Judul yang terdiri dari tiga kata di atas, seluruhnya merupakan kata-kata penting. Topologi adalah cabang matematika modern paling canggih. Wujud adalah realitas-kenyataan paling jelas di seluruh semesta. Dan, nothing adalah teka-teki alam raya yang tidak ada habis-habisnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas tema-tema penting tersebut secara bertahap.

Apa realitas paling fundamental yang ada di semesta ini? Pertanyaan ontologis, atau metafisika, seperti itu sudah menghantui setiap pemikir sejak ribuan tahun yang lampau. Dan, bisa kita duga, tentu jawabannya beragam. Realitas paling nyata di depan mata adalah materi alam raya. Segala yang ada terdiri dari materi dengan unsur-unsur dasar penyusunnya. Pandangan materialis seperti itu mudah kita pahami. Tetapi, tidak selalu mudah bagi banyak orang untuk sepakat. Realitas paling fundamental adalah spirit. Sedangkan, materi hanyalah penampakan dari spirit yang lebih prior dari materi itu sendiri. Dan, masih banyak pandangan alternatif lainnya.
Formulasi pertanyaan fundamental ontologis di atas bisa saja beragam. Apakah tuhan ada? Apakah meja di rumah saya itu ada? Apakah saya ada? Dalam pertanyaan-tersebut tersebut, kita mengasumsikan bahwa makna-ada sudah jelas. Kita justru bisa bertanya, “Apa makna-ada?” Apa makna-being? Apa makna-wujud?
Kita, dan para pemikir pun, sering melupakan makna-ada karena di anggap: jelas dengan sendirinya, tak bisa didefinisikan, dan cakupannya paling universal. Semua alasan itu tidak menyebabkan makna-ada menjadi lebih jelas. Kita akan mencoba membahas makna-ada pada tulisan ini.
1. Realitas Fundamental
2. Eksistensi Parmenides
3. Wujud Arabi – Sadra
3.1 Prioritas Wujud
3.2 Gradasi Wujud
3.3 Gerak Eksistensial
3.4 Wujud Basit (Sederhana)
3.5 Puncak Wujud
4. Nothingness Heidegger – Sartre – Zizek
4.1 Being-in-the-world
4.2 Care dan Waktu
4.3 Otentik
4.4 Mati
4.5 Temporalitas dan Historitas
4.6 Bad Faith
4.7 Nothingness Void
4.8 Alternatif Topologi
5. Topologi
5.1 Being atau Barza
5.2 Quantum Relativity
5.3 Cahaya vs Void
5.4 Ideal atau Simbol atau Imaji
5.5 Barza – Obyektif – Subyektif
5.6 Void – Barza – Cahaya
5.7 Cahaya – Barza – Void
5.8 Siklus Cahaya Void
5.9 Filosofi Roda Tiga
Parmenides (515 SM) adalah pemikir besar yang merumuskan realitas paling fundamental. Hanya ada satu realitas fundamental di alam semesta yaitu eksistensi, being, atau wujud. Selain “being” adalah “tidak ada” atau “nothing”. Karena “nothing” memang tidak ada maka kita tidak bisa menggambarkan “nothing”. Di antara “being” dan “nothing” hanya ada opini yang bisa saja bernilai salah.
Ibnu Arabi (1165 – 1240) mengembangkan sistem wujud yang canggih nan kompleks. Realitas paling fundamental adalah wujud. Selain wujud, bahkan, tidak pernah mencium aroma wangi eksistensi. Kelak, Sadra (1571 – 1640) mengembangkan sistem wujud lebih dinamis dengan melengkapi dinamika gerak substansial. Varian eksistensialisme berkembang maju pesat di Barat, pada abad 20, dengan nama-nama besar: Heidegger, Sartre, dan Camus.
Heidegger (1889 – 1976) memberi peran penting terhadap “nothing”. Hanya manusia, dasein, yang berani merangkul “nothing” yang akan mampu memaknai eksistensinya. Sartre (1902 – 1978) menegaskan bahwa kesadaran adalah karakter dari “nothing” yang selalu menolak identitas diri. Akibatnya, dari penolakan identitas ini, kesadaran adalah kebebasan. Zizek (1949 – ) melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa kesadaran subyektivitas manusia adalah “less than nothing.”
Apakah “being” lebih prior dari “nothing” atau sebaliknya?
Untuk menjawab pertanyaan fundamental itu, saya mengusulkan topologi guna meberikan gambaran lebih jelas. Topologi adalah struktur geometri yang tidak berubah akibat perubahan bentuk. Misal cincin, gelang, dan donat adalah struktur geometri dengan topologi yang sama (homeomorphism). Bahkan donat bisa berubah menjadi bentuk cangkir kopi, masih dengan topologi yang sama.

Kredit gambar: Dewa Gede Parta
“Being” adalah realitas fundamental tunggal dengan topologi yang sama tetapi strukturnya bisa berubah dengan dinamis. Sehingga, “being” bermanifestasi dalam keragaman semesta. Atau, justru, “nothing” yang memiliki struktur geometri dengan topologi yang tetap sama? Kita akan menyimpulkannya di bagian akhir tulisan ini.
1. Realitas Fundamental
Apa realitas paling fundamental yang ada di semesta ini? Pertanyaan ontologis, atau metafisika, seperti itu sudah menghantui setiap pemikir sejak ribuan tahun yang lampau. Dan, bisa kita duga, tentu jawabannya beragam. Realitas paling nyata di depan mata adalah materi alam raya. Segala yang ada terdiri dari materi dengan unsur-unsur dasar penyusunnya. Pandangan materialis seperti itu mudah kita pahami. Tetapi, tidak selalu mudah bagi banyak orang untuk sepakat. Realitas paling fundamental adalah spirit. Sedangkan, materi hanyalah penampakan dari spirit yang lebih prior dari materi itu sendiri. Dan, masih banyak pandangan alternatif lainnya.
Pandangan materialis, menganggap yang paling fundamental adalah materi, mudah kita pahami secara umum. Realitas adalah meja, bola, kayu, dan segala materi yang ada di depan mata kita. Lebih canggih, sains fisika kontemporer berhasil mengungkap berbagai macam fenomena obyektif berdasar kajian terhadap materi. Keabsahan sains, materialis, diakui secara luas. Dan yang menarik, sains ini terbuka dengan revisi-revisi tanpa henti.
Al Ghazali (1058 – 1111) menyadari beberapa kelemahan ilmu alam. Pengetahuan kita tentang materi tidak bisa diandalkan. Perhatikan, misal, fatamorgana yang muncul seperti air di jalanan padahal tidak ada air sama sekali. Pengamatan kita mudah keliru. Ghazali mengusulkan lebih mengandalkan kekuatan “pikiran”. Pada gilirannya, pikiran juga sering keliru. Akhirnya, Ghazali mengusulkan agar kita lebih percaya kepada kekuatan “hati” yang bersih. Dengan cara ini, Ghazali memandang ada realitas yang lebih fundamental dari realitas materi fisik.
Realitas spiritual, yang dikenali oleh hati, lebih fundamental dari realitas materi fisik menurut Ghazali.
Bertrand Russell (1872 – 1970) mengakui bahwa pengetahuan kita tentang materi, misalnya meja, bisa salah. Tetapi, kita tidak salah dengan mengetahui ada suatu materi fisik yang kita kira sebagai meja. Ternyata benda itu adalah dipan – bukan meja. Bagaimana pun, kita telah berhasil mengetahui sesuatu yang bersifat materi fisik.
Sejak era Aristoteles, para pemikir sudah bisa membedakan antara persepsi dan penilaian. Pertama, kita mem-persepsi ada sesuatu di depan kita. Kedua, kita menilainya sebagai meja. Tahap pertama, persepsi, bernilai selalu benar, terjadi kontak fisik antara kita dan suatu obyek. Tahap kedua, penilaian, bisa saja salah. Kita menilai benda itu meja, padahal, yang benar adalah dipan. Dengan demikian, realitas materi adalah yang paling fundamental dan obyektif. Sementara, penilaian kita bisa saja salah.
Immanuel Kant (1720 – 1804) lebih bersikap kritis dibanding para pemikir lainnya. Pengetahuan kita tentang dunia materi adalah sekedar pengetahuan penampakan – pengetahuan dunia fenomena. Sementara, kita tidak bisa mengetahui realitas sejati yang berada di dunia noumena. Misal, pengetahuan kita tentang hukum kausalitas (sebab akibat): benda yang didorong maka akan bergerak. Dalam dunia fenomena, penampakan, terbukti bahwa “dorongan” menyebabkan benda menjadi “bergerak”.
Tetapi, “Apakah kita bisa memastikan bahwa itu kausalitas?”
Secara statistik, kita bisa meng-konfirmasi bahwa “dorongan” adalah sebab bagi “bergerak”. Analisis lebih mendalam, statistik tidak berhasil membuktikan adanya hukum kausalitas. Statistik hanya berhasil menunjukkan adanya “korelasi” antara “dorongan” dan “bergerak”. Korelasi statistik itu pun hanya bernilai estimasi.
Kant meyakini bahwa pengetahuan kita di dunia fisik tidak akan pernah bersifat pasti karena hanya fenomena. Sehingga, kita tidak bisa membuktikan hukum kausalitas di dunia fenomena. Kita hanya bisa membuktikan hukum kausalitas di dunia noumena. Kant berhasil membuktikan hukum kausalitas dengan “argumen transendental” yang terkenal.
Realitas noumena lebih fundamental dari fenomena.
Tentu saja, pandangan Kant langsung mendapat kritik keras dari generasi berikutnya: Hegel, Husserl, Heidegger, Sartre, dan Russell.
Sartre (1905 – 1980) menolak konsep noumena dengan cara menerimanya. Dunia noumena adalah totalitas dari dunia fenomena. Karena totalitas fenomena adalah tanpa batas maka kita, memang, tidak akan berhasil mengetahui noumena secara lengkap. Bagaimana pun, pengetahuan kita tentang fenomena yang terbatas itu tetap merupakan pengetahuan sejati. Sehingga, kita tidak memerlukan lagi “argumen transendental.” Semua yang kita perlukan sudah ada di sini, di dunia ini.
Cara pandang Sartre ini mengantar kita kepada cara pandang materialis. Semua yang ada adalah dunia materi ini. Lalu, bagaimana bisa muncul kesadaran, pengetahuan, dan subyektivitas pada manusia?
Kesadaran adalah “nothing”. Kesadaran adalah “ketiadaan”.
Sartre memberi status ontologis yang kuat kepada nothing. Meski nothing adalah tidak ada tetapi dampaknya nyata. “Anda sudah minum kopi di warung, kemudian, baru mengetahui bahwa tidak ada uang sama sekali di dompet Anda – nothing.” Anda jadi gelisah karena nothing.
Kita tidak bisa melihat sesuatu yang berada di balik dinding. Jika pada dinding kita buat lubang (nothing) maka kita jadi bisa melihat sesuatu yang ada di balik dinding. Nothing menyebabkan kita bisa melihat sesuatu. Pandemi covid menyebabkan ekonomi porak-poranda. Ketika covid tidak ada (nothing) maka ekonomi kembali bergeliat. Nothing menyebabkan ekonomi bertumbuh.
Kesadaran adalah nothing. Pengalaman subyektif adalah nothing. Di saat yang sama, nothing itu memberi dampak yang nyata. Sehingga, dalam ontologi Sartre, realitas fundamental adalah materi dan nothing. Karena nothing, memang, tidak ada maka yang ada adalah materi itu sendiri. Di bagian bawah, kita akan membahas tema ini lebih detil.
Sampai di sini, kita bisa menegaskan kembali pertanyaan kita, “Apa realitas paling fundamental?”

2. Eksistensi Parmenides
Parmenides (515 SM) adalah pemikir besar yang merumuskan realitas paling fundamental. Hanya ada satu realitas fundamental di alam semesta yaitu eksistensi, being, atau wujud. Selain “being” adalah “tidak ada” atau “nothing”. Karena “nothing” memang tidak ada maka kita tidak bisa menggambarkan “nothing”. Di antara “being” dan “nothing” hanya ada opini yang bisa saja bernilai salah.
Kita tidak bisa memperoleh pandangan eksistensialisme versi Parmenides ini secara lengkap karena tidak banyak dokumen yang tersedia tentangnya. Secara prinsip, kita bisa menduga, berinterpretasi, bahwa Parmenides memegang pandangan prioritas wujud atau prioritas eksistensi. Di mana, realitas sejati adalah tunggal yaitu eksistensi. Sementara, non-eksistensi memang tidak ada. Sedangkan, opini tampak seperti di tengah-tengah antara eksistensi dan non-eksistensi. Pada analisis akhir, kita bisa menyimpulkan apakah opini itu benar atau salah. Atau, akhirnya, kita bisa menerima opini tersebut atau harus menolaknya.
Meski ringkas, pandangan Parmenides ini menjadi kajian mendalam oleh pemikir-pemikir besar berikutnya.
Sadra (1571 – 1640) mengambil alih konsep prioritas wujud dan memuji Parmenides. Jika suatu realitas terdiri dari wujud dan esensi maka yang prioritas adalah wujud, sedangkan, esensi hanya ada dalam pikiran kita. Memang dalam pikiran, esensi tampak lebih prior dari wujud – realitas terbalik dari itu. Bahkan, Sadra melangkah lebih jauh lagi. Wujud bukan hanya lebih prior, tetapi, wujud adalah satu-satunya realitas.
Berikutnya, Sadra melengkapi konsep wujud ini menjadi lebih dinamis dengan konsep gerak-substansial (harakah al jauhariyah) dan ambiguitas wujud (tasykik). Dengan konsep seperti itu, prioritas wujud menjadi sistem filosofi yang kokoh.
Russell (1872 – 1970) membaca Parmenides dengan paradoks. Segala yang kita pikirkan adalah sesuatu. Apa saja yang kita ucapkan adalah sesuatu. Dan sesuatu itu pasti eksis (wujud), minimal, dalam pikiran. Skenarionya, kita bisa memikirkan sesuatu yang tidak eksis, misal gunung emas atau bilangan prima genap yang lebih besar dari 7. Maka pikiran kita itu eksis, sekaligus, tidak eksis. Kelak paradox ini dikenal sebagai paradox Parmenides.
Menjelang akhir abad 20, murid-murid Russell menganggap paradox Parmenides sebagai dialektika. Pikiran kita berinteraksi dengan realitas nyata untuk maju dalam dialektika. Model dialektika yang mirip Hegel ini, seandainya tahu, Russell tidak akan setuju. Russell terkenal konsisten menolak keras ide dialektika Hegel.
Heidegger (1889 – 1976) menilai filsafat Parmenides lebih bagus dari Plato dan berikutnya. Heidegger sudah terkenal sangat kritis terhadap filsafat Barat sejak Plato sampai Nietzshe. Parmenides adalah filosof era sebelum Plato. Parmenides merumuskan kebenaran atau “truth” sebagai keterbukaan, ketersingkapan wujud, alethia, disclosedness being. Filsafat Barat mereduksi kebenaran menjadi hanya korespondensi. Akibatnya, Barat mengalami kemunduran moral. Heidegger berjuang untuk mengembalikan konsep truth sebagai ketersingkapan wujud sesuai pandangan Parmenides. Apakah Heidegger berhasil?
Kita bisa bertanya kepada Parmenides, “Apa realitas paling fundamental?” Realitas paling fundamental adalah eksistensi. Atau, kadang disebut sebagai wujud serta being. Apa makna-ada? Makna-ada adalah seluruhnya.
3. Wujud Arabi – Sadra
Ibnu Arabi (1165 – 1240) mengembangkan sistem wujud yang canggih nan kompleks. Realitas paling fundamental adalah wujud. Selain wujud, bahkan, tidak pernah mencium aroma wangi eksistensi. Kelak, Sadra (1571 – 1640) mengembangkan sistem wujud lebih dinamis dengan melengkapi dinamika gerak substansial. Saya memasukkan Suhrawardi (1154 – 1191) sebagai eksistensialis dengan mempertimbangkan konsep ontologi-cahayanya. Varian eksistensialisme berkembang maju pesat di Barat, pada abad 20, dengan nama-nama besar: Heidegger, Sartre, dan Camus.
Berikut ini adalah lima prinsip utama eksistensialisme.
3.1 Prioritas Wujud
Realitas paling fundamental adalah wujud atau being atau eksistensi. Kita sering melambangkan wujud sebagai cahaya. Yang ada hanya cahaya. Selain cahaya adalah tidak ada atau gelap atau void. Bagaimana pun, void tetap punya peran penting meski pun sejatinya void adalah tidak ada.
Realitas di dunia luar semisal pohon, meja, dan batu adalah wujud. Jika tidak “ada” batu maka kita tidak bisa mengatakan itu “ada batu”. Jadi, batu adalah wujud-batu. Tetapi, apa yang kita pahami, apa yang kita lihat adalah konsep-batu atau persepsi-batu. Konsep-batu ini hanya ada dalam pikiran, tidak ada di alam realitas. Konsep-batu kita sebut sebagai esensi. Sehingga, apa yang kita ketahui tentang dunia luar adalah esensi belaka, bukan wujud realitas.
Wujud adalah realitas yang ada di dunia luar. Esensi tidak ada. Esensi hanya ada dalam pikiran. Maksudnya esensi ada? Dalam pikiran? Esensi tidak ada secara ontologi. Tetapi, esensi ada secara epistemologi. Mereka adalah dua hal berbeda, yang akan kita bahas secara berbeda.
Esensi, meski tidak ada, punya peran penting. Karena esensi maka wujud bisa bergerak menyempurna menjadi lebih konkret. Realitas dunia luar, dan apa yang kita pahami tentang dunia luar, adalah barza yaitu garis pertemuan antara wujud dan esensi. Garis pertemuan, barza, ini sebenarnya tidak ada secara mandiri. Barza inilah yang bergerak untuk menggapai wujud lebih sempurna. Garis pertemuan hanya ada secara potensial, pada awalnya, sebagai materi-pertama.
Secara tegas, hanya wujud yang ada. Esensi adalah tidak ada. Wujud adalah paling prior. Wujud adalah realitas fundamental dan primordial. Lalu, bagaimana bisa muncul keragaman?
3.2 Gradasi Wujud
Wujud itu tunggal yaitu hanya wujud. Di saat yang sama wujud itu beragam dengan gradasi. Wujud berbeda-beda berdasar intensitas kuat-lemah, berbeda berdasar urutan, berbeda berdasar modulasi bentuk. Jadi, wujud adalah yang menyatukan semua realitas karena mereka memang wujud tunggal. Di saat yang sama, wujud adalah yang membeda-bedakan di antara semua realitas karena wujud bergradasi.
Identitas wujud adalah keragaman. Dan, keragaman wujud adalah identik.
Bayangkan bilangan atau angka 5 dan angka 7. Mereka adalah sama-sama angka. Tetapi, karena mereka sama-sama angka justru mereka menjadi berbeda, yaitu angka 5 berbeda dengan angka 7. Apa yang menyebabkan mereka menjadi sama, yaitu sama-sama angka, sekaligus, menyebabkan mereka berbeda.
Realitas sejati adalah beragam karena wujud yang bergradasi atau termodulasi. Wujud termodulasi menjadi wujud-meja-itu, menjadi wujud-pohon-itu, dan menjadi wujud-manusia-itu. Mereka berbeda-beda di antara meja, pohon, dan manusia itu. Di saat yang sama, mereka adalah sama yaitu sama-sama wujud. Jadi, wujud adalah yang menjadikan realitas beragam, berbeda-beda, dan wujud juga yang menjadikan mereka sama, yaitu sama-sama wujud.
Wujud bergradasi berdasar intensitas kuat dan lemahnya.
3.3 Gerak Eksistensial
Dari wujud yang lemah bergerak menuju wujud yang lebih kuat. Gerak wujud selalu satu arah menuju yang lebih sempurna. Gerak wujud adalah gerak substansial bukan sekedar gerak aksidental. Pada analisis akhir, gerak aksidental adalah petunjuk karena adanya gerak substansial.
Gerak wujud ke arah yang lemah adalah tidak mungkin. Karena, pengurangan wujud adalah mustahil. Misal wujud dengan intensitas 7 berubah menjadi intensitas 5. Terjadi pengurangan 2. Di mana wujud 2 itu? Apakah wujud 2 menjadi hilang? Menjadi bukan wujud? Tidak mungkin dari wujud menjadi bukan wujud.
Gerak wujud menuju yang lebih kuat adalah yang terjadi. Dari intensitas 5 berubah menjadi intensitas 7. Dari mana tambahan wujud 2? Dari wujud yang lebih kuat. Dari wujud 7, wujud 9, atau wujud tak hingga. Di sinilah terjadi proses gerak eksistensial menuju yang lebih sempurna. Salah satu karakter wujud adalah bergerak kreatif seperti itu.
Kita bisa membuat beragam formula dari gerak eksistensial kreatif ini.
Gerak wujud: wujud-lemah menuju wujud-basit.
Wujud-lemah adalah wujud apa adanya saat itu. Kemudian, berproses menjadi wujud yang lebih kuat yaitu wujud-basit. Meski wujud-basit adalah sederhana, di saat yang sama, merangkul wujud-lemah. Semua karakter wujud-lemah tetap hidup selaras dalam rangkulan wujud-basit. Prinsip wujud adalah wujud sederhana meliputi segalanya.
Gerak substansi: genus menuju diferensia.
Secara logika, genus lebih umum dari diferensia sehingga dianggap lebih kuat dari diferensia. Secara filosofis, diferensia lebih konkret dari genus. Sehingga, diferensia lebih kuat dari genus. Diferensia, misal jiwa rasional, meliputi genus-genus yang lebih umum, misal jiwa binatang dan jiwa tumbuhan. Dengan kata lain, di dalam jiwa rasional tersimpan jiwa binatang dan tumbuhan. Gerak substansial adalah dari genus menuju diferensia. Genus adalah diferensia-lemah-saat-itu bergerak menjadi diferensia-nyata-saat-ini.
Gerak pengetahuan: general menuju spesialis.
Barangkali, kita sudah akrab dengan istilah dokter umum. Yaitu, dokter dengan pengetahuan kedokteran yang bersifat general atau umum. Bagi dokter umum yang berminat, bisa melanjutkan pendidikan dokter spesialis, misal spesialis jantung. Dokter spesialis adalah lebih sempurna dari dokter umum. Di dalam diri dokter spesialis jantung tersimpan pengetahuan dokter umum. Di dalam ilmu yang spesifik, spesialis, tersimpan ilmu umum, general. Jadi, ilmu bergerak dari pengetahuan general menuju pengetahuan spesialis yang lebih sempurna. Dari pengetahuan yang samar menuju pengetahuan konkret yang jelas.
Gerak materi: materi menuju bentuk.
Materi, misal, kayu adalah bahan dasar. Kemudian, seniman membuat karya berupa meja ukir yang indah adalah bentuk. Bentuk meja ukir lebih sempurna dari bahan materi kayu yang semula. Di dalam meja ukir tetap ada materi kayu itu. Jadi, materi bergerak dari materi semula menjadi bentuk tertentu yang lebih sempurna. Secara filosofis, pengertian materi dan bentuk lebih mendalam dari contoh di atas.
Gerak manusia: bayi menuju jawani.
Setiap manusia lahir sebagai bayi. Kemudian, bertumbuh menjadi manusia dewasa. Di antaranya, berhasil menjadi manusia sempurna, insan kamil, kita sebut sebagai wong jawani. Di dalam jiwa wong jawani tersimpan jiwa bayi dan jiwa remaja. Jawani merangkul seluruh alam raya dalam naungannya. Jadi, manusia bergerak dari jiwa-bayi menuju jiwa-jawani yang lebih sempurna.
Gerak waktu: temporal menuju historal.
Waktu terus begerak. Waktu terus mengalir. Aliran waktu ini bersifat temporal. Kemudian, aliran waktu ini terjadi dalam jangka waktu tertentu – dalam durasi 2 jam atau 3 hari misalnya. Durasi itu sendiri terus berubah, mengalir. Totalitas durasi yang terus mengalir, temporal, membentuk sejarah atau waktu historal. Jadi, historal adalah totalitas durasi dan temporal. Waktu bergerak dari yang bersifat temporal, mengalir sesaat, menjadi totalitas waktu yang historal.
Kita masih bisa merumuskan beragam gerak eksistensial lainnya. Sedangkan gerak aksidental, misal berpindah dari lokasi kiri ke lokasi kanan, pada analisis akhir, bersumber dari gerak eksistensial.
3.4 Wujud Basit (Sederhana)
Wujud yang lebih sempurna adalah lebih sederhana dan lebih konkret (wujud basit). Wujud konkret ini meliputi, merangkul, semua wujud yang lebih lemah dengan cara sederhana atau simpel. Sehingga, sederhana adalah segalanya.
Kita perlu hati-hati memahami makna sederhana ini. Karena sederhana bukan bermakna umum, bukan general, bukan samar. Sederhana, justru, bermakna spesifik, konkret, dan jelas.
Bayangkan, sebagai ilustrasi, botol air berisi 5 liter. Kemudian, ditambahkan 2 liter sehingga menjadi 7 liter.
Wujud 7 liter adalah lebih kuat dari wujud 5 liter. Dari 7 liter kita bisa menganalisa bahwa di dalamnya ada wujud 5 liter. Jadi, 7 liter meliputi yang 5 liter. Wujud 7 liter lebih konkret dari wujud 5 liter.
Sebaliknya, tidak bisa terjadi. Dari wujud 5 liter, kita tidak bisa menghasilkan analisa wujud 7 liter. Wujud 5 liter tidak meliputi wujud 7 liter. Bagaimana pun, wujud itu bersifat individu atau diferensia secara nyata. Wujud 5 liter adalah wujud unik 5 liter, diferensia 5 liter. Begitu juga wujud 7 liter adalah wujud unik 7 liter, diferensia 7 liter.
Dalam pikiran, kita bisa menganalisa bahwa wujud 7 = wujud 5 + wujud 2. Dalam realitas, kita tidak bisa memisahkan wujud 5 dengan wujud 2 itu.
Kita ambil contoh lain,
manusia = binatang + rasional.
Di dalam pikiran, kita bisa menganalisa dengan memisahkan binatang dan rasional. Dalam realitas, tidak demikian. Dalam realitas, yang ada hanya diferensia-rasional saja. Dalam diferensia-rasional sudah meliputi binatang. Diferensia-rasional adalah wujud konkret, wujud basit, wujud sederhana.
Di dalam realitas, kita juga tidak bisa menambah “rasional” kepada “binatang” agar terbentuk “manusia”. Manusia adalah wujud-basit, wujud-sederhana, yang di dalamnya meliputi “binatang” dan “rasional” tersebut. Manusia bukan hasil dari penambahan atau penggabungan.
Wujud sederhana adalah segalanya.
3.5 Puncak Wujud
Manusia sempurna atau insan kamil atau wong jawani, kita singkat sebagai jawani atau jawa.
Ketika wujud terus bergerak menuju yang lebih sempurna, di manakah ujung akhir gerak wujud itu? Ujung akhir gerak wujud adalah hadirnya manusia sempurna atau wong jawani atau jawani.
Di satu sisi, jawani adalah wujud sederhana. Di sisi lain, jawani adalah diferensia paling konkret. Jawani adalah puncak wujud (alam raya). Jawani adalah puncak diferensia nyata.
Dengan jawani, kita bisa mengkaji eksistensialisme dengan dua perspektif: metafisika-transendental dan ontologi-imanen.
A. Ontologi-Imanen
Perjalanan wujud imanen dimulai dari big bang ontologi. Secara fisika, dimulai dari teori big bang atau sejenisnya. Mula-mula hadir materi paling awal. Kemudian, evolusi menghasilkan mahkluk hidup sederhana, tumbuhan, hewan, dan akhirnya manusia.
Manusia adalah diferensia akhir dari evolusi. Setelah hadir manusia, evolusi bersifat halus: evolusi pengetahuan, kesadaran, dan peradaban. Dalam masyarakat berkembang sains, mitologi, filosofi, agama, teknologi, dan lain-lain. Manusia berkembang dengan mengembangkan itu semua.
Jawani adalah manusia sempurna yang merangkul semua kemajuan secara sederhana. Jawani meliputi segala realitas yang ada menjadi individu paling konkret. Perlu kita catat lagi, jawani bukan menguasai ilmu secara global, bukan secara general, bukan secara samar. Jawani menguasai ilmu secara nyata, secara detil, dan secara konkret.
B. Metafisika-Transendental
Awal dari wujud adalah wujud sempurna yaitu Tuhan. Analisis metafisika-transendental ini, tampaknya, dominan di berbagai macam kajian. Dari wujud sempurna, sebut misal wujud-0, memancar wujud-1. Selanjutnya, memancar wujud-2 sampai tak terhingga keragamannya.
Di ujungnya paling jauh, wujud bertemu dengan materi pertama yang berupa potensi murni. Cahaya wujud menyinari materi pertama untuk membawanya ke cahaya eksistensi. Materi pertama adalah konsep paling umum, paling general, paling samar.
Bersama cahaya wujud, materi mengalami evolusi. Kemudian, hadir tumbuhan, binatang, sampai manusia. Evolusi manusia, meski terjadi di dunia, merupakan evolusi transendental. Manusia menyempurnakan diri dengan pengetahuan dan kebajikan moral sampai terbentuk manusia sempurna, wong jawani. Manusia menempuh perjalanan spiritual yang panjang untuk menjadi jawani. Sampai akhirnya, jawani bergabung bersama singgasana Tuhan Maha Suci.
Jawani merangkul seluruh eksistensi alam raya dalam wujud basit dirinya untuk menghadap hadirat Tuhan Sang Wujud Murni.
Kedua analisis di atas, ontologi-imanen dan metafisika-transenden, sejatinya adalah mengkaji realitas yang sama. Kedua analisis sama pentingnya.
C. Topologi Wujud
Kita bisa menyusun topologi wujud dari konsep wujud Ibnu Arabi dan Sadra. Bahkan, topologi wujud ini mencapai konsep yang sangat canggih dengan prinsip gradasi-wujud dari Sadra. Meski, konsep wujud sangat kental dengan perspektif transendent, di saat yang sama, memiliki karakter imanent. Khususnya konsep wong jawani, insan kamil, sebagai puncak diferensia dan puncak wujud manusiawi adalah imanen.
Jadi, apa realitas paling fundamental? Wujud! Selain wujud adalah tidak nyata. Dengan demikian, kita berhasil menyusun topologi wujud.
Topologi wujud adalah topologi yang tersusun oleh wujud. Wujud memiliki keragaman gradasi, keragaman bentuk, keragaman konsep, keragaman intensitas, dan keragaman lainnya. Di saat yang sama, wujud tetap tunggal. Wujud tetap satu topologi.
Tentu saja, kita bisa mengembangkan topologi wujud yang berbeda-beda. Bagaimana pun, dari setiap topologi wujud, kita berhasil menunjukkan: (1) wujud adalah realitas fundamental atau realitas primordial; (2) wujud adalah topologi tunggal; (3) wujud adalah beragam dalam topologi tunggal; (4) wujud terus-menerus bergerak dinamis; (5) puncak wujud adalah jawani yang merupakan realitas konkret imanen menghadap realitas transenden wujud murni.
Apa makna-ada? Makna-ada adalah topologi wujud yang kita bahas di atas.

Kredit: Dewa Gede Parta
4. Nothingness Heidegger – Sartre – Zizek
Heidegger (1889 – 1976) memberi peran penting terhadap “nothing”. Hanya manusia, dasein, yang berani merangkul “nothing” yang akan mampu memaknai eksistensinya. Sartre (1902 – 1978) menegaskan bahwa kesadaran adalah karakter dari “nothing” yang selalu menolak identitas diri. Akibatnya, dari penolakan identitas ini, kesadaran adalah kebebasan. Zizek (1949 – ) melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa kesadaran subyektivitas manusia adalah “less than nothing.”
Heidegger adalah pemikir paling berani dengan mengajukan pertanyaan, “Apa makna being?”
Meski Parmenides, Ibn Arabi, dan Sadra sudah membahas being dengan baik. Tetapi, mereka tidak menanyakan makna-being dengan serius. Memang, baru, Heidegger yang menanyakan makna-being dengan sangat serius. “Apakah pohon di samping rumah itu ada?” “Apakah manusia sebenarnya ada?” “Apakah Tuhan itu ada?”
Dalam pertanyaan-pertanyaan di atas, kita mengasumsikan bahwa makna “ada” sudah jelas. Misal, pohon itu ada. Seakan-akan kita sudah memahami makna-ada atau makna-being itu. Heidegger, justru, menanyakan makna-being itu. Heidegger menjawab pertanyaan makna-ada itu, di tahun 1926, berupa buku “Being and Time” yang terbit 1927. Heidegger melanjutkan jawabannya sampai setengah abad kemudian, dia meninggal, di tahun 1976.
Salah satu jawaban terbaik: makna-ada adalah menemukan makna-ada untuk kemudian bertanya lagi apa makna-ada itu.
4.1 Being-in-the-world
Problem ontologi paling fundamental adalah, “Apa makna-ada?”
Mudah, bagi kita, untuk mengajukan problem lanjutan, “Apa makna-dari-makna-ada?”
Maksudnya, ketika kita akan menyelidiki makna-ada, seakan-akan, kita sudah paham dengan “makna” itu sendiri. Dengan kita menanyakan “makna-dari-makna” maka kita mundur ke arah yang lebih fundamental lagi.
A. Differance
Derrida (1930 – 2004) menanyakan makna-dari-makna tanpa henti. Derrida menyimpulkan bahwa “makna” adalah “differance.” Pertama, differance bersifat berbeda. Yaitu, makna dari sesuatu bisa berbeda-beda sesuai konteks mau pun obyeknya. Tidak ada makna tunggal yang dominan. Berbagai macam makna, yang mungkin saling kontradiksi, sama-sama berhak menjadi makna terbaik.
Kedua, differance bersifat tertunda. Yaitu, setiap makna akan mengacu ke makna lain. Pada gilirannya, makna lain ini akan mengacu ke makna lain lagi tanpa henti. Kita akan “tertunda” untuk mencapai makna akhir. Atau, kita tidak akan pernah berhasil mencapai makna-akhir itu karena selalu tertunda.
Konsep differance dari Derrida ini menguak problem filosofis baru lagi. Heidegger mengajukan problem ontologis dengan mengajukan apa makna-ada. Derrida melanjutkan problem ontologis menjadi problem dekonstruksi. Kita selalu bisa melakukan dekonstruksi makna terhadap setiap sistem. Para pemikir postmodernis tampak begitu semangat menerapkan program dekonstruksi di berbagai bidang. Karena pemikir postmo begitu dominan dalam mengkaji dekonstruksi makna, akibatnya, banyak orang menilai postmodern terjebak dalam filsafat bahasa. Tentu saja, penilaian semacam itu tidak benar. Karena dekonstruksi Derrida bukan hanya dekonstruksi bahasa, melainkan, dekonstruksi ontologi. Atau, dekonstruksi being itu sendiri.
Sementara, kita akan meninggalkan tema dekonstruksi untuk kembali membahas tema ontologi. Heidegger sendiri menyadari ada kesulitan untuk interpretasi makna ontologis. Setiap pengetahuan kita melibatkan interpretasi. Sementara, interpretasi itu sendiri akan melibatkan interpretasi yang lebih awal. Sehingga, kita berada pada lingkaran interpretasi, lingkaran hermeneutika.
B. Lingkaran Hermeneutika
Untuk memahami suatu being, suatu dumadi, maka kita perlu mengkaji dumadi tersebut secara detil. Tetapi, untuk memahami detil dumadi itu kita perlu memahami dumadi secara luas, yaitu, hubungan dumadi ini dengan dumadi-dumadi lain di seluruh alam raya. Sedangkan, lagi, untuk memahami dumadi di alam raya, kita perlu memahami bagian-bagian dengan detil. Jadi, kita terikat dalam lingkaran pemahaman, atau lingkaran hermeneutika, yaitu untuk memahami bagian kita perlu keseluruhan. Sementara, untuk memahami keseluruhan, kita perlu memahami bagian.
Solusi dari lingkaran hermeneutik adalah dengan menerimanya. Untuk kemudian, kita mengajukan pertanyaan ontologi fundamental lagi.
Kita, sebagai manusia, sudah selalu berada di dalam dunia ini. Kita adalah being-in-the-world. Kita memahami dunia sudah dalam posisi diri kita berada dalam dunia. Heidegger memilih istilah dasein, being-there, untuk menggambarkan karakter ontologis, salah satunya, dari manusia sebagai being-in-the-world.
Dasein memahami dunia sebagai ready-at-hand bukan present-at-hand. Kita merasakan panas sinar matahari sebagai ready-at-hand. Kita tidak merasakan sinar matahari sebagai tersusun oleh gelombang elektromagnetik, bukan sebagai present-at-hand. Tentu saja, para saintis bisa saja meneliti sinar matahari sebagai gelombang elektromagnetik melalui prosedur sains. Tetapi, prosedur sains ini tidak alamiah. Manusia perlu persiapan tertentu untuk itu. Sementara, rasa panas sinar matahari terjadi begitu saja ketika mengenai tangan. Jadi, pemahaman ready-at-hand lebih primordial dari present-at-hand.
Sampai di sini, kita perlu menyadari bahwa secara ontologis kita terikat oleh dunia. Kita tidak bisa mengasumsikan bahwa diri kita bisa terbebas dari dunia. Seandainya, kita bisa lepas dari satu dunia, maka, kita akan berada dalam dunia lainnya. Karena itu, kita perlu lebih peduli, atau care, kepada dunia. Makna dunia itu sendiri luas. Ada dunia fisik, dunia kerja, dunia politik, dan dunia lainnya.
Tugas kita, sebagai dasein, adalah untuk mengungkapkan semua makna dari yang ada. Tugas kita adalah menciptakan makna menjadi lebih konkret dari makna yang semula. Mengkaji makna-being yang semula tersembunyi menjadi penuh arti. Makna-dominan, makna-penguasa, sudah biasa menjadi makna-being yang dianggap paling benar. Padahal, ada makna-being yang disembunyikan oleh makna-dominan. Kita perlu membuat terang makna “ada udang di balik batu.” Untuk itu, Heidegger mengusulkan proyek destruksi. Derrida menyambutnya dengan proyek dekonstruksi. Sebuah proyek untuk membawa terang, menjadi konkret, dari beragam makna-being yang masih samar-samar.
4.2 Care dan Waktu
Apakah Anda tahu bahwa atap rumah Anda retak? Tidak. Kita tidak tahu atap rumah retak. Ketika hujan turun deras, kemudian bocor air hujan, kita sadar bahwa atap rumah retak. Kita tahu karena kita peduli. Karena kita care.
Jika kita tidak peduli dengan politik maka tidak ada masalah politik. Jika kita tidak peduli dengan sistem pendidikan maka tidak ada masalah dengan sistem pendidikan. Semua, akan baik-baik saja selama kita tidak peduli. Jika kita tidak peduli dengan tema ontologi fundamental maka tidak akan ada problem ontologis.
Jadi, sikap peduli kita adalah akar dari masalah itu. Dan, sikap peduli juga yang mengantarkan kita ke arah solusi. Yaitu, solusi pada level yang lebih tinggi.
Sikap peduli menunjukkan kita bahwa ada sesuatu yang sudah berubah dan sesuatu yang bisa berubah. Peduli menunjukkan ada dunia yang bersifat temporal, dunia berada dalam waktu. Kita bisa mengambil sikap cuek terhadap dunia. Kita juga bisa mengambil sikap antisipasi untuk mengubah dunia sesuai komitmen diri. Ada waktu untuk semua itu. Kita punya waktu. Dasein punya waktu yang terbentang sejak lahir menuju mati. Apakah Anda peduli?
4.3 Otentik
Dasein, manusia ontologis, bisa memilih sikap otentik atau tidak otentik. Sikap otentik adalah dasein peduli dengan semua yang ada. Kemudian, dasein mengantisipasi masa depan yang mungkin terjadi. Untuk itu, dasein mencermati perjalanan masa lalu serta semua realitas yang ada dan bertekad untuk mewujudkan pilihan hidupnya saat ini.
Sikap otentik dasein ini mengantarkan dasein makin “gelisah”. Dasein gelisah dengan masa depan dirinya. Dasein gelisah dengan masa depan anak dan keluarganya. Dasein gelisah dengan masa depan umat manusia.
Gelisah terhadap apa? Gelisah terhadap bukan apa-apa. Gelisah terhadap nothing. Gelisah saja.
Gelisah berbeda dengan rasa takut, misal, takut kepada ular. Dengan mengusir ular maka rasa takut jadi hilang. Sementara, gelisah adalah berbeda. Obyek dari gelisah adalah nothing, tidak ada. Akibatnya, kita tidak bisa mengusir nothing karena memang tidak ada yang bisa diusir. Sehingga, gelisah itu akan selalu datang lagi sebagai sikap otentik dasein.
Misal gelisah terhadap masa depan anak-anak. Kemudian, Anda menyekolahkan anak ke universitas terbaik. Apakah gelisah Anda jadi hilang? Muncul lagi gelisah baru. Bagaimana masa depan anak setelah universitas?
Gelisah justru bisa diatasi dengan memilih sikap tidak otentik.
Tidak usah peduli maka Anda tidak akan gelisah. Dasein yang tidak peduli, sehingga tidak gelisah, adalah dasein yang tidak otentik. Banyak cara untuk memilih tidak otentik. Misalnya, menyibukkan diri dengan kesibukan kerja. Anda menjadi lupa dengan gelisah Anda dengan sibuk kerja. Ada orang yang mengusir gelisah dengan olah raga, jalan-jalan, minum-minum, dan lain sebagainya.
Benar saja, sikap tidak otentik itu mengantarkan manusia terbebas dari rasa gelisah. Tetapi, kadang-kadang, suatu malam, Anda sulit tidur lalu gelisah. Atau, Anda menunggu antri sesuatu, lalu tiba-tiba, muncul gelisah.
Barangkali, alternatif lebih baik adalah dengan menerima rasa gelisah kemudian mengambil sikap otentik. Aku adalah dasein yang gelisah. Masa depanku adalah tak menentu. Masa depan keluargaku adalah tanggung jawabku. Masa depan negeri ini adalah masa depanku. Dunia ini adalah duniaku. Aku gelisah.
Dari gelisah itu, kemudian kita mengantisipasi penuh tekad. Kita menyusun rencana, menyiapkan perbekalan, dan menjalani hidup saat ini dengan dinamika otentik. Apakah gelisah akan hilang? Tidak juga. Gelisah datang lagi. Gelisah menghadapi mati.
4.4 Mati
Mati adalah sesuatu yang paling pasti dari eksistensi manusiawi. Mati adalah otentik. Setiap orang, dasein, yang lahir pasti sedang berproses menuju mati. Meski secara empiris, kita berharap barangkali akan ada orang yang berumur panjang. Dengan kemajuan teknologi medis, orang makin sehat, makin panjang umur dan mungkin tidak akan mati. Bagaimana pun, naluri kita tetap meyakini setiap orang akan mati. Bukti empiris sampai ratusan tahun yang lalu menunjukkan bahwa setiap orang akan mati – pada akhirnya.
Mati itu penting dan otentik. Justru, sikap melupakan kematian adalah tidak-otentik, tidak jeru, rajeru. Karena ada mati maka hidup ini menjadi berarti. Apa yang Anda lakukan selama hidup ini? Sebelum Anda mati. Semua yang kita lakukan di masa lalu dan masa kini menjadi bernilai, bisa memiliki nilai, karena akhirnya kita mati.
Tentu saja, kita bisa meyakini ada kehidupan setelah mati. Orang lain, bisa, meyakini kehidupan berakhir dengan kematian. Bagaimana pun, kematian menjadikan hidup kita mencapai keutuhan. Keutuhan jenis apa yang hendak Anda raih ketika mati? Sikap otentik adalah sikap antisipasi terhadap mati, menyadari hadirnya mati setiap saat. Kemudian, memodifikasi masa kini dan masa lalu untuk meraih kematian yang terbaik.
Logika sebaliknya sulit diterima. Logika yang menganggap ada peluang manusia hidup selamanya. Jika manusia bisa hidup selamanya, tidak mati, maka semua nilai menjadi tidak berarti. Semua nilai menjadi relatif dibandingkan dengan masa depan tanpa batas dan masa lalu tanpa batas juga. Semua makna menjadi tidak bermakna.
Hanya kematian yang memberi makna sejati seutuhnya. Semua sikap kita di masa lalu, dan masa kini, adalah persiapan untuk menciptakan nilai ketika mati tiba. Mati adalah hak setiap manusia untuk menjadi manusia seutuhnya.
4.5 Temporalitas dan Historitas
Setiap being bersifat temporal dan historal. Kita selalu berada dalam rangkulan waktu. Kita adalah produk dari sejarah dan memproduksi sejarah.
Karakter temporal atau fenomena time sangat penting bagi Heidegger. Dia memberi judul bukunya “Being and Time” yang terbit pada tahun 1927 dan, kemudian, menulis “Time and Being” pada tahun 1962, di usia 73 tahun.
Time adalah horison transenden dari being. Beberapa pengamat menilai bahwa time adalah being itu sendiri. Wajar saja. Karena, struktur fundamental dari being, dari dasein, adalah care yaitu peduli terhadap temporalitas di-dalam-dunia. Dan, karakter temporalitas ini memungkinkan terciptanya sejarah, atau sebaliknya. Sehingga, kita lebih mudah mengkaji karakter being sejati dengan cara mengkaji time sejati dari pada melalui kajian terhadap a-being atau beings.
Time sejati memiliki empat dimensi: future (masa-depan), present (masa-kini), past (masa-lalu), dan extending yaitu ekstase dari seluruh dimensi waktu.
Heidengger menolak pandangan bahwa time adalah living-now atau masa kini yang terus bergulir. Karakter utama dari waktu adalah futural, bersifat masa depan. Maksudnya, futural adalah kekuatan yang menarik masa-kini dan masa-lalu untuk menuju masa depan. Sehingga, being yang otentik, manusia yang otentik, adalah manusia yang mengantisipasi masa-depan. Dengan proyeksi masa-depan ini, manusia menerima seluruh anugerah fakta masa-lalu, dan memodifikasi masa-kini. Bagaimana pun, seluruh dimensi waktu tetap menyatu ekstase dan extending. Bagi manusia, dasein, lahir bukanlah waktu yang sudah berlalu. Mati juga bukan masa depan yang belum datang. Tetapi, lahir dan mati tetap menyatu dalam diri manusia, dasein. Lahir dan mati terhubung secara kontinyu oleh bentangan dasein.
Dalam “Time and Being”, Heidegger membahas Being secara umum, bukan sekedar dasein. Being dan time saling appropriasi, saling berkhidmat. Time memberi waktu kepada Being dan Being memberi anugerah kepada time. Proses appropriasi ini mendorong Being untuk selalu dinamis.
Jadi, apa realitas paling fundamental? Realitas fundamental adalah Being. Apa makna-Being? Apa makna-ada? Makna being adalah dasein yaitu care sebagai being-in-the-world yang bersifat temporal. Being dan time saling appropriasi, saling berkhidmat, sehingga senantiasa dinamis.
Perlu kita catat bahwa Heidegger men-destruksi metafisika, destruksi ontologi. Sehingga, Heiddegger memandang bahwa being bukanlah ground, bukan landasan ontologi, karena telah destruksi. Sebaliknya, being juga tidak memiliki landasan fundamental apa pun. Atau, landasan being adalah nothing.
Apakah ada peran dari nothing? Besar sekali. Heidegger membahas peran nothing di beberapa tempat. Di bagian bawah, kita akan elaborasi konsep nothing dari sudut pandang Sartre dan Zizek. Bagi Heidegger, rasio tidak akan mampu memikirkan nothing karena nothing memang tidak ada. Nothing bukanlah hasil negasi dari being. Tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Logika negasi bisa terjadi karena berlandaskan ke nothing. Jadi, nothing lebih fundamental dari logika negasi.
Bagaimana pun, manusia bisa menjumpai nothing, bukan merasionalkan nothing. Ketika manusia gelisah maka manusia sedang berhadapan dengan nothing. Gelisah berbeda dengan takut. Karena, obyek takut adalah jelas misal takut kepada ular. Dengan menyingkirkan obyek ular maka rasa takut menjadi hilang. Sementara, obyek dari gelisah adalah tidak ada, nothing. Sehingga obyek dari gelisah tidak bisa disingkirkan karena memang tidak ada.
Gelisah memikirkan masa depan negara. Gelisah karena negara “tidak ada” masa depan, nothing. Dengan gelisah menghadapi nothing ini, manusia berpotensi menjadi manusia seutuhnya, menjadi dasein otentik. Apakah Anda pernah gelisah?
4.6 Bad Faith
Bad-faith, keyakinan-buruk, adalah konsep sangat penting dalam eksistensialisme Sartre. Barangkali, Sartre adalah filsuf paling sukses sepanjang sejarah ketika filsuf tersebut masih hidup. Sartre berhasil merumuskan eksistensialisme filosofis, sedemikian hingga, masyarakat luas memahami, menerima, dan menerapkan eksistensialisme di masa itu juga. Sementara filsuf besar lainnya – misal Parmenides, Ibn Arabi, Sadra, Hegel, Heidegger – baru bisa dipahami secara bertahap ide-ide besar mereka setelah mereka wafat.
Eksistensialisme Sartre mengelompokkan eksistensi menjadi dua: being-in-itself dan being-for-itself. Being-in bersifat afirmasi. Misal, meja adalah being-in. Meja mengafirmasi diri, “Saya adalah meja.” Dengan demikian, jelas identitas meja adalah meja.
Sementara, being-for justru tidak afirmasi sehingga lemah dalam identitas diri. Being-for justru bersifat negasi. “Saya adalah pegawai tetapi bukan pegawai seperti ini.” “Saya adalah pemikir tetapi bukan pemikir seperti ini.” Atau, lebih singkatnya langsung negasi. “Saya bukan orang yang seperti ini.”
Kesadaran manusia adalah being-for. Bahkan, satu-satunya being-for. Sementara, being yang lain adalah being-in. Karakter negatif dari being-for bukanlah suatu aib, bukan keburukan. Justru, karakter negatif dari being-for adalah keistimewaan. Karena being-for selalu negasi maka being-for selalu berubah. Jadi, being-for selalu dinamis.
Dan, negasi bersifat bebas, freedom. Being-for, manusia, bebas menolak apa pun. Keyakinan terhadap freedom inilah keyakinan yang baik: good faith. Bahkan, Sartre mendefinisikan manusia adalah freedom.
Tetapi, manusia bisa memiliki keyakinan buruk: bad-faith. Yaitu keyakinan yang menganggap diri mereka tidak bebas. Menganggap diri mereka tidak bisa berubah. Menganggap diri mereka memang begitu adanya. “Saya memang seperti ini.”
Bad-faith mengubah being-for menjadi being-in. Mengubah freedom menjadi keterpaksaan. Bad-faith adalah petaka besar. Lebih parahnya, pada analisis akhir, setiap keyakinan adalah bad-faith.
Eksistensialisme Sartre ini, terbukti, berhasil mengobarkan semangat juang pada masanya dan berikutnya. Barangkali, karena konsep freedom yang begitu kuat pada Sartre.
Jadi, apa realitas paling fundamental? Realitas paling fundamental adalah eksistensi atau being.
Tetapi, Sartre melakukan analisis lanjutan. Being-in adalah materi. Dan, being-for adalah nothing. Sehingga, maha karya Sartre berjudul “Being and Nothingness.”
Lebih fundamental mana antara being-in dan being-for. Jika being-in lebih fundamental maka menjadi materialisme. Sedangkan, jika being-for lebih fundamental maka menjadi nothingness. Eksistensialisme menjadi nihilisme.
Apa makna-ada? Makna-ada adalah freedom.
4.7 Nothingness Void
Zizek (lahir 1949) melangkah lebih berani dengan menyatakan “void” adalah “less than nothing.” Void adalah realitas paling fundamental. Di sini, kita perlu mulai membedakan antara void dengan nothing.
Negasi dari being adalah nothing. Tetapi, negasi dari nothing bukan kembali sebagai being. Negasi dari nothing adalah void. Kita bergerak dari oposisi biner, being versus nothing, menjadi perputaran-roda-tiga.
Being = positif = {1, 2, 3, …}
Nothing = nol = {0}
Void = negatif = {-1, -2, -3, …}
Himpunan angka di atas adalah untuk memudahkan saja. Being adalah beragam sebagaimana bilangan angka positif. Nothing hanya tunggal yaitu 0. Tetapi, void adalah “less than nothing” yaitu kurang dari 0. Void beragam juga misal -1, -2, dan seterusnya. Void, meski hampa, adalah mengandung segala keragaman.
Badiou (lahir 1937) mengajukan klaim yang gamblang, “Matematika = ontologi.” Matematika adalah ontologi dan ontologi adalah matematika. Badiou memanfaatkan teori himpunan, khususnya himpunan Cantor, untuk menguatkan klaim itu. Bila kita sandingkan dengan konsep matematika fiksional, maka, kita akan mendapat pemahaman yang lebih menarik.
Nothing = 0 = ketiadaan
0 = 0
{0} = 1
{{0}} = 2
{{{0}}} = 3
dan seterusnya.
Semua bilangan positif sejatinya adalah himpunan dari 0 atau kosong. Nothing adalah landasan dari being. Atau, being bila kita analisis lebih mendalam maka kita temukan nothing. Karena nothing ini beragam, dalam representasinya, maka kita sebut sebagai void.
Pandangan di atas merevisi pandangan kita pada umumnya. Kita melihat satu batu adalah 1 dan dua batu adalah 2. Sehingga, angka 1 dan 2 adalah simbol dari realitas batu yang nyata di depan kita. Begitu juga, ketika, kita menghitung 2 + 1 = 3 adalah ada dua batu kemudian di tambah satu batu terkumpul tiga batu. Sedangkan, kosong adalah tidak adanya batu. Kita tidak menemukan batu nyata. Matematika fiksional, sebagai ontologi, merevisi itu semua.
Ontologi matematika fiksional justru menyatakan yang paling fundamental adalah 0 atau nothing itu. Atau, karena beragam kita sebut sebagai void. Lalu, “Apakah realitas batu adalah void?”
Benar. Realitas adalah representasi dari void. Realitas adalah presentasi dari presentasi. Karena, presentasi ini bisa terus-menerus tak terbatas maka realitas juga tak terbatas. Dengan demikian, disimpulkan bahwa realitas fundamental adalah nothing atau void.
Lebih fundamental mana antara nothing versus void?
Secara ontologis matematika fiksional, nothing lebih fundamental dari void. Tetapi, muncul pertanyaan, mengapa dari nothing kemudian muncul void atau muncul being? Bukankah nothing adalah hampa, damai, abadi?
Kita perlu memilih void lebih fundamental dari nothing. Dengan menganalisis void, kemudian, kita menemukan nothing. Void adalah kehampaan yang penuh keragaman. Kehampaan yang hamil besar. Kehampaan yang siap meledak. Big bang.
“Mengapa muncul being tidak nothing?”
Karena void siap meledak, void menyimpan energi dahsyat tak terbatas, nothing tidak akan mampu menahan energi besar dari void. Bahkan, void itu sendiri tidak sanggup menahan energi yang dikandungnya. Meledak. Big bang. Maka hadirlah being dan sirna nothing.
Bagaimana pun, void berbeda dengan being. Sehingga, void tidak bisa dibatasi karena void memang hampa. Logika manusia adalah logika terhadap being. Logika terhadap “presentasi dari presentasi.” Logika ini tidak bisa deterapkan kepada void. Atau, void akan selalu melanggar aturan logika. Void selalu menembus batas. Kajian mendalam terhadap realitas akan menemukan kebuntuan logika, menemukan inkonsistensi, menemukan kebingungan. Karena makin mendalam kajian, maka, makin mendekati void.
Fisika quantum, relativitas umum, ontologi matematika, makna being, evolusi kehidupan, misteri kesadaran, enigma freedom, rahasia ketuhanan, arah sejarah, realitas politik, dominasi ekonomi, indahnya cinta, cantiknya bidadari, lagu merdu, dan lain-lain akan menunjukkan kebuntuan logika. Justru, ketika logika buntu, maka, makin dekat dengan realitas sebenarnya, yaitu void.
4.8 Alternatif Topologi
Selanjutnya, kita akan mempertimbangkan tiga alternatif topologi. Kemudian, kita akan mengkaji mana yang lebih fundamental antara being atau nothing atau void.
A. Topologi Being
Realitas fundamental adalah being, wujud, atau eksistensi. Being yang tunggal ini membentuk topologi dengan gradasi dan modulasi sehingga tercipta keragaman. Jadi, being adalah tunggal dan beragam. Selain being adalah tidak nyata dan tidak signifikan.
B. Topologi Kombinasi
Realitas fundamental adalah kombinasi antara being dengan void. Meski being adalah yang paling nyata, tetapi, void memiliki peran khusus yang penting sehingga tercipta keragaman being. Dari satu sisi, tampak hanya being yang eksis, hanya being yang bisa ditemukan. Dari sisi lain, setiap being membalut, atau dibalut oleh, void. Jadi, realitas fundamental adalah kombinasi being dan void.
C. Topologi Void
Realitas fundamental adalah void, ketiadaan, atau nothing. Void membentuk topologi dengan modulasi dan gradasi sehingga muncul keragaman void. Orang bisa mengira keragaman void ini tampak seperti keragaman being. Pada analisis lebih mendalam, hanya void yang menjadi dasar fundamental segalanya. Jadi, realitas fundamental adalah void.
Mana yang lebih kuat dari tiga deskripsi di atas? Masing-masing topologi memiliki argumen yang sama kuat – kita sudah membahas di bagian-bagian sebelumnya. Tetapi, kita dituntut untuk memilih topologi mana yang lebih argumentatif.
Satu kelemahan utama dari topologi void adalah sulit meyakinkan hadirnya keragaman, sulit menunjukkan multiplisitas. Meski pun, para pendukung void memiliki argumen untuk itu, untuk menjelaskan multiplisitas. Sehingga, dengan pertimbangan itu, deskripsi paling kuat adalah topologi being.
Atau, bila kita susun berdasar argumen paling kuat adalah: topologi being, lalu topologi kombinasi, terakhir topologi void.
Tetapi, topologi being memang mengandung resiko klaim metafisika. Ada pihak tertentu yang bisa meng-klaim paling mengetahui being, paling mengetahui realitas. Sehingga, mereka bisa mengklaim sebagai paling benar, penentu kebenaran, atau bahkan penentu kekuatan politik. Sementara, topologi void terhindar dari resiko klaim paling benar. Karena realitas fundamental adalah void, maka, tidak ada pihak yang bisa mengetahui void secara pasti. Void, karena tidak ada, maka tidak bisa diketahui secara pasti. Dengan demikian, topologi void lebih terbuka terhadap demokrasi klaim kebenaran.
Resiko klaim kebenaran seperti di atas bisa dihindari dari topologi being. Karena realitas fundamental being adalah freedom itu sendiri. Sehingga, klaim kebenaran adalah klaim pembebasan, klaim freedom. Tidak ada yang bisa mengikat being. Tidak ada yang bisa membatasi wujud. Wujud sejati adalah freedom itu sendiri, kebebasan murni.
Di bagian selanjutnya, kita akan membahas ragam alternatif being dan void ini dengan lebih dinamis dalam tema topologi.
5. Topologi
Apakah “being” lebih prior dari “nothing” atau sebaliknya?
Untuk menjawab pertanyaan fundamental itu, saya mengusulkan topologi guna memberikan gambaran lebih jelas. Topologi adalah struktur geometri yang tidak berubah akibat perubahan bentuk. Misal cincin, gelang, dan donat adalah struktur geometri dengan topologi yang sama (homeomorphism). Bahkan donat bisa berubah menjadi bentuk cangkir kopi, masih dengan topologi yang sama.
“Being” adalah realitas fundamental tunggal dengan topologi yang sama tetapi strukturnya bisa berubah dengan dinamis. Sehingga, “being” bermanifestasi dalam keragaman semesta. Atau, justru, “nothing” yang memiliki struktur geometri dengan topologi yang tetap sama? Kita akan menyimpulkannya di bagian akhir tulisan ini.

5.1 Being atau Barzakh
Being atau Barzakh adalah realitas yang ada di hadapan kita. Meja, pohon, kursi, manusia dan lain-lain adalah being atau barzakh. Pikiran kita, kesadaran kita, subyektivitas kita juga bisa kita anggap sebagai being meski perlu kita kaji lebih mendalam.
Barzakh atau barza adalah titik temu, ruang temu, antara cahaya dan gelap, antara being dan void. Dengan demikian, barza kita pandang sebagai netral. Bagi pendukung cahaya, barza adalah cahaya. Bagi pendukung void, barza adalah void.
Sedikit ilustrasi barangkali akan memudahkan. Bayangkan di lapangan luas sedang bersinar matahari. Lalu, kita menempatkan papan persegi di lapangan itu sehingga terbentuk bayangan gelap pada tanah lapang yang berbentuk persegi juga. Bagian yang terang dari lapangan adalah cahaya. Bagian yang gelap di bayangan persegi adalah void. Dan, garis keliling persegi yang membatasi void dan cahaya adalah barza. Kita bisa memandang barza sebagai pemisah antara cahaya dan void. Sebaliknya juga bisa, barza adalah penghubung antara cahaya dan void.
Semua realitas yang kita kenali di alam ini adalah barza. Meja, kursi, pohon, bulan, dan lain-lain adalah barza yang merupakan perpaduan antara cahaya dan void.
Selanjutnya, untuk mengkaji barza, kita bisa mengambil sudut pandang obyektif atau subyektif.
5.2 Quantum Relativity
Quantum Relativity adalah bidang kajian fisika paling canggih saat ini. Barangkali, di masa depan, kajian fisika ini bisa berubah secara fundamental. Kajian sains, misal fisika, bersifat obyektif. Tetapi teori quantum mulai meragukan obyektivitas sains. Karena, kesadaran pengamat mempengaruhi perilaku partikel quantum. Yang lebih menarik, teori quantum beda dengan teori Newton. Di mana, teori Newton diyakini benar sebagai model fisika alam raya apa adanya. Sementara, teori quantum mengakui diri sebagai “interpretasi” terhadap alam raya. Selanjutnya, lebih tajam lagi, berkembang “interpretasi” terhadap teori quantum. Terciptalah interpretasi terhadap interpretasi.
Demikian juga, teori relativitas menyatakan bahwa perilaku pengamat, misal kecepatan geraknya, mempengaruhi hasil pengamatan. Obyektivitas berjalin kelindan dengan subyektivitas.
5.3 Cahaya vs Void
Cahaya vs Void adalah ontologi paling fundamental. Perspektif “cahaya” meyakini bahwa realitas adalah benar-benar ada secara positif bagai cahaya. Karena cahaya begitu nyata maka pikiran kita tidak memadai untuk “mendefinisikan” cahaya. Justru, sebaliknya, cahaya bisa mendefinisikan pikiran.
Perspektif “void” meyakini bahwa realitas sejati adalah “tidak ada” atau “nothing” atau “less than nothing.” Semakin mendalam kita mengkaji realitas maka kita akan menemukan ruang kosong. Tentu saja, pikiran kita tidak akan mampu memahami nothing itu. Karena nothing memang tidak ada.
Baik perspektif cahaya atau pun void mengakui, pada akhirnya, kita akan menemui paradoks.
Ketika kita mengamati keliling bayangan persegi di tanah lapang terjadi paradoks. Keliling persegi itu adalah cahaya sekaligus bukan cahaya yaitu void.
5.4 Ideal atau Simbol atau Imaji
Ideal atau Simbol atau Imaji meyakini bahwa semua yang kita ketahui adalah sekedar “simbol” untuk kita. Semua realitas adalah realitas untuk kita. Kita tidak akan pernah mengetahui realitas dalam diri mereka sendiri. Ketika kita menemukan realitas mereka maka mereka berubah menjadi realitas untuk kita.
Bahkan, sains yang mengaku obyektif itu sejatinya adalah obyektif untuk kita. Dengan demikian, dengan sudut pandang ini, sains tetap bersifat subyektif. Apalagi pikiran kita, kesadaran kita, atau subyektivitas kita tentu saja bersifat subyektif.
Lalu, realitas dalam dirinya sendiri apakah benar-benar ada? Atau semua “simbol” itu apakah benar-benar ada? Apakah imaji, ideal, dan simbol itu juga ada? Kita menemukan dua macam jawaban yaitu dari perspektif cahaya dan void.
Bagaimana pun sikap idealisme subyektif seperti di atas harus mengakui realitas obyektif diri saya: “kulo.” Tanpa kulo bagaimana bisa ada subyek dan subyektivitas? Dan, kulo tidak tunggal. Ada banyak orang lain, yang merupakan kulo bagi diri mereka masing-masing. Ada ibu kita, ada nenek kita, ada ibu dari nenek kita dan seterusnya. Pada gilirannya, kulo membuka mata. Kulo melihat ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya: being atau barzakh. Jadi, barzakh itu ada secara obyektif karena bukan bagian dari kulo.
Akibatnya, klaim subyektif yang kuat itu, sejatinya, berjalin kelindan dengan obyektivitas yang sama kuat.

5.5 Barzakh – obyektif – subyektif.
Barangkali, kita bisa memandang jam 3an yaitu jam yang hanya terdiri dari 3 angka dan berputar tanpa akhir.
(1) Barzakh; realitas obyektif benar-benar nyata di dunia,
(2) Obyektif; kajian sains obyektif menunjukkan ada peran subyektif,
(3) Subyektif; pandangan subyektif berbasis pada realitas subyek dan barzakh yang obyektif. Kembali ke (1).
Kita, memang, perlu mengkaji realitas ontologi paling fundamental.
5.6 Void-barzakh-cahaya.
Akal manusia, umumnya, membayangkan bahwa dahulu kala, awalnya, tidak ada apa-apa hanya hampa: void. Kemudian, muncul sesuatu yaitu barzakh atau being. Pada akhirnya, barzakh akan hancur dan menuju realitas sejati abadi – cahaya.
Pandangan di atas, kita sebut sebagai prioritas void: kehampaan adalah yang paling utama. Pandangan sebaliknya bisa jadi alternatif: prioritas cahaya.
5.7 Cahaya-barzakh-void.
Sejatinya, yang ada hanyalah cahaya – realitas abadi. Selain cahaya adalah tidak ada, yaitu, void. Pertemuan cahaya dengan void membentuk titik temu, atau garis temu, yaitu barzakh atau being. Semua yang ada di semesta alam raya adalah barzakh.
Struktur geometrinya menjadi: cahaya-barzakh-void. Dengan catatan yang sejatinya ada hanya cahaya. Void adalah tidak ada. Barzakh, tampak, seperti perpaduan dari cahaya dan void. Tetapi void tidak ada. Sehingga, barzakh menjadi ada karena sinaran oleh cahaya.

5.8 Siklus Cahaya Void
Barzakh atau being ada di depan mata kita. Analisis obyektif dengan sains menunjukkan bahwa barzakh tersusun oleh atom, atau partikel subatomik. Makin mendalam kajian, maka, makin tidak ditemukan apa-apa. Hampa. Void.
Void adalah hampa. Murni tidak ada apa-apa sama sekali. Void hanya ada void. Void adalah void. Void tidak bisa dibedakan dengan dirinya sendiri. Void murni tidak bisa dibedakan dengan yang lain, karena tidak ada yang lain, hanya void murni. Pikiran kita tidak bisa membayangkan void murni. Atau, pikiran yang hampa. Void hanya void. Void adalah tunggal. Void adalah esa.
Cahaya sejati adalah tunggal. Cahaya adalah cahaya. Cahaya Segala Cahaya adalah esa. Cahaya tidak bisa dibedakan dengan yang bukan cahaya. Karena, yang bukan cahaya adalah tidak ada. Mata kita tidak mampu menatap Cahaya Segala Cahaya. Pikiran kita tidak mampu memikirkan Cahaya Segala Cahaya. Atau, pikiran tak ada pikiran. Cahaya Segala Cahaya memancarkan cahaya.
Cahaya Segala Cahaya memancarkan Cahaya Pertama. Kemudian memancar Cahaya Kedua. Dan seterusnya memancar beragam cahaya. Cahaya-cahaya itu beda dalam kadar intensitasnya dan bentuknya. Tetapi, mereka semua sama: sama-sama cahaya.
Selanjutnya, pada gilirannya, cahaya bertemu dengan void. Titik temu, garis temu, atau ruang temu antara cahaya dan void adalah barzakh (atau being). Tetapi void adalah tidak ada. Sehingga, void tidak bisa menyebabkan barzakh menjadi ada. Barzakh menjadi ada karena cahaya. Karena cahaya beragam dalam intensitas, dan bentuk, maka barzakh juga beragam. Being atau barzakh memang beragam. Bagaimana pun mereka tetap sama: sama-sama being.
Selanjutnya, kita bisa meringkas menjadi siklus jam 3an atau roda-tiga.
(1) Barzakh atau being adalah realitas nyata di depan kita. Analisis mendalam terhadap being mengarah kepada hampa: void.
(2) Void adalah hampa. Void murni adalah tunggal. Void adalah esa.
(3) Cahaya Segala Cahaya adalah esa, tunggal. Kemudian, memancarkan Cahaya Pertama dan beragam cahaya, sampai, terciptalah being (barzakh). Kembali ke (1) barzakh.
Alternatif siklus being atau siklus barzakh bisa melalui jalur obyektif atau pun subyektif. Keduanya, sama-sama, menghasilkan siklus roda-tiga seperti di atas.
Jalur obyektif memulai kajian barzakh secara obyektif, misal, melalui sains. Kajian sains mengarah ke void, di mana, void murni adalah tunggal. Cahaya murni juga tunggal. Cahaya Segala Cahaya, pada gilirannya, memancarkan keragaman barzakh, atau being, yang menjadi kajian obyektif sains.
Jalur subyektif memulai kajian dengan meneliti kesadaran diri. Pada level yang canggih, kesadaran diri akan berhadapan dengan nihilisme atau fana yaitu berhadapan dengan void murni. Void adalah tunggal. Cahaya murni juga tunggal. Cahaya Segala Cahaya, pada gilirannya, memancarkan keragaman barzakh, atau being, yang menjadi kajian kesadaran subyektif dan sains obyektif. Siklus tiga-roda terus berputar.
5.9 Filosofi Roda Tiga
Kita mudah memahami bahwa roda terus berputar. Kehidupan terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Jarum jam, juga, terus berputar. Bagaimana dengan para pencari kebenaran? Apakah mereka terus berputar? Bagaimana dengan saintis? Bagaimana dengan filosof? Bagaimana dengan politikus? Bagaimana kita semua?
Roda, meski berputar, di saat yang sama, mereka maju. Kita bisa menyaksikan roda sepeda berputar menyebabkan sepeda maju. Kita melihat roda mobil berputar maka mobil maju. Roda berputar seperti sekedar berputar. Tetapi, sejatinya sambil berputar, begerak maju.
Filosofi roda-tiga merupakan ilustrasi yang menggambarkan bahwa setiap usaha kita untuk maju perlu untuk terus bergerak berputar. Begitu roda berhenti dari berputar, maka, dia berhenti dari gerak dan itu masalah besar. Kita perlu membuka diri agar roda-tiga terus berputar, yang pada gilirannya, kita terus bergerak maju.
Barzakh, atau being, adalah titik temu, yang umumnya, bisa kita jadikan sebagai kajian awal dalam model filosofi roda-tiga. Kemudian, kita bisa memilih gerak ke (2) timur atau ke (3) barat. Misal, kita memilih gerak ke timur, pada waktunya, akan sampai ke barat juga, untuk kemudian mencapai (1) barzakh lagi. Alternatifnya, kita bisa memilih mulai dari barat, untuk kemudian, mencapai timur dan kembali ke barzakh.

Bagaimana jika tidak ada barzakh, atau being, yang bisa disepakati sebagai pijakan awal kajian?
Seorang pengkaji tetap bisa mulai kajian awal dari mana saja. Misal kita bisa mulai dari (2) timur. Toh kemudian, kita akan sampai ke (3) barat lalu ke (1) barzakh. Dan, filosofi roda-tiga terus berputar.
Timur bisa saja berkontradiksi dengan barat. Tetapi, bisa juga timur hanya berbeda dari barat. Atau, timur sekedar tidak masuk kategori dari barat. Dengan beragam alternatif itu, kita perlu menjaga dinamika perputaran roda-tiga.
Catatan Analisis
Di bagian akhir ini, saya akan memberikan beberapa catatan analisis yang bisa kita pandang sebagai kesimpulan terbuka. Apa realitas paling fundamental?
1. Perspektif yang meyakini realitas fundamental adalah being atau pun realitas fundamental adalah void, sama-sama, memiliki keunggulan argumentasi.
2. Di antara beragam keunggulan, masing-masing argumen memiliki kelemahan. Pandangan realitas fundamental being memiliki lebih sedikit kelemahan dibanding realitas fundamental void. Karena itu, realitas fundamental being lebih tepat sebagai topologi realitas fundamental.
3. Apapun pilihan perspektif kita, being atau void, akan tetap terjadi dinamika filosofi roda tiga. Karena itu, di antara beragam perspektif yang berbeda tidak harus saling meniadakan. Mereka justru bisa saling belajar memperbaiki perspektif masing-masing untuk terus bergerak maju. Penting, bagi kita, untuk terus membuka diri dengan cara berpikir-terbuka.
Pertanyaan ontologi fundamental, yaitu question-of-being, saya bahas di tulisan terpisah. Selamat membaca.
Lanjut ke Problematisme: Question of Being: Apa Makna-Ada
Kembali ke Principia Realita
Tinggalkan komentar