Pengetahuan Tentang Universal

Cinta itu universal, tidak membedakan kasta. Cinta itu universal, tidak membedakan usia. Cinta itu universal, tidak memandang apa-apa. Cinta itu buta. Buta terhadap materi dunia. Cinta itu menuntun manusia menguak cakrawala.

1. Pengetahuan Pengenalan Universalia
2. Pengetahuan Universalia Melalui Deskripsi
3. Proses Pengetahuan Universalia
3.1 Empiris
3.2 Idealisasi
3.3 Sains Universal
4. Cinta Cantik Universal
5. Ringkasan
6. Diskusi
6.1 Transendental
6.2 Empiris
6.3 Transendental-ke-Empiris
6.4 Empiris-ke-Transendental
6.5 Mode Being
6.6 Mode Void
6.7 Irreducible

Saya cinta Rara. Sudah berulang kali saya menyatakan cinta itu. Cinta saya kepada Rara adalah cinta sejati, cinta seorang ayah kepada anaknya. Demi cinta, rela berkorban untuk kebahagiaan anaknya. Tapi bagaimana saya tahu cinta itu? Bagaimana kita bisa tahu cinta universal? Bagaimana kita mengetahui beragam universalia?

Russell mengelompokkan tiga jenis pengetahuan universalia. Pertama, pengetahuan melalui pengenalan. Kedua pengetahuan melalui deskripsi. Dan ketiga pengetahuan tidak melalui pengenalan mau pun deskripsi.

1. Pengetahuan Pengenalan Universalia

Dalam sehari-hari kita mengenali universalia secara langsung. Misal kita melihat piring bentuk lingkaran, topi bentuk lingkaran, koin bentuk lingkaran, dan benda-benda lain berbentuk lingkaran. Kita langsung mengenali mereka sebagai berbentuk lingkaran. Itu adalah contoh sederhana pengetahuan universalia “lingkaran” melalui pengenalan.

Tetapi ketika kita diminta untuk menjelaskan apa itu lingkaran kadang-kadang tidak mudah. Perlu keterampilan khusus dalam bahasa, geometri, atau bahkan matematika untuk dapat mendeskripsikan universalia “lingkaran”. Padahal kita mengenali bentuk lingkaran secara langsung begitu melihat benda partikular berbentuk lingkaran.

Contoh lain bisa kita pertimbangkan. Kita melihat lampu hijau, pisang hijau, daun hijau, baju hijau, dan benda-benda lain yang berwarna hijau. Lagi, kita langsung mengenali universalia warna “hijau”. Jika kita diminta mendeskripsikan warna hijau, bagaimana caranya? Tidak mudah juga.

Barangkali satu contoh lagi universalia lebih menarik. Kita sering melihat sepeda roda 2, ayam berkaki 2, tangan ada 2, telinga ada 2, dan berbagai macam hal yang menunjukkan kuantitas 2. Dengan mudah kita mengenali kuantitas “2” yang merupakan suatu universalia.

Kita bisa melanjutkan ke contoh pengetahuan melalui pengenalan kepada yang lebih kompleks, misal, “2 + 1 = 3”. Sebagai orang dewasa, kita dengan mudah mengenali bahwa 2 + 1 = 3. Tetapi bayangkan masa kanak-kanak kita, apakah kita bisa mengenali langsung 2 + 1 = 3? Begitu juga anak-anak yang saat ini berusia di bawah 5 tahun barangkali tidak bisa mengenali langsung penjumlahan angka-angka tersebut.

Dari sini, kita menyadari ada proses pengenalan yang sederhana, langsung, dan ada pula yang proses pengenalannya perlu pemahaman. Tentu saja kita bisa mengambil contoh univesalia yang lebih kompleks misal 6 x 7 = 42. Meski, sejatinya, kita bisa mengenali universalia 6 x 7 = 42 secara langsung, namun beberapa orang akan memerlukan proses tambahan yang lebih lama. Teori matematika yang lebih tinggi, misal rumus deret, juga merupakan universalia di mana beberapa orang mampu mengenalinya sedangkan orang yang lain tidak mampu memahaminya.

2. Pengetahuan Universalia Melalui Deskripsi

Bayangkan ada orang luar negeri yang sudah mahir berbahasa Indonesia, sebut saja namanya Manca. Dia lupa istilah bentuk dalam bahasa Indonesia. Manca memberikan deskripsi, “Apa ya, namanya? Bidang dimensi dua. Terdiri dari 4 garis sama panjang yang saling berpotongan membentuk 4 sudut yang sama besar.”

Kita ingin membantu Manca. Tapi kita harus memikirkan bentuk apa yang tepat untuk deskripsi dari Manca itu. Beberapa orang akan berhasil mengetahui deskripsi yang dimaksud Manca adalah persegi. Ya, tepat, universalia persegi. Di atas adalah contoh pengetahuan universalia melalui deskripsi.

Pada kesempatan lain, Manca lupa tentang angka, bilangan bulat, “Berapa sih angka setelah 8?” Tentu saja kita mudah menjawab angka yang dimaksud Manca adalah 9. Yang menarik juga bahwa universal “9” merupakan relasi dari beragam universalia dengan cara yang berbeda-beda. Misal 8 + 1, 10 – 1, 3 x 3, 18/2, dan lain-lain semuanya adalah universalia 9.

Dalam contoh di atas kita berhasil mengetahui universalia melalui deksripsi bahasa (dan angka). Dalam banyak hal, bahasa tidak mampu mendeskripsikan universalia. Misalnya bagaimana kita mendeskripsikan “hijau”?

Tentu saja, para ilmuwan dapat mendeskripsikan warna hijau adalah gelombang elektromagnetik pada spektrum panjang gelombang 495 – 570 nm. Dan ilmuwan lain yang tersebar di seluruh dunia memahami yang dimaksud gelombang 495 – 570 nm adalah warna hijau.

Kita punya cara yang lebih mudah dari para ilmuwan dunia itu. Warna hijau adalah warna lampu lalu lintas yang bukan merah dan bukan kuning. Dan semua orang, bukan hanya ilmuwan saja, paham bahwa bukan merah, bukan kuning adalah hijau.

Bisa kita lihat bahwa penjelasan warna hijau di atas akan sulit dipahami oleh orang yang buta sejak lahir. Meski ilmuwan memberi penjelasan terukur bahwa hijau adalah panjang gelombang antara 495 – 570 nm namun orang buta tidak merasakan sensasi seperti orang normal melihat warna hijau. Apa lagi penjelasan warna hijau sebagai warna lampu lalu lintas makin membingungkan orang buta yang tidak pernah melihat lampu lalu lintas sepanjang hidupnya.

Deskripsi bahasa, angka, kode, simbol, atau lainnya tampaknya baru bermanfaat bila dua pihak yang berkomunikasi saling mengenal maknanya melalui pengetahuan pengenalan.

3. Proses Pengetahuan Universalia

Klaim universal adalah benar, selalu berlaku secara umum. Beda dengan partikular. Beda dengan klaim induksi yang didasarkan pada penelitian empiris, bersifat terbatas.

Pertimbangkan pengetahuan universalia, “Keliling suatu persegi besarnya adalah 4 kali panjang sisinya.”

Selalu benar sejak sebelum masa Pythagoras, sampai masa sekarang, bahkan sampai masa yang akan datang. Bagaimana kita bisa mengetahui sebanyak itu? Tidak mungkin kita melakukan penelitian satu demi satu, mengukur setiap sisi persegi, lalu menghitung keliling persegi tersebut. Jumlah persegi yang, di dunia ini, banyaknya tak terhingga tidak bisa kita amati dengan cara apa pun. Maka kita perlu penjelasannya bagaimana kita bisa memperoleh pengetahuan universalia dengan meyakinkan seperti itu.

3.1 Empiris

Russell, pertama-tama, menegaskan bahwa kita mendapat pengetahuan unversalia melalui pengalaman empiris. Awalnya kita menyelidiki beberapa persegi. Mencoba mencari hubungan antara panjang sisi dan keliling persegi. Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa keliling sama dengan 4 kali panjang sisi.

Pengamatan lebih mendalam, keliling sama dengan 4 panjang sisi, adalah berlaku umum. Kita bisa mengelilingi persegi, misal, dengan bergerak ke kanan, atas, kiri, dan bawah. Tepat 4 kali maka kembali ke titik awal. Cara ini berlaku untuk semua persegi. Maka kita menyimpulkan bahwa kesimpulan ini berlaku secara umum, universal. Dan memang selalu benar.

Saya ingin menegaskan lagi bahwa Russell memberi status yang kuat terhadap pengalaman, pengamatan empiris. Tanpa pengalaman tidak akan terbentuk pengetahuan universalia.

3.2 Idealisasi

Kedua, kita melakukan idealisasi. Bahwa semua persegi berlaku, kelilingnya sama dengan 4 kali panjang sisi. Bila ada suatu bangun yang kelilingnya tidak sama dengan 4 kali panjang sisi maka dipastikan bangun tersebut bukanlah persegi. Maka kita bisa melihat di sini, pengetahuan universalia, merupakan sistem aksiomatik. Sehingga wajar berlaku umum di mana pun, kapan pun.

Proses idealisasi ini eksklusif milik pengetahuan universal. Sementara, pengetahuan empiris melalui induksi, tidak bisa melakukan idealisasi dengan cara yang sama. Misal pernyataan, “Setiap manusia mati pada waktunya,” tetap tidak universal. Meski pun sepanjang sejarah menunjukkan semua manusia pada akhirnya mati tetapi di jaman ini masih ada manusia yang tidak mati. Pikiran kita masih terbuka terhadap kemungkinan ditemukannya suatu obat atau teknologi yang menjadikan manusia tidak mati. Walau peluangnya kecil tapi mungkin saja.

Pengetahuan empiris, misalnya sains, menemukan cara untuk “mengidealisasikan” diri. Caranya adalah dengan mengubah proposisi sains menjadi proposisi matematika. Contoh paling sukses adalah hukum Newton tentang gerak. Misalnya gerak lurus beraturan didefinisikan sebagai gerak lurus yang kecepatannnya konstan. Jika ada gerak yang kecepatannya tidak konstan maka itu bukan gerak lurus beraturan.

Dengan cara idealisasi di atas maka proposisi sain menjadi berlaku universal, karena sejatinya adalah proposisi matematika.

Teori Newton ini berdampak radikal. Mengoreksi pandangan Aristoteles dan pandangan masyarakat awam. Bila ada bola bergerak dengan kecepatan 10 km/jam di jalan yang licin tanpa gangguan maka bola tersebut akan terus bergerak dengan kecepatan tetap selamanya, tidak pernah berhenti.

Aristoteles, dan pandangan masyarakat umum, menduga bola tersebut akan melambat. Dan pada akhirnya bola akan berhenti. Karena, pada bola, tidak ada lagi yang mendorong. Tidak ada lagi sebab yang menyebabkan bola terdorong. Lagi pula, berbagai pengamatan menunjukkan bahwa bola berhenti pada akhirnya. Tidak pernah kita melihat bola terus-menerus bergerak.

Tampaknya, Aristoteles dan masyarakat umum, harus menerima kekalahan. Teori Newton yang benar. Berbagai macam percobaan membuktikan. Bola tidak akan pernah berhenti bila tidak ada gangguan. Misal bola pertama akan berhenti dalam 1 menit. Bola kedua, jalan dibuat lebih licin, berhenti setelah 2 menit. Bola ketiga, jalan dibuat sangat licin, maka bola baru berhenti setelah 10 menit. Dan seterusnya, ketika jalan dibuat licin sempurna, maka bola tidak akan pernah berhenti.

Tetapi bagaimana dengan kenyataan sehari-hari bahwa bola pada akhirnya memang berhenti? Bola berhenti disebabkan adanya gangguan dari luar, berupa jalan tidak licin dan gesekan udara. Jika tidak ada gangguan maka teori Newton tentang gerak lurus beraturan yang benar dan selalu benar secara universal. Namun karena kehidupan sehari-hari ada gangguan, semisal gesekan udara, maka berlaku teori Newton tentang gerak lurus berubah beraturan. Teori Newton ini juga berupa proposisi matematika sehingga berlaku universal. Singkatnya, sains, dengan menggunakan proposisi matematika, maka selalu benar bersifat universal.

3.3 Sains Universal

Mudah kita pahami, saat ini, bahwa sains (dan teknologi) benarnya bersifat universal. Dan tentu kita boleh meragukannya. Resiko, meragukan sains, adalah dianggap sebagai tidak ilmiah.

Selama sains berhasil membatasi diri dalam proposisi matematika maka terjamin nilai kebenarannya, semisal teori Newton. Tetapi, ketika sains melangkah lebih luas dari proposisi matematika maka tidak ada jaminan berlaku universal. Paradoksnya, bila sains hanya sah secara matematis maka fenomena empiris tidak bisa dijelaskan oleh sains. Sains tidak punya hak lagi untuk klaim universal.

Karl Popper, filsuf sains abad 20, memberikan ide cerdik untuk falsifikasi kebenaran sains empiris. Kebenaran proposisi sains tidak bisa dibuktikan benar. Hanya bisa dibuktikan salah. Lalu disusun proposisi sains yang lebih bagus. Begitulah perkembangan sains. Kesalahan demi kesalahan membersihkan sains dari dugaan yang salah maka sains makin kuat.

Yang paling terkenal adalah proposisi, “Semua angsa berwarna putih.”

Pengamatan dari ratusan sampai ribuan angsa, semua berwarna putih. Dilanjutkaan pengamatan bertahun-tahun berlalu, semua angsa berwarna putih. Maka wajar bagi kita menyimpulkan bahwa semua angsa berwarna putih. Mudah kita cermati, proposisi ini tidak bersifat universal. Artinya sewaktu-waktu bisa saja kita menemukan angsa tidak berwarna putih.

Maka proposisi di atas tidak bisa kita buktikan kebenarannya. Berjuta-juta angsa yang kita periksa, misalnya, semua berwarna putih maka tetap tidak menjamin kebenarannya. Cara paling tepat adalah menganggap proposisi ini hanya berlaku untuk sementara. Sampai suatu saat ada bukti sebaliknya. Dan benar saja, ditemukan ada satu angsa berwarna hitam. Maka terbukti proposisi di atas salah. Berhasil difalsifikasi.

Pada bagian berikutnya kita akan mendiskusikan ide falsifikasi ini dibandingkan dengan ide induksi untuk mengembangkan sains.

Kritik lebih keras, terhadap sains, berasal dari Lyotard, sang tokoh posmodern. Nilai kebenaran sains hanya berbasis konsensus belaka. Lyotard tidak percaya kepada metanarasi yang “dipaksakan” oleh sains – modern. Lyotard merujuk dasar kritiknya ini kepada Immanuel Kant. Berbeda dengan Popper yang kritiknya justru menguatkan sains, kritik posmodern seakan-akan meruntuhkan sains dari landasan paling dasarnya. Kita juga akan membahas kritik ini pada bagian khusus berikutnya.

4. Cinta Cantik Universal

Pembahasan kita sejauh ini, tampaknya, mengarah kepada legitimasi sains. Yang selama ini, masyarakat modern menganggap sains selalu benar, nyatanya masih bisa kita pertanyakan keabsahannya. Sementara cantik dan cinta, yang sering dianggap sekedar subyektif dan tidak ilmiah, justru menguat status ontologisnya.

Cantik itu universal. Maka cantik itu abadi, seperti sudah kita bahas di bagian sebelumnya. Eksistensi cantik tidak di dunia materi dan tidak di dunia alam mental manusia tapi cantik ada di dunia universalia. Sementara kita perlu mempertimbangkan bahwa cantik hanyalah sebuah kata untuk menunjukkan cantik sejati yang kuantitasnya tak terbatas. Barangkali kita bisa mempertimbangkan beberapa istilah cantik, ayu, manis, anggun, menawan, dan sebagainya. Masing-masing mewakili realitas cantik dalam komposisi yang berbeda. Ada komposisi cantik tak terbatas di dunia universalia. Betapa indahnya hidup di dunia yang penuh kecantikan itu.

Tentang cinta, tidak ada keraguan bahwa cinta lebih utama dari dunia dan isinya. Cinta seperti apa yang dimaksud? Kita masih perlu membahas dulu pengetahuan intuitif, pada bagian selanjutnya, agar lebih memudahkan diskusinya.

5. Ringkasan

Kita memperoleh pengetahuan tentang universalia melalui: (A) pengenalan langsung, misal mengetahui persegi, (B) deskripsi, misal bangun datar dengan 4 sisi sama panjang yang berpotongan tegak lurus, (C) bukan (A) mau pun (B), misal melalui intuisi, pengetahuan inseptual, pengetahuan transenden, dan lain-lain.

Proses untuk mendapat pengetahuan adalah, pertama, pengamatan empiris. Kedua, membuat idealisasi sehingga berlaku secara universal. Dengan bantuan idealisasi matematika, saat ini, sains dan teknologi berkembang pesat berlaku universal. Kita bisa bersikap kritis terhadap klaim universal ini.

Cantik dan cinta adalah contoh universal. Kita mengenali cantik melalui intuisi. Proses lebih lengkap pengetahuan intuisi ini menjadi pembahasan kita selanjutnya.

6. Diskusi

Tiba saatnya, kita mendiskusikan bagaimana terbentuknya pengetahuan prinsip umum, pengetahuan tentang universalia paling mendasar – identitas, non-kontradiksi, dan hukum-antara. Barangkali, kita juga bisa mempertimbangkan penantang dari prinsip umum – non-identias, kontradiksi, dan intuisionisme.

6.1 Transendental

Salah satu sudut pandang menyatakan bahwa kita bisa memahami pengetahuan prinsip umum melalui argumen transendental. Kita memahaminya begitu saja, transendental, atau terlepas, dari setiap pengetahuan empiris. Justru, pengetahuan empiris bisa menjadi suatu pengetahuan, yang bermakna bagi manusia, lantaran ada pengetahuan prinsip umum yang transendental itu.

Lalu, bagaimana pengetahuan transendental itu bisa hadir dalam diri manusia?

Barangkali jawaban paling jelas adalah: pengetahuan transendental adalah anugerah dari Tuhan. Maka, kita perlu bersyukur atas anugerah yang besar ini. Atau, pengetahuan transendental adalah anugerah alamiah paling fundamental bagi manusia.

Di sisi lain, kita bisa membedakan argumen transendental dengan dunia transenden. Argumen transendental adalah sekedar argumen “yang terpisah” dari pengamatan empiris. Sementara, dunia transenden adalah sebuah dunia lain yang berbeda dengan dunia materi yang kita amati secara empiris ini.

Dengan pemahaman transendental seperti di atas, para pemikir empiris bisa menerima argumen transendental. Tetapi beberapa pemikir masih bersikeras menuntut argumen yang empiris-imanen pada dunia materi. Bagaimana pun, argumen transendental tetap layak kita terima sebagai sah meski pun kita menggunakan sudut pandang empiris materialis.

6.2 Empiris

Tidak ada yang misterius dari pengetahuan prinsip umum. Semua pengetahuan ini terbentuk dari pengalaman empiris. Kemudian, kita membuat generalisasi dan idealisasi, sedemikian hingga, pengetahuan ini selalu berlaku benar sebagai prinsip umum. Ketika masih bayi, kita tidak mengetahui bahwa meja “persegi” adalah identik dengan ubin “persegi.” Pengalaman empiris memberi tahu kita bahwa meja “persegi” adalah identik dengan ubin “persegi.” Semua terjadi secara alamiah empiris saja.

Bagaimana prinsip identitas seperti itu bisa berlaku lebih luas dari pengalaman empiris? Padahal, semua didasarkan pada pengalaman empiris.

Pengetahuan prinsip umum berlaku luas, dan universal, karena kita sudah melakukan generalisasi dan idealisasi. Tanpa idealisasi, kita tidak bisa memandang meja “persegi” identik dengan ubin “persegi.” Karena “persegi” adalah ideal maka kita bisa mengatakan semua “persegi” adalah identik.

Kita masih bisa bertanya bagaimana kita tahu bahwa idealisasi adalah valid? Prespektif empiris bisa memberi jawaban. Kemudian, kita bisa bertanya lagi “mengapa valid” dari setiap jawaban, tanpa ada akhir. Akibatnya, tidak akan ada solusi akhir. Dari sini, kita bisa memikirkan solusi sintesa: transendental-ke-empiris dan empiris-ke-transendental.

6.3 Transendental-ke-Empiris

Solusi sintesa pertama adalah trans-ke-empiris: pengetahuan prinsip umum itu, sejatinya, adalah transenden(tal) kemudian berkembang melalui pengalaman empiris. Kita sudah tahu, secara transenden, bahwa (P): Setiap persegi identik dengan persegi. Hanya saja, kita perlu pengalaman empiris untuk mengetahui bahwa meja adalah persegi dan ubin adalah persegi. Kemudian, kita menyadari bahwa mereka adalah persegi yang identik.

6.4 Empiris-ke-Transendental

Alternatif solusi sintesa kedua adalah dari empiris-ke-trans: semua pengetahuan adalah empiris, untuk kemudian, terbentuk pengetahuan transenden(tal). Awalnya, pengetahuan kita adalah kosong. Pengamatan empiris, kemudian, mengisi pengetahuan secara partikular. Melalui proses suatu penalaran, akhirnya berkembang, tercipta pengetahuan transendental yang melampaui batasan empiris.

Tentu saja, kita bisa menerima bahwa empiris dan transendental sama-sama berperan dalam pembentukan pengetahuan prinsip umum. Dan, transendental niscaya diperlukan untuk mencegah terjadinya regresi, mundur, tanpa batas. Bagaimana pun, sampai di sini, pertanyaan dasar masih tetap muncul, mana yang lebih prior di antara empiris dan transendental?

Pandangan eksistensialisme menjadi alternatif menarik.

6.5 Mode Being

Eksistensialisme memberi alternatif menarik bahwa “being” adalah anugerah yang sudah ada begitu adanya. Tugas kita, umat manusia, adalah memaknai being dan berpartisipasi dalam gerak harmonis wujud.

Pengetahuan prinsip umum adalah mode-being atau mode-wujud. Demikian juga, argumen transendental dan empirisme adalah sama-sama mode-being. Being membuka diri, menyingkapkan diri, disclosedness, openness, melalui beragam mode-being. Dengan demikian, transendental dan empirisme adalah merupakan satu kesatuan being. Meski, orang tertentu “terbuka” melalui mode-being transendental. Sementara, orang lain “terbuka” melalui mode-being empiris. Keduanya saling terhubung, bahkan, satu kesatuan being.

Lalu, bagaimana kita bisa tahu bahwa itu semua adalah keterbukaan mode wujud? Karena, itu semua adalah anugerah wujud.

Being adalah realitas yang jelas dengan dirinya sendiri semisal cahaya. Segala sesuatu butuh cahaya agar menjadi jelas. Argumen transendental menjadi jelas karena anugerah cahaya. Demikian juga, empirisme menjadi jelas karena anugerah cahaya. Tugas kita adalah memaknai, menginterpretasikan, dan berpartisipasi dalam cahaya.

Dengan sudut pandang itu, pandangan eksistensialis lebih dekat ke argumen transendental? Pemikir Timur tampak lebih dekat ke transendental. Cahaya Segala Cahaya adalah Tuhan yang memberi anugerah kepada segala yang ada. Sementara, pemikir Barat bisa saja lebih dekat dengan empirisme. Being adalah segala realitas yang ada di hadapan kita dengan keragaman mode-being terutama mode-empiris.

Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa pendekatan mode-wujud ini mampu menjelaskan terbentuknya pengetahuan prinsip umum. Yaitu, mereka semua adalah mode-wujud. Beres semua. Tidak juga. Manusia memang tidak akan beres. Manusia selalu dinamis.

Apa dasar dari semua wujud? Tidak ada! Void adalah tidak ada. Dengan demikian, void adalah dasar dari wujud, void lebih fundamental dari wujud. Benarkah?

6.6 Mode Void

Memikirkan void sebagai sesuatu yang utama, tampak, sia-sia. Void adalah ketiadaan. Void adalah hampa. Void adalah kosong. Void memang tidak ada. Tetapi, karena being tidak bersandar ke yang lain, maka, being bersandar ke void. Akibatnya, void memiliki peran besar secara ontologis.

Kembali ke problem pengetahuan prinsip umum, apakah mereka muncul berdasar kepada void? Ya, benar, menurut pandangan void sebagai ontologi fundamental. Bagaimana, misalnya, void bisa menjadi dasar prinsip identitas? Di sini, justru karakter menarik dari void. Karena void adalah hampa maka void bebas, tidak bisa diikat apa pun.

Void bebas membentuk prinsip identitas – bila void mau. Void bisa menjaga karakter identik dari suatu proposisi, logika, atau pun realitas. Tetapi, void juga bebas membentuk prinsip different, atau non-identitas. Void selalu menolak identitas. Karena, void memang menolak segalanya. Dengan demikian, void mampu mengakomodasi pengetahuan prinisp umum atau pun penantangnya, misal prinsip different.

Lebih luas, void bebas merangkul kontradiksi dan non-kontradiksi. Termasuk, void juga bisa merangkul hukum-antara (law of excluded the middle) mau pun intuisionisme. Intinya, void memang bebas.

Tetapi, apa artinya jika semua bebas? Bebas total tanpa batas, sama artinya, tidak ada aturan sama sekali. Pengetahuan menjadi bukan pengetahuan karena semua chaos.

Pengetahuan tetap valid sebagai pengetahuan dari sudut pandang void. Prinsip umum tetap valid sebagai prinsip umum. Hanya saja, pengetahuan bersifat retroaktif bukan metafisik. Klaim metafisik berani menyatakan bahwa pengetahuannya benar secara universal. Sementara, retroaktif hanya berani klaim secara retroaktif – refleksi terhadap realitas yang ada dan masa lalu. Terhadap klaim masa depan, retroaktif tidak bisa klaim secara niscaya karena void adalah bebas. Masa depan adalah bebas.

Void tidak mengijinkan klaim dogmatis. Void hanya mengijinkan sikap terbuka terhadap realitas.

Bagaimana void bisa menjelaskan keragaman realitas? Void itu sendiri beragam maka realitas ikut beragam. Kita bisa membayangkan bilangan bulat positif 1, 2, 3, dan seterusnya sebagai being. Sementara, bilangan negatif adalah tidak ada atau ketiadaan atau void. Dengan cara pandang ini, void memang beragam seperti bilangan negatif -1, -2, -3, dan seterusnya. Bukankah eksistensi keragaman void seperti itu menunjukkan bahwa mereka adalah being? Keragaman void adalah eksis? Saya kira mode-void mengalami kesulitan untuk mejelaskan problem keragaman ini.

Keunggulan lain lagi dari void adalah bersifat manusiawi. Hanya manusia otentik yang peduli dengan void. Gerombolan manusia hanya memikirkan mencari uang, menumpuk kekayaan, mengejar makanan dan nafsu belaka. Gerombolan itu tidak pernah serius memikirkan void. Tetapi, manusia otentik memikirkan void. Mengapa tidak ada keadilan? Mengapa tidak ada kesejahteraan bagi rakyat miskin? Mengapa, pada akhirnya, manusia mati, menjadi tiada? Mengapa void?

Bahkan, pembeda manusia dan binatang adalah tingkat kesungguhan mereka peduli kepada void. Binatang lapar maka mencari makan. Manusia bisa sama, lapar maka mencari makan. Lebih lanjut, manusia otentik akan bergerak pikirannya dari makan ke void: bagaimana dengan rakyat kecil yang “tidak ada” makanan? Peduli, resah, dan gelisah adalah sikap yang wajar bagi manusia otentik ketika mereka berhadapan dengan void.

Dengan demikian, apakah void menjadi perspektif paling unggul? Menariknya, jika semua istilah “void” kita ganti dengan istilah “being” maka kita akan mengubah mode-void menjadi mode-being. Akibatnya, prespektif void menjadi selaras dengan eksistensialisme. Dan, puncaknya, void murni adalah tunggal. Sementara, being murni juga tunggal. Mereka sama-sama tunggal. Tanda tanya besar tetap ada di hadapan kita.

6.7 Irreducible

Pembahasan kita sejauh ini, mengantarkan kita kepada karakter “irreducible” dari realitas. Argumen transendental tidak bisa direduksi menjadi empiris. Sebaliknya juga sama, empiris tidak bisa direduksi menjadi transendental. Jika kita memaksa untuk mereduksi mereka, maka, kita akan menemukan hasil reduksi yang kaya: sederhana adalah segalanya.

Misal, kita memilih reduksi realitas menjadi materi empiris. Maka materi tersebut adalah materi yang kaya. Bukan sekedar materi yang tersusun oleh atom-atom atau pun partikel quantum. Tetapi, materi super kaya. Yaitu, materi yang punya kemampuan melihat berupa organ mata. Materi yang bisa berpikir yaitu otak. Materi misterius yang punya kesadaran sebagai subyek yaitu saya.

Sebaliknya, kita bisa mereduksi realitas menjadi transendental, misal, berupa spirit. Maka, kita akan memperoleh spirit yang sangat kaya. Bukan sekedar spirit yang punya pengetahuan dan kesadaran. Tetapi, spirit yang mampu menggerakkan materi tangan. Spirit yang mampu mengendalikan laju sepeda. Spirit yang mampu mengolah lahan pertanian. Spirit yang punya badan manusia yaitu badan kita.

Saya mengusulkan perspektif filosofi roda tiga yang terus menerus berputar.

(1) realitas adalah ruang temu: barzakh atau being,
(2) empiris: pengetahuan adalah materi yang perlu sandaran transendental,
(3) transendental: pengetahuan transendental perlu konten nyata realitas, kembali ke (1)

Pengetahuan kita, termasuk pengetahuan prinsip umum, selalu bergerak siklus berputar sesuai filosofi roda tiga di atas. Pengetahuan yang berhenti berputar akan terjebak menjadi klaim dogmatis. Sementara, kita membutuhkan pengetahuan yang dinamis untuk terus bergerak maju.

Demikian juga, perspektif being dan void bisa kita baca dengan filosofi roda tiga. Perlu kita ingat bahwa being tidak bisa direduksi menjadi void. Reduksi sebaliknya juga tidak bisa. Kecuali, kita menerima hasil reduksi yang kaya: sederhana adalah segalanya.

(1) realitas adalah barzakh atau being,
(2) being adalah yang paling nyata “tidak ada” dasar,
(3) void adalah hampa yang perlu konten nyata, kembali (1),

Pengetahuan kita memang terus berputar. Tidak pernah berhenti. Selalu bergerak maju. Sampai kapan pun terus maju. Bahkan, jika sudah tidak ada waktu, gerak berputar ini bertekad untuk menciptakan waktu. Akankah berhasil? Waktu yang akan menjadi saksi.

Lanjut ke Pengetahuan Intuisi Cinta
Kembali ke Philosphy of Love

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

5 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: