Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat ke sesama manusia – dan semesta. Bawa kebaikan ke manusia dan bawa manusia ke kebaikan adalah judul web saya di pamanapiq.com. Dua tugas, di atas, sama-sama penting.

Sudah cukup jelas maksud pesan di atas: bawa kebaikan ke manusia. Tetapi, kita masih bisa bertanya apa makna-kebaikan? Apa makna-manusia? Apa makna-bawa?
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita ke kebaikan lebih mendalam lagi. Kita akan mencoba membahasnya.
1. Kebaikan vs Keadilan
2. Kebaikan vs Kebenaran
3. Makna-Manusia
4. Makna-Bawa
5. Kebaikan Digital
Kita akan membahas kebaikan dari sisi makna dan definisi. Makna adalah pemahaman yang kita pikirkan secara sederhana dan terbuka dengan beragam posibilitas baru. Sedangkan, definisi adalah pengertian yang membatasi dengan maksud tertentu. Definisi bersifat ketat, sementara, makna bersifat fleksibel. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering memanfaatkan makna. Dalam kajian ilmiah, sering dipersyaratkan menerapkan definisi.
1. Kebaikan vs Keadilan
Kebaikan adalah memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat, lebih baik, dari harapan. Keadilan adalah memberikan sesuatu sesuai dengan haknya. Dengan makna ini, kebaikan adalah tindak lanjut dari keadilan.
Harus mengutamakan kebaikan atau keadilan?
Utamakan kebaikan dalam konteks personal. Tetapi, utamakan keadilan dalam konteks sosial.
Ketika Anda berurusan dengan teman maka utamakan untuk berbuat baik. Anda traktir teman minum kopi adalah kebaikan. Anda pinjamkan uang ke teman yang membutuhkannya, adalah, kebaikan. Anda bersedekah ke tetangga dan saudara adalah kebaikan.
Ketika Anda berurusan dengan struktur sosial maka utamakan keadilan di atas kebaikan.
Seorang pejabat menjanjikan gaji ke buruh adalah 3 juta rupiah. Saatnya gajian, pejabat itu membayar 4 juta rupiah. Maka yang 1 juta, kelebihannya, adalah kebaikan. Sementara, yang 3 juta, sesuai hak buruh adalah keadilan.
Tetapi, kebaikan sosial seperti di atas bisa berdampak buruk. Mengapa?
Karena kebaikan sosial, seperti di atas, bisa menjadi topeng pencitraan untuk menutupi borok pejabat melanggar keadilan. Apakah gaji buruh 3 juta itu sudah adil? Berapa gaji pejabat? Besar gaji pejabat total bisa 30 juta atau sampai ratusan juta? Apakah adil gaji buruh adalah 3 juta?
Misal, setelah dikaji ulang, gaji buruh yang adil adalah 5 juta. Maka, tindakan kebaikan sosial oleh pejabat, memberi tambahan 1 juta terhadap gaji 3 juta adalah topeng pencitraan. Dengan kebaikan sosial itu, buruh dan rakyat jadi sungkan untuk menuntut keadilan. Padahal mereka, buruh dan rakyat, berhak mendapat keadilan.
Jadi, dalam koteks sosial, tegakkan keadilan sebagai paling utama. Kebaikan sosial hanya bisa dilakukan setelah keadilan ditegakkan.
Apakah kita bisa mengetahui sistem sosial sudah adil atau belum? Bisa jadi, jawabannya adalah negatif. Atau, lebih tepatnya, jawabannya adalah dinamis. Sebagai pejabat, Anda harus konsisten berjuang menegakkan keadilan untuk seluruh rakyat. Makna pejabat di sini bisa saja pejabat perusahaan swasta atau pun yayasan dan sejenisnya.
Bagaimana pun, kita berinteraksi sosial secara personal. Sehingga, dalam situasi apa pun, kita “wajib” berbuat baik. Hanya saja, kebaikan itu kadang kala harus disembunyikan agar tidak menjadi topeng pencitraan.
Dalam ungkapan ringkas, “Bawa kebaikan ke manusia dan bawa manusia ke kebaikan.”
Apa yang kita bahas di atas adalah makna kebaikan dan keadilan. Sedangkan, definisi kebaikan dan keadilan, silakan Anda bisa mendefinisikan sesuai kebutuhan.
2. Kebaikan vs Kebenaran
Dahulukan kebaikan dari kebenaran. Mengapa? Karena keduanya, kebaikan dan kebenaran, adalah sama-sama klaim semata.
Saran di atas berlaku secara general belaka. Secara spesifik, kita perlu mengkaji konteks. Dalam matematika, klaim kebenaran menjadi paling utama.
Mengapa secara umum kita lebih penting mengutamakan kebaikan di atas kebenaran? Karena, konsekuensi kebaikan adalah baik. Sementara, konsekuensi kebenaran bisa saja buruk. Padahal, kedua klaim bisa saja sama-sama salah klaim.
Tentu saja, kondisi ideal adalah terpenuhi baik dan benar – plus adil pula. Dalam kajian teoritis, bisa saja kita mengklaim XYZ adalah baik, benar, dan adil. Sehingga, kita perlu mendukung XYZ. Kita memang harus memperjuangkan XYZ dalam contoh kasus ini.
Dalam realitas, apakah kita bisa klaim XYZ sebagai baik, benar, dan adil? Sulit sekali!
Pertama, setiap klaim XYZ perlu landasan yang berupa klaim juga. Selanjutnya, landasan itu butuh klaim lagi tanpa henti. Kita berhadapan dengan paradoks meta-klaim.
Kedua, klaim XYZ bisa saja mengaku sudah paling lengkap. Tetapi, syarat lengkap ini tidak bisa dipenuhi. Setiap klaim pasti menerapkan perspektif. Tidak mungkin kita bisa klaim dari seluruh perpektif. Dan, tidak mungkin juga kita bisa klaim tanpa perspektif. Kita berhadapan dengan paradoks meta-perspektif di sini.
Ketiga, klaim XYZ adalah yang paling bermanfaat bagi masa depan. Kita bisa memahami mungkin saja XYZ memang paling bermanfaat di masa depan – dan baik, benar, adil. Bagaimana pun, kita sadar bahwa klaim masa depan bersifat kontingen. Sehingga, akan lebih baik ketika terjadi respek antara banyak pihak.
Dengan demikian, secara umum, dahulukan kebaikan dari kebenaran. “Bawa kebaikan ke manusia dan manusia ke kebaikan.”
3. Makna-Manusia
Selanjutnya, kita perlu menyelidiki makna-manusia? Siapa manusia? Siapa saya?
Manusia adalah yang paling dekat dengan kita, sekaligus, memiliki makna yang paling jauh dari kita.
4. Makna-Bawa
Makna “membawa” sepiring nasi sudah jelas begitu saja bagi kita. Makna “membawa” kebaikan juga sama, sudah jelas. Ketika dipikir lebih jauh, “Bagaimana kita bisa membawa kebaikan?”
5. Kebaikan Digital
Tinggalkan komentar