Mind and World: Aktualisme Obyektif

Pemikir besar dunia, seorang profesor filsafat, salah memahami buku filsafat. Bagaimana bisa?

Charles Taylor (1931 – ) salah memahami “Mind and World” karya McDowell. Robert Pippin (1948 – ) dan Hilary Putnam (1926 – 2016) juga salah paham. Jika orang-orang hebat seperti itu saja salah paham, maka, siapa yang akan bisa memahami buku McDowell?

McDowell tidak hanya menyalahkan para seniornya. Di saat yang sama, McDowell mengoreksi dengan menjelaskan maksud bukunya. Kemudian, saya mencoba membaca buku McDowell itu. Dan, saya memang sulit untuk memahaminya. Tampaknya, saya juga salah paham.

1. Aktualisme Obyektif
2. Koreksi McDowell
3. Ringkasan
P. Penutup

P1. Ontologi
P2. Epistemologi
P3. Aksiologi

Pertama, kita akan membahas aktualisme obyektif secara singkat. Kedua, kita mempertimbangkan koreksi-koreksi McDowell terhadap para pembacanya. Ketiga, kita mempertimbangkan pengantar dari McDowell pada buku edisi revisi. Kemudian, kita akan mengambil kesimpulan dengan menegaskan konsep aktualisme obyektif.

1. Aktualisme Obyektif

Dari McDowell, saya terpikir untuk membuat formula aktualisme-obyektif. Yaitu, kita meyakini, dan membuktikan, bahwa “world” adalah obyektif. Di saat yang sama, “world” adalah aktualisasi dari kekuatan “mind”. Dunia obyektif adalah aktualisasi dari kekuatan pikiran.

Bukan idealisme pikiran. Banyak orang mengira bahwa idealisme ekstrem adalah idealisme-Berkeley yang menyatakan bahwa dunia eksternal hanyalah pikiran manusia. Semua realitas yang ada adalah pikiran manusia. Aktualisme obyektif bukan idealisme.

Bukan naturalisme. Khususnya, bukan bald-naturalism. Naturalisme meyakini bahwa sains empiris mampu, dengan tuntas, mengungkap seluruh realitas alam raya. Memang, sains adalah prosedur terbaik untuk mengungkap realitas alam raya. Tetapi, sains bukan satunya-satunya yang terbaik. Aktualisme obyektif bukanlah naturalisme yang seperti itu.

Aktualisme-obyektif adalah pikiran, jiwa manusia, mengaktualisasikan kemampuannya dengan mengungkap dunia obyektif.

2. Koreksi McDowell

Kita akan mulai dengan membaca koreksi McDowell kepada para pembacanya. Hasil bacaan dan respon McDowell dibukukan berjudul “Reading McDowell

Prasangka Tuntas

“He tells us that his central concern is not that of reconciling nature as a realm of law with an unbounded space of reasons, but to dissolve the prejudice of assuming that the realm of law exhausts the concept of nature, in which case there then is no difficulty concerning how spontaneity can be sui generis while also being natural (Response to R.Goldstein, 269).”

Masalah utama kita bukan menyatukan akal yang bebas-spontan dengan alam yang taat-hukum. Tetapi, adalah meruntuhkan prasangka yang mengira bahwa hukum alam adalah konsep yang tuntas mengenai alam. Akibatnya, mereka mengira segala sesuatu adalah determinisme sesuai hukum alam. Akal yang bebas tidak punya tempat di alam seperti itu. Prasangka seperti itu perlu diruntuhkan.

Akal yang bebas adalah anggota alam raya ini. Akal adalah anggota unik, sui generis, dari alam raya.

Aktulaisasi Kapasitas Konseptual

“Elsewhere, he says that it is not that passively perceived impressions become experiences of the objective world by being taken as such by our cognitive faculty, but that actualizations of conceptual capacities in receptivity already can reveal the objective world—not turned into objective experience via some cognitive action of being so taken (Response to Friedman, 272-273).”

Masalahnya bukan persepsi pasif yang mengenali dunia eksternal secara obyektif. Tetapi, adalah aktualisasi kapasitas konseptual ke persepsi receptif sudah mampu mengungkapkan dunia obyektif.

Pikiran manusia, jiwa manusia, memiliki kapasitas konseptual. Kemudian mengaktualisasi ke persepsi reseptif. Aktualisasi inilah yang “menerangi” dunia obyektif. Tema ini akan kita kembangkan menjadi ide dasar aktualisme-obyektif.

Dialog Sosial

“Further, it is not that the individualized perceiver’s grasp of reality is an alternative to Hegelian talk of wide ranging social bases for normativity, but there is a reciprocity and interdependence of these two dimensions. Answerability to the world and answerability to each other stand or fall together (Response to Pippin, 275).” 

Lebih lanjut, bukannya pemahaman individu menjadi alternatif dialektika Hegel. Tetapi, terjadi proses dialog timbal balik antara individu dengan lingkungan sosial dan alam raya. Individu tidak bisa berkembang hanya dengan dirinya sendiri. Setiap individu, termasuk diri kita, perlu dialog aktif secara sosial dan dialog dengan alam raya.

Aproksimasi

Also, it is not that Sellars has no place for non-judgmental justifiers, but that his “sense impressions” fail on this count, not his notion of experience which closely approximates McDowell’s (Response to Brandom, 279).”

Bukanya tidak ada tempat bagi penilai non-judgmental. Tetapi, impresi-indera gagal menjalankan tugasnya.

Impresi-indera tidak mampu menjelaskan bagaimana impresi tersebut hadir ke subyek pikiran. Dengan aproksimasi yang lebih detil, impresi-indera tetap tidak akan berhasil. Kita perlu melihat dari perspektif berbeda: aktualisme-obyektif.

Inside/Outside

“We learn that the picture to be exorcized is not an inside/outside picture wherein the epistemological problem concerns how knowledge of the outside realm is possible if it requires, impossibly, that events of the boundary conform to laws of causality while also manifesting allegiance to rational norms, but rather the unintelligible picture of a supposedly externally caused unconceptualized experience imposing objective constraints on the space of reasons, where the problem is one concerning the possibility of empirical content in general (Response to Taylor, 281-282).”

Citra yang hendak disingkirkan bukan citra inside/outside, yang gagal secara epistemologis. Tetapi, asumsi eksistensi non-konseptual eksternal yang menerobos “space of reason” atau ruang-akal secara obyektif. Sehingga, perhatian kita adalah posibilitas konten empiris secara umum.

Untuk bisa menembus ruang-akal maka suatu eksistensi obyektif harus bersifat konseptual. Karena itu, konten pengalaman empiris adalah konseptual, yaitu, aktualisasi kapasitas konseptual dari akal.

Percaya Ilusi

“Again, it is not that a person who perceives, say, that it is raining, thereby believes/judges so, but as McDowell states, “Certainly, one will not say that one sees that p unless one accepts that p. But one can see that p without being willing to say one does”—e.g., one may have not trusted one’s vision in the original setting but nevertheless come to recognize that one did see that p (Response to Stroud, 277).”

Bukan karena kita mengatakan “sedang turun hujan” maka kita percaya “sedang turun hujan.” Tentu saja, kita tidak akan mengatakan sesuatu jika tidak menerima sesuatu itu. Masalahnya, adalah kita bisa melihat sesuatu padahal, kita tidak ingin begitu.

Mengapa ilusi itu muncul? Mengapa mimpi itu datang? Padahal, kita tidak mengharapkannya. Sekali waktu, kita sengaja menatap kebun teh nan hijau. Dan, citra kebun teh nan hijau itu hadir di pikiran kita. Apa yang membedakan ilusi dengan persepsi nyata tentang kebun teh nan hijau? Sangat berbeda!

Basis Rasional

Further, the problem of traditional empiricism is not that it construes the world’s impact on mind in merely causal terms, leaving no room for warrant, but that it desires experience to provide rational basis for belief and falls into the Myth of the Given which precludes satisfaction of the desideratum. That is the hitch (Response to McCulloch, 284). 

Masalah empirisme tradisional bukannya menganggap dampak alam ke pikiran sekedar kausal, tetapi harapan bahwa pengalaman memberi basis rasional untuk keyakinan. Terpaksa, mereka jatuh ke mitos “given.”

Pengalaman, yang diasumsikan sebagai dampak kausalitas alam, tidak akan memadai sebagai basis rasional. Karena, sejatinya, pengalaman adalah aktualisasi obyektif. Sehingga, kita perlu bergerak menyelidiki sumber aktualisasi itu sendiri.

Gap Obyektif

“Moreover, it is not that there is a gap or further step required between experience and the objectively given, but rather, that experience reveals or embodies facts as such (Response to Wright, 289).”

Bukan karena ada gap antara pengalaman dengan realitas obyektif sehingga perlu dijembatani. Tetapi, pengalaman itu sendiri, sudah mampu, mengungkap fakta obyektif sebagai aktualisasi.

Sains Khusus

“Further, it is not that subsuming mental occurrences in a functionalist way under the non-strict laws of the special sciences would contrast relevantly with physicalist reductions under strict laws—in neither case would we have a sui generis space of reasons—and hence, this is not a “third option” but only a species of bald naturalism (Response to Putnam, 292-293).” 

Bukan masalah memasukkan sikap mental dalam kajian sains dengan hukum-tidak-ketat, yaitu sains khusus, kontras terhadap sains dengan hukum-ketat. Karena, yang demikian tidak akan menempatkan akal sebagai sui generis yang unik. Pendekatan seperti itu akan mengantarkan ke jenis bald-naturalism yang baru.

Lagi, akal adalah sui generis yang unik sebagai anggota alam raya ini. Modifikasi terhadap hukum sains tidak akan berhasil “merangkul” akal yang bebas ini. Kita memang perlu perspektif baru: aktualisme obyektif.

Bukan Teori

“He also reminds us that it not that the seductive picture to be dislodged is a false theory to be replaced by a true one, but that the unwanted picture results from non-rational influences (superstition? confusion?), not a theory at all, and reminding ourselves of what is obvious and already in place is not promoting a revisionary view, but a remedy for a philosophical affliction (Response to Lamore, 204).”

Bukan bermaksud mengganti teori-lama yang salah dengan teori-baru yang benar. Dan, tidak bermaksud untuk mengajukan revisi sudut pandang, tetapi, suatu jalan keluar bagi kebuntuan filosofis.

Aktualisasi obyektif hanyalah jalan keluar yang kita butuhkan sebagai fondasi filosofis. Akal-bebas berdampingan di alam raya bersama realitas obyektif yang taat-hukum.

Tumpukan Bahasa

“Further, it is not that McDowell no longer accepts Dummett’s thesis that philosophy of language is foundational for philosophy, but that McDowell also accepts the Gadamerian insight regarding the role of language as a repository of tradition (Response to Bubner, 296-297).”

Lebih jauh, bukannya menolak pentingnya filosofi bahasa, tetapi bahasa juga berperan menyimpan tumpukan tradisi.

Yang menarik dari bahasa adalah mampu menyimpan tumpukan tradisi dan histori dengan tanpa batas ruang dan tanpa batas waktu. Dengan demikian, akal bebas berkreasi di rumah bahasa. Pikiran bebas beraktualisasi obyektif melalui sarana bahasa.

Hanya Konseptualisasi

“Next, it is not that bald naturalism is the opposite pole to coherentism—that is the locus of the Myth of the Given. Nor is bald naturalism (the alternative to rampant Platonism) equivalent to scientism; but given the latter, then bald naturalism contends that only the conceptualization of things as natural has a shot at truth (Response to J. Bernstein, 297).”

Bukan masalah bald-naturalism adalah lawan koherentisme, atau alternatif dari Platonisme. Bukan pula ekivalen dengan saintisme. Tetapi, bald-naturalism menganggap hanya konseptualisasi-sesuatu yang memiliki peluang bernilai benar.

Karena akal-bebas bukan sesuatu yang bisa dikonseptualisasi maka akal-bebas tidak bisa bernilai benar, menurut naturalisme. Kita kehilangan akal-bebas. Kita memerlukan aktualisme obyektif untuk bisa kembali bersama akal-bebas.

Renungan Moral

“Finally, in response to Honneth (301-302), it is not that a neo-Aristotelian invocation of second nature implies that unreflective perception is sufficient to resolve cases of doubt or moral conflict, but that ethical reflection based on deliberation and practical reason leading to the recognition of moral principles is a natural extension of McDowell’s conception of experience as responsiveness to the space of reasons.”

Bukan persepsi tanpa-refleksi akan mampu menyelesaikan dilema moral. Tetapi, refleksi yang didasarkan pada niat dan akal praktis mengantarkan kita mengenal prinsip-prinsip moral sebagai perluasan pengalaman responsif di ruang-akal.

Sistem moral bukan suatu tambahan dari realitas obyektif. Justru, sistem moral adalah hasil renungan tingkat tinggi dari akal-bebas. Meski, sistem moral bernilai lebih tinggi, tidak berarti realitas obyektif sains menjadi luntur. Realitas sains tetap memiliki nilai sama penting dengan sebelumnya – bahkan makin bernilai dengan selaras bersama moral.

Koreksi McDowell, di atas, menjadi bekal untuk mengembangkan lebih jauh konsep aktualisme obyektif. Selanjutnya, kita akan mencermati ringkasan ide dari McDowell secara urut.

3. Ringkasan

Dalam edisi revisi, McDowell menambahkan introduksi untuk memudahkan beberapa pembaca. Di bagian ini, kita mendiskusikan introduksi yang berperan sebagai ringkasan itu. 

3.1 Spirit Diagnosa

Kajian kita hanya beraroma spirit diagnosa. Yaitu, kita hanya mendiagnosa apa yang terjadi. Kemudian, diagnosa yang tepat akan menunjukkan arah solusi yang tepat.

3.2 Empirisme Minimal

Solusi dari problem hubungan “mind” dan “world” adalah empirisme minimal. Pengalaman pikiran kita di dunia empiris adalah bersifat “tribunal,” yaitu, memberi keputusan. Ketika kita melihat pohon maka pengalaman kita itu memutuskan bahwa itu adalah pohon. Karakter tribunal, memberi keputusan, ini berlaku untuk pengalaman sadar mau pun pengalaman persepsi reseptif.

3.3 Hubungan Empirisme dan Pikiran

Empirisme adalah epistemologi. Sementara, problem hubungan pikiran dan dunia adalah problem ontologi. Solusi empirisme ini kita ambil dengan pertimbangan pikiran beraktualisasi obyektif melalui pengalaman empiris. Dari epistemologi menuju ontologi.

3.4 Mitos Given

Kerumitan muncul akibat mitos “given,” yaitu, prasangka yang meyakini bahwa alam raya sudah begitu adanya. Ketika kita mengalami melihat pohon maka sudah begitu adanya pohon. Tidak diperlukan lagi peran subyek kulo untuk menentukan status ontologi pohon. Akibatnya, kita tidak membutuhkan subyek dan akal-bebas sesuai prasangka ini. Realitas pohon adalah given.

3.5 Frame of Mind

Di sisi lain, ada pandangan frame-of-mind atau kerangka pikiran. Hanya pikiran yang mampu menentukan apakah yang kita lihat adalah pohon atau hanya halusinasi. Hanya pikiran yang mampu menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya pikiran yang mampu menentukan kausalitas, hubungan sebab-akibat.

Terjadi dikotomi, perlawanan, antara mitos-given dengan frame-of-mind. Tetapi, keduanya gagal memberi solusi yang kita harapkan.

3.6 Menolak Empirisme

Solusi pertama adalah menolak empirisme, karena given tidak menambah informasi apa pun bagi kita. Empirisme tidak menjadikan kita lebih cerdas karena hanya memberi informasi apa adanya. Kita perlu mengembangkan kecerdasan dalam kerangka pikiran. Data empiris hanya data mentah, untuk kemudian, pikiran kita yang mengolahnya menjadi berguna.

3.7 Menolak Dikotomi

Solusi kedua adalah menolak dikotomi antara empirisme dan pikiran. Empirisme adalah mengkaji nature. Sementara, pikiran adalah bagian dari nature. Sehingga, pikiran bisa dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kajian empiris terhadap nature adalah kajian yang lengkap dan tuntas.

Meski tampak menolak dikotomi, pendekatan naturalisme seperti itu, sejatinya, meruntuhkan pikiran ke dalam naturalisme. Pikiran yang merupakan akal-bebas menjadi tidak bebas lagi karena dikenakan hukum sebab-akibat empiris, misalnya. Pendekatan naturalisme ini kita sebut sebagai bald-naturalism yang perlu ditolak.

3.8 Nature Kedua

Bald-naturalism dan frame-of-mind gagal memberi solusi yang kita harapkan. Selanjutnya, kita mengkaji ulang solusi yang sudah kita singgung di awal: empirisme-minimal. Setiap pengalaman kita adalah tribunal. Lebih jauh, pengalaman empiris adalah aktualisasi kapasitas konseptual pikiran secara obyektif.

Pikiran, akal-bebas, adalah aggota unik dari alam ini. Unik karena akal-bebas bersifat spontan tidak terikat oleh hukum alam. Sementara, anggota alam yang lain selalu taat kepada hukum alam ini.

Bagaimana pikiran bisa menjadi anggota alam yang unik, sui generis?

Mudah saja. Karena ada alam kedua – second nature. Sejak jaman dahulu kala, kita mengenal alam kedua semisal budaya, bahasa, teknologi, dan lain-lain. Akal-bebas adalah sui generis dalam alam kita, tepatnya alam kedua.

Akal-bebas, dengan kapasitas konseptualnya, mengaktualisasi secara obyektif di alam faktual ini. Saya menyebutnya sebagai aktualisme obyektif.

3.9 Bald Naturalism

Kita bisa membahas lebih jauh bald-naturalism yang memang makin berkembang di era kontemporer ini. Kabar baiknya, bald-naturalism itu tidak salah. Demikian juga, frame-of-mind tidak salah. Mereka hanya tidak sanggup memberi solusi yang diharapkan.

3.10 Moral Akal Responsif

Masalah moral melanda dunia. Apa solusinya?

Moral dan sains sama-sama obyektif di alam ini. Mereka sama-sama aktualisasi dari akal-bebas. Sehingga, kita perlu mengkaji ontologi moral dengan lebih serius. Meski posisi moral sangat kuat, tidak berarti sains menjadi lemah. Sains justru dibutuhkan, dalam kadar tertentu, untuk aktualisasi moral.

Renungan mendalam terhadap realitas menghadirkan rasa tanggung jawab pada akal-bebas. Moral adalah respon dari akal-bebas. Sehingga, solusi dari masalah moral membutuhkan peran penting dari akal-bebas.

P. Penutup

Aktualisme obyektif, seharusnya, berupa kajian ontologis. Tetapi, terasa begitu kuat muatan epistemologisnya. Sehingga, kita bisa menggunakan istilah aktualisasi obyektif. Secara ontologis, saya merumuskan topologi wujud. Sedangkan secara aksiologi, saya membahas filosofi cinta, filosofi EPIC, dan filosofi Terasa.

P1. Ontologi: Topologi Wujud

Realitas paling fundamental adalah wujud atau being. Tetapi, kita bisa mengajukan pertanyaan, “Apa makna wujud?”

Setiap jawaban ontologis akan memicu pertanyaan lagi, tanpa henti, “Apa maknanya itu? Apa makna being?”

Wujud adalah peduli sebagai being-in-the-world. Wujud bersifat tunggal tetapi, di saat yang sama, wujud adalah beragam – gradasi secara intesitas dan variasi. Wujud terus-menerus dinamis bergerak. Pembahasan lebih lengkap saya tuliskan di Topologi Wujud Nothing.

P2. Epistemologi: Aktualisasi Obyektif

Aktualisasi obyektif berhasil menyelesaikan kesulitan filosofis membangun hubungan antara pikiran akal-bebas dengan alam raya taat-hukum. Atau, lebih tepatnya, sekedar berhasil menyingkirkan kesulitan filosofis.

Setiap pengetahuan adalah pengetahuan aktual. Pengetahuan adalah aktualisasi obyektif dari akal-bebas. Dengan demikian, akal-bebas hadir obyektif bersama obyek-obyek lain di alam raya ini. Bagaimana pun, akal-bebas adalah anggota alam yang unik yaitu bersifat spontan terbebas dari ikatan hukum alam.

Dari sisi alam raya, obyek hadir dalam akal-bebas sebagai aktualisasi pikiran. Alam raya berinteraksi dengan akal-bebas. Baik obyek alam atau akal-bebas adalah beragam. Sehingga, interaksi antara mereka membentuk alam alamiah dan alam budaya lebih dinamis.

Pengetahuan aktual adalah aktualisasi. Pengetahuan aktual bukan idealisme dan bukan naturalisme. Tetapi, idealisme dan naturalisme menemukan saluran untuk aktualisasi sebagai ilmu aktual.

Dari sisi histori, kita bisa menerjemahkan ilmu huduri sebagai ilmu aktual dan knowledge-by-presence sebagai knowledge-by-actualization. Ilmu aktual berkembang melalui aktualisasi obyektif.

P3. Aksiologi: Filosofi Cinta

Etika, atau filosofi moral, mendapat posisi yang kuat dalam aktualisasi obyektif. Dalam refleksi yang mendalam, akal-bebas peduli bahwa dirinya bertanggung jawab akan eksistensi dirinya dan alam raya. Karena itu, etika adalah respon yang tepat dari setiap akal-bebas.

Bagaimana pun, etika sebagai pengetahuan tetap berupa ilmu aktual. Sehingga, etika adalah aktualisasi obyektif dari akal-bebas itu sendiri. Dengan demikian, etika setara dengan pengetahuan lain semisal matematika, bahasa, dan sains. Bahkan, dalam kadar tertentu, etika menjadi lebih utama.

Saya menulis tema aksiologi ini dalam pembahasan filosofi cinta, filosofi EPIC, dan filosofi Terasa. Lebih lengkap silakan merujuk ke tautan filosofi cinta.


Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: