemikir kuno semisal Plato dan Aristoteles, tampaknya, tidak terlalu mendukung pemerintahan demokrasi. Plato lebih mendukung pemerintahan yang dipimpin oleh raja yang adil dan cerdas – King Philosopher. Sehingga, jika kita telah mendapatkan king-philosopher itu maka seharusnya kita mendukungnya untuk masa jabatan 3 periode atau lebih.
Pandangan pemerintahan king-philosopher seperti itu, saat ini, sulit mendapat dukungan. Kemajuan peradaban manusia justru mendukung pemerintahan demokrasi.
Al Farabi (870 – 950)
Al Farabi melanjutkan pemikiran Plato dengan menyempurnakan king-philosopher dengan keharusan mendapat pencerahan Tuhan demi mencapai kebaikan masyarakat luas.
Berbeda dengan Plato, Al Farabi hidup hampir 1000 tahun setelah masehi. Sehingga, kitab suci sudah dibukukan dengan baik. King-philosopher harus mampu membaca kitab suci untuk kemudian menafsirkan dengan cerdas demi kebaikan seluruh masyarakat.
Barangkali, ide Al Farabi ini pernah sukses di masa lalu. Tetapi di masa sekarang, tampaknya masyarakat lebih mendukung demokrasi. Meski demikian, beberapa pemikir mencoba menggabungkan ide Al Farabi ini dengan demokrasi.
Ibnu Khaldun (1332 – 1406)
Ibnu Khaldun adalah pemikir ilmu sosial pertama di dunia. Khaldun mengenalkan konsep empiris untuk menguji teori sosial. Sehingga, bila kita bertanya kepada Ibnu Khaldun tentang presiden 3 periode maka jawabannya: belajarlah dari pengalaman empiris.
Pertama, kita bisa menguji suksesi era SBY yang menjabat 2 periode, total 10 tahun. Lalu digantikan oleh Jokowi berjalan dengan lancar dan demokratis.
Kedua, kita bisa menguji suksesi bagi presiden yang menjabat lebih dari 10 tahun. Kita punya presiden Soeharto dan Soekarno. Kita mengagumi kedua presiden hebat itu. Tetapi, kita tahu, suksesi mereka berjalan secara tidak normal – darurat. Tentu banyak resiko.
Ketiga, berdasar pengalaman empiris, sesuai pendapat Ibnu Khaldun, kita bisa menarik kesimpulan. Batasan masa jabatan presiden 10 tahun teruji secara demokratis dalam suksesi, pergantian presiden berjalan dengan baik. Sedangkan masa jabatan presiden lebih dari 10 tahun, atau 3 periode, beresiko terjadi krisis demokrasi dalam suksesi.
Immanuel Kant (1724 – 1804)
Kita bisa mempelajari pemikiran Kant melalui buku-bukunya yang luas dan mendalam. Khususnya buku trilogi-kritik memberikan wawasan yang amat berguna untuk kita semua.
Masa jabatan presiden 3 periode bisa kita analisis dengan kategorial-imperatif atau kewajiban moral versi Immanuel Kant.
Jika 3 periode itu memang baik maka harus dilakukan. Jika 3 periode itu buruk maka harus ditinggalkan. Pertanyaannya, bagaimana kita menentukan 3 periode itu baik atau buruk, sesuai kategorial-imperatif?
Kant percaya kepada kemampuan manusia berakal untuk menentukan baik dan buruknya sesuatu, termasuk 3 periode. Dalam hal ini, Kant mendukung demokrasi umat manusia untuk menentukan sikap masing-masing sesuai akal sehat. Berikut ini, empat kriteria yang menyatakan bahwa 3 periode masa jabatan presiden itu baik atau buruk.
Pertama, disetujui semua orang. Syarat ini sulit dipenuhi. Karena, sekarang pun, sudah banyak yang menolak masa jabatan 3 periode itu.
Kedua, bisa dilakukan oleh semua orang. Syarat ini bisa dipenuhi. Setiap orang yang memenuhi syarat bisa saja mencalonkan diri sebagai presiden 3 periode.
Ketiga, bisa dilakukan kapan saja. Syarat ini juga bisa dipenuhi. Jika konstitusi mengijinkan maka bisa kapan saja diterapkan masa jabatan 3 periode.
Keempat, bisa dilakukan di mana saja. Syarat ini juga bisa dipenuhi. Jika berbagai negara di dunia menyepakati 3 periode maka mereka bisa menerapkan di mana saja.
Dari empat kriteria di atas, hanya satu kriteria yang belum terpenuhi. Sehingga masa jabatan presiden 3 periode tidak bisa disebut sebagai kewajiban moral. Akibatnya, boleh ditolak.
Tetapi, apakah ada kewajiban moral yang memenuhi empat kriteria di atas? Tentu ada. “Menghormati ibu,” “Jangan korupsi,” “Jangan membunuh,” adalah contoh kewajiban moral yang memenuhi empat kriteria di atas.
John Rawls (1921 – 2002)
Rawls adalah pemikir politik yang fenomenal. Dengan bukunya A Theory of Justice, Rawls berhasil menggeser perdebatan etika politik yang bersifat normatif menjadi etika politik yang aplikatif – bisa diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata.
Rawls melanjutkan konsep masyarakat adil dengan pendekatan kontraktarianisme seperti Kant. Pertama, prinsip kesamaan dalam kebebasan. Ide masa jabatan presiden 3 periode harus terbuka secara umum bagi seluruh warga. Prinsip ini bisa dipenuhi.
Kedua, prinsip perbedaan. Setiap perbedaan harus memberikan akibat terbaik bagi masyarakat lemah. Masa jabatan presiden 3 periode, yang berbeda dengan semula 2 periode, apakah memberi manfaat terbaik bagi masyarakat lemah?
Sulit untuk menjawab afirmasi pertanyaan kedua. Sulit bagi kita untuk meyakinkan bahwa presiden 3 periode akan berdampak positif bagi masyarakat lemah. Siapa pun presidennya, masa jabatan 3 periode justru membuka peluang ke arah kolusi dan korupsi yang lebih berbahaya.
Dengan demikian, amandemen UUD untuk menetapkan periode jabatan presiden 3 periode layak ditolak.
Habermas (lahir 1929)
Habermas sejalan dengan Rawls melanjutkan konsep kontraktarianisme dari Kant. Habermas juga percaya bahwa masing-masing orang punya akal yang mampu menentukan sesuatu bersifat baik atau buruk. Habermas melangkah lebih jauh dengan menetapkan komunikasi aktif adalah sarana paling tepat untuk dialog mencapai konsensus bersama.
Ruang publik adalah ruang terbuka, secara fisik atau digital, bagi masyarakat untuk bisa saling diskusi dengan bebas. Siapa pun bebas memulai tema diskusi di ruang publik. Masing-masing pihak menanggapi pro-kontra secara rasional. Begitulah demokrasi.
Isu presiden 3 periode perlu dibahas di ruang publik secara terbuka.
Tinggalkan komentar