Filosofi adalah cinta kebenaran. Cinta pengetahuan. Cinta kebijaksanaan. Hikmah adalah kebijaksanaan luhur. Hikmah adalah bijaksana dalam pengetahuan, bijaksana dalam hidup, dan bahkan, bijaksana dalam kematian. Filosofi dan hikmah selangkah seirama. Saling melengkapi. Kadang, kita menganggap sama antara filosofi dan hikmah itu sendiri. Boleh-boleh saja.
Di sisi lain, filosofi sering disalah-pahami. Filsafat sempat dituduh sesat. Sudah banyak pandangan negatif. Saatnya kita membahas dari sisi positif, berguna, dan jelas. Masalah-masalah filsafat akan kita tinjau dengan fokus ke cinta, kecantikan, dan tentu saja materi. Tidak ada cara sederhana untuk membahasnya. Kita berusaha untuk memilih cara-cara paling sederhana.

Masalah paling dasar manusia adalah pengetahuan tentang materi alam sekitar. Pembahasan ini bisa menarik tapi bisa terlalu teknis. Maka saya akan mengambil contoh fenomena kecantikan yang tentunya lebih hidup. Meski lebih kompleks dari materi, kecantikan, tetap punya daya tarik. Kemudian kita melangkah lebih jauh ke tema cinta. Banyak orang yang menilai cinta sebagai subyektif, tapi kita akan melihat peran besar cinta dalam membimbing manusia menuju hakikat kebenaran.
Secara garis besar tulisan ini mengadaptasi karya Bertrand Russel, The Problems of Philosophy. Kita akan menemukan bagian yang diringkas. Namun banyak bagian yang diperluas karena kemajuan jaman. Dan tentu saja karena cinta dan kecantikan itu sendiri.
Kemajuan sains dengan mekanika quantum, relativitas Einstein, dan masyarakat digital tentu akan mengubah banyak hal yang kita hadapi. Kebenaran filosofis, yang dulu berhadapan dengan fenomena nyata, kini harus menghadapi fenomena maya belantara tanpa lentera.

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian: epistemologi cinta, ontologi cinta, dan dinamika cinta.
Epistemologi cinta adalah pendekatan filosofis untuk mengetahui, memahami, dan memaknai cinta. Untuk mengetahui cinta dengan lebih mudah, kita perlu, lebih awal mengetahui apa itu cantik. Tampaknya, cantik lebih jelas di depan mata. Maka di bagian ini, juga, kita akan membahas epistemologi cantik. Tentu, juga membahas epistemologi materi.
Ontologi cinta hanya terdiri dari tiga bab. Bab awal akan membahas “batas-batas filsafat,” yang sekaligus, menjadi penghubung antara epistemologi cinta dan ontologi cinta. Kita menyelidiki apa saja yang menjadi batas kajian filsafat. Meskipun, kita bisa membuat batas bagi filsafat, tetapi, batas tersebut selalu dinamis berubah-ubah. Pembahasan kita lanjut ke “manfaat filsafat” dan diakhiri dengan pembahasan “materialisasi cinta dan kecantikan.”
Dinamika cinta membahas aksiologi dan realitas alam raya yang dinamis. Kita hanya fokus kepada tiga tema: ekonomi cinta, politisasi cinta, dan agama cinta. Dari tema-tema yang kita pilih di atas, sudah terbayang betapa dinamisnya pembahasan cinta di bagian ini.
Sepanjang pembahasan, saya merujuk ke beberapa pemikir masa lalu dan masa kini. Barangkali, nama-nama pemikir ini akan bisa memudahkan kita memahami aliran pemikiran filosofi cinta.
Bertrand Russell (1872 – 1870) adalah filsuf besar Inggris yang ikut membidani lahirnya filsafat analytic di awal abad 20. Seperti disebut di atas, saya memakai kerangka berpikir Russell di bagian epistemologi. Sebagian besar, saya setuju dengan pemikiran Russell. Di bagian yang lain, saya tidak setuju. Saya melengkapinya dengan pemikiran yang berbeda atau pemikiran baru. Keunggulan Russell adalah pembahasannya jelas, logis, rasional, dan terbuka terhadap beragam sudut pandang. Termasuk, Russell terbuka terhadap kajian metafisika.
Ibnu Arabi (1165 – 1240) adalah pemikir dan penyair besar dari masa kejayaan Arab beberapa abad yang lalu. Pemikiran Ibnu Arabi sangat indah. Tetapi, terkenal sangat sulit dipahami. Kadang-kadang terasa tidak logis dari perspektif umum. Dengan karakter seperti itu, saya sering menempatkan pemikiran Ibnu Arabi di akhir suatu pembahasan.
Immanuel Kant (1720 – 1804) adalah pemikir terbesar Jerman yang mengawali konsep idealisme transendental. Kant, dengan gemilang, membuat sintesa terhadap aliran filsafat-filsafat besar sampai pada jamannya. Sehingga wajar, bagi banyak orang membagi era filosofis sebagai pre-Kant dan pasca-Kant. Trilogi kritik dari Kant berhasil menggeser karakter filsafat yang dulunya dogmatis menjadi lebih kritis, terbuka, dan dinamis. Tetapi, Kant tidak mengakhiri sistem filsafatnya dengan kesimpulan yang kokoh. Justru, Kant mengakhiri dengan paradoks: antinomi.
Living-philosopher adalah pemikir yang masih hidup di masa kini. Membaca pemikiran para living-philosopher tentu menarik. Karena, mereka ikut hidup di jaman digital yang sangat dinamis ini. Habermas (lahir 1929) merupakan pemikir yang aktif berdialog dengan pemikir besar kontemporer. Konsep komunikasi aktif untuk meraih konsensus di kalangan masyarakat menjadi tema utama Habermas.
Vattimo (lahir 1936) terkenal dengan konsep weak-thought dalam hermeneutika. Weak-thougt menyadarkan kita bahwa setiap pemikiran adalah lemah, tidak sempurna. Kita memerlukan proses terbuka untuk terus memperbaiki pemikiran kita dengan respek terhadap pemikiran pihak-pihak lain. Zabala (lahir 1975) adalah murid dari Vattimo yang mengembangkan pemikiran gurunya lebih luas dan mendalam.
Chalmers (lahir 1966) adalah pemikir analytic terbesar yang mengenalkan konsep “hard problem of consciousnes.” Meski sudah 20 tahun lebih, hard-problem ini belum mendapatkan solusi yang memuaskan. Barangkali memang tidak akan pernah ada solusi memuaskan. Chalmers cenderung berpandangan optimis terhadap perkembangan sains dan teknologi. Termasuk, dia mendukung perkembangan virtual reality.
Taylor (lahir 1931) adalah pemikir unik asal Kanada. Di era yang tampaknya makin kuat pertumbuhan sekularisme, Taylor membahas sekularisme dengan nada mendukung peran penting agama. Bagi Taylor, sikap sekular hanyalah sebuah pilihan sikap yang wajar di masa kini. Sementara, peran agama tetap besar di sepanjang masa.
Zizek (lahir 1949) adalah pemikir paling kontroversial. Sebagai pendukung kontradiksi Hegelian, dia, Zizek kerap melontarkan pernyataan kontradiktif. Meski banyak kritikus yang menilai Zizek sebagai tidak konsisten, tetapi, Zizek mengembangkan filosofi politik yang sangat dinamis dan kajian ontologi yang mendalam serta pemberani.
Soroush (lahir 1945) adalah pemikir Iran yang mencetuskan banyak ide progresif dalam filosofi sosial. Soroush banyak menghabiskan masa tuanya di luar negeri dengan berbagi pikiran yang berakar pada situasi kontemporer di Timur. Dengan latar pemikiran Timur yang kuat dan penguasaan pemikiran Barat mutakhir, menjadikan Soroush sebagai pemikir unik.
Di dalam negeri, saya kerap berdiskusi dengan Armahedi Mazhar (filosofi sains), Dimitri Mahayana (filosofi wujud), dan Muhammad Zuhri (filosofi sufi). Sunan Kalijaga merupakan tokoh dalam negeri paling mempesona sepanjang masa. Melalui karya “Serat Dewa Ruci,” Kalijaga berhasil menunjukkan peran penting karya filosofi fiksi yang sangat dinamis – karena berkembang melalui media oral. Sedangkan “Serat Linglung” menunjukkan peran penting karya filosofi sastra.
Barangkali, saya perlu menambahkan bahwa pemikiran postmodern ikut mewarnai diskusi kita. Dari posmo awal, konsep destruksi dari Heidegger (1889 ā 1976), sampai posmo akhir, konsep dekonstruksi Derrida (1930 ā 2004). Memang diakui, memahami pemikiran posmo adalah sangat sulit. Saya kira konsep differend dari Lyotard (1924 ā 1998) adalah termasuk yang paling mudah untuk dipahami. Pemikiran Heidegger banyak kita diskusikan karena selaras dengan eksistensialisme Timur dan Barat.
Meski masih banyak pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dalam filosofi cinta ini, kiranya, beberapa nama pemikir di atas sudah cukup menunjukkan karakter dinamis dari filosofi cinta. Selamat membaca! Selamat jatuh cinta! Selamat terpesona oleh cinta!
Lanjut ke Bagian 1: Epistemologi Cinta.
Kembali ke Philosophy of Love
Tinggalkan komentar