Pengetahuan, Kesesatan, dan Opini

Pengetahuan, khususnya sains dan teknologi, kini, sedang mencapai masa kejayaan. Ledakan teknologi digital merambah ke seluruh dunia. Apakah itu kabar baik? Kabar baik bagi yang diuntungkan. Atau, bagi yang sengaja mengeruk keuntungan. Tetapi, bisa jadi kabar buruk bagi mereka yang dipinggirkan. Bukankah seharusnya pengetahuan menjadi kabar baik bagi seluruh umat manusia? Benar. Namun, pengetahuan bisa terperosok ke kesesatan. Yang membawa manusia ke lembah bencana.

Pengetahuan cinta dan cantik berbeda dengan pengetahuan sains dan teknologi. Pengetahuan cinta, umumnya, selalu bersifat baik. Bahkan kebaikan hidup di alam semesta ini berkah dari cinta. Begitu juga pemandangan alam semesta, sudah cantik alami, memancarkan cinta. Dari dulu kala.

1. Definisi Pengetahuan
2. Pengetahuan Aksiomatik selalu Benar
2.1 Matematika
2.2 Agama
2.3 Moral
2.4 Manfaat Aksioma
3. Pengetahuan Empiris Probabilistik
3.1 Falsifikasi Empiris
3.2 Induksi vs Falsifikasi
4. Pengetahuan Agama selalu Benar
4.1 Interpretasi
4.2 Silogisme Valid
4.3 Perangkap Falasi
5. Pengetahuan Cinta
5.1 Karakter Cinta
5.2 Inspirasi Cinta
6. Opini: Pengetahuan Diharapkan Benar
6.1 Opini Probabilistik
6.2 Hilal Awal Bulan
6.3 Pengembangan Pengetahuan
6.4 Pseudo-sains atau Sains Palsu
7. Ringkasan
8. Diskusi
8.1 Teori Evolusi
8.2 Evolusi Kreatif
8.3 Intelligent Design
8.4 Extended
8.5 Opini

Pada bagian ini, kita akan membahas pengetahuan lengkap dengan bayangan hitamnya berupa kesesatan yang diiringi samar-samar harapan yaitu opini. Dengan mencermatinya, kita berharap bisa terus mendorong kemajuan pengetahuan. Bab ini mengkaji pengetahuan sebagai sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Berbeda dengan pembahasan sebelum-sebelumnya, yang, mengkaji pengetahuan sebagai pengetahuan sederhana, pengamatan, pengalaman, atau pernyataan.

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah susunan dari kebenaran-kebenaran. Dengan susunan yang rapi maka kita lebih mudah untuk memahami kebenaran. Dan memungkinkan dilahirkan kebenaran-kebenaran baru. Sehingga, ilmu mempunyai karakter untuk terus mengembangkan diri. Sebagaimana pernah kita bahas, kebenaran-kebenaran meliputi kebenaran aksiomatik, yang terjamin selalu benar, dan kebenaran probabilistik, yang diharapkan bernilai benar.

Kesesatan adalah pengetahuan, yang pada analisis akhir, bukan kebenaran. Kesesatan mirip dengan pengetahuan tetapi sejatinya bukan pengetahuan. Misal, contoh kesesatan, “Rahasia Ilmu Menggandakan Uang.” Sudah pasti itu kesesatan. Ilmu menggandakan uang sudah pasti tidak benar. Pertama, bila berhasil menggandakan uang dengan nomor seri sama persis dengan uang yang sudah ada maka bersalah melanggar hukum, aspek legal. Kedua, bila berhasil menggandakan uang dengan nomor seri yang baru maka itu uang palsu yang melanggar hukum, aspek legal. Ketiga, bila tidak berhasil menggandakan uang maka itu kebohongan yang nyata.

Opini adalah pengetahuan yang kebenarannya di tengah-tengah. Level keyakinan sekitar 50%. Opini mungkin saja benar dan mungkin saja salah. Tetapi opini diformulasikan dengan cara yang sama valid sebagaimana ilmu pengetahuan.

Kita akan lebih banyak membahas pengetahuan dan beberapa bagian opini. Sedangkan kesesatan tidak kita bahas secara langsung. Karena kesesatan bisa kita kenali dengan cara mengenali pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang menyeleweng dari kebenaran itulah kesesatan.

2. Pengetahuan Aksiomatik selalu Benar

Wajar saja bila kita menghendaki pengetahuan yang bersifat pasti benar. Dengan jaminan pasti benar maka kita bisa meyakini sepenuhnya. Dan, untungnya, memang ada pengetahuan yang selalu bernilai benar, yaitu pengetahuan aksiomatik. Contoh paling nyata pengetahuan aksiomatik adalah matematika, selalu benar.

Proses pengembangan pengetahuan aksiomatik, salah satu caranya, adalah dengan metode deduksi. Yaitu dari premis-premis dasar yang teruji kebenarannya kemudian ditarik kesimpulan spesifik yang dijamin bernilai benar. Metode yang paling terkenal adalah deduksi dengan metode silogisme.

2.1 Matematika

Misal sudah terbukti bahwa,

A : Setiap bilangan ganjil ditambah 5 maka menghasilkan bilangan genap.

Manusia dengan bantuan teknologi dan komputer makin canggih dalam melakukan perhitungan. Maka bilangan prima terbesar, yang ditemukan manusia, makin bertambah besar. Misalkan bilangan prima tersebut adalah P. Saat ini, tahun 2020, bilangan P terdiri lebih dari 23 juta digit angka. Barangkali tahun 2030 bilangan P terdiri dari 24 juta digit angka. Belum ada yang tahu. Tetapi, dengan deduksi kita bisa memastikan pengetahuan aksiomatik C berikut bernilai benar.

C: Jika P adalah bilangan prima terbesar yang ditemukan pada tahun 2050 maka P ditambah 5 menghasilkan bilangan genap.

Perhatikan kemampuan pengetahuan aksiomatik untuk mengantisipasi kejadian sampai tahun 2050 dan dipastikan benar. Bahkan, saat ini, kita tidak tahu berapakah bilangan P yang ditemukan pada tahun 2050 itu. Tetapi metode deduksi menjamin pengetahuan kita bernilai benar. Silogisme deduksi ini sudah dirumuskan dengan jelas lebih dari 2000 tahun yang lampau misal pada jaman Aristoteles.

A: Setiap bilangan ganjil ditambah 5 maka menghasilkan bilangan genap.
B: P yang merupakan bilangan prima terbesar adalah bilangan ganjil.

Kesimpulan
C: P yang merupakan bilangan ganjil bila ditambah 5 maka menghasilkan bilangan genap. (Sah dan pasti benar).

2.2 Agama

Pengetahuan agama juga merupakan pengetahuan aksiomatik yang selalu benar, sejauh referensi disepakati. Demikian juga dengan pengetahuan moral, legal, konsensus, dan lain-lain merupakan pengetahuan aksiomatik sejauh referensi disepakati.

A: Setiap orang yang beriman masuk surga.
B: Orang yang beramal adalah termasuk orang yang beriman.

Maka kesimpulan,
C: Orang yang beramal, pasti, masuk surga. (Benar dan sah).

Dengan asumsi bahwa premis A dan B, di atas, adalah benar maka silogisme untuk menarik kesimpulan bernilai sah dan menghasilkan kesimpulan yang benar. Pengetahuan deduktif dalam bidang agama ini dijamin selalu benar. Meski terjamin kita perlu hati-hati dalam menerapkan untuk realitas sehari-hari. Ketka kita hendak menilai seseorang sebagai “orang yang beriman” maka melibatkan proses penilaian intuitif praxis yang tidak terjamin kebenarannya. Artinya, pernyataan “Pak Eko adalah orang yang beramal,” nilai kebenarannya tidak terjamin. Bisa benar, bisa juga salah. Karena pernyataan tersebut bersifat partikular khusus berkenaan kepada kasus Pak Eko.

2.3 Moral

Etika atau sistem moral bisa kita pandang sebagai sistem pengetahuan aksiomatik yang selalu bernilai benar. Misal perilaku “menghormati ibu” adalah perilaku moral yang selalu bernilai benar. Dengan logika deduksi maka kita bisa mengembangkan sistem moral yang lebih luas.

2.4 Manfaat Aksioma

Kembali bisa kita tegaskan bahwa pengetahuan yang dikembangkan dengan metode deduksi membentuk pengetahuan aksiomatik yang terjamin bernilai selalu benar. Barangkali satu contoh lagi akan memperjelas kepastian kebenaran aksiomatik. Diadakan penelitian kepada seluruh gajah yang ada di seluruh kebon binatang di pulau Jawa. Diperoleh hasil berikut.

A: Semua gajah berkaki empat.
B: Bonita adalah salah satu gajah.

Kesimpulan,
C: Bonita berkaki empat. (Sah dan benar)

Pertanyaan selanjutnya bukan terhadap nilai kebenaran pengetahuan aksiomatik yang selalu benar. Tetapi manfaat pengetahuan aksiomatik diragukan. Misal pada contoh “Bonita adalah salah satu gajah” sudah terkandung informasi jelas bahwa dia adalah gajah yang berkaki empat. Maka tidak ada manfaatnya mengembangkan pengetahuan deduktif semacam itu. Lebih absurd lagi adalah ketika kita melakukan penelitian dan menunjukkan “Semua gajah berkaki empat” maka dalam pernyataan itu sudah terkandung bahwa Bonita berkaki empat.

Benar adanya bahwa pada contoh kasus si gajah Bonita memang pengetahuan aksiomatik secara deduktif tidak menambah manfaat. Tetapi pada kasus yang lain, pengetahuan aksiomatik melalui deduktif banyak bermanfaat. Misalnya bahwa bilangan prima terbesar P pasti tidak genap. Baik pada tahun 2050 atau tahun 3000 nanti tetap benar. Maka pengetahuan aksiomatik ini berguna untuk menguji apakah P benar-benar prima atau tidak prima, karena genap.

Lebih dari itu, ilmu matematika berkembang pesat berdasar sistem aksiomatik, dan jelas, memberi manfaat yang besar bagi perkembangan sains, teknologi, serta peradaban manusia secara umum. Aksioma bermanfaat besar menjadi dasar bagi setiap pengembangan pengetahuan. Meski, pada akhirnya, sistem aksioma tidak lagi murni aksiomatik, tetapi, berkolaborasi dengan sistem praktis dan, bahkan, dengan seni sehingga memberi manfaat lebih nyata.

Pada kajian lebih mendalam, meski pengetahuan aksiomatik selalu bernilai benar, tetapi kita akan menemukan paradoks sesuai teorema Godel. Setiap sistem aksiomatik tidak konsisten atau tidak lengkap. Bagaimana pun, paradoks ini terjadi hanya pada kasus terbatas. Sehingga, kita tetap bisa mengandalkan sistem aksiomatik dengan baik. Tentu, perlu dilengkapi dengan sikap berpikir terbuka. Sehingga, selalu ada dinamika dalam sistem aksioma.

3. Pengetahuan Empiris Probabilistik

Era modern mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan empiris yang kebenarannya bersifat probabilistik. Dengan kesadaran bahwa kebenaran ini bersifat sementara, maka sains dan teknologi terus bergerak maju untuk berinovasi. Bertrand Russell percaya bahwa perkembangan sains melalui metode induksi. Sementara Karl Popper, menolak induksi dengan mengajukan falsifikasi. Meski mereka sama-sama hidup di pertengahan abad 20, tampaknya mereka tidak menemukan kata sepakat. Bagaimana pun, semua pemikir serius, pasti menerima kebenaran universal dari pengetahuan aksiomatik melalui deduksi. (Derrida bisa sedikit kita kecualikan karena ide dekonstruksi diterapkan pada konteks yang berbeda).

Aristoteles, lebih dari 2000 tahun lalu, menekankan pentingnya empirisme. Ibnu Sina, 1000 tahun yang lalu, juga menguatkan peran empirisme. Bahkan Francis Bacon, 500 tahun lalu, berkeinginan kuat untuk merumuskan empirisme. Tapi dunia perlu filsuf besar Descartes serta Copernicus, disusul oleh Newton dan kawan-kawan untuk memantapkan fundamental empirisme sains modern – dan teknologi. Kebenaran empiris, yang tidak terjamin itu, justru menjadi keunggulan: inovasi tiada henti.

Berpikir induksi adalah jantung dari sains empiris, menurut Russell. Ketika kita melihat buah apel jatuh dari pohon maka terpikir semua benda yang dilepas dari atas akan jatuh menuju bawah. Dari satu pengamatan “berinduksi” ke seluruh kejadian umum, semua benda jatuh ke bawah. Tetapi pengamatan itu saja tidak cukup, seperti kita bahas pada bagian sebelumnya, kita perlu menemukan kausalitas, hukum sebab-akibat. Benda jatuh adalah sekedar akibat. Penyebabnya adalah gravitasi bumi.

Newton melangkah lebih jauh dengan menciptakan rumus matematika untuk benda jatuh. Hal ini berbeda dengan Aristoteles, Ibnu Sina, mau pun Bacon. Formula matematika yang digunakan Newton menguatkan pengetahuan empiris menjadi pengetahuan eksak. Menjadi ilmu pasti yang nilai kebenarannya juga pasti benar. Meski di era Newton, abad 17, kita bisa meragukan sifat pasti dari ilmu pasti, tetapi di abad 21 ini, ilmu pasti sudah diasumsikan bersifat pasti.

Dengan pembulatan percepatan gravitasi g = 10 (m/s^2) kita bisa memastikan kecepatan benda yang jatuh bebas dari atas.

kecepatan = 10 x waktu

waktu (detik) maka kecepatan (meter/detik)

0 maka kecepatan = 0
1 maka kecepatan = 10
2 maka kecepatan = 20

Jika ada hasil pengukuran yang berbeda dari perhitungan di atas maka kita perlu mencari gangguan-gangguan, bukan meragukan formula Newton. Dan benar saja, gangguan-gangguan tersebut bisa ditemukan misal gesekan udara. Maka formula Newton tetap berlaku sebagai ilmu pasti, dengan melengkapi gangguan gesekan udara.

Terbukti cara mengembangkan pengetahuan di atas, melalui induksi dilengkapi dengan fomula matematika, maju pesat. Peradaban manusia masuk ke era industri dengan pembangungan pabrik industri besar-besaran di seluruh dunia. Masih dengan pendekatan yang serupa peradaban manusia masuk ke era informasi, seperti yang kita alami dengan merebaknya dunia digital saat ini lengkap dengan media sosial dan simulakra.

Metode induksi, bisa kita ringkas, terdiri dari perumusan masalah dan hipotesa, pengujian empiris terbatas, dan menarik kesimpulan umum. Metode induksi di atas menjadi makin kuat bila kita lengkapi dengan formula matematika yang berlaku universal. Sehingga klaim sebagai ilmu pasti menjadi kuat. Tetapi bisa kita tegaskan, sekuat apa pun klaim ilmu pasti itu maka tetap kebenarannya bernilai probabilistik, tidak 100% benar, karena melibatkan kasus partikular.

3.1 Falsifikasi Empiris

Karl Popper, filsuf abad 20, menolak klaim metode induksi. Popper mengusulkan falsifikasi. Kebenaran empiris tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara universal. Tetapi kita bisa menunjukkan letak kesalahan proposisi empiris untuk kemudian berpegang kepada proposisi yang lebih kuat. Lagi pula para ilmuwan tidak menemukan ide melalui induksi. Ide bisa muncul begitu saja melalui intuisi. Kadang ide muncul dalam mimpi. Kadang juga muncul dari respon terhadap pengetahuan yang sudah ada.

Langkah falsifikasi bisa kita rumuskan dengan menyusun hipotesa (atau teori), men-deduksi dari hipotesa suatu proposisi empiris, menguji secara empiris, menarik kesimpulan. Yang menarik dari falsifikasi adalah tujuan dari pengujian empiris, yaitu untuk menolak hipotesa. Artinya jika pengujian empiris itu berhasil maka kesimpulannya adalah hipotesa ditolak. Tetapi jika pengujian itu gagal maka kesimpulannya adalah hipotesa (teori) diterima – untuk waktu itu. Berbeda dengan induksi, di mana pengujian empiris, digunakan untuk memperkuat hipotesa (teori) bila pengujian berhasil. Falsifikasi justru dengan sengaja merancang eksperimen untuk menolak hipotesa.

Kita bisa mencoba menaganalisis teori gerak Newton. Kecepatan total adalah kecepatan orang pertama ditambah (dikurangi) dengan kecepatan orang kedua, sesuai teori relativitas Newton (dan Galileo).

Adi mengendarai mobil ke utara dengan kecepatan 40 km/jam.
Budi mengendarai motor ke selatan dengan kecepatan 30 km/jam.

Maka kecepatan total antara Adi dan Budi adalah 40 + 30 = 70 km/jam.

Eksperimen menunjukkan kebenaran hipotesa di atas. Secara berulang-ulang konsisten benar. Maka, melalui induksi, terbukti kecepatan total adalah penjumlahan dari masing-masing kecepatan. Teori realtivitas Newton benar.

Enstein mencoba mencari kejadian-kejadian yang menjadikan teori Newton salah, falsifikasi. Enstein mulai dengan eksperimen pikiran. Adi dan Budi bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya c.

Adi mengendarai mobil dengan kecepatan 0,7 c ke utara.
Budi mengendarai motor dengan kecepatan 0,5 c ke selatan.

Maka kecepatan total mereka, antara Adi dan Budi, adalah 0,7 + 0,5 = 1,2 c. (Salah). Tidak mungkin ada kecepatan gerak yang lebih besar dari kecepatan cahaya. Teori relativitas Newton berhasil dibuktikan salah, berhasil difalsifikasi. Kesimpulannya adalah relativitas Newton tidak berlaku umum. Hanya berlaku pada kasus khusus yaitu bila kecepatan gerak jauh di bawah kecepatan cahaya. Itu pun berlaku hanya sebagai estimasi. Kita memerlukan teori relativitas yang baru yaitu relativitas Einstein. Yang saat ini dianggap benar.

Apakah teori relativitas Einstein pasti benar? Tidak juga. Dengan perspektif falsifikasi, relativitas Einstein dianggap benar karena belum terbukti salah. Bila suatu saat terbukti salah maka teori itu perlu direvisi untuk mendapatkan teori yang lebih valid lagi. Memang begitulah karakteristik sains, berubah, diperbaiki untuk mendapatkan teori yang lebih baik.

3.2 Induksi vs Falsifikasi

Mana yang lebih baik, induksi atau falsfikasi? Sebagian besar ilmuwan mendukung pendekatan induksi, semisal Russell. Tetapi Karl Popper lebih mendukung falsifikasi. Tampaknya, secara umum lebih ringan memilih induksi yang berkonotasi menemukan pengetahuan baru. Sedangkan falsifikasi, tampaknya, justru mencari-cari kesalahan dari suatu teori. Nyatanya, kita memerlukan keduanya. Induksi untuk memotivasi inovasi-inovasi baru. Sementara falsifikasi menjamin langkah-langkah inovasi sudah sesuai jalur.

Dalam statistik, kita mengenal uji hipotesis, yang mengakomodasi induksi mau pun falsifikasi. Saya akan menggunakan istilah tesis dan antitesis, agar lebih mirip dialektika Hegel dan menjaga tetap membahas konsep bukan angka-angka. Misal kita hendak membuktikan bahwa,

Tesis: Semua presiden Indonesia adalah orang cerdas.

Secara induksi kita perlu menguji beberapa presiden Indonesia dan memastikan bahwa mereka adalah orang yang cerdas. Sebut saja kita berhasil menguji 5 presiden Indonesia dan semuanya memang cerdas. Maka kita berkesimpulan benar, bahwa, semua presiden Indonesia adalah orang yang cerdas.

Metode di atas mudah diragukan, bagaimana dengan presiden ke 6?

Maka statistik memberi ide menarik dengan cara merumuskan antitesis.

Antitesis: Ada presiden Indonesia yang bukan orang cerdas.

Dengan meneliti 5 presiden maka kita akan mem-falsifikasi tesis. Kita ingin menemukan dari 5 presiden itu ada yang tidak cerdas, sesuai antitesis. Ternyata kita gagal, kita tidak berhasil menemukan ada presiden yang tidak cerdas. Jadi kita gagal membuktikan “antitesis: Ada Presiden Indonesia yang bukan orang cerdas.” Akibatnya, sampai sejauh ini, kita harus menerima “tesis: Semua presiden Indonesia adalah orang cerdas.

Meskipun kedua metode, induksi dan falsifikasi, memberi kesimpulan yang sama tetapi spiritnya berbeda. Induksi, seakan-akan, berhasil membuktikan bahwa semua presiden Indonesia adalah orang cerdas. Sedangkan falsifikasi, lebih rendah hati, sejauh ini tidak berhasil membuktikan ada presiden yang tidak cerdas, maka semua presiden adalah cerdas.

Disayangkan bahwa banyak orang lebih mudah terpengaruh dengan ide-ide induksi. Kurang mendalami falsifikasi. Hal ini bisa berakibat kepada sikap berlebihan dalam membela suatu ide.

Sejatinya, dalam kehidupan nyata, hakim lebih sering memanfaatkan falsifikasi. Dakwaan: Menteri melakukan korupsi. Maka hakim akan mengatakan bahwa terbukti menteri melakukan korupsi maka dihukum setimpal. Atau, alternatifnya, hakim mengatakan bahwa tidak terbukti menteri melakukan korupsi sehingga terbebas dari semua tuntutan.

Dalam hal menteri terbebas dari hukuman, para pendukung mengklaim bahwa menteri terbukti tidak korupsi. Tidak begitu sejatinya. Yang benar, menteri hanya tidak terbukti telah korupsi, untuk kasus tersebut. Hakim hanya mem-falsifikasi dakwaan. Hanya menolak dakwaan. Tidak membuktikan kebersihan diri menteri.

Perlu tetap kita ingat, baik induksi mau pun falsifikasi, menghasilkan pengetahuan probabilistik. Di mana, nilai kebenarannya tidak. terjamin, benar 100%. Tetapi, secara terus-menerus bisa direvisi untuk menghasilkan pengetahuan yang lebih bagus. Statistik menyediakan konsep confindence-level dan confindence-interval yang, dengan baik, mengakomodasi pengetahuan probabilistik.

4. Pengetahuan Agama selalu Benar

Kita sudah sebutkan di atas bahwa pengetahuan agama bersifat aksiomatik sehingga terjamin benar 100%. Untuk menjamin kebenarannya, kita perlu memastikan bahwa premis-premis bernilai benar dan proses mengambil kesimpulan juga sah.

Pengetahuan agama bisa terus kita kembangkan dengan menguji premis-premis yang sudah ada dengan tantangan jaman yang baru. Atau bisa juga, dengan cara, kita mengembangkan premis-premis baru tentang pengetahuan agama. Misalnya aturan berbisnis melalui teknologi internet akan menghasilkan pengetahuan agama yang baru. Karena ketika pengetahuan agama dirumuskan, beberapa ratus tahun yang lalu, belum ada teknologi internet. Sedangkan saat ini, umat beragama harus berbisnis menggunakan teknologi internet. Dan masih banyak lagi, pengetahuan agama yang kita perlukan, dalam menghadapi tantangan jaman.

4.1 Interpretasi

Keunggulan dari ajaran agama adalah selalu mampu beradaptasi sepanjang jaman. Untuk bisa beradaptasi dengan lincah, ajaran agama kerap tertuang dalam bentuk bahasa simbolis. Sehingga, umat beragama mampu mengambil inspirasi dari ajaran agama kapan pun dan di mana pun.

Bagaimana pun, inspirasi dinamis ini melibatkan interpretasi dalam kadar sedikit atau banyak. Kelak, inspirasi ini bisa menjadi premis dalam sistem aksiomatik yang menghasilkan kebenaran agama selalu bernilai benar. Meski demikian, kita sadar bahwa interpretasi terbuka dengan peluang keragaman interpretasi. Pada gilirannya, ajaran agama mampu terus bergerak dinamis dengan kesadaran tersebut.

4.2 Silogisme Valid

Berikutnya, deduksi silogisme dapat kita gunakan secara valid untuk beragam pengembangan pengetahuan. Perkembangan logika, termasuk silogisme, saat ini, sudah sangat canggih. Dengan rangkaian logika, kita dapat menyederhanakan setiap sistem logika menjadi operasi paling dasar. Di sini, perlu kita tegaskan bahwa bentuk silogisme paling sederhana dan mudah adalah bentuk implikasi.

(A) JIKA membaca kitab suci MAKA bahagia.

Dengan asumsi premis (A) bernilai benar maka hanya ada dua kemungkinan kesimpulan yang sah atau valid.

(B) membaca kitab suci, kesimpulan: bahagia.

(C) TIDAK bahagia, kesimpulan: (akibat dari dia) TIDAK membaca kitab suci.

Sedangkan kesimpulan (D) dan (E) berikut adalah tidak sah dan kita sebut sebagai falasi dari sisi formal.

4.3 Perangkap Falasi

Kesalahan berpikir, kesalahan menarik kesimpulan, biasa kita sebut sebagai falasi terjadi dalam sisi formal dan informal.

(D) TIDAK membaca kitab suci, kesimpulan: TIDAK bahagia.

Kesimpulan (D) tidak sah. Kita tidak bisa memastikan seseorang sebagai TIDAK bahagia karena TIDAK membaca kitab suci. Karena orang tersebut bisa saja bahagia dengan membaca doa yang sudah dihafalkannya atau bahagia karena beramal baik.

(E) Bahagia, kesimpulan: TIDAK membaca kitab suci.

Kesimpulan (E) tidak sah. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan dari orang yang “bahagia.” Karena orang bahagia bisa disebabkan oleh bacaan kitab suci atau lainnya.

Kedua tipe falasi di atas, jenis (D) dan (E), perlu diwaspadai. Karena falasi semacam ini kadang-kadang halus sekali sehingga tidak disadari banyak orang.

Sementara, falasi informal, mestinya, lebih mudah kita kenali. Umumnya, falasi informal merupakan akibat dari interpretasi dogmatis atau penetapan premis yang ceroboh. Dengan berpikir terbuka, kita bisa mengatasi falasi ini.

5. Pengetahuan Cinta

Cinta selalu benar. Pengetahuan cinta juga selalu benar sejauh pengetahuan tersebut adalah pengetahuan sederhana. Ketika kita jatuh cinta, kita tahu sedang jatuh cinta maka pengetahuan tersebut bernilai benar. Tetapi, pada bagian ini, kita mengkaji sistem pengetahuan cinta. Bagaimana kebenaran dari sistem pengetahuan cinta?

5.1 Karakter Cinta

Pertama, kebenaran cinta adalah kebenaran kreatif. Cinta menjadi benar karena kita menciptakan atau menghadirkan cinta tersebut. Untuk menghadirkan cinta banyak faktor berpengaruh: pemahaman, imajinasi, akal, memori, materi, dan lain-lain. Faktor-faktor ini berinteraksi dengan cara bebas tidak deterministik. Akibatnya, formula cinta adalah unik. Tidak ada satu formula tunggal tentang cinta yang berlaku umum. Meski, cinta itu sendiri universal.

Kedua, cinta adalah pengalaman yang indah, kompleks, dan transendental. Tanpa mengalami, seseorang, tidak akan memahami cinta dengan baik. Sehingga sistem pengetahuan cinta, bila ada, akan berbeda jauh dengan pengalaman cinta. Kita perlu merasakan cinta. Sedangkan, sistem pengetahuan cinta akan menjadi asbtraksi yang berbeda dengan rasa.

Ketiga, sejauh ini, tidak ditemukan metode deduksi atau induksi cinta. Barangkali, memang tidak akan pernah ada deduksi cinta atau silogisme cinta. Karena, cinta melibatkan kebebasan atau freedom. Tidak ada kepastian tentang freedom yang bebas itu.

Dengan mempertimbangkan karakter-karakter cinta di atas, maka, kita tidak akan berhasil menyusun sistem pengetahuan cinta. Tetapi, bukankah kita justru memerlukan pedoman pengetahuan cinta? Bukankah cinta sangat penting? Bukankah cinta berpotensi ada bencana?

Benar! Kita membutuhkan sistem pengetahuan cinta.

5.2 Inspirasi Cinta

Karena pengetahuan cinta tidak akan berhasil menjadi sistem pengetahuan, maka, pengetahuan itu hanya bisa menjadi inspirasi cinta. Yaitu suatu pengetahuan yang menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk jatuh cinta, merawat cinta, dan bersinar bersama cinta.

Inspirasi cinta menjadi makin penting lagi karena karakternya yang bebas, unik, dan dinamis. Untuk mahir dalam cinta, kita tidak cukup hanya dengan membaca satu buku inspirasi cinta. Barangkali, perlu dua buku sampai sembilan buku inspirasi cinta. Lebih dari itu, kita perlu mengalami cinta untuk bisa jatuh cinta. Cinta kepada sesama, cinta kepada semesta, dan cinta kepada Maha Cinta.

Sebagai catatan, pengetahuan tentang yang cantik memiliki karakter yang mirip dengan pengetahuan cinta. Sehingga, sistem pengetahuan tentang cantik dan cinta adalah sebentuk inspirasi cinta.

6. Opini: Pengetahuan Diharapkan Benar

Sebagaimana kita sebutkan sebelumnya, opini adalah sebentuk pengetahuan, yang nilai kebenarannya, diharapkan bernilai benar. Kita bisa memposisikan opini sebagai pelopor pengetahuan. Di mana, opini mendorong masyarakat untuk membuktikan kebenaran – atau kesalahannya. Sehingga peran opini mirip dengan peran hipotesis. Perbedaanya adalah opini sudah dikaji, sedemikian hingga, diharapkan akan bernilai benar.

Dalam situasi tertentu, kita hanya bisa membentuk opini, tanpa pernah berhasil mendapatkan pengetahuan yang pasti. Sehingga opini, dalam kasus seperti ini, menempati posisi selayaknya pengetahuan yang sudah teruji kebenarannya. Misalnya, pada tahun 2021 ini, kita ingin tahu opini masyarakat tentang siapakah calon presiden yang mereka anggap paling baik untuk pilpres pada tahun 2034? Hasilnya, 30% memilih Andi, 30% memilih Budi, dan 40% tidak memilih. Opini semacam itu akan tetap menjadi opini, tidak bisa diuji secara pasti, karena tahun 2034 adalah masa depan yang tidak terjangkau di masa kini – tahun 2021.

Opini juga penting untuk pengetahuan masa lalu yang tidak bisa diuji. Mengapa waktu itu para wali memilih istilah Wali Songo? Karena tidak ada dokumen resmi, atau bukti resmi, yang menjelaskan alasan pemilihan istilah Wali Songo maka kita bisa mengembangkan beragam opini. Barangkali kita bisa beropini karena “songo” bermakna 9 maka dipilih sebagai angka ganjil terbesar. Para wali menyukai angka ganjil apa lagi yang terbesar. Opini yang lain, barangkali, mengatakan karena saat itu memang ada 9 orang wali maka kebetulan saja. Dengan mempertimbangkan berbagai macam data yang tersedia, kita bisa mengembangkan beragam opini yang masuk akal – dan berguna.

Bahkan pada saat sekarang, kadang-kadang kita hanya bisa membuat opini belaka. Bisa jadi karena bukti-bukti yang kita butuhkan bersifat rahasia atau sulit diperoleh. Perusahaan Andi beropini bahwa perusahaan Budi – kompetitor dari Andi – melakukan manuver XYZ karena ingin mengalahkan perusahaan Andi di kota Bandung. Dengan opini ini, perusahaan Andi bisa menentukan respon yang diperlukan. Mengaitkan “manuver XYZ” sebagai bertujuan “mengalahkan perusahaan Andi” adalah sekedar opini. Untuk membuktikan kebenarannya, kita memerlukan data-data tambahan. Hanya saja, data tambahan itu adalah data rahasia perusahaan Budi, yang tidak layak untuk diperoleh.

Sampai di sini, kita perlu waspada bahwa opini tidak terbukti, atau belum terbukti, nilai kebenarannya. Sehingga, ketika kita bersandar kepada opini, harus sadar dengan beragam resiko yang mungkin terjadi. Bagaimana pun, opini sudah disusun dengan kaidah yang benar. Wajar saja, opini bisa kita percaya dalam beberapa hal. Opini, memang, diharapkan bernilai benar.

6.1 Opini Probabilistik

Cara aman beropini adalah dengan menyadari bahwa opini bersifat probabilistik. Kita coba cermati beberapa implikasi probabilistik.

M = Peluang menang 70%.

Dengan asumsi hanya ada menang dan kalah maka kemungkinan afirmasi dan negasi adalah 4 alternatif berikut.

Kemungkinan khusus atau afirmasi

A1 = Peluang menang 70%

A2 = Peluang kalah 30%

Kemungkinan mutlak atau negasi

N1 = Tidak mungkin menang 100% (karena 70%)

N2 = Tidak mungkin kalah 100% (karena 30%)

Empat makna kemungkinan atau peluang, di atas, adalah valid. Perlu hati-hati ketika menyikapi negasi. “Andi mungkin menang.” Negasi yang tidak sah adalah, “Andi tidak mungkin menang.” Seharusnya, negasi yang sah adalah, “Andi mungkin tidak menang.” Atau, “Andi tidak mungkin, bisa, 100% menang.”

6.2 Hilal Awal Bulan

Kita, di Indonesia, berulangkali, mengalami serunya menentukan awal bulan berdasar tinggi hilal.

MU = Kriteria t = 0.

Bagi MU, jika tinggi hilal di atas t = 0 maka sudah masuk bulan baru. Kriteria ini merupakan pernyataan aksiomatik yang ditetapkan berdasar perhitungan, hisab, atas data-data sebelumnya. Dengan demikian, MU tidak perlu pengamatan empiris atau rukyat.

Tetapi, kriteria t = 0 ini, mudah dikritisi. Berapa toleransinya? Bila tinggi hilal = 0,1 bagaimana? Bila tinggi hilal = 0.0001 bagaimana?

Bagaimana pun, kita perlu menetapkan kriteria di atas 0. Misal 0,5 atau bahkan 1 derajat. Karena, kita selalu perlu toleransi empiris.

NU = Kriteria t = 3.

Bagi NU, jika tinggi hilal di atas kriteria t = 3 maka hilal mungkin bisa teramati. NU melakukan pengamatan empiris, rukyat, untuk memastikan penampakan hilal.

Berdasar pengalaman bertahun-tahun, ketika tinggi hilal lebih dari 3, selalu berhasil hilal teramati. Sehingga, sudah masuk bulan baru. Tentu saja, baik-baik saja dengan pengamatan empiris ini.

Situasi lebih menarik ketika tinggi hilal di bawah 3 derajat. Orang bisa berpikir, “Hilal tidak mungkin bisa diamati.” Karena muncul istilah “tidak mungkin” maka muncul konotasi aksiomatik. Konsekuensinya, jika ada orang berhasil mengamati hilal pada ketinggian di bawah 3 derajat maka laporan orang tersebut ditolak. Dengan demikian, terbentuk sistem aksiomatik.

Situasi seperti ini mengantarkan NU dan MU, sama-sama, memilih sistem aksiomatik dalam menentukan awal bulan. Bedanya, NU dengan kriteria t = 3 dan MU dengan t = 0. Penetapan kriteria tinggi t ini adalah opini yang disepakati oleh banyak pihak. Tentu, berdasar analisis data.

Apakah ada kemungkinan titik temu agar hasil penetapan awal bulan baru selalu serentak? Tentu saja bisa. Jika sepakat t = 1 atau t = 2 maka awal bulan baru akan serentak. Karena, penetapan kriteria memang berdasar kesepakatan dan analisis data.

Bukankah pengamatan hilal adalah sistem empiris? Betul, sistem empiris kombinasi dengan aksiomatik. Tampaknya, saat ini, peran sistem aksiomatik makin besar. Sementara, hasil pengamatan empiris berperan menambah data analisa. Keuntungan sistem aksiomatik adalah kita bisa menetapkan awal bulan baru lebih cepat beberapa bulan sebelumnya. Sehingga, kita terbebas dari urgensi pengamatan empiris atau rukyat di senja akhir bulan.

6.3 Pengembangan Pengetahuan

Opini adalah sarana paling penting untuk pengembangan pengetahuan. Pengetahuan konkret lebih bernilai dari pengetahuan umum – atau pengetahuan genera. Opini bergerak dari genera menuju konkret. Memang ada resiko, karena, opini bisa bernilai salah. Meski bernilai salah, opini tetap bernilai tinggi karena lebih konkret dari genera. Apalagi, ketika opini bernilai benar maka makin penting.

G = genera = matahari terbit pagi hari.
K = konkret = matahari terbit pukul 06.05.

Pernyataan G bernilai benar – dan aman. Sementara, pernyataan K lebih konkret tetapi ada resiko bernilai salah. Kita bisa melakukan pengamatan, misal benar, matahari terbit pukul 06.05 pada hari itu. Maka pengetahuan konkret K lebih bernilai dari pengetahuan genera G. Ilmu pengetahuan berkembang dengan cara bergerak dari genera menuju konkret.

Sering terjadi salah paham. Orang mengira genera G lebih bernilai dari konret K. Mereka mengira genera meliputi, atau mencakup, konkret. Ketika konret K benar, maka, genera G juga pasti benar. Tetapi, ketika konkret K salah, maka, genera G tetap benar. Cara pandang seperti di atas adalah salah.

Cara pandang yang benar adalah konkret K lebih bernilai dari genera G. Karena, ketika K benar bahwa matahari terbit pukul 06.05 maka kita tidak memerlukan G. Dari K, kita bisa menyimpulkan bahwa matahari terbit di pagi hari. Jadi, justru pengetahuan konkret K yang meliputi, atau mencakup, pengetahuan genera G.

Sebaliknya, ketika K salah, juga berlaku pengetahuan konkret lebih bernilai dari genera. Misal ternyata yang benar dalah (L) = matahari terbit pukul 06.03. Dari pengetahuan konkret L, kita bisa menyimpulkan bahwa matahari terbit di pagi hari.

Pernyataan genera paling general barangkali adalah (T) = karena Tuhan menciptakan begitu. Mengapa terjadi pandemi covid? Karena T. Mengapa terjadi metamorfosa kupu-kupu? Karena T. Mengapa ada gaya nuklir? Karena T. Meski T benar, kita tetap membutuhkan pengetahuan yang lebih konkret untuk mengembangkan pengetahuan.

Alternatif genera yang sangat general adalah (S) = karena ada hukum sebab-akibat. Mengapa terjadi krisis ekonomi? Karena S. Mengapa ada bencana alam? Karena S. Mengapa teknologi digital bisa berkembang? Karena S. Lagi, meski S diklaim selalu benar, kita tetap membutuhkan pengetahuan konkret yang lebih berkembang. Pengetahuan genera saja tidak mencukupi. Kita perlu pengetahuan konkret.

Contoh di atas adalah untuk sistem pengetahuan empiris. Untuk sistem pengetahuan aksiomatik tetap berlaku bahwa pengetahuan konkret lebih bernilai dari pengetahuan genera.

G = bilangan-bilangan bisa dijumlahkan.

K = 2 + 1 sama dengan 3

Ketika, seorang anak kecil, atau kita, memahami G maka belum tentu anak kecil itu memahami K. Sebaliknya, jika seorang anak kecil memahami K maka, anak kecil itu, memahami G. Dengan memahami bahwa penjumlahan 2 + 1 sama dengan 3, dia paham bahwa bilangan-bilangan itu bisa dijumlahkan. Pengetahuan konkret lebih bernilai dari pengetahuan genera dalam sistem aksiomatik.

6.4 Pseudo-sains atau Sains Palsu

Pengembangan sains bisa salah arah dengan melanggar etika sehingga menghasilkan pseudo-sains atau sains palsu. Dari sisi penampilan, sains-palsu sama persis dengan sains. Tetapi, pada analisis akhir, terbukti terjadi eksploitasi yang merugikan banyak pihak.

Berikut ini, kita akan fokus kepada empat kriteria untuk menilai bahwa suatu sains adalah palsu. Sebagai ilustrasi, kita akan mengambil kasus Theranos, yaitu, perusahaan yang memproduksi alat kesehatan. Dengan alat tersebut, seseorang bisa melakukan tes darah yang mudah dan cepat guna mengetahui kondisi kesehatan badannya. Theranos berdiri pada tahun 2003 dan menjadi perusahan bernilai 10 milyar dolar hanya dalam waktu 10 tahun – perhatikan, bukan 10 juta dolar tapi 10 milyar.

Non-sains. Pertama, predikat sains-palsu atau pseudo-sains hanya bisa dialamatkan kepada sains itu sendiri atau bidang yang mengaku saintifik. Non-sains tidak bisa menjadi sains-palsu. Seni tidak bisa dinilai sebagai sains-palsu. Karena, seni memiliki kriteria konsep internal yang berbeda dengan sains. Olahraga, hobi, agama, permainan, dan lain-lain adalah non-sains. Sehingga, mereka aman dari predikat sains-palsu.

Tentu saja, kita bisa mengkaji seni atau olahraga secara saintifik. Dengan demikian, ada resiko terjebak ke sains-palsu. Bisa juga, seseorang menolak sains dengan teori tertentu. Meski awalnya, teori tertentu itu bukan sains, pada analisis akhir, bisa dikaji secara saintifik dan ada peluang termasuk sebagai sains-palsu.

Theranos meng-klaim menerapkan metode sains untuk tes darah. Karena itu, Theranos tepat menjadi kajian apakah termasuk sains-palsu.

Tidak obyektif. Sains-palsu bersifat tidak obyektif. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menguji kebenarannya. Pihak luar tidak bisa, atau sulit sekali, untuk melakukan pengujian.

Theranos menyembunyikan hasil kajian perusahaannya sehingga tidak obyektif. Pihak luar tidak bisa mengkajinya atau sulit untuk mengkajinya. Pihak luar hanya bisa mempertanyakan validitas dari kajian Theranos. Kelak, Theranos gagal menunjukkan validitas dan obyektivitas kajian tes darahnya.

Buruk atau salah. Sains buruk atau sains salah adalah kajian sains yang tidak memenuhi standar kriteria internal mereka sendiri. Sehingga, hasil kajian tersebut hanya layak sebagai bahan kajian bukan untuk keperluan komersial. Dalam konotasi positif, bisa dipandang sebagai proto-sains.

Tes darah Theranos termasuk sains-buruk atau sains-salah. Dengan kualitas yang rendah, Theranos tidak layak mengkomersilkan produknya.

Eksploitasi melanggar etika menjadi penentu utama sebagai sains-palsu. Sains yang tidak obyektif dan sains buruk, sejatinya, tidak menjadi masalah. Sejauh, kita menempatkan sains buruk pada posisinya. Tetapi, mengeksploitasi sains-buruk memang menggiurkan dengan imbalan materi yang besar.

Theranos sadar bahwa kajian mereka adalah sains-buruk. Kemudian, Theranos justru mengeksploitasi untuk mengeruk keuntungan komersial. Teknologi Theranos murah dan praktis. Sehingga, masyarakat luas membeli produk Theranos – termasuk di pasar saham. Tetapi, karena memang berdasar sains-buruk maka produk Theranos adalah sains-palsu.

Karena etika menjadi paling penting, lalu, bagaimana cara kita menentukan bahwa sesuatu melanggar etika atau tidak? Kita membahasnya di bagian lain. Yang jelas, klaim kebenaran etika sama kuat dengan klaim kebenaran matematika. Etika dan matematika adalah, sama-sama, kebenaran konseptual atau kebenaran sistem aksiomatik.

7. Ringkasan

Pengetahuan, ilmu pengetahuan, adalah susunan kompleks dari kebenaran-kebenaran. Idealnya, susunan kompleks ini akan menghasilkan kebenaran-kebenaran lanjutan. Dan seterusnya, menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Pengetahuan aksiomatik bernilai selalu benar – misal pengetahuan matematika. Sementara, pengetahuan empiris bersifat probabilistik – hampir pasti benar tetapi ada kemungkinan salah.

Pengembangan pengetahuan empiris bisa melalui induksi atau falsifikasi. Induksi melakukan generalisasi dari penelitian terbatas agar berlaku umum. Sementara, falsifikasi melakukan pengujian terhadap suatu teori untuk menghasilkan teori yang lebih kuat. Pengetahuan membutuhkan keduanya: induksi dan falsifikasi. Pengetahuan berkembang dari pengetahuan genera, yang bersifat umum, menuju pengetahuan konkret yang bersifat lebih jelas spesifik. Pengetahuan konkret lebih bernilai tinggi dari pengetahuan genera.

Sementara itu, pengetahuan tentang cinta dan cantik adalah sebentuk inspirasi cinta. Berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, pengetahuan cinta melibatkan suatu pengalaman langsung.

Opini adalah pengetahuan yang nilai kebenarannya belum sepenuhnya terjamin. Sementara di pihak lain, kesesatan adalah pengetahuan yang, pada analisis akhir, bernilai salah. Kesesatan bisa dieksploitasi oleh pihak-pihak jahat menghasilkan pseudo-sains atau sains palsu yang melanggar etika. Bagaimana pun, kita mengharapkan opini bernilai benar. Opini dilengkapi beragam asumsi, atau indikator, sedemikian hingga agar bisa dipastikan nilai kebenarannya ketika diperlukan. Opini adalah sebentuk pengetahuan yang sah dan baik.

8. Diskusi

Kita akan mendiskusikan teori evolusi pada bagian ini. Apakah teori evolusi termasuk sebagai pengetahuan, opini, atau kesesatan? Karena teori evolusi merupakan bagian dari sains alam bilogi, maka, wajar bagi kita menyimpulkan bahwa teori evolusi adalah ilmu pengetahuan alam. Kajian lebih mendalam, termasuk analisis filosofis, menunjukkan bahwa klaim seperti itu masih bisa kita perdebatkan.

8.1 Teori Evolusi

Darwin (1809 – 1882) adalah pelopor teori evolusi. Evolusi Darwin mendominasi perkembangan sains alam biologi berabad-abad sampai masa kini. Pro kontra terhadap Evolusi Darwin selalu dinamis. Secara umum, komunitas saintis memenangkan teori evolusi Darwin di atas para pesaing. Hampir di seluruh belahan dunia, pendidikan menengah mengajarkan teori evolusi Darwin sebagai bagian dari kurikulum sains biologi.

Evolusi menyatakan bahwa spesies yang ada di masa kini, misal manusia, berasal dari spesies yang ada di masa lalu. Beragam spesies yang berbeda, misal manusia berbeda dengan kera, bisa saja memiliki nenek moyang berupa spesies yang sama, misal kera-kuno. Dalam bahasa sehari-hari, nenek moyang manusia adalah kera.

Tetapi, siapa nenek moyang dari kera-kuno itu? Nenek moyang dari kera adalah spesies yang ada jutaan tahun sebelum spesies kera ada di bumi. Kita persingkat, nenek moyang dari kera adalah spesies sederhana misal mikroba, yang hanya terdiri dari beberapa sel saja. Lalu, pertanyaan berlanjut, siapa nenek moyang dari mikroba itu? Nenek moyang dari mikroba adalah struktur zat-zat kimia yang memungkinkan hadirnya kehidupan di bumi. Tentu, kita masih boleh bertanya, siapa nenek moyang dari zat-zat kimia itu? Jawaban tuntasnya adalah: big bang atau ledakan besar. Sampai di sini, kita terpaksa harus berhenti bertanya. Karena, sebelum big bang tidak ada apa-apa. Hanya ada kehampaan void sebelum big bang. Bahkan, tidak ada ruang, tidak ada waktu.

Apakan teori evolusi Darwin bisa kita kategorikan sebagai sains?

Sangat sulit untuk jadi sains. Karena, kita tidak akan mampu menunjukkan bukti-bukti empiris yang memadai untuk mendukung teori evolusi. Proses evolusi terbentang sampai jaman jutaan tahun yang lalu. Tentu, kita akan melibatkan banyak interpretasi terhadap data empiris yang ditemukan – dalam rentang jutaan tahun itu. Maka, sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa teori evolusi adalah sains atau ilmu pengetahuan.

Apakah teori evolusi adalah kesesatan?

Tidak. Teori evolusi bukan kesesatan. Teori evolusi dilengkapi dengan beragam data empiris, fakta sains. Kemudian, dari data itu, para ilmuwan melakukan interpretasi sehingga terbentuk teori evolusi. Tentu saja, kita sadar bahwa interpretasi dari banyak ilmuwan bisa menghasilkan perbedaan hasil interpretasi. Memang terjadi pro kontra, tetapi, bukan kesesatan.

Apakah teori evolusi adalah suatu opini?

Benar, teori evolusi adalah opini. Paling tepat, menurut saya, kita memasukkan teori evolusi sebagai opini. Dalam arti, teori evolusi adalah pengetahuan yang nilai kebenarannya belum dipastikan sebagai benar. Tetapi, kita bisa berharap bahwa teori evolusi bernilai benar.

Deduksi Evolusi

Mari kita cermati proses deduksi yang mengantarkan kita bisa menyusun teori evolusi.

P1: Organisme menghasilkan anak, atau sel reproduksi, jauh lebih banyak dari yang berhasil tumbuh menjadi dewasa.

P2: Jumlah individu dalam populasi atau spesies relatif tetap sama dalam selang waktu yang cukup panjang.

D1: Kesimpulannya adalah banyak sel reproduksi yang mati atau banyak anak-anak yang tidak berhasil hidup sampai dewasa.

P3: Setiap individu tidak identik, meski mirip. Mereka menunjukkan beragam variasi karakter. Individu yang berhasil hidup sampai dewasa dengan karakter tertentu akan menjadi orang tua bagi generasi berikutnya.

D2: Kesimpulannya adalah karakter-karakter tertentu yang mengantarkan mereka hidup sampai tua dan punya anak, adalah, karakter yang mampu beradaptasi dengan lingkungan.

P4: Keturunan mirip dengan orang tuanya, tetapi, tidak persis sama.

D3: Kesimpulannya adalah generasi penerus mewarisi karakter unggul dari orang tuanya dan memperbaikinya melalui proses perubahan gradasi.

Semua proposisi di atas, P1 sampai P4, didasarkan pada data empiris. Sementara, semua kesimpulan deduksi, D1 sampai D3, didasarkan pada analisis logis terhadap proposisi data empiris. Dengan demikian, kita berhasil menyusun teori evolusi berdasar data empiris sains. Proses evolusi terjadi melalui seleksi alam dan mutasi genetika acak. Seleksi alam menyisihkan individu-individu yang tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan. Sementara, mutasi genetika memastikan perubahan gradasi, atau evolusi, terjadi secara turun-temurun dari orang tua ke generasi berikutnya.

Kritik Evolusi

Kritik terhadap evolusi sudah berlangsung sejak awal kemunculannya. Dan, kritik ini valid. Pertama, semua proposisi atau premis didasarkan kepada data empiris sehingga hanya valid secara partikular, tidak universal. Seperti kita tahu, data empiris meski benar, tidak valid untuk mengklaim secara universal. Benar bahwa seorang manusia, misalnya, menghasilkan sel sperma dalam jumlah jutaan. Jauh lebih besar dari dirinya yang seorang diri atau jumlah anaknya. Sementara, organisme sederhana yang membelah diri tidak perlu menghasilkan sel reproduksi dalam jumlah yang jauh lebih besar. Mereka, organisme sederhana, hanya perlu membelah diri saja. Dan, bagaimana dengan organisme di masa depan? Kita tidak bisa mengklaim masa depan organisme hanya berdasar data masa lalu.

Kedua, menarik kesimpulan melalui deduksi data empiris tidak bersifat pasti, tidak niscaya. Sehingga, meski kesimpulan teori evolusi adalah valid secara ilmiah, maka, kesimpulan yang kontra-evolusi bisa sama validnya secara ilmiah. Dengan demikian, pandangan pro kontra terhadap teori evolusi adalah wajar.

Lamarck (1744 – 1829) mengajukan teori evolusi lebih awal setengah abad dari Darwin. Karena teori evolusi Lamarck berbeda dengan Darwin, maka, kita bisa memandang Lamarck sebagai kritik terhadap Darwin – atau sebaliknya. Karakter organ yang sering digunakan, misal leher jerapah untuk mengambil daun di pohon yang tinggi, maka makin berkembang. Kemudian, perkembangan karakter organ ini diwariskan kepada anak turunnya.

Sampai sekarang, beberapa ahli biologi menerima teori evolusi Lamarck, sehingga, kontra terhadap Darwin. Meski demikian, arus utama ahli bilogi saat ini lebih mendukung Darwin. Mengapa?

Deleuze (1920 – 1995) memberi analisis menarik mengapa komunitas saintis memilih Darwin dari Lamarck. Tidak ada argumen ilmiah, yang memadai, untuk menolak Lamarck. Tetapi argumen ideologis bekerja lebih lembut di lingkungan saintis.

Jika kita menerima Lamarck, misal tentang leher panjang pada jerapah, maka kita perlu asumsi ada jerapah berleher pendek di masa lalu. Kemudian, ada pendahulu dari jerapah berleher pendek itu, dan seterusnya. Sampai pada akhirnya, kita mundur tak terbatas. Akibatnya, harus ada Tuhan di ujung sana.

Sebaliknya, Darwin menyelesaikannya dengan mutasi acak. Dari banyak individu jerapah ada yang bermutasi acak menghasilkan leher panjang. Kondisi lingkungan, daun-daun pohon yang tinggi, menyebabkan leher panjang mampu beradaptasi. Kemudian, anak turun jerapah leher panjang terus berkembang atau bertahan. Sementara, jerapah leher pendek akan punah.

Bagaimana mutasi acak itu bisa terjadi? Karena acak, maka, kita tidak bisa memastikan prosesnya. Yang jelas, hasil mutasinya bisa kita amati secara empiris, seperti contoh leher panjang pada jerapah. Dengan demikian, persoalan selesai tanpa meminta bantuan kepada eksistensi Tuhan. Akibatnya, komunitas saintis lebih mendukung Darwin.

Karakter Memudar

Sejak awal, Darwin menghadapi kesulitan dengan teori evolusi dan tidak mampu menyelesaikannya.

Seorang anak hanya mewarisi karakter bapaknya 50%. Karena, 50% sisanya adalah warisan dari karakter ibunya. Cucu mewarisi 50% dari 50% yaitu 25% dari kakeknya. Lama-lama, karakter ini akan habis terkikis. Fenomena ini berlawanan dengan teori Darwin dan Darwin tidak mampu menemukan solusinya.

Lebih rumit lagi, misal, seorang lelaki berambut keriting punya anak berambut lurus. Kemudian, punya cucu berambut keriting mirip dengan kakeknya tetapi beda dengan bapaknya.

Mendel (1822 – 1884) hidup sejaman dengan Darwin. Tampaknya mereka tidak saling berhubungan. Penelitian Mendel tentang genetika berhasil menyelamatkan teori Darwin dari keruntuhan. Tetapi, Darwin tidak mengenal solusi Mendel. Baru pada tahun 1920an, Mendel dan Darwin sudah meninggal puluhan tahun, murid-murid Darwin berhasil mengadaptasi teori Mendel ke dalam teori evolusi.

Menurut Mendel, orang tua mewariskan gen-gen ke keturunannya. Bukan mewariskan karakter yang selalu tampak. Dari genetika, ada gen dominan dan, lainnya, resesif. Gen dominan selalu tampak ke anak turunan. Sementara, gen resesif kadang tampak, kadang tidak. Gen resesif menjelaskan bagaimana karakter tidak muncul pada anak, tetapi kemudian, muncul pada karakter cucu.

Masih menurut Mendel, orang tua mewariskan gen 100% ke anaknya. Akibatnya, anak menerima gen 100% dari ayah dan 100% dari ibu, total 200% atau 2n. Selanjutnya, anak mewariskan gen 100% ke cucu – dikombinasikan gen 100% pasangan anak. Dengan demikian, gen diwariskan 100%. Sehingga, tidak terjadi karakter yang memudar. Yang terjadi, justru, adalah mutasi acak genetika.

Neo Darwin

Teori evolusi Darwin sudah runtuh sejak awal, sejak masa Darwin masih hidup. Menariknya, sains selalu mampu beradaptasi. Sains mampu ber-evolusi. Sehingga, teori evolusi Darwin juga mengalami evolusi itu sendiri.

Sebutan sebagai Neo Darwin, barangkali lebih tepat. Meski, kita menyebut evolusi Darwin, sejatinya, yang kita maksud adalah evolusi neo Darwin. Benar saja, sampai sekarang, neo Darwin mengalami koreksi terus-menerus. Salah satu istilah paling terkenal adalah “missing-link” atau bentuk transisi.

Bentuk transisi menjadi masalah dalam evolusi – dan menjadi masalah filosofis secara luas. Misal, manusia adalah hasil evolusi dari kera, maka kita perlu transisi dari kera menjadi manusia.

Manusia (100, 0)
Transisi (50, 50)
Kera (0, 100)

Transisi (50 , 50) adalah manusia-kera yang memiliki karakter manusia 50% dan karakter kera 50%. Ketika, kita menemukan fosil Transisi (50, 50), maka, kita perlu transisi yang lebih baru lagi.

Manusia (100, 0)
TT (60, 40)
Transisi (50, 50).

Kita bisa menduga bahwa tuntutan transisi ini tidak akan ada habisnya. Ketika TT (60, 40) sudah memiliki karakter 60% manusia, maka, kita menuntut persentase yang lebih tinggi lagi. Bahkan seandainya, kita menemukan fosil yang 99% karakter manusia maka kita masih menuntut persentase yang lebih sempurna lagi. Apakah realistis?

Yang menarik adalah, bahkan pada situasi saat ini, tanpa ditemukan fosil bentuk transisi, para pendukung evolusi Darwin tetap yakin bahwa manusia adalah hasil evolusi spesies kera, atau spesies non-manusia. Sementara, bagi yang kontra Darwin menyatakan bahwa bukti yang ada tidak memadai. Seandainya dilengkapi dengan bukti fosil transisi, tetap saja, bukti-bukti itu tidak memadai.

Pro dan kontra terus terjadi. Bagian selanjutnya, kita akan meninjau evolusi dari perspektif yang lebih luas.

8.2 Evolusi Kreatif

Proses evolusi itu pasti terjadi, harus terjadi, dan memang terjadi. Imajinasi kita memerlukan obyek yang berada dalam ruang dan waktu. Karena itu, setiap obyek pasti mengalami evolusi.

Perhatikan pohon di sebelah rumah Anda. Pohon itu hadir secara evolusi. Maksudnya, pohon itu awalnya kecil, lalu, tumbuh menjadi besar. Bagaimana, seandainya, pohon itu muncul dengan tiba-tiba langsung berupa pohon besar di depan kita? Kita bisa merekam kemunculan pohon itu menjadi video yang durasinya mungkin setengah detik. Dari tidak ada pohon, tiba-tiba, menjadi ada pohon. Kemudian, kita bisa memutar video itu dengan gerak lambat. Durasi video yang setengah detik itu menjadi berjalan dalam 10 menit. Kemunculan pohon yang tiba-tiba menjadi tampak bertahap, menjadi evolusi.

Bayangkan, jaman dahulu kala, hadir orang pertama. Umat beragama menyebut orang pertama tersebut adalah Adam dan Hawa. Di sini, kita menyebut orang pertama, misalnya, adalah Aba. Barangkali, Aba muncul begitu saja di dunia ini. Muncul begitu saja dalam waktu berapa detik? Secepat kilat. Atau, lebih cepat dari kilat. Baik. Dari tidak ada Aba menjadi ada Aba, maka, pikiran kita menuntut adanya proses yang memerlukan waktu atau durasi. Misal durasi tersebut sangat singkat yaitu d.

Lagi, kita bisa membuat skenario untuk merekam kemunculan Aba dengan kamera video. Tentu saja, rekaman video itu berdurasi pendek yaitu d. Tetapi jelas, video itu menunjukkan di suatu tempat, mula-mula, tidak ada Aba. Selang waktu d, lebih cepat dari kilat, muncul Aba. Kemudian, kita memutar video itu dengan gerak lambat menjadi 10 menit. Maka, kita melihat kemunculan Aba secara bertahap, secara evolusi.

Semua materi fisik yang ada di dalam ruang waktu memerlukan proses untuk hadir. Maka, mereka perlu proses evolusi. Sehingga, teori evolusi itu sudah pasti harus ada. Petanyaannya adalah bagaimana proses evolusi itu terjadi?

Evolusi Mekanistik

Bergson (1859 – 1941) menilai teori evolusi Darwin bersifat mekanistik. Manusia dikenai oleh hukum-hukum alam di lingkungan sekitar. Kemudian, sebagian manusia punah akibat hukum alam itu. Seleksi alam. Dan, sebagian kecil darinya tetap hidup sampai kini – anak keturunannya. Mereka bisa berubah karena ada mutasi acak genetika yang lambat laun diwariskan ke anak-cucu.

Teori evolusi mekanistik, seperti di atas, tidak mampu menjelaskan proses kreatif yang terjadi di alam raya. Perhatikan seekor induk kupu-kupu yang hendak bertelur. Dia, kupu-kupu itu, tidak sebarang tempat bertelur. Dia, secara kreatif, mencari tempat bertelur sedemikian hingga, ketika telur menetas menjadi ulat maka ulat tersebut cukup mendapat makanan dari tempat sekitar.

Perhatikan manusia! Seorang anak manusia menulis lagu lalu menyanyikan dengan merdu. Seorang anak manusia menulis rumus matematika yang kelak menjadi program komputer luar biasa. Seorang anak manusia menciptakan pesawat terbang untuk keliling dunia. Seorang anak manusia, memang kreatif, luar biasa.

Kita membutuhkan teori evolusi yang kreatif yang mampu menjelaskan proses kreatif umat manusia dan alam raya.

Simpati

Manusia memiliki kehidupan dengan cara menjalani kehidupan. Manusia menjadi hidup karena menjalani proses kreatif menciptakan kehidupan. Manusia bukan dipaksa untuk hidup. Tetapi, manusia memilih menjalani hidup dengan proses kreatif.

Simpati adalah kesadaran manusia, bahwa, dalam dirinya ada kebebasan, ada freedom. Dan, melalui simpati juga, manusia menyadari bahwa orang lain sama dengan dirinya – memiliki simpati, memiliki kesadaran, dan memiliki kecerdasan.

Kecerdasan

Simpati dan kecerdasan saling terhubung. Lebih dari hanya mengenali bahwa ada orang lain yang punya kesadaran, dengan kecerdasaan, atau dengan intelligence, manusia mampu berpikir secara kreatif melampaui segala rintangan. Di saat yang sama, manusia mampu merancang masa depan yang baru, yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Manusia memiliki tujuan yang pasti. Tetapi bukan tujuan yang tunggal. Tujuan itu bersifat kreatif dan cerdas. Sehingga, kita tidak bisa memastikan kreativitas dari kecerdasan manusia di masa depan.

Evolusi manusia adalah evolusi kreatif, bukan sekedar evolusi mekanistik.

Alam, bisa saja, mendiktekan suatu kondisi kepada manusia. Dengan kreativitas, umat manusia mampu mengatasi batasan alam itu. Bahkan, manusia memanfaatkan alam semesta untuk lebih berkembang lagi. Alam, bisa saja, bermaksud melakukan seleksi kepada manusia berupa seleksi alam. Manusia, dengan kecerdasannya, berhasil meloloskan diri dari setiap seleksi alam. Darwin terbukti salah dengan menganggap populasi dari suatu spesies adalah konstan. Populasi umat manusia adalah 0,5 milyard pada tahun 1500 dan berkembang menjadi lebih dari 6 milyard pada tahun 2000.

Darwin salah merumuskan premis empirisnya sehingga deduksi yang menghasilkan teori evolusi mekanistik juga tidak sah. Kita perlu menggantinya dengan teori evolusi kreatif.

Freedom

Apakah evolusi berjalan dengan kebebasan manusia? Apakah manusia memiliki freedom dalam menjalani evolusi? Bukankah badan manusia, termasuk otak manusia, dikenai hukum alam yang bersifat pasti? Ketika kita menerima bahwa evolusi berlangsung secara kreatif, maka, apakah evolusi tersebut sudah dipastikan oleh hukum alam?

Darwin menjawab bahwa evolusi terjadi karena mutasi acak, sehingga, tidak deterministik. Ada peluang bagi manusia memiliki freedom dalam teori Darwin. Sebaliknya, evolusi kreatif menilai bahwa manusia mempunyai “tujuan” tertentu. Dengan demikian, manusia terikat oleh tujuan tersebut secara intelektual – sadar atau tidak. Di sisi lain, badan manusia terikat oleh hukum fisika. Lengkap sudah, manusia tidak memiliki freedom dengan sudut pandang seperti itu.

Manusia tetap memiliki freedom, memiliki kebebasan, meskipun terikat oleh suatu tujuan dan terikat oleh hukum fisika.

Karena, menurut Bergson, manusia memiliki waktu berupa durasi. Konsep durasi berbeda dengan konsep waktu yang berjalan linear dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Durasi bersifat kumulatif intensif dan terbebas dari pengaruh ruang. Dengan demikian, durasi memberi “waktu” kepada manusia memilih secara bebas, freedom.

Ketika manusia mendapat tekanan dari alam, maka, manusia memiliki durasi untuk memilih respon secara bebas. Manusia bisa merespon mengikuti tekanan alam, atau melawan tekanan alam, atau menghindari tekanan alam, atau respon kreatif lainnya.

Demikian juga, ketika manusia terikat oleh suatu tujuan, maka, manusia memiliki durasi untuk merespon ikatan tujuan itu dengan bebas. Manusia bisa merespon dengan komitmen terhadap tujuan itu, atau meninggalkan tujuan, atau membuat tujuan baru, atau respon kreatif lainnya.

Evolusi kreatif, benar-benar, berlangsung dengan cara kreatif dan bebas.

Elan Vital

Tidak ada jaminan bahwa generasi terakhir lebih kreatif dari generasi sebelumnya. Jadi, apa yang menjamin evolusi kreatif mengantarkan spesies menjadi lebih baik? Apa lagi, jika manusia memiliki freedom untuk memilih, maka apa yang bisa mencegah manusia berbuat keburukan?

Sebaliknya, evolusi mekanistik Darwin lebih menjamin pertumbuhan kebaikan. Mutasi genetika terjadi secara acak. Kemudian, alam melakukan seleksi umum. Hasil mutasi terbaik, dalam arti mampu beradaptasi, akan berhasil bertahan di alam dan berkembang biak dengan melahirkan generasi penerus. Dengan demikian, generasi penerus terjamin lebih baik dari generasi-generasi terdahulu melalui evolusi mekanistik Darwin.

Bergson menjawab bahwa evolusi kreatif digerakkan, didorong dan ditarik, oleh elan vital – kita sebut sebagai elan. Dengan elan, evolusi kreatif cenderung menuju ke arah yang lebih baik. Meski pun, manusia tetap memiliki freedom untuk menentukan sendiri arah evolusinya. Elan adalah energi kehidupan yang “mengingatkan” manusia untuk memilih arah yang terbaik.

Elan memberi tahu manusia bahwa “menghormati ibu” adalah perilaku yang baik. Setiap manusia bebas untuk memilih “menghormati ibu” atau memilih lainnya. Tetapi, elan menunjukkan kepada manusia: mana yang baik dan mana yang tidak baik. Elan pada induk kupu-kupu memberi tahu lokasi mana yang tepat untuk bertelur agar ketika telur menetas, nantinya, ulat-ulat itu memperoleh makanan yang memadai. Elan membimbing manusia untuk sanggup menghadapi segala rintangan. Bahkan, elan menunjukkan jalan pengorbanan untuk memberikan kebaikan terbesar bagi semesta raya. Elan adalah energi kehidupan yang ada pada setiap individu.

Evolusi Eksistensial

Terdapat beberapa alternatif teori evolusi: mekanistik, kreatif, eksistensial, ID, dan ekstended. Semua alternatif di atas mengutamakan analisis faktor imanen kecuali ID. Karena sama-sama imanen, di antara beragam alternatif, bisa saling melengkapi. Sementara ID, yang cukup kuat faktor transenden, cukup sulit untuk saling melengkapi dengan lainnya.

Bergson, dengan sengaja, mengarahkan evolusi kreatif untuk mengkritisi evolusi mekanisitik. Sedangkan, evolusi eksistensial hadir lebih awal dari evolusi mekanistik Darwin. Sehingga, kita harus membuat formulasi khusus untuk mengarahkannya sebagai kritik terhadap teori evolusi mekanistik.

Suhrawardi (1154 – 1191), Ibnu Arabi (1165 – 1240), dan Sadra (1571 – 1640) berhasil meletakkan konsep dasar evolusi eksistensial. Khususnya Sadra, dengan tegas, menyatakan terjadinya gerak-substantial abadi terhadap seluruh realitas alam raya. Gerak-substansial adalah dasar dari evolusi eksistensial.

Pertama, realitas paling fundamental adalah tunggal yaitu monisme-eksistensi. Kadang, kita membuat simbol cahaya untuk mewakili eksistensi. Selain eksistensi adalah tidak ada atau void. Kedua, eksistensi beragam dalam gradasi intensitas – ada yang lebih kuat dan ada yang lebih lemah. Di saat yang sama, eksistensi atau cahaya termodulasi, sehingga, menghadirkan beragam spesies konsep atau barza. Ketiga, setiap realitas dikenai gerak-substansial terus-menerus. Gerak ini satu arah, dari cahaya lemah menuju cahaya lebih kuat. Gerak-substansial terjadi karena cahaya yang kuat melimpahkan cahaya eksistensi ke yang lebih lemah. Sementara, cahaya yang lemah selalu “rindu” untuk meraih cahaya yang lebih kuat.

Mari kita coba menerapkan konsep gerak-substansial ke evolusi-eksistensial.

A: Karena eksistensi-cahaya bergradasi maka kita menyaksikan keragaman spesies dan keragaman individu.

B: Masing-masing spesies atau individu mengalami evolusi-eksistensial dengan “rindu” kepada eksistensi-cahaya yang lebih kuat atau lebih sempurna. Di saat yang sama, cahaya yang lebih kuat menarik, atau mendorong, individu untuk menjadi lebih sempurna. Evolusi-eksistensial ini berlangsung secara terus-menerus.

C: Arah evolusi-eksistensial adalah satu arah, yaitu, menuju eksistensi-cahaya yang lebih kuat, atau lebih sempurna.

Jika kita membandingkan evolusi-eksistensial dengan evolusi-kreatif maka kita akan menemukan beberapa kesamaan dan perbedaan.

Pertama, ada kekuatan, yang lebih besar dari sekedar aturan materi fisik, yang “mendorong” evolusi terus berlangsung. Elan bagi evolusi-kreatif dan gerak-substansial bagi evolusi-eksistensial.

Kedua, kekuatan evolusi bersifat imanen di dunia ini. Bagi evolusi-kreatif terbuka “ruang” tak terbatas pada durasi. Bagi evolusi-eksistensial terbuka “ruang” tak terbatas untuk penyempurnaan eksistensi-cahaya.

Ketiga, sama-sama terbuka terhadap argumen transendental. Sejatinya, evolusi mekanistik Darwin juga masih terbuka terhadap argumen transendental. Tetapi, tampaknya, para pendukungya tidak berminat mengembangkan argumen transendental. Apalagi, realitas transenden.

Berikutnya, kita perlu membahas ID, Intelligent Design, yang terasa kuat muatan transendentalnya.

8.3 Intelligent Design

Sejak awal, Darwin meragukan dalil teologis kreasionisme yang menyatakan bahwa manusia pertama diciptakan begitu saja dari kehampaan. Doktrin kreasionisme tidak memberi pengetahuan baru apa pun tentang asal-mula spesies manusia. Darwin menyusun teori evolusi yang berhasil memberi pengetahuan baru dan mendorong kajian baru tentang alam raya. Dalam sudut pandang ini, Darwin berhasil meraih sukses luar biasa.

Menariknya, konsep kreasionisme itu sendiri mengalami evolusi menjadi lebih matang, yaitu, menjadi Intelligent Design atau ID. Dari namanya, kita sudah bisa menangkap pesan bahwa ID meyakini eksistensi perancang cerdas yang transendental yaitu Tuhan. Lebih dari itu, ID memberi tantangan serius kepada teori evolusi mekanistik Darwin.

Kompleksitas

Kompleksitas yang tidak bisa direduksi. Struktur kompleks yang berfungsi dengan baik tetapi masing-masing komponen tidak bisa mewakili struktur kompleks itu. Misal, perhatikan struktur kompleks pada mobil ada kursi, roda, stir, dan mesin. Kursi saja, tidak bisa berfungsi sebagai mobil. Mesin saja, juga, tidak bisa berfungsi sebagai mobil. Struktur kompleks mobil adalah satu kesatuan. Tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen belaka. Karena, ada perancang cerdas yang merancang mobil menjadi struktur kompleks, sehingga, mobil berfungsi sebagai alat transportasi dengan baik.

Struktur kompleks pada tubuh manusia tersusun oleh mata, kaki, tangan, dan otak. Masing-masing organ tidak bisa mewakili manusia. Manusia merupakan struktur kompleks yang dirancang oleh perancang cerdas, sehingga, terciptalah manusia secara sempurna.

Spesifik

Kompleksitas yang berkembang makin kompleks, di saat yang sama, memiliki tujuan spesifik. Mobil makin kompleks dengan beragam asesoris: spion, nomor, ac, dan lain-lain. Kompleksitas yang meningkat ini memiliki tujuan menjadikan mobil sebagai alat transportasi yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan tujuan sang perancang.

Organ manusia, misal organ mata, terdiri dari jutaan sel. Beragam jenis sel berkembang di organ mata, sementara, beragam jenis sel lain tidak berkembang. Jutaan sel di organ mata tersusun dengan kompleks, dengan tujuan spesifik, agar bisa melihat. Tidak ada sel yang menumbuhkan daging di depan kornea, misalnya, karena bisa menghalangi mata. Sementara, sel-sel tumbuh untuk menguatkan otot-otot akomodasi lensa mata. Semua sesuai kehendak sang perancang cerdas.

Penalaan

Fine-tune, atau penalaan, alam raya begitu mempesona. Ketetapan gravitasi, massa proton, kecepatan cahaya, muatan listrik, dan lain-lain begitu sempurna, sehingga, memungkinkan terciptanya alam raya dan lahirnya kehidupan manusia.

Seandainya, ketetapan gravitasi lebih besar dari seharusnya, maka, alam semesta ini terlalu kuat terikat. Sehingga, alam raya tidak mengembang. Alam raya mengkerut sejak awal kemunculannya. Dan, tidak sempat ada kehidupan apa pun di alam semesta – bahkan tidak sempat ada alam semesta. Tetapi, angka ketetapan gravitasi begitu tepat. Sehingga, alam berkembang sampai kehadiran umat manusia yang cerdas. Itu semua sesuai dengan tujuan dari sang perancang cerdas.

Perancang

Siapakah perancang cerdas itu?

Jawabannya adalah Tuhan Sang Maha Cerdas. Tentu saja, itu jawaban yang benar. Jawaban yang sah. Bagi umat beragama berhak untuk mengatakan bahwa alam semesta adalah rancangan dari Tuhan.

Pertanyaannya adalah bagaimana dalil-dalil ID, di atas, bisa membuktikan adanya Tuhan sebagai perancang cerdas? Atau, bagi orang yang tidak percaya, bagaimana membuktikan Tuhan itu ada? Atau, bagaimana Tuhan berhubungan dengan semua alam raya itu?

ID bisa menyusun argumen untuk menjawab semua pertanyaan itu. Tetapi, komunitas saintis menilai argumen ID tidak ilmiah. Sehingga, ID dianggap sebagai bukan sains. Beberapa pihak menilai ID sebagai sains palsu. Sehingga, konsep ID dilarang diajarkan di sekolah.

Salah satu keberatan utama terhadap ID adalah logika ignoran – logika tidak tahu. Karena kita tidak tahu mengapa sel-sel tertentu berubah membentuk organ mata, maka, kesimpulannya adalah karena ada perancang cerdas. Karena kita tidak tahu mengapa banyak hal menakjubkan, maka, kesimpulannya adalah karena ada perancang cerdas.

Sementara, komunitas saintis berharap, ketika kita tidak tahu sesuatu, maka kita perlu mengkajinya.

Secara filosofis, dalil ID bisa saja valid, meski belum tentu benar. Alternatifnya, para pendukung ID bisa saja mengembangkan sistem aksiomatik dengan menerima interpretasi ID sebagai aksioma. Kemudian, sistem aksiomatik itu terus bekembang secara canggih. Realitasnya, sistem aksiomatik ID memang berkembang. Tetapi, mereka sering berbenturan di domain yang sama dengan sains. Sehingga, konflik tak terhindarkan.

Alternatif lain adalah ID bisa mencoba mengadaptasi evolusi-kreatif dan evolusi-eksistensial. Tampaknya, ID lebih dekat ke konsep evolusi-kreatif ini. Tantangan tetap ada: evolusi-kreatif mengandalkan argumen imanensi, sementara, ID mengandalkan argumen transenden. Akankah ID tertarik dengan argumen imanen?

8.4 Extended

Anomali adalah sebentuk pengetahuan. Pengecualian adalah pengetahuan sejati. Perbedaan adalah pengetahuan baru. Sehebat apa pun klaim teori evolusi, tetap saja, kita bisa menemukan beragam anomali. Bukan hanya satu anomali, tetapi, banyak anomali. Sehingga wajar, banyak pihak yang mengusulkan revisi terhadap teori evolusi.

Extended Evolution Synthesis (EES) adalah salah satu usulan solusi yang mengakomodasi beragam anomali dari teori evolusi. Tentu saja, kita bisa menduga, terjadi pro kontra terhadap EES. EES mengusulkan agar beberapa sub-bidang baru menjadi landasan sains biologi di antaranya: plasticity, pengembangan evolusi, epigenetik, dan evolusi kultur.

Plasticity menunjukkan bagaimana suatu organisme dapat berubah dengan sangat lentur, sangat plastis. Perubahan plastis jauh lebih drastis dari yang dipikirkan oleh perubahan evolusi. Barangkali, perubahan plastis bisa dikatakan sebagai revolusi.

Polypterus senegalus adalah ikan dari Senegal yang mampu berubah secara revolusioner. Polypterus memiliki insang dan paru-primordial. Di atas permukaan air, polypterus mampu bernafas dengan paru-primordial. Sementara, sebagian besar hidupnya, polypterus hidup di dalam air dengan memanfaatkan insang. Saintis melakukan eksperimen dengan memindahkan polypterus muda, usia beberapa minggu, ke habitat daratan. Polypterus itu berhasil hidup di daratan dengan mengembangkan paru-primordial menjadi paru-paru, sehingga bisa bernafas dengan baik. Tulang-tulang siripnya berkembang lebih kuat untuk menopang badannya bergerak di darat. Dan, beragam anggota tubuhnya berubah untuk mendukung kehidupan di daratan.

Polypterus ini merupakan, mirip dengan, fosil transisi dari mahkluk air menjadi makhluk darat. Berdasar data fosil, perlu waktu jutaan tahun, untuk transisi seperti polypterus. Sementara, polypterus melakukannya dengan cepat hanya perlu satu generasi. Perubahan evolusi yang revolusioner. Beberapa saintis tidak menyebutnya sebagai revolusioner, tetapi, sebagai transformasi cepat.

EES memiliki banyak data empiris yang menunjukkan simpangan serius terhadap evolusi neo Darwin. Sehingga, EES menuntut revisi besar-besaran terhadap teori evolusi. Sementara, di sisi pendukung evolusi Darwin, menganggap semua simpangan di atas adalah wajar-wajar saja. Semua bisa dijelaskan dengan kerangka evolusi yang sudah ada. Jadi, tidak perlukah revisi terhadap teori evolusi?

8.5 Opini

Kesimpulan akhir: teori evolusi adalah sebuah opini. Teori evolusi bukan sains, tetapi teori sains. Teori evolusi bukan fakta sains, tetapi teori sains. Teori evolusi, juga, bukan kesesatan. Teori evolusi adalah opini yang nilai kebenarannya diharapkan benar, tetapi, belum terbukti sebagai benar.

Bisakah, teori evolusi menjadi sains empiris? Tidak bisa. Karena evolusi melibatkan data fosil dari masa jutaan tahun yang lalu, maka, kita menyertakan banyak interpretasi dalam teori evolusi. Sehingga, tetap menjadi opini yang mungkin bernilai benar.

Bisakah, teori evolusi menjadi sistem pengetahuan aksiomatik? Bisa. Beberapa orang yang menerima interpretasi tertentu sebagai aksioma, maka, selanjutnya, bisa mengembangkan sistem pengetahuan aksiomatik. Tetapi, teori evolusi lebih dekat ke sistem sains empiris dari pada ke sistem aksiomatik matematika atau sistem aksiomatik agama. Barangkali lebih bijak, kita memilih teori evolusi dibiarkan tetap dinamis.

Bisakah, teori evolusi menjadi sistem pengetahuan aksiomatik filosofis? Tentu bisa. Evolusi-kreatif dan evolusi-eksistensial adalah sisten aksiomatik filosofis untuk teori evolusi. Bagaimana pun, kita tetap perlu perkembangan data empiris untuk menguji teori evolusi. Sehingga, meski tersedia sistem aksiomatik filosofis, kita tetap memerlukan revisi berdasar data empiris. Teori evolusi tetap dinamis. Tetap evolusi, atau kadang, revolusi.

Lanjut ke Batas-Batas
Kembali ke Philosophy of Love

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

3 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: