Ontologi Fundamental Materialisme, Spiritualisme, dan Problematisme
Ontologi adalah kajian being qua being, wujud qua wujud, atau realitas sebagai realitas. Fundamental adalah yang bersifat paling mendasar, paling pokok, atau paling prinsip. Sehingga, ontologi fundamental adalah kajian being qua being dengan fokus kepada yang paling pokok. Principia realita.
1. Materialisme
1.1 Ragam Materialisme
1.2 Tinjauan Histori
1.3 Tantangan
2. Eksistensialisme
3. Problematisme
4. Filosofi Kebenaran
4.1 Karakter Kebenaran
4.2 Hirarki Kebenaran
4.3 Maha Karya
5. Analisis
5.1 Materialisme Pluralis
5.2 Spiritualisme Eksistensialis
5.3 Problematisme Terbuka

Materialisme adalah pandangan ontologis yang menyatakan bahwa yang paling fundamental adalah materi. Segala non-materi adalah derivatif, turunan, atau tidak nyata dalam perspektif tertentu.
Eksistensialisme adalah pandangan ontologis yang menyatakan bahwa yang paling fundamental adalah eksistensi. Makna eksistensi, di sini, adalah makna secara luas, yaitu, eksistensi non-materi misal: ide, konsep, spirit, self, jiwa, freedom, wujud, interpretasi, being, dan lain-lain. Sehingga, banyak pandangan ontologis yang berbeda-beda, kita pandang sebagai sama-sama eksistensialisme. Spiritualisme termasuk dalam eksistensialisme. Meski demikian, kita tetap perlu mencatat bahwa pandangan mereka beragam, tidak tunggal.
Problematisme adalah pandangan ontologis yang menyatakan bahwa pertanyaan tentang makna-being adalah yang paling fundamental. Pertanyaan akan mengantar kepada solusi, kemudian, memunculkan pertanyaan lagi. Sehingga, pertanyaan makna-being itu sendiri adalah paling fundamental.
Kita akan membahas ontologi fundamental dengan pendekatan tiga perspektif di atas.

1. Materialisme
Materialisme adalah pandangan ontologis yang menyatakan bahwa yang paling fundamental adalah materi. Segala non-materi adalah derivatif, turunan, atau tidak nyata dalam perspektif tertentu.
Kita akan mencoba membahas materialisme dengan bantuan positivisme, scientisme, Marxisme, atomisme, dan lain-lain.
1.1 Ragam Materialisme
Kita perlu membedakan beberapa bentuk materialisme. Sehingga, ketika kita membahasnya, menjadi lebih jelas jenis materialisme yang kita maksud.
a. Monisme materialisme. Monisme memandang bahwa hanya materi yang nyata, real secara ontologis. Selain materi adalah ilusi atau sekedar kesepakatan untuk memudahkan urusan tertentu. Segala realitas, pada analisis akhir, adalah susunan dari atom-atom. Dalam istilah kontemporer, atom bisa bermakna quanta atau partikel terkecil dari suatu materi.
b. Prioritas materialisme. Materi adalah paling utama. Meski realitas lain, misal idea, adalah eksis tetapi mereka hanya turunan atau derivatif. Idea adalah hasil dari interaksi partikel-partikel di otak dengan struktur tertentu. Karena itu, dengan manipulasi materi di otak, kita juga bisa manipulasi pikiran atau ide orang tersebut. Pada analisis akhir, materi adalah paling prior.
c. Pluralisme materialisme. Pluralisme memandang banyak realitas sama-sama nyata secara ontologis. Materi adalah nyata. Idea juga nyata. Begitu juga kesadaran, spirit, memori, dan lain-lain sama-sama nyata.
1.2 Tinjauan Histori
Secara histori, perkembangan materialisme sudah berlangsung sejak awal peradaban manusia. Thales (626 – 548 SM) menyebut bahwa seluruh realitas tersusun oleh air. Meski air adalah materi, tampaknya, Thales bermaksud menyebut air sebagai metafora. Segala realitas adalah cair bagai air sehingga mudah berubah.
Demokritus (460 – 370 SM) adalah pemikir pertama yang membahas atom secara mendalam. Seluruh realitas tersusun oleh atom, partikel-partikel terkecil, dan void (hampa). Dengan demikian, realitas tersusun oleh materi atom dan void. Karena void, sejatinya, adalah hampa maka realitas adalah materi itu sendiri. Marx menganggap penting pemikiran Demokritus, sehingga, mengkajinya bersama pemikiran Epicurus. Russell memuji Demokritus sebagai pemikir ilmiah yang mendahului jaman ribuan tahun.
Sementara, pemikiran Timur, tampaknya berbeda dalam memandang materi. Pemikir Timur cenderung menempatkan misteri “spirit” sebagai utama. Sehingga, ketika Ghazali (1058 – 1111) membahas teori atom, dia tetap menempatkan peran penting spirit dan Tuhan.
Menimbang histori di atas, konsep materialisme adalah jenis pluralisme atau prioritas. Tidak ada yang mendukung materialisme monisme di jaman kuno. Demokritus, misalnya, menilai pentingnya rasa bahagia dengan banyak tertawa. Epicurus menekankan pentingnya rasa bahagia dengan membebaskan diri dari beban berlebihan. Ghazali dengan tegas menyatakan pentingnya peran ruhani dan Tuhan. Dengan demikian, materialisme seiring sejalan dengan konsep eksistensialisme atau lainnya.
Tetapi, bukankah, saat ini, berkembang monisme materialisme?
Monisme muncul karena lemahnya kajian filosofis. Sehingga, mereka mengira sains materialis sebagai penentu kebenaran tertinggi. Tentu saja, cara pandang materialis seperti itu, disebut saintisme, sulit dipertahankan.
Descartes (1596 – 1650) berhasil memisahkan substansi materi dengan substansi jiwa sebagai saling bebas. Newton (1642 – 1727) berhasil mengembangkan sains fisika (materi) yang terbebas dari substansi jiwa dengan pendekatan matematika. Keduanya, Descartes dan Newton, tidak materialis. Mereka mengakui eksistensi jiwa.
Feyerabend (1924 – 1994) menengarai bahwa sainstis jaman itu, akhir abad 20, tidak kalah cerdas dari Newton mau pun Einstein. Hanya saja, saintis-saintis itu kurang mengkaji filsafat. Akibatnya, mereka terlalu fokus kepada sains saja.
Hawking (1942 – 2018) mengumumkan bahwa filsafat telah wafat. Tentu saja, tuduhan Hawking ini tidak tepat. Hawking juga tidak memberi argumen yang kuat. Tetapi, tuduhan filsafat sebagai sudah wafat, bisa dipakai dalih bagi monisme materialisme. Karena metafisika sudah mati, maka, yang tersisa tinggal fisika, sains saja. Sehingga, yang valid hanya materialisme.
Bagaimana pun, saya tidak bisa menemukan dalil yang memadai dari saintis dan filsuf yang mendukung monisme materialisme.
Awal abad 20 berkembang logico-positivism yang menyatakan bahwa pernyataan hanya punya makna jika bisa diverifikasi empiris – dan koheren. Positivisme tampak mendukung monisme materialisme. Tetapi, positivisme sudah ditinggalkan sejak akhir abad 20. Bagaimana pun, jejak positivisme masih ada secara samar-samar di berbagai perspektif.
Marx (1818 – 1883) barangkali adalah filsuf terbesar yang dihubungkan dengan konsep materialisme. Konsep dialektika-materialisme atau sejarah-materialisme berbeda dengan materialisme ontologis yang umumnya kita pahami. Jadi, Marx bukanlah seorang materialis. Atau, jika Marx adalah materialis, maka, pluralisme bukan monisme.
Memang menjadi rumit karena Marx mengkritik agama sebagai candu. Lengkaplah, orang mengira Marx sebagai anti-agama yang materialis. Anggapan ini tidak tepat.
Marx memandang sejarah secara materialis dalam pengertian: perkembangan sejarah umat manusia ditentukan oleh perjuangan umat manusia dalam menerapkan sumber daya ekonomi serta relasi sosial dan politik. Perjuangan umat manusia yang fokus kepada kepentingan ekonomi ini disebut sebagai materialis. Tentu saja, kepentingan ekonomi melibatkan aspek non-materi misal kebutuhan hidup, kesadaran diri, dan tujuan bermasyarakat. Singkat kata, konsep materialisme dari Marx tidaklah materialis ontologis. Lebih tegas lagi, Marx menyatakan bahwa poin utama bukan untuk memahami realitas sosial, tetapi, mengubah realitas sosial menjadi adil makmur dan bebas dari penindasan. Sehingga, spirit revolusi perlu terus berkibar.
Harari (1976 – ) berpandangan materialis dari perspektif sejarah. Dia menyatakan bahwa semua fenomena sejarah bisa dipahami secara materialis meskipun peran idea dan kepercayaan sangat besar untuk menggerakkan sejarah. Sayangnya, saya tidak menemukan argumen yang memadai dari Harari untuk mendukung materialisme. Justru, jika kita cermati, buku-buku Harari menunjukkan peran besar kreativitas umat manusia dalam menentukan arah sejarah. Lebih dari sekedar materialisme.
Mari kita ringkas tinjauan historis sejauh ini. Kita tidak menemukan ada argumen memadai untuk mendukung materialisme ontologis di sepanjang sejarah. Lebih tepatnya, tidak ada argumen memadai untuk monisme materialisme. Beberapa argumen materialisme adalah dalam posisi plural atau prioritas. Di bagian selanjutnya, kita akan membahas beberapa tantangan yang dihadapi oleh meterialisme.
1.3 Tantangan
Materialisme menghadapi tantangan yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah oleh monisme. Sehingga, pilihan bagi materialisme adalah prioritas atau pluralisme.
Manusia terbang dari Ibnu Sina. Eksperimen pikiran manusia terbang meminta kita untuk memejamkan mata kemudian membayangkan diri kita terbang di udara bebas. Dalam kondisi terbang, gerak tangan Anda ke kanan, ke kiri, ke atas, lalu ke bawah. Anda bebas menggerakkan tangan Anda tidak terikat oleh materi. Imajinasi Anda sebagai manusia terbang bukanlah suatu materi. Secara umum, imajinasi adalah bukan materi. Dengan demikian, ada substansi non-materi yaitu imajinasi.
Ilusi iblis cerdas Descartes. Cogito: aku berpikir maka aku ada. Berpikir menjadi realitas paling fundamental – bukan materi. Selanjutnya, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa realitas alam eksternal, misal meja, benar-benar ada? Karena, bisa jadi, meja yang kita lihat itu hanya ilusi. Semua yang kita lihat, bisa jadi, hanya ilusi. Sulit sekali untuk membuktikan bahwa alam eksternal bukan ilusi. Dengan demikian, realitas alam eksternal adalah ilusi. Kemudian, kita berusaha membuktikan eksistensi alam fisik dengan satu dan lain cara. Bahkan, bisa jadi ada iblis cerdas yang menipu kita. Semua bukti alam eksternal itu sendiri adalah ilusi ciptaan dari iblis cerdas. Jadi, materi alam eksternal bukan realitas paling nyata.
Idealisme Berkeley. Idealisme menyatakan bahwa semua realitas bersifat mental. Pikiran seseorang atau pikiran pihak lain, misal pikiran Tuhan. Semua pengetahuan kita tentang alam eksternal melibatkan pikiran dengan satu dan lain cara. Pikiran itu sendiri membutuhkan pikiran lain sebagai fondasinya. Dan seterusnya, setiap fondasi membutuhkan pikiran lagi sebagai fondasi. Dengan demikian, semua realitas adalah pikiran atau mental. Bukan realitas alam eksternal tidak ada. Tetapi, alam eksternal itu eksis bersifat mental. Jadi, materi bukan realitas fundamental.
Jebakan Matrix. Ilustrasi kisah fiksi matrix memberi gambaran bahwa kita hidup di dunia simulasi super komputer, yaitu, matrix. Badan kita, rumah kita, dan tetangga kita adalah simulasi dalam matrix. Setiap kita berusaha lepas dari simulasi, kita hanya berpindah ke bentuk simulasi lain. Semua yang ada terasa nyata, tetapi, sejatinya, hanya simulasi matrix. Jadi, simulasi lebih fundamental bukan materi.
Debat materialisme tak berguna. Jika realitas adalah materi maka semua perdebatan tidak ada gunanya. Karena, perdebatan adalah bukan materi. Konsep materialisme itu sendiri bukan materi. Jadi, konsep materialisme tidak berguna. Dengan demikian, konsep materialisme membatalkan dirinya sendiri.
Masih banyak tantangan bagi materialisme yang sulit untuk dipecahkan. Solusi dengan pendekatan materialisme-implisit menjadi jalan keluar yang menarik. Mereka tidak membahas materialisme secara ontologis. Mereka hanya menyebut sekilas bahwa realitas adalah materi, kemudian, melanjutkan pembahasan ke tema lain. Akibatnya, konsep materialisme menyebar secara implisit.
Materialisme Implisit. Terdapat banyak bentuk materialisme implisit. Dari matematika sampai sejarah.
Sains fisika mengkaji materi beserta fenomena yang ada. Sehingga, sains, secara implisit, menyatakan realitas adalah materi. Kemudian berkembang teori quantum, relativitas, sampai quantum gravitasi. Semua itu hanya membahas fenomena materi. Jadi, realitas sains adalah materi.
Filsafat matematika, umumnya, mengakui realitas abstrak sebagai realitas Platonis. Matematika fiksional berbeda. Pertama, realitas abstrak, misal angka, memang ada. Kedua, kita bisa menyusun teori matematika berdasar realitas abstrak, misal operasi bilangan asli, “2 + 3 = 5.” Ketiga, tetapi, realitas abstrak itu tidak ada, yaitu, hanya fiksional. Akibatnya, semua teori matematika adalah hanya fiksional. Dengan kata lain, yang benar-benar ada adalah materi.
Biologi berkembang ke arah fisika dan matematika. Semua fenomena biologi, fenemona kehidupan, bisa dijelaskan secara detil dengan hukum-hukum fisika. Sebaliknya, jika fenomena biologi belum bisa dijelaskan secara fisika, maka, fenomena tersebut belum cukup detil. Karena fisika adalah materi, maka, akibatnya, biologi juga materi.
Filsafat pikiran, philosophy of mind, meyakini bahwa pikiran adalah hasil kerja dari materi-materi di otak manusia. Demikian juga, kesadaran adalah hasil interaksi sel-sel di otak yang bersifat materi. Dengan kata lain, pikiran dan kesadaran adalah materi yang taat kepada hukum sains fisika. Akibat selanjutnya, psikologi adalah fenomena materi di otak manusia.
Sejarah berdasar fakta materi. Sejarah didasarkan kepada penemuan fakta-fakta sejarah yang bersifat materi: bangunan, prasasti, makam, catatan, dan lain-lain. Sehingga, sejarah adalah interpretasi dari fakta-fakta materi. Pada analisis akhir, sejarah adalah materi. Ditambah lagi dengan evolusi Darwin, yaitu, perkembangan evolusi alam adalah hasil dari seleksi alam dan mutasi acak genetika yang bersifat material. Secara keseluruhan, fondasi dari sejarah adalah materi.
Masih banyak pendekatan materialisme-implisit yang bisa kita kaji. Beberapa contoh di atas, kiranya cukup, menunjukkan bahwa konsep materialisme menemukan jalan untuk terus berkembang. Karena bersifat implisit, maka, kita tidak bisa mengkajinya secara tuntas dalam tema ontologi. Bagaimana pun, materialisme akan tetap menjadi kajian yang menarik secara filosofis, lengkap dengan pro dan kontra.
Eksistensialisme adalah pandangan ontologis yang menyatakan bahwa yang paling fundamental adalah eksistensi. Makna eksistensi, di sini, adalah makna secara luas, yaitu, eksistensi non-materi misal: ide, konsep, spirit, self, jiwa, freedom, wujud, interpretasi, being, dan lain-lain. Sehingga, banyak pandangan ontologis yang berbeda-beda, kita pandang sebagai sama-sama eksistensialisme. Meski demikian, kita tetap perlu mencatat bahwa pandangan mereka beragam, tidak tunggal.
Kita akan membahas eksistensialisme dengan bantuan tiga kata kunci: topologi, wujud, dan nothing. Lebih lengkap kajian eksistensialisme, silakan klik tautan di atas.
Problematisme adalah pandangan ontologis yang menyatakan bahwa pertanyaan tentang makna-being adalah yang paling fundamental. Pertanyaan akan mengantar kepada solusi, kemudian, memunculkan pertanyaan lagi. Sehingga, pertanyaan makna-being itu sendiri adalah paling fundamental.
Belum banyak pemikir yang mendalami problematisme. Kita akan memulai dengan kajian Heidegger berupa destruksi, lanjut ke dekonstruksi Derrida, dan matematika adalah ontologi dari Badiou. Untuk membahas lebih lengkap tentang problematisme, silakan klit tautan di atas yang fokus membahas question-of-being.
Tinggalkan komentar