Sains mencapai puncak kejayaan di jaman sekarang ini. Sains yang merambah ke teknologi, ekonomi, dan politik makin mengokohkan dominasinya. Apakah sains adalah solusi, atau problem, bagi kemanusiaan dan semesta?
Tentu saja, orang mudah mengira sains adalah solusi dari beragam problem. Di saat yang sama, sains memunculkan problem besar yang pelik. Apa solusi dari problem besar itu? Lebih awal, apa problem besar itu?

Dari beragam problem besar sains, yang berakar pada problem filsafat sains, saya memilih problem ontologika. Pertama, problem ontologi sains. Apa sejatinya sains? Sains adalah pengetahuan yang tidak otentik. Kedua, prinsip logika sains. Sains tidak bisa berpikir. Sains tidak bisa berpikir mendalam. Ketiga, aspek praktis sains. Sains tidak memiliki etika. Sains, bahkan, sering melanggar etika. Apakah serangan-serangan terhadap sains, seperti di atas, bisa dibenarkan?
1. Problem Ontologi
1.1 Sains Tidak Otentik
1.2 Mengapa Tidak Otentik
1.3 Entitas vs Being
1.4 Sains Eksistensial
2. Prinsip Logika
2.1 Konsep Kebenaran
2.2 Logika Klasik
2.3 Kausalitas
3. Aspek Praktis
3.1 Posibilitas
3.2 Freedom
3.3 Komitmen
Sains adalah segalanya. Sains adalah hakim dari segala perselisihan. Pandangan ini meng-klaim sains sebagai realitas paling fundamental secara ontologis. Klaim semacam ini memunculkan problem besar. Beberapa orang melakukan klaim eksplisit, misal, positivisme. Beberapa yang lain hanya klaim implisit. Kita perlu mengurai dengan jelas problem besar ini, untuk kemudian, mengusulkan beberapa solusi alternatif.
Prinsip logika sains tampak sudah jelas dengan sendirinya. Maksudnya, apa yang dinyatakan benar secara saintifik maka diterima sebagai kebenaran sejati. Lagi, klaim logika ini memunculkan banyak problem besar. Kita perlu mengurainya guna menemukan beragam solusi yang mungkin, terutama, dari perspektif filsafat sains.
Terakhir, apakah praktek sains sesuai dengan harapan? Kita terlibat dalam kajian etika di sini. Tetapi, kita hanya akan membatasi praktek sains yang lebih dekat ke filsafat sains saja. Sementara, dampak sains secara luas, kita akan kaji di tulisan yang berbeda.
1. Problem Ontologi
Ketika Newton (1643 – 1727) menulis Principia, dia menyebutnya sebagai filsafat-alam. Di jaman modern, saat ini, Principia adalah buku pegangan sains fisika dan matematika. Jadi, pada mulanya, sains adalah filsafat-alam. Sehingga, problem ontologis bisa ditangani oleh sains dari sudut pandang filsafat-alam. (Newton, 1)
Einstein (1879 – 1955) adalah saintis besar dunia yang merangkap sebagai filsuf sains. Dalam otobiografi Living-Philosopher, Einstein menjelaskan tantangan sains secara filosofis. Lagi, tidak ada problem ontologis serius bagi sains di saat itu. (Einstein, 2)
Situasi berubah pada pertengahan abad 20. Para saintis tampak tidak terlalu berminat mengkaji filsafat. Sains mulai menjaga jarak terhadap filsafat. Akibatnya, sains tidak mampu, dan tidak mau, membahas problem ontologis. Feyerabend (1924 – 1994) menengarai bahwa saintis saat itu tidak kalah cerdas dari Einstein mau pun Newton. Hanya saja, para saintis kurang mengkaji filsafat.
Dari sisi filsuf sendiri tidak mudah untuk bisa menembus, dan memahami, ontologi sains yang makin canggih. Sains bercabang menjadi ratusan cabang, dan ranting, yang masing-masing mengembangkan disiplin sains secara spesialis. Tidak akan ada seorang filsuf yang mampu mengkaji sains seluas dan sedalam itu.
Problem ontologis sains membesar, makin serius, dan makin parah. Apa ontologi sains? Mengapa sains hanya berstatus sebagai pengetahuan yang tidak otentik? Mengapa sains hanya mampu mendekati pengetahuan-ontic dan tidak mampu mengkaji pengetahuan ontologis?
Tidak ada saintis yang mampu, atau mau, membahas problem ontologi di atas secara mendalam. Kita akan mencoba mengkajinya, meski hanya sampai kedalaman tertentu, dan berharap akan ada kajian yang lebih dalam lagi.
1.1 Sains Tidak Otentik
Heidegger (1889 – 1976) adalah filsuf besar yang terang-terangan menuduh sains sebagai tidak otentik (rajeru). Lalu, jenis pengetahuan macam apa yang otentik (jeru)? Pengetahuan otentik adalah pengetahuan ontologis yang mengkaji question-of-being. Heidegger menetapkan dirinya sendiri untuk mengembangkan pengetahuan otentik dan, kemudian, menyebarkannya. (Heidegger, 3)
Memang tidak mudah untuk merespon tuduhan Heiddegger di atas. Sudah terkenal, tulisan Heidegger adalah kriptik, sulit sekali dipahami. Russell (1872 – 1970) tidak berani menanggapi Heidegger secara panjang lebar. Bahkan, ketika Russell menulis Histori Filosofi di tahun 1940an, Russell sama sekali tidak membahas Heidegger. Di kesempatan lain, Russell menyebut bahwa Heidegger adalah filsuf yang aneh, yang, memanfaatkan rasa gelisah untuk filsafat. Heidegger menanggapi bahwa ada filsuf yang malas berpikir.
Mario Bunge (1919 – 2020) menyebut bahwa filosofi Heidegger tidak berguna bagi sains. Atau, sains tidak bisa mengambil manfaat dari filosofi Heidegger. Carlo Rovelli (1956 – ) menyerukan untuk meninggalkan filosofi Heidegger. Sains perlu filosofi, tetapi, bukan filosofi Heidegger. Rovelli menyarankan sains untuk mengkaji filosofi Aristo atau Hegel.
Jadi, ketika, sains dituduh sebagai tidak otentik, apa respon saintis atau filsuf sains? Saya tidak menemukan respon memadai. Baru, pada abad 21, mulai ada respon yang memadai untuk memahami serangan Heidegger dan, kemudian, membela sains dalam perspektif tertentu.
1.2 Mengapa Tidak Otentik
Tentu saja, pernyataan bahwa “sains tidak otentik” adalah pernyataan negatif bahkan kasar. Tetapi, apakah Heidegger bermaksud kasar kepada sains dan teknologi? Bisa jadi. Atau, tidak otentik merupakan ungkapan netral saja?
Ungkapan yang netral, barangkali, adalah ontic: sains adalah pengetahuan-ontic. Sedangkan, pengetahuan otentik yang menjawab question-of-being adalah pengetahuan-ontologis. Dengan demikian, kita memiliki dua mode pengetahuan: ontic dan ontologis.
Dengan cara sedikit berbeda, kita bisa menyusun model persamaan pengetahuan.
sains = pengetahuan-ontic = tidak-otentik
ontologis = otentik = pengetahuan-ontic + question-of-being
Dari model di atas, sains adalah pengetahuan penting untuk meraih pengetahuan-otentik.
otentik = sains + question-of-being
Jadi, kita membutuhkan sains untuk menjadi otentik. Atau, lebih tepatnya, sains menjadi otentik dengan menambahkan question-of-being. Karena terbuka jalan lain, selain sains, untuk menjadi otentik. Misal seni, politik, agama, dan filsafat itu sendiri.
Mengapa sains tidak otentik? Karena tidak bertanya question-of-being. Jika saintis bertanya tentang question-of-being, maka, sains menjadi otentik. Sehingga, label tidak otentik, sekaligus, menunjukkan cara untuk menjadi otentik. Bukankah itu kontribusi penting filsafat?
“… Heidegger made significant contributions to philosophical understanding of the sciences, but that philosophy of science was at the center of his project and its development throughout his career.” (Rouse, 4).
Lalu, apa itu question-of-being?
1.3 Entitas vs Being
Kita menganggap segala sesuatu yang ada sebagai entitas: meja, pohon, komputer, elektron, bahkan jiwa kita. Entitas-entitas itu ada di alam raya. Apa makna-ada itu sendiri? Apakah makna-ada juga merupakan entitas? Kita tidak berhak berasumsi makna-ada sebagai entitas sebagai mana entitas lain. Kita perlu mengkaji question-of-being ini dengan cermat.
Sains menjadi pengetahuan-ontic, yang tidak otentik, lantaran hanya mengkaji entitas. Bahkan, sains itu sendiri merupakan entitas, yaitu entitas pengetahuan-ontic. Dengan mencermati asumsi-asumsi ini, kita akan menggeser sains menuju pengetahuan otentik.
“Heidegger thought that there are unexamined, erroneous presuppositions underlying any such conception of knowers as a special kind of entity (mind, consciousness, language-speaker, or rational agent), and of knowledge as a relation between entities, insisting that ‘‘we have no right to resort to dogmatic constructions and to apply just any idea of being and actuality to this entity [that we ourselves are], no matter how ‘self-evident’ that idea may be’’ (1953: 16). In posing the question of being (of what it means to be, or of the intelligibility of entities as entities), Heidegger sought to circumvent these unexamined assumptions about knowledge or consciousness, and engage in a more radical philosophical questioning. The ‘‘being’’ of an entity is its intelligibility as the entity it is. Heidegger’s point is that we should avoid assuming that the intelligibility of entities is itself an entity (such as a meaning, an appearance, a concept, or a thought).” (Rouse, 4).
Ke arah mana pun sains membuat kajian, sains akan berhadapan dengan entitas. Demikian juga, dalam pengamatan sehari-hari, kita menemui entitas-entitas belaka. Bagaimana kita bisa menemukan solusi terhadap question-of-being? Kita bisa menjawabnya dengan mengkaji dasein, yaitu, being yang mempertanyakan eksistensinya sendiri. Dasein adalah being yang care sebagai being-in-the-world.
“[Dasein] never finds itself otherwise than in the things themselves, and in fact in those things that daily surround it. It finds itself primarily and constantly in things because, tending them, distressed by them, it always in some way or other rests in things. Each one of us is what he pursues and cares for.” (Heidegger, 3).
Kita agar bisa mengetahui meja, di alam eksternal, perlu pengetahuan-awal wujud-meja, pengetahuan-awal tentang being-meja. Sehingga, pemahaman akan wujud-meja mendahului pengetahuan kita akan meja konkret yang ada di alam eksternal.
“Heidegger’s central claim in Being and Time was that any such understanding of entities presupposes an understanding of being. John Haugeland (1998) offers a useful analogy to unpack this seemingly obscure claim. One cannot encounter a rook as such without some grasp of the game of chess. In Heidegger’s terms, the ‘‘discovery’’ of chess entities (pieces, positions, moves, or situations) presupposes a prior ‘‘disclosure’’ of chess as the context in which they could make sense.” (Rouse, 4).
Barangkali, analogi permainan catur akan lebih mudah memahami pentingnya pengetahuan-awal being. Kita bisa mengetahui benteng-catur jika, di awal, kita sudah memahami aturan main catur. Catur dimainkan dalam bidang tersusun 64 persegi hitam putih. Benteng-catur bisa bergerak lurus vertikal atau horisontal dan sebagainya. Ketika, seekor kelelawar melihat benteng-catur, maka, kelelawar tersebut tidak akan memahami benteng-catur. Karena, kelelawar tidak memiliki pengetahuan-awal berupa aturan main catur. Begitu juga orang, misal bayi, yang tidak memahami pengetahuan-awal aturan main catur, maka, tidak akan bisa memahami benteng-catur.
Lalu, muncul pertanyaan di pikiran kita, “Bukankah pengetahuan-awal itu memerlukan pengetahuan-awal lain yang lebih awal lagi tanpa henti?”
Pertanyaan itu valid. Dan, itu termasuk question-of-being. Ketika sains bertanya, “Pengetahuan-awal apa yang diperlukan oleh sains?” maka sains bergerak menuju ke pengetahuan otentik. Dan, kita menduga setiap jawaban bagi pengetahuan-awal sains akan membutuhkan pengetahuan-awal yang lebih awal lagi. Bukankah memang seperti itu realitasnya? Pintu pengetahuan otentik sudah ada di depan sains. Kita perlu berpikir-terbuka untuk melanjutkan kajian.
Di kehidupan sehari-hari, dan sains, kita mampu memahami entitas dengan mudah saja. Kita tidak bertanya lebih jauh mengapa aturan catur dibuat seperti itu. Kita, justru, memanfaatkan aturan main catur itu untuk bermain catur. Demikian juga dalam sains. Kita tidak bertanya mengapa aturan sains seperti itu. Kita, justru, memanfaatkan aturan sains untuk mengkaji sains. Dalam hal ini, kita lebih mengutamakan manfaat entitas dari esensi entitas tersebut.
” What understanding, as an existentiale [an essential structure of our way of being], is competent over is not a ‘‘what,’’ but being as existing . . . . Dasein is not something occurrent which possesses its competence as an add-on; it is primarily being-possible. (Heidegger, 3).
Dengan mengkaji aturan sains dan manfaat sains, kita bergerak menuju sains otentik. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Sains hanya mengkaji entitas sains belaka. Sains membatasi diri hanya mengkaji sains obyektif, pengetahuan ontic. Mereka mengira, dari sains obyektif ini, kemudian, siapa saja bisa menambahkan nilai manfaat dan nilai subyektif sesuai konteks. Tidak bisa terjadi seperti itu. Akibatnya, kita menemukannya pada saat ini, sains menjadi tidak otentik.
1.4 Sains Eksistensial
Untuk menjadi sains otentik, kita perlu kajian eksistensial. Karakter dasar eksistensi sains adalah futural – menuju masa depan. Klaim sains sebagai menemukan fakta obyektif, yang eksis di masa kini dan masa lalu, adalah klaim tidak otentik. Klaim otentik perlu lebih kuat aspek futural. Meski pun, analisis lebih mendalam menunjukkan, karakter ekstase lebih tepat untuk menggambarkan sains otentik.
“An ‘‘existential’’ conception of science was called for because ‘‘sciences, as human comportments, have [Dasein’s] way of being’’ (1953: 11). Dasein’s way of being is future-oriented; it ‘‘presses forward into [its] possibilities,’’ and does so out of concern for its own being. Dasein’s most basic relation to itself is not self-consciousness, but care: Dasein is ‘‘the entity whose own being is at issue for it’’ (1953: 42), such that everything it does is understood in response to that issue.” (Rouse, 4).
Karena sains adalah futural maka sains adalah possibilitas – peluang terbuka. Sains membuka peluang baru untuk meraih masa depan yang lebih baik dengan memodifikasi masa kini dan memanfaatkan fakta masa lalu. Sains adalah freedom, kebebasan. Sains membebaskan umat manusia untuk memilih masa depan sesuai cita-cita terbaik mereka. Sains membebaskan alam raya untuk bergerak maju. Sains adalah komitmen. Sains menuntut, dan hasil dari, komitmen umat manusia terhadap masa depan.
Bukankah sains memang futural seperti itu? Tidak. Sebagian besar sains didominasi oleh metafisika present. Sains meng-klaim sebagai kebenaran masa kini, present. Dan klaim bahwa hanya sains yang membuka peluang masa depan. Mereka yang berbeda dengan sains tidak punya masa depan. Dengan cara ini, sains menjadi tidak otentik. Karena seluruh alam, sains dan bukan sains, sejatinya terbuka terhadap masa depan. Semua memiliki hak yang sama untuk meraih masa depan dengan possibilitas yang sama.
Metafisika present juga bisa menekan kebebasan pihak lain. Apalagi ketika sains muncul dalam bentuk teknologi, kekuatan sains menyisihkan pihak-pihak lain. Mereka yang tidak tunduk kepada teknologi terpinggirkan. Mereka yang tunduk kepada teknologi, sama saja, dikendalikan oleh teknologi. Sains, dan teknologi, berhasil menaklukkan freedom.
Sains, yang didominasi metafisika present, juga tidak berkomitmen. Karena sains sudah benar, saat ini, buat apa komitmen? Padahal, sains tetap perlu komitmen dan sikap tanggung jawab terhadap masa depan.
Mari kita ringkas problem ontologi sains. Pertama, sains menjadi tidak otentik karena membatasi kajian hanya kepada pengetahuan ontic. Sains berfokus kepada kajian fakta obyektif masa lalu dan masa kini. Sains tidak akan berhasil meraih fakta masa lalu. Karena sains selalu terjebak di masa kini.
Kedua, sains bisa menjadi otentik dengan menambahkan kajian question-of-being yang bersikap terbuka terhadap masa depan – futural. Sains otentik terbuka kepada masa depan dengan membuka possibilitas baru, mengutamakan freedom, dan memegang komitmen.
Ketiga, sains, yang tidak otentik, tidak berhasil membuktikan klaim validitas mereka berdasar fakta masa lalu dan masa kini. Sebaliknya, sains otentik berpeluang berhasil membuktikan klaim validitasnya dengan fokus merujuk masa depan, dengan tetap mempertimbangkan masa lalu dan masa kini. Klaim validitas kebenaran ini menjadi kajian kita berikutnya: apakah sains bisa berpikir?
2. Prinsip Logika
Tugas utama logika adalah menentukan suatu proposisi sebagai benar atau salah. Mudah saja. Proses penentuan itu adalah proses berpikir. Tetapi, sains tidak bisa berpikir. Akibatnya, sains tidak logis. Apakah tuduhan semacam itu bisa dibenarkan?
Tuduhan bahwa sains tidak bisa berpikir adalah benar adanya, sejauh ini. Sains tidak berpikir karena sains hanya menerapkan prosedur berpikir atau prosedur kebenaran. Sementara, sains tidak menyelidiki apa itu berpikir dan apa itu klaim kebenaran. Sains menerima begitu saja asumsi bahwa sains sudah berpikir dan sudah benar.
Apakah sains, pada waktunya, akan bisa berpikir? Tentu saja. Kita akan membahasnya di bagian ini. Pertama, kita akan membahas konsep kebenaran. Sains mengasumsikan bahwa kebenaran bisa ditentukan dengan konsep korespondensi dan koherensi. Kita akan tunjukkan, sains memerlukan konsep kebenaran lebih dari itu agar bisa berpikir.
Kedua, kita akan membahas prinsip logika. Sains menerima prinsip logika identitas, non-kontradiksi, dan hukum-antara begitu saja. Agar sains bisa berpikir, sains perlu mempertimbangkan prinsip logika alternatif: difference, kontradiksi, dan konstruksi.
Ketiga, kita membahas hukum kausalitas. Segala sesuatu membutuhkan sebab. Segala sebab akan berdampak pada akibat. Sains menerima begitu saja prinsip kausalitas. Agar bisa berpikir, sains perlu mengajukan pertanyaan apa makna-kausalitas.
2.1 Konsep Kebenaran
Apa itu benar? Apa itu kebenaran? Bagaimana cara membuktikan kebenaran?
Korespondensi adalah konsep kebenaran paling mudah kita pahami. Suatu proposisi, atau kalimat, bernilai benar jika berkorespondensi dengan fakta empiris tertentu. “Molekul air adalah H2O” bernilai benar jika memang kita menemukan fakta empiris seperti itu. Sains menunjukkan terbukti benar bahwa molekul air memang H20. Sains menerima apa adanya konsep korespondensi ini, just given.
Popper (1902 – 1994) mengajukan konsep falsifikasi. Seribu verifikasi tidak mampu membuktikan bahwa suatu proposisi sains bernilai benar. Tetapi, hanya satu kali penolakan sudah cukup untuk menggugurkan suatu proposisi sains, falsifikasi sains.
Jika P maka E.
Jika proposisi P benar maka kita akan menemukan fakta empiris E yang berkorespondensi.
P: Molekul air adalah H2O.
E: Ditemukan fakta empiris bahwa molekul air adalah H2O.
Tetapi, kita tidak akan pernah berhasil membuktikan validitas klaim korespondensi di atas. Ketika kita menemukan E, maka, masih belum bisa memastikan P sebagai benar. Karena, di kesempatan lain, bisa saja E gagal. Justru, jika kita menemukan negasi E maka kita memastikan P sebagai salah.
Dengan demikian, kita tidak bisa membangun logika sains berdasarkan korespondensi. Bagaimana pun, konsep korespondensi tetap berguna dan penting. Terutama, untuk kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, koherensi adalah konsep kebenaran yang didasarkan pada konsistensi suatu proposisi. Suatu proposisi dinyatakan benar jika koheren, atau konsisten, dengan proposisi lain yang sudah diterima sebagai benar. Teori matematika dan bahasa banyak memanfaatkan konsep koherensi ini.
P: Bilangan 6 adalah genap.
Karena 6 : 2 = 3 maka P koheren dengan aksioma dasar, sehingga, P bernilai benar.
Q: Kecepatan benda yang jatuh bebas setelah 2 detik adalah 20 satuan.
Pernyataan Q bernilai benar karena koheren dengan teori Newton. Kecepatan adalah hasil kali percepatan gravitasi dengan waktu = g x t = 10 x 2 = 20 satuan.
Kita bisa mengajukan keberatan terhadap koherensi. Mengapa teori Newton dianggap benar? Karena terbukti secara matematis. Mengapa dianggap benar? Karena dari teori matematis terbukti secara empiris. Mengapa dianggap benar? Kita akan sampai pada suatu titik, di mana, tidak ada lagi acuan yang kuat sebagai dasar jawaban. Konsep koherensi untuk sains patut diragukan.
Pukulan keras terhadap konsep koherensi adalah teorema Godel di awal abad 20. Godel berhasil membuktikan bahwa setiap sistem formal pasti tidak konsisten atau tidak lengkap. Padahal, sains membutuhkan keduanya: konsisten dan lengkap.
Lalu, apa alternatif yang tersedia? Ketika kita mengajukan pertanyaan tersebut, tentang konsep kebenaran, kita sedang mengajak sains untuk berpikir. Jadi, sains bisa berpikir. Benar. Sains memang bisa berpikir dengan mengajukan pertanyaan apa makna-kebenaran.
Orang bisa berdalih bahwa sains tidak bisa berpikir tetapi saintis yang bisa berpikir. Tentu saja, dalih semacam itu boleh-boleh saja. Tetapi, maksud sains tidak bisa berpikir adalah termasuk saintis tidak bisa berpikir. Ketika saintis hanya menerapkan prosedur berpikir, maka, saintis tersebut memang tidak bisa berpikir. Sebaliknya, ketika saintis mengajukan pertanyaan apa makna-kebenaran maka saintis bisa berpikir. Konsekuensinya, sains juga bisa berpikir.
Alternatif Korespondensi Koherensi
Jadi, apa makna-kebenaran? Apa alternatif dari korespondensi dan koherensi?
Alternatif yang umum adalah konvensi, konsensus, demokrasi, voting, dissensus, dan pragmatis.
Konvensi adalah kebenaran didasarkan pada kesepakatan. Dissensus adalah kebenaran yang menerima perbedaan pendapat masing-masing pihak. Sementara, voting menyelesaikan perbedaan pendapat dengan memilih suara terbanyak. Terakhir, pragmatis menetapkan kriteria kebenaran adalah manfaat pragmatis dari suatu proposisi.
Pada analisis akhir, semua alternatif di atas akan kembali kepada korespondensi dan kohorensi. Bagaimana pun, semua proses berpikir ini sudah berhasil mengajak sains untuk berpikir. Adakah proses berpikir yang lebih radikal? Memang ada.
Konsep kebenaran sebagai disclosedness, opening, alethia, keterbukaan, ketersingkapan, atau binuka. Semua istilah ini bermakna sama atau mirip. Kebenaran adalah keterbukaan atau binuka.
Binuka: benar adalah terbukanya makna-being.
Untuk memahami binuka, kita perlu mengacu makna-being berkarakter futural – meski lebih tepat sebagai ekstase future, past, dan present. Kriteria kebenaran adalah masa depan. Fakta obyektif masa lalu dan masa kini adalah modal untuk menentukan masa depan. Atau, sebaliknya lebih tepat. Masa depan adalah penentu kebenaran. Dari visi masa depan, sains mengumpulkan fakta obyektif masa lalu dan memodifikasi masa kini. Dengan proses ini, sains mampu berpikir dan menemukan kebenaran otentik.
Bagaimana cara menentukan kebenaran masa depan? Dengan cara berpikir. Masa depan tidak bisa ditentukan oleh apa pun. Masa depan adalah possibilitas. Masa depan adalah freedom. Masa depan adalah komitmen. Jadi, kita hanya bisa menentukan masa depan dengan berpikir. Sains hanya bisa menetapkan masa depan dengan berpikir. Lebih tepatnya, dengan berpikir-terbuka. Tujuan kita, memang, mengajak sains untuk berpikir terbuka.
2.2 Logika Klasik
Sains menerima tiga prinsip logika klasik: identitas, non-kontradiksi, dan hukum-antara. Jika sains hanya menerima logika-klasik ini maka sains tidak bisa berpikir. Karena, sains hanya menjalani prosedur berpikir. Sebaliknya, agar sains bisa berpikir, sains perlu memikirkan logika alternatif yang saya sebut sebagai logika dinamik: difference, kontradiksi, dan konstruksi.
Identitas vs Difference
Prinsip identitas menyatakan bahwa A adalah A. Misal, meja adalah meja. Proposisi, atau inferensi, dinyatakan benar jika memenuhi prinsip identitas.
P = 2 + 3
Q = 1 + 4
Kita bisa menyatakan bahwa P adalah Q karena, pada analisis akhir, P = 5 dan Q = 5. Memenuhi prinsip identitas. Barangkali Anda ingat ketika belajar identitas trigonometri? Beragam pernyataan yang berbeda, kemudian, diolah sampai akhirnya semua pernyataan adalah identik.
Prinsip difference berkebalikan dengan prinsip identitas. Meja adalah kebalikan dari seluruh yang bukan meja. Perhatikan ada meja, kursi, lantai, dan atap. Meja adalah yang bukan kursi, bukan lantai, dan bukan atap. Dengan demikian, bukankah sama saja? Antara prinsip difference dengan prinsip identitas? Sangat berbeda.
Prinsip identitas hanya membutuhkan meja untuk mengatakan meja adalah meja. Sedangkan, prinsip difference membutuhkan kursi, lantai, dan atap untuk menyatakan bahwa meja bukan kursi, bukan lantai, dan bukan atap. Prinsip identitas menyatakan bahwa dirinya sendiri sudah cukup menyatakan logika kebenaran. Prinsip difference membutuhkan pihak lain, lebih banyak pihak lain, untuk menyatakan logika kebenaran.
Sains bisa saja mengatakan bahwa sains adalah benar berdasarkan sains. Selaras dengan prinsip identitas. Tetapi, prinsip difference menolak klaim sains di atas. Sains tidak bisa klaim kebenaran hanya berdasar internal sains. Sains perlu mempertimbangkan yang bukan sains, misal seni, filsafat, agama, dan lain-lain. Paling bagus, klaim sains hanya bisa menyatakan bahwa sains berbeda dengan yang bukan sains. Sains berbeda dengan seni, berbeda dengan filsafat, dan berbeda dengan agama. Sehingga, sains perlu berpikir-terbuka.
Lalu, mana yang lebih benar antara prinsip identitas atau difference? Anda perlu berpikir untuk memutuskannya. Dan, sains memang bisa berpikir ketika mempertimbangkan keduanya.
Non-Kontradiksi
Prinsip kedua dari logika klasik adalah non-kontradiksi. Tidak mungkin ada kontradiksi. Atau, kontradiksi harus ditolak. Sementara, prinsip logika dinamik justru terbuka terhadap kontradiksi.
Kita ambil contoh tentang bilangan asli yang terdiri dari bilangan genap dan ganjil. Bilangan 3 adalah ganjil. Tidak mungkin 3 sebagai genap. Jika ada pernyataan “Bilangan 3 adalah genap” maka kontradiksi dan harus ditolak. Prinsip non-kontradiksi ini tampak jelas dengan sendirinya. Lalu, mengapa kita perlu mempertimbangkan kontradiksi bisa terjadi?
Prinsip non-kontradiksi memandang obyek sebagai obyek asbtrak misal bilangan 3. Obyek abstrak, misal bilangan 3, seakan-akan konstan. Tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu. Di mana pun, kapan pun, bilangan 3 tetap bilangan 3, tidak berubah. Atau, obyek abstrak berada di luar ruang dan waktu. Tetapi, apakah ada obyek abstrak seperti itu?
Hegel (1770 – 1831) dalah pemikir besar pertama yang mengokohkan prinsip kontradiksi, melawan non-kontradiksi. Ketika kita menyatakan bilangan 3, maka, kita merujuk eksistensi bilangan 3 apa adanya. Sesaat kemudian, esensi bilangan 3 akan langsung berkontradiksi dengan eksistensi bilangan 3. Terjadi proses dialektika, akibat dari kontradiksi eksistensi dengan esensi, menghasilkan becoming bilangan 3. Dan, proses dialektika kontradiksi ini berlangsung terus-menerus. Karena, becoming adalah eksistensi dalam status yang baru. Pada gilirannya, berkontradiksi dengan esensi.
Sartre (1905 – 1980) mengembangkan prinsip kontradiksi lebih jauh lagi. Being-in-itself memang menolak kontradiksi dengan kembali kepada identitas: meja adalah meja. Sedangkan, being-for-itself justru selalu berkontradiksi dengan dirinya sendiri, misal kesadaran manusia. “Saya bukanlah saya yang seperti ini.” “Saya bukan karyawan yang seperti ini.” Ketika saya berubah menjadi karyawan dengan status baru, kesadaran sadar lagi, “Saya bukan karyawan yang seperti ini.” Orang bisa saja menerima identitas, “Saya adalah seperti ini.” Keyakinan seperti itu adalah bad-faith, mengubah kesadaran bagaikan “meja”. Manusia sejati, terus-menerus, berubah karena kontradiksi, “Saya bukan seperti ini.”
Dalam realitas selalu terjadi kontradiksi antara eksistensi dan esensi. Dalam pikiran, bukan realitas konkret, kita bisa membayangkan hanya ada esensi, misal obyek abstrak bilangan 3, sehingga non-kontradiksi. Lalu, sains harus memilih kontradiksi atau non-kontradiksi? Atau, kombinasi di antara keduanya? Hanya proses berpikir-terbuka yang akan memutuskannya. Sains, memang, perlu berpikir-terbuka. Terbukti, sains bisa berpikir-terbuka.
Antara vs Konstruksi
Hukum-antara adalah prinsip ketiga dari logika klasik. Hanya ada satu pilihan antara benar atau tidak-benar. Tidak ada pilihan ketiga. Atau, pernyataan “P atau negasi P” pasti bernilai benar.
Dalam contoh bilangan asli, “Genap atau tidak genap” pasti bernilai benar. Bilangan 3 adalah tidak genap maka pernyataan benar. Bilangan 6 adalah genap maka pernyataan benar.
Prinsip konstruksi berbeda dengan hukum-antara dalam prinsip. Pernyataan “P atau negasi P” tidak bisa dipastikan nilai kebenarannya. Kita hanya bisa memastikan nilai kebenaran jika berhasil mengkonstruksi, empiris atau konseptual, salah satu di antara “P” atau “negasi P”.
Mari kita ambil contoh agar lebih mudah memahami. Pernyataan L: Lampu lalu lintas antara menyala atau tidak menyala. Bagi hukum-antara, pernyataan L selalu benar. Tampak masuk akal karena lampu bisa menyala atau tidak menyala. Bagi prinsip-konstruksi, kita masih belum bisa memastikan nilai kebenaran. Karena, bisa saja lampu lalu lintas sudah tidak ada lagi – misal dicuri oleh pencuri. Sehingga, tidak relevan lagi antara menyala atau tidak.
M: Ada makhluk cerdas atau tidak ada makhluk cerdas di planet Mars.
Bagi hukum-antara, M selalu benar. Bagi prinsip-konstruksi, kita perlu memastikan dulu untuk mengujinya. Prinsip-konstruksi memang membatasi sains hanya kepada pernyataan-pernyataan yang relevan. Tetapi, ada kalanya, kita perlu lebih berani berpikir spekulasi.
Jadi, sampai di sini, apakah sains tidak bisa berpikir? Apakah sains tidak logis? Sains memang tidak bisa berpikir, tidak logis, jika sains membatasi diri hanya menerapkan logika-klasik. Sains hanya akan menjalankan prosedur berpikir. Tetapi, sains jelas bisa berpikir ketika mempertimbangkan logika-klasik dan logika dinamik. Sains berpikir-terbuka dengan mimilih pada konteks mana saja menerapkan logika klasik dan pada konteks yang lain menerapkan logika-dinamik.
2.3 Kausalitas
Sains menjadi tidak bisa berpikir ketika memastikan hukum kausalitas berlaku apa adanya. Sains menjadi bisa berpikir ketika bertanya apa makna-kausalitas.
Hume (1711 – 1776) pemikir besar pertama yang berhasil menggoyahkan konsep kausalitas. Apakah kausalitas memang ada? Apakah kita bisa membuktikan kausalitas? Jika tidak ada kausalitas, maka, apa alternatifnya?
Pertama, mari kita coba jawab apa alternatif dari kausalitas. (1) Atomisme alam raya. Seluruh alam raya ini terdiri dari sistem atom-atom yang diskrit secara waktu. Misal detik-1 bersesuaian dengan frame-1 alam raya dan detik-2 bersesuaian dengan frame-2. Karena berurutan, kita mengira frame-1 adalah sebab bagi frame-2. Tetapi, sesuai atomisme, tidak ada kausalitas. Frame-1 dan frame-2 saling mandiri. Jeda waktu antar frame bisa dibuat mendekati 0 sehingga terkesan kontinyu.
(2) Spontan. Terjadi beberapa kejadian spontan tanpa ada sebab. Misal, pikiran manusia bisa memikirkan sesuatu di luar dugaan tanpa sebab. Atau, sistem chaos bisa memunculkan sesuatu tanpa sebab yang mendahuluinya. Atau, seniman tiba-tiba muncul inspirasi. Kejadian spontan ini tanpa sebab apa pun. Jika kejadian spontan ini digabungkan dengan sistem deterministik kompleks maka kausalitas menjadi sirna.
(3) Kausalitas tanpa konsistensi. Gaya gravitasi menjadi sebab buah jambu jatuh menuju bumi di malam kemarin. Tetapi, beberapa tahun ke depan, beberapa abad ke depan, beberapa milenium ke depan, apakah gaya gravitasi tetap konsisten menjadi sebab buah jambu jatuh ke bumi? Bisa jadi, tidak ada lagi gaya gravitasi, misalnya. Ditambah lagi, tidak ada sebab yang menjadikan gravitasi tetap konsisten. Atau, tidak ada jaminan bahwa gravitasi tetap konsisten di masa depan.
Kedua, seandainya tiga alternatif di atas atau alternatif lainnya benar, sehingga kausalitas gugur, tetap saja, pikiran manusia membutuhkan konsep kausalitas. Terlepas status ontologis hukum kausalitas, pikiran kita tetap membutuhkan kausalitas.
Apakah kausalitas bisa dibuktikan? Sulit sekali. Karena setiap pembuktian memerlukan konsep kausalitas. Apakah kausalitas bisa dibuktikan sebagai tidak ada? Sulit sekali. Karena, seandainya ada bukti bahwa kausalitas tidak eksis maka justru bukti itu menunjukkan kausalitas eksis.
Ketiga, penting bagi kita untuk bertanya, “Apa makna-kausalitas?”
Jika sains memaknai kausalitas dengan suatu makna, maka, apakah ada makna yang lain? Jika ada lebih dari satu makna-kausalitas, maka, sains memilih makna yang mana? Atau, sains bisa mengkombinasikan beragam makna? Pertanyaan terhadap makna-kausalitas ini mendorong sains bisa berpikir. Sains, memang, bisa berpikir secara mendalam.
Makna umum kausalitas adalah masa lalu menjadi sebab bagi masa kini. Dan, masa kini menjadi sebab bagi masa depan. Karena sains bisa mengklaim mengetahui masa lalu maka sains paling berhak menentukan masa kini. Pada gilirannya, karena sains paling mengetahui masa kini maka sains yang paling mengetahui masa depan. Sejarah masa lalu, sejak terjadi big bang sampai masa depan alam raya hancur, sains memiliki pengetahuan itu semua. Makna kausalitas seperti itu berasumsi kausalitas sebagai determinisme.
Makna alternatif dari kausalitas menerima adanya ketidak-pastian. Ada aspek probabilitas dan in-determinisme dalam kausalitas. Fisika quantum, dan relativitas, mengakui beberapa aspek tidak-pasti dari sains. Sementara, sains sosial humaniora lebih leluasa menerima aspek tidak-pasti dari suatu pengetahuan. Dengan makna kausalitas yang lebih lentur seperti ini, mendorong sains lebih terbuka dalam berpikir dan bersikap.
Makna alternatif kausalitas yang lebih radikal adalah memandang future menjadi sebab bagi present dan past. Kita sudah membahas, di atas, bahwa makna-being berkarakter futural – masa depan. Future adalah sebab bagi semua gerak perubahan. Future menarik masa lalu dan masa kini untuk menuju masa depan. Jadi, sains masa depan yang menyebabkan sains masa lalu dan sains masa kini bergerak lebih maju.
Apa itu sains masa depan? Sains masa depan adalah possibilitas yang terbuka luas. Ada banyak sains masa depan dalam jumlah tak terbatas. Kita akan memilih yang mana? Untuk menjawabnya, kita berhadapan dengan problem etika yang menjadi pembahasan selanjutnya.
3. Aspek Praktis
Sains tidak bermoral. Sains tidak beretika. Karena, sains mengklaim sebagai pengetahuan obyektif, justru, berakibat tidak bermoral.
Jika sains adalah obyektif, maka, bukankah sains menjadi netral? Dari aspek praktis, sains tidak bisa netral. Atau, sulit sekali untuk netral. Klaim sains sebagai netral hanya bisa dilakukan berdasar data masa kini dan data masa lalu. Sementara, kita tidak akan bisa memperoleh data lengkap dari masa kini dan masa lalu.
Data masa lalu terbatas oleh kemampuan kita untuk akses mundur ke belakang. Sementara, setiap data masa lalu perlu didukung oleh data yang lebih awal tanpa henti. Sedangkan untuk melengkapi data masa kini, kita terbatas oleh perspektif. Kita hanya mampu akses data dengan perspektif terbatas. Tidak mungkin, kita bisa akses dari seluruh perspektif. Sebaliknya juga tidak bisa. Kita tidak bisa akses data tanpa perspektif.
Alternatif yang tersisa adalah melihat sains masa depan. Semua penilaian kita terhadap sains didasarkan pada data di masa depan. Demikian juga, penilaian kita tentang moralitas sains perlu didasarkan pada aspek masa depan. Kosekuensisinya, sains menjadi berpikir-terbuka. Tidak ada klaim dogmatis terhadap sains masa depan. Sains masa depan adalah posibilitas, freedom, dan komitmen. Tentu, pilihan masa depan tidak bisa netral. Karena, masa depan bukanlah fakta obyektif yang netral.
Masa depan mana yang akan kita jadikan referensi sains?
3.1 Posibilitas
Sains masa depan adalah posibilitas, peluang, terbukanya sains-sains baru penuh harapan. Secara etika, sains juga perlu memberi peluang kepada pihak lain untuk tumbuh berkembang, memberi posibilitas.
Teori relativitas Einstein, misalnya, membuka posibilitas baru dengan kemampuan mengubah massa materi menjadi energi. Di masa depan, pengembangan energi ini akan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Sehingga, pengembangan teori relativitas di masa kini mendapat justifikasi. Ditambah dengan data penemuan-penemuan sains masa lalu, maka, menjadi lebih lengkap.
Di sisi lain, orang berniat membuat senjata pembunuh massal untuk beberapa tahun ke depan. Pengembangan sains saat ini, untuk mendukung senjata pembunuh massal menyalahi etika. Kita perlu menolaknya. Para saintis perlu menolaknya.
Tentu saja, di banyak kasus, pengembangan sains masa depan akan terjadi pro-kontra. Alternatif mana yang akan kita pilih? Sains perlu berpikir-terbuka untuk memilih alternatif yang etis. Yaitu, pilihan yang membuka posibilitas luas bagi umat manusia dan semesta. Sains memang ber-etika.
3.2 Freedom
Sains menjadi etis dengan mengembangkan freedom, kebebasan, bagi umat manusia mau pun alam raya. Hakikat ilmu adalah kebebasan dan membebaskan. Demikian juga, hakikat sains adalah freedom.
Sains masa depan menjadi bermoral ketika membebaskan wong cilik dari kebodohan dan kemiskinan. Sains, masa kini, menjadi etis ketika bertujuan membebaskan umat dan alam raya.
Dan, seperti biasa, orang bisa meragukan apakah sains benar-benar akan membebaskan umat di masa depan? Bisa diperdebatkan. Kita memang perlu berpikir-terbuka dan komitmen kuat untuk memilih keputusan tepat.
3.3 Komitmen
Masa depan adalah komitmen. Sains masa depan adalah komitmen itu sendiri.
Ketika sains sudah menetapkan posibilitas dan freedom, selanjutnya, diperlukan komitmen. Pengalaman menunjukkan, freedom tidak datang begitu saja. Kita perlu berjuang untuk meraih freedom – memperjuangkan kemerdekaan. Komitmen adalah segalanya.
Sains menjadi etis dengan komitmen yang kuat terhadap posibilitas dan freedom.
Catatan Penutup
Di bagian penutup ini, saya mencatat tiga poin penting terkait probem filsafat sains: konfirmasi, koreksi, dan komitmen.
Pertama, konfirmasi. Benar adanya bahwa sains tidak otentik. Sains tidak bisa berpikir. Dan, sains tidak etis. Meski demikian, karakter-karakter di atas bukanlah karakter asli dari sains. Sehingga, sejatinya, sains bisa berubah menjadi lebih baik.
Kedua, koreksi. Sains mampu mengoreksi diri. Sains bisa berubah dari tidak otentik menjadi otentik dengan cara bertanya question-of-being. Sains berubah dari tidak bisa berpikir menjadi bisa berpikir dengan bertanya makna-kebenaran, mempertimbangkan logika-klasik dan logika dinamik, serta bertanya tentang makna-kausalitas.
Ketiga, komitmen. Sains menjadi bermoral dengan komitmen tinggi kepada posibilitas dan freedom bagi umat manusia dan alam raya.
Referensi
1) Newton, Isaac. 1846. Mathematical Principal of Natural Philosophy. New York, Dadiel Adee 45 Liberty Street.
2) Einstein, Albert. 1949. Philosopher-Scientist. Evanston, Library of Living Philosophers.
3) Heidegger, Martin. 1962. Being and Time. Oxford, Blackwell Publisher.
4) Rouse, Joseph. 2005. Continental Philosophy of Science. UK, Blackwell Publisher.
5) Suhrawardi, Shihab Al-Din. 2000. Philosophy of Illumination. Brigham Young University.
6) Shadra, Mulla. 2001. Kearifan Puncak. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset.
7) Russell, Bertrand. 1912. The Problems of Philosophy. New York, Henry Holt and Company.
8) Arabi, Ibn and Chittick, William. 1998. The Self-disclosure of God. State University of New York Press.
9) Arabi, Ibnu. 2018. Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Yogyakarta, Darul Futuhat.
10) Mahzar, Armahedi. 2004. Revolusi Integralisme Islam. Bandung, Mizan.
11) Mahayana, Dimitri. 1999. Menjemput Masa Depan. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
12) Derrida, Jacques. 2016. Heidegger: The Question of Being & History. The University of Chicago Press.
13) Nggermanto, Agus. 2001. Quantum Quotient. Bandung, Nuansa Cendekia.
14) Hegel, Georg. 1873. The Logic of Hegel. Oxford, The Clarendon Press.
15) Rovelli, Carlo. 2018. Reality is Not What it Seem. Riverhead Books.
Tinggalkan komentar